Salah satu teman saya punya anak empat orang. Masih kecil-kecil. Kalau dia bawa anaknya jalan-jalan, dia pusing sendiri, soalnya anak-anaknya periang banget, suka lari-lari ke sana kemari. Dia kerepotan ngejar-ngejar mereka satu per satu.
Problem jadi berlipat ganda kalau anak-anaknya itu ketemu teman-teman seumuran mereka. Dia pusing sendiri ngejar-ngejar anaknya, karena sering ketuker sama anak orang lain!
“They look all the same!” cerita teman saya itu waktu curhat sama saya.
Lalu tibalah saatnya foto bareng keluarga besar. You know lah, jenis foto di mana kita foto bareng bude, pakde, opa-oma, sepupu-sepupu bersama anak-anak mereka. Kita rangkul anak kita di dekat kita buat berpose-massal-yang-nanti-kalo-dicetak-pasti-nggak-akan-keliatan-jelas-muka-kita-itu, tapi si kecil malah ngeyel mintak duduk deket sodara-sodara sepupunya yang sama kecilnya juga.
Pada waktu foto dicetak, nanti kan diabsen, mana kita, mana kakak kita, mana ibu kita, mana suami kita, mana anak kita. Kalau pun diabsen dan dijawab ngawur pun nggak ada bedanya, orang nggak peduli mana kita, apalagi yang mana itu anak kita. Kesimpulan dari foto keluarga besar itu selalu sama, “Oh, si Pak/Bu itu sudah punya anak cucu cicit banyak sekali..”
Dan itu membawa kita kepada pertanyaan iseng, “Terus ngapain anak kita dan pasangan kita didandanin baju bagus-bagus kalau ujung-ujungnya cuman jadi bagian kecil dari sebuah foto dan bagian kecil itu nggak terlalu bermakna?”
Seberapa Besar Effort Kita untuk Dress Up?
Ternyata, buat sebagian orang yang sudah beranak, datang ke kondangan adalah problem sendiri, terutama kalau sudah menyangkut masalah nanti-mau-pakai-baju-apa.
Beberapa teman saya yang anak-anaknya sudah mulai balita sempat curhat begini, “Saya ini sebetulnya nggak kepingin dandan asal-asalan. Kalau ada acara kondangan gitu, saya kepingin tampil beda, dan saya juga kepingin suami dan anak saya tampil cakep juga.”
Sehari sebelum dateng ke pesta, orang-orang model begini bahkan sudah membongkar lemarinya dan memilih, besok mau pakai dress ini. Suaminya nanti pakai jas ini. Anak-anaknya pakai baju yang ini dan yang ini. Printilan suami macam dasi bahkan kadang-kadang sudah dipilihin juga (meskipun saya ragu apakah suaminya ngerti kapan sebaiknya pakai dasi corak garis-garis dan kapan pakai dasi corak kembang-kembang). Kalau anaknya cewek, lebih repot lagi milih bajunya ketimbang milihin baju anak cowok. Dress-nya yang mana. Kaos kakinya yang motif rendanya yang mana. Bahkan bandonya yang mana.
Makanya banyak orang lebih seneng kalau ke kondangan pakai baju couple keluarga. Jadi baju istri itu sama coraknya dengan baju suaminya, dan bahkan corak baju anaknya disamain dengan corak baju orangtuanya. Selain karena keliatan cakep kalau difoto, juga ini menyelesaikan problem kepusingan ibunya yang suka bingung milihin baju untuk suaminya dan anak-anaknya kalau mau ke pesta.
Baju Couple Keluarga, Yay or Nay?
Hampir semua orang yang suka pakai baju couple keluarga bilang bahwa pakai baju samaan itu bikin mereka kelihatan kompak.
Shelvy, teman saya yang bankir asal Jakarta yang sudah punya dua anak, senang pakai baju couple keluarga karena, “..sebagai identitas diri bahwa kami adalah keluarga bahagia.” Sayang Shelvy nggak pernah kasih lihat contoh baju seragam keluarganya ke saya, baju macam apa yang bikin keluarganya nampak jadi bahagia itu.
Buat ibu-ibu yang anak-anaknya banyak kayak teman saya ini, baju couple keluarga mempermudah job-nya sebagai pemburu anak-anaknya yang suka pencilatan ke sana kemari.
Teman saya lainnya, Rika, seorang ibu rumah tangga asal Balikpapan, senang pakai baju sarimbitan begini lantaran ngerasa gampang ketemu kalau lagi nyari suami atau anaknya. Teