“Saya Belum Baca”
Suatu hari di Bandung saya dateng ke sebuah seminar yang digelar oleh dosen saya, seorang profesor ahli asma. Dos-q mengoceh sepanjang 20 menit tentang bagaimana asma itu timbul, bagaimana reaksi hipersensitifitas bisa bikin seseorang sesak tiada akhir, bagaimana mengenali gejala asma, dan bahwa obat terbaik asma adalah menghindari faktor pencetus serangan sesak dan menyedot steroid secara teratur.
Lalu salah satu penonton di belakang bangku saya, seorang dokter entah dari Puskesmas manaa gitu, mengacungkan jarinya. “Prof, pertanyaan pertama saya, bagaimana membedakan asma dengan pneumonia? Lalu, yang kedua, saya pernah dengar bahwa daun katuk bisa digunakan untuk mengobati asma. Bagaimana caranya, Prof?”
Profesor menjawab pertanyaan pertama dengan jawaban panjang kali lebar sepanjang tiga menit (saya kok iseng banget ngitung ya waktu itu).
Lalu pertanyaan kedua dijawab singkat, “Maaf, saya belum baca itu.”
Sewaktu itu saya terhenyak dengan sikap Profesor yang dengan gamblang berkata, “Saya belum baca.”
Padahal semua orang juga tahu, saya yakin Profesor juga tahu, bahwa daun katuk nggak akan bisa dipakai untuk ngobatin asma. Tapi dos-q memilih untuk berujar saya-belum-baca.
Artinya dos-q memilih untuk jujur. Tidak sok tahu dengan berkata, “Daun katuk tidak bisa mengobati asma.”
Karena sebenarnya memang kemungkinannya dua macam:
1. Mungkin daun katuk memang nggak bisa dipake ngobatin asma. Apa yang kauharapkan, daunnya kaukunyah lalu bengekmu hilang, begitu?
2. Mungkin daun katuk sebetulnya bisa dipake buat ngobatin asma, tapi sampai sekarang belum ada yang berani mencobakannya sebagai obat. Karena belum ada orang bengek yang sudi dipakai sebagai percobaan untuk mengunyah daun.
Dan itu juga seperti memberi tahu saya sebagai penonton, Hey Dok, kalau kau nggak tahu, jawab saja kau tidak tahu. Daripada mencelakai orang lain padahal kau tidak tahu benar apa yang kaukatakan.
Ini juga untuk menjawab komentar salah satu postingan saya bulan lalu, waktu itu salah satu jemaah blog saya berkomentar gini, “hmm, aneh sih, dokter kan seharusnya “paling tau” hehehe 😀”
Saya adalah orang iseng yang menjawab komentar dengan menulis artikel baru, hihihi 😀
Saya juga sering ketemu sama keadaan begitu, vic. Klien itu ngarepnya klo Lawyer kudu tau smua jenis hukum, bahkan hukum rimba sekalipun. Jawaban ampun gw sih biasanya, "Need further to be discussed, Sir." Baru deh mereka bisa mingkem setelahnya =)
Aku takjub aja kalo kamu hafal semua pasal-pasal di kitab itu, Bell. Kalo aku jadi kamu, puyeng dah..
Namanya juga manusia.. Yang lebih tau segalanya ya yg di Atas.. Yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui segalanya…Aneh jg kl ada yg komentar spt itu
Nggak aneh kok. Cuman persepsinya ya memang seperti itu. Karenanya kan artikel ini untuk memberi sudut pandang lain, supaya persepsinya berubah.
Benar, kalau nggak tahu ya jujur aja ya. Ya memang mungkin bisa "dibungkus" sehingga nggak gamblang-gamblang amat bilang "nggak tahu" gitu. Apalagi kalau berprofesi sebagai dokter. Kalau tidak tepat, kan menyangkut kesehatan (dan bisa jadi nyawa) pasien, hmmm… .
dokter juga manusia ya vic… bisa gak tau juga… 🙂
Iya dong. Kalau tahu segalanya ya nggak akan jadi dokter, tapi jadi tuhan, hihihi..
jawabannay singkat ya belum baca, tdak berusaha menjawab 🙂
"Belum baca" itulah jawabannya, Mbak 🙂
kalo ditanya orang diriku balik bertanya…. menurutmu gimana?
Sama, Mas, diriku juga jawab begitu. Wkwkwkwk…
pertanyaan pertama terlalu… errr… sedangkan yg kedua terlalu … #tepokjidat
Tapi Mike bisa jawab kan?
*wink wink*
hehehe, iya iyaaaa 😀
lupa itu wajar 😀
tapi ya malu sih :')
Yang bilang itu malu siapa? Kamu atau yang ngajak bicaranya?
Aku kalo ditanya muridku n ga bs jawab ya kubilang aja klo aku blom tau. Nanti dicariin jawabane dl. Kcuali klo ditanya apa arti dr suatu kata atau ditanya apa bahasa Inggrisnya kata ini…. Maka aku bakal jawab: "Do I look like a 70 kilograms walking dictionary to you?"
Wkwkwkwkwkwk!
Tikaaa! Kamu kereeen!
*toss*