Aku Disuruh Ngobatin Kertas

Pernah cek laboratorium? Entah itu periksa darah, periksa kencing, atau foto Rontgen? Gimana hasilnya? Terus, apakah Anda ngerti maksud hasilnya itu?

Minggu lalu seorang teman, seorang pekerja industri yang pastinya bukan orang rumah sakit, kirim saya pesan. Ceritanya dos-q habis periksa darah dan mendapati titer Widal-nya 1/160 dengan perincian sepanjang kurang lebih 11 baris yang jelas-jelas menuhin display HP saya. Dos-q sedang bertanya dengan perincian sedetail itu, dos-q sakit tipes apa nggak? Saya bacanya jadi garuk-garuk kepala. Setahu saya, orang kalo sakit tipes nggak akan bisa ngetik sedetail itu dan seruwet itu di HP-nya. Sakit tipes itu harusnya terkapar di tempat tidur, badan panas dingin nggak karuan, feeling salah tingkah karena perasaan campur-aduk antara mencret dengan nggak bisa pup.

Dulu pernah seorang teman lain, auditor di sebuah perusahaan minyak, setengah panik kirim pesan ke saya. Dos-q habis menjalani pemeriksaan kesehatan di kantornya, serangkaian pemeriksaan yang rumit sekali dan cenderung lebay malah, karena ternyata alat kandungannya juga diperiksa pakai USG padahal dos-q belum kawin. Dalam pemeriksaan itu terungkap bahwa dos-q punya massa segede dua senti di ovarium dan sekarang dos-q nggak bisa tidur karena membaca hasil itu. Samar-samar dos-q inget di pelajaran biologi bahwa ovarium itu indung telur yang berkontribusi untuk masa depan kesuburannya kelak. Saya ngerti apa yang dikhawatirkannya, nampaknya dos-q takut mandul sekarang, cuman gara-gara telah membaca hasil lab cek rutin..

Pernah dengar Laju Endap Darah? Nah, sepupu saya mengadu kepada saya soal itu. Diperiksa darah rutin, lalu terungkap bahwa LED-nya melebihi normal. Apa itu maksudnya? Apakah dia sakit berat? Pantesan kok sering pusing-pusing, bodi rasanya cenderung letoy. Saya ngeliatin sepupu saya dari atas ke bawah, dan memutuskan dos-q sehat wal afiat. Saya waktu itu jawab, “Mbak ini kok mau-maunya dibikin panik oleh selembar kertas?”

Sebetulnya hasil laboratorium tidak bisa mencerminkan kesehatan kita. Dosen saya yang ahli patologi klinik (atau bahasa awam: penanggung jawab laboratorium medis) bahkan nggak setuju jika hasil laboratorium dijadikan tolok ukur untuk menentukan apakah seseorang itu sehat atau tidak. Selalu harus di-cross check dengan kondisi badan yang dirasakan, baik oleh si “penderita” maupun oleh dokter yang memeriksa dengan tangan, mata, dan kupingnya sendiri. Dengan kata lain, menyoal kasus-kasus di atas:
1. Titer Widal 1/160, tidak berarti penderita sedang sakit tipes. Bisa jadi ada kuman tipes di dalam tubuhnya, tapi kalau bodinya sehat-sehat aja, maka sejuta kuman tipes di dalam bodinya tidak akan bisa membuatnya keok dan harus bolos masuk kantor.
2. Massa segede 2 cm di ovarium mungkin merupakan suatu kista. Ya terus kenapa? Kalau menstruasi masih teratur, bisa hamil, dan masih bisa jalan tegak tanpa harus membungkuk sampek 90 derajat, adanya kista bisa diabaikan.
3. Laju endap darah yang melebihi normal bisa jadi karena kena AIDS, atau hanya sedang sakit flu. Jika kau sendiri merasa baik-baik saja, what da heck?

Memang ada beberapa penyakit yang baru bisa terdeteksi dengan laboratorium, tapi tidak dirasakan oleh penderitanya, dan bisa menimbulkan masalah di kemudian hari. Misalnya, gula darah puasa yang kelebihan, ada virus hepatitis B di dalam tubuh, atau waktu iseng foto Rontgen nggak sengaja ketemu koin di dalam perutnya. Ini harus diobati, jelas. Tapi tidak banyak paramater lab yang potensial menimbulkan masalah macam begini. Singkatnya, ngapain harus pusing dengan hasil lab kalau Anda sendiri merasa badan Anda baik-baik saja?

Yang sakit itu manusianya, bukan hasil lab. Dokter seharusnya mengobati manusia, bukan mengobati kertas.
(Ditulis oleh dokter yang sering terkecoh dengan hasil lab yang tidak pernah dikalibrasi, lab yang ngaku-ngakunya lab tapi nggak ada supervisi dokter patologi kliniknya, dan terlalu sering terlibat polemik akibat dipaksa mengobati selembar kertas padahal pasiennya baik-baik saja, bisa makan, dan bisa ketawa-ketiwi).

http://laurentina.wordpress.com

www.georgetterox.blogspot.com

25 comments

  1. fei says:

    Wah pwrnah bgt tuh gw dibikin panik gara2 hasil test lab, yg bilang gw terinfeksi bakteri yg sampai keluar rumah sakit ga tahu penyebabnya apa. What de hell

    1. Yang penting kan keluar dari rumah sakit dengan badan sudah enteng dan nggak terasa sakit. Lha mau tahu bakteri penyebab infeksinya pun nggak guna juga kalau nggak bisa menyelesaikan sakit di badannya..

  2. mikhael says:

    biasanya yang paling sering bikin diagnosa berdasarkan hasil lab itu dokter Int#rna. Lekosit tinggi nggak jelas langsung dikasih antibiotik. Natrium rendah dikit langsung guyur inpus.
    Saya pernah liat ada residen int#rna bikin diagnosis Hiperfibrinogenemia Primer karena fibrinogen sedikit meningkat. Atau yang lebih ekstrim "Respirator Acidosis dengan Concomitant Respiratory Alkalosis". Waduh…

    1. Itu sering terjadi 😀

      Saya pernah konsulkan pasien kanker saya ke residen interna karena waktu saya cekkan lab untuk persiapan kemoterapi, saya dapatkan SGOT, SGPT, dan kreatininnya naik.
      Hasil konsul saya kembali dengan jawaban diagnosis Ca cervix IIIB + peningkatan liver function test + peningkatan renal function test 😀

      Tak ada terapi, hanya disuruh USG untuk periksa liver dan ginjal. Saya rasa saya harusnya nggak usah konsul ke Interna, konsul aja ke Patologi Klinik kalo kayak gitu caranya 😀

      Akan jauh lebih baik kalau mereka tulis diagnosis diferensialnya, apa gitu kek, hepatitis atau renal failure atau apalah yang kira-kira lebih spesifik. Diagnosis laboratoris itu terlalu umum, tidak menyelesaikan masalah. Padahal kita konsul hasil lab itu kan untuk menyederhanakan masalah 😀

  3. Ya. Alat harus melalui uji kalibrasi, uji presisi, uji akurasi. Ada quality control yang dilakukan secara harian. Jika dinyatakan layak, baru dipakai untuk pemeriksaan pasien.
    Kemudian hasil lab digunakan bersama-sama dengan keterangan klinis,karena pemeriksaan lab dimintakan oleh dokter untuk melengkapi data yang tidak dapat dijangkau melalui pemeriksaan fisik. Berkaitan dengan itu, ada istilah false negative dan false positive. Jika hasil lab 100% benar, maka tidak perlu data klinis ;misal jika tes malaria positif, ngapain nentuin demam nggak, ada pembesaran limpa nggak, orang sudah pasti tes nya benar, malaria; Tapi 100% ? Nggak mungkin.

    1. Itu cuman hasil lab. Kalau tidak disuruh periksa lab oleh dokter, nggak usah periksa lab. Sering sekali orang awam periksa lab karena inisiatif sendiri/atau karena disuruh kantor (padahal kantornya juga nggak ngerti fungsi lab itu buat apa). Setelah dapet hasilnya, pasien googling sendiri, mengira-ngira interpretasinya sendiri, selanjutnya jadi panik sendiri.. :p

Tinggalkan komentar