Dua kamar, dengan jendela pada kedua kamar dan ruang tamu. Posisi di tengah kota. Bisa menghadap kolam renang. Bisa juga menghadap pemandangan kota. Saya sih nggak peduli mau menghadap mana. Yang penting banyak jendelanya, biar sehat.
Dan setelah dia ngoceh berbusa-busa tentang fasilitas kolam renang + jogging track + sky garden, saya pun nanya harga. Dalam hati saya udah pasang taruhan bahwa dia akan bermain di harga Rp 500 juta.
“2,8, Bu,” katanya. “Bisa dengan menggunakan KPA, lalu pake Bank X, atau Bank Y..”
Seterusnya saya nggak denger. Atau saya nggak ngeh. 2,8? Maksudnya apa sih? Nyicilnya 2,8 juta/bulan, gitu? Saya harus operasi Cesar berapa pasien supaya bisa beli rumah yang cuman terdiri dari dua kamar dan nggak ada taman sendiri itu?
My hunk lebih cepet tanggap. “Kreditnya bisa nyicil berapa tahun?”
“10 tahun, Pak,” kata salesman-nya bangga. Lalu menyodorkan plan pembayarannya, dan mental saya sebagai penghuni pondok mertua indah langsung drop.
Saya pura-pura mengangguk puas, dan membawa brosur apartemennya pulang. Si salesman meminta nomer telepon kami dan saya langsung menulis nomer telepon my hunk. Dia pasti akan menelpon my hunk kapan-kapan untuk kasih tahu promo.
Sambil berjalan di sela-sela koridor mall, my hunk berkomentar, “Harga apartemen itu 2,8 milyar.”
“Dan aku kirain selama ini paling banter harganya 500 juta doang.”
Kami berdua tertawa, ngetawain kenaifan kami.
***
Lalu besoknya, saat nyetirin saya ke salon, my hunk berkata kepada saya. “Apartemen itu harganya Rp 2,8 milyar. Dicicil dalam 10 tahun. Berarti setahun nyicilnya Rp 280 juta. Kalo nyicilnya per bulan, berarti kira-kira..” Dos-q mikir sebentar, sambil tetep nyetir. “..yah, kira-kira Rp 28 juta.”
Dos-q terdiam.
“Berarti kau harus jadi manajer nasional supaya bisa NYICIL apartemen itu,” kata saya, sengaja menekankan nada suara saya pada kata “nyicil”. “Pertanyaan gw, berapa malam dalam seminggu aku harus tidur duluan sendirian karena kamu harus sibuk jadi manajer nasional?”
Dos-q menjawab, “Kalau jadi manajer nasional, berarti tekanan kerjanya lebih berat. Lebih banyak menyita waktu di malam hari, termasuk mungkin tetap kerja pas weekend dan pas minggu. Kalo minggu tetap kerja, berarti nggak akan bisa menikmati apartemen itu.” Dos-q terdiam, dan akhirnya bertanya, “Terus, kalo gitu buat apa beli apartemen?”
Saya terdiam dan menggaruk-garuk kepala. Menghitung jumlah malam yang terpaksa kami lewatkan dalam seminggu terakhir, malam-malam yang terbuang percuma. Setiap malam, hidup kami cuma punya dua pilihan: saat saya pulang ke rumah dari sekolah, dan langsung pingsan ketika mencium bantal, saking capeknya. Atau saat saya ketiduran duluan, karena nungguin my hunk nulis laporan sampek jauh larut malam.
“Bisakah kita buat cita-cita kita lebih sederhana aja dulu?” tanya saya kemudian. Lalu saya bilang, saya ingin kumpul dengannya lebih sering setiap malam.
Suami saya langsung ketawa tergelak, lalu mencium jidat saya.
***
Pernikahan itu, bagaimana ya? Ternyata semenjak kami menikah, kami bekerja lebih keras di karier masing-masing karena kepingin rejeki lebih banyak. Karena keinginan punya rumah sendiri adalah cita-cita kami yang paling tinggi setelah naik haji. Tetapi tanpa disadari, kerja keras itu menuntut tenaga ekstra, dan konsekuensinya adalah kecapekan setiap malam, sehingga kami hampir-hampir nggak punya waktu untuk berduaan saja dalam keadaan “sadar”.
Saya kadang-kadang mikir, para suami-istri tajir yang rumahnya sebesar istana itu, apakah suaminya setiap hari pulang melepas dasinya dengan penuh lelah, dan apakah ranjangnya gaduh setiap malam?
Apakah kita mengejar materiil untuk kekayaan spiritual, atau kekayaan materiil itu akan datang dengan sendirinya kalau urusan spiritual kita beres?
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Sekarang harga apartement bisa jauh lebih mahal daripada rumah, heran. Sebenernya apa kerennya sih tinggal di apartement? enakan juga punya rumah yang ada tamannya, ya gak π
Tergantung yah. Karena dewasa ini sebagian orang nggak minta tempat tinggal yang ada tamannya. Mereka lebih memprioritaskan tempat tinggal yang dekat dengan sekolah/tempat kerja mereka. Kasarnya sih, kalau mereka bisa tinggal di atas kantor mereka sendiri, mereka akan jauh lebih senang (bahkan meskipun tempat tinggal itu nggak ada tamannya). Itu menjelaskan kenapa harga apartemen bisa lebih mahal daripada harga rumah dan lebih disukai oleh orang-orang tertentu π
masih mikir gimana perbaiki rumah kalo aku…
biar calon istri betah di rumah
Cita-cita yang mulia sekali, Met.. π
ranjang suami istri pemilik rumah yg sebesar istana itu pasti gaduh koq, say.. gaduh sama suara koper yg dilemparΒ²..hehehe
"Papa! Mama maunya koper Louis Vuitton! Bukan koper kelas KW yang ritsletingnya udah soak begini!" Bukk!
ada juga yg uang muka 1 juta aja. Tapi cicilannya tiap bulan 20 juta selama 10 tahun juga. Huahahaha, kata temen gue; untung dia gak pingsan pas nelp nanya'in hal itu
Ada yang nanyain itu via telepon? Kok ya mau salesnya ngejawab lewat telepon, nggak suruh calon customer-nya dateng ke showroom buat dirayu sekalian..
Betul mbak, aku dan isteri sama-sama bekerja. Sampai rumah biasanya abis Maghrib dan adanya kecapekan. Belum pernah kayaknya sampai rumah sebelum jam 6. Sabtu dan Minggu dipenuhi buat bersih-bersih dan beres-beres rumah. Tapi ya itu serunya sekarang hehehehe…
Sama dong, Gal. Sekarang jadwalku tiap Sabtu-Minggu juga dialokasikan buat beres-beres teritori rumah kami. Apes deh kalau pas hari gitu disuruh jaga rumah sakit, sudah pasti kerjaan beres-beres rumah terpaksa jadi prioritas belakangan..
itu di surabaya? kalo di jakarta…ada apartemen seharga 'hanya' 6 milyar. penekanan 'hanya' itu seakan2 harganya kayak beli hp doang hahahaha. tapi bulan depan harga bisa naik loh hahahaha.
Tapi mereka berani jual harga segitu, pasti berarti memang ada yang berminat beli, Mel. Dan yang berminat itu banyak. Dan makin hari harganya makin naik. Padahal belum tentu yang beli itu akan langsung meninggali juga..
kalau impianku malah gak mau punya rumah besar cape bersihinnya hehehe
Aku malah kepingin rumah besar, Mbak. Supaya muat orang banyak kalau kepingin bikin acara pengajian di rumah..
Rumah di sekitar pesisir timur sana rasanya kita mampu beli. Atau apartemen di sekitar middle east riang road. Insya allah π
Pesisir timur Surabaya aja, Mas.. Nggak perlu pesisir timur Maladewa.. π
wuii apartemen di indo sekarang udah 2.8M.. gile bener. tapi emang harga properti di indo naik terus ya…
Iya, Man. Padahal baru di Surabaya lho, yang penduduknya masih beriman dengan rumah konvensional, belum apartemen..
wamayyattaqillaha yaj'al lahu makhroja, wayarzuqhu min haitsu la yahtasib..
pasang keinginan yang fokus dan kuat, insya allah akan dipermudah π
Terima kasih sudah dimotivasi, Dion..
Ya. Dilema klasik ya. Bekerja terlalu keras untuk memiliki materi berlimpah tetapi justru "menyiksa" raga sendiri (dan juga kehidupan private/sosial)…
Saya mau aja sih kerja keras. Tapi saya nggak mau ngabisin sisa hidup saya hanya untuk kerja keras tanpa bisa menikmati hasilnya..
yg terakhir, vick π
at least itulah yg aku percayai.
Iya. Tapi kapan urusan spiritual itu beres? Rasanya kok nggak tamat-tamat..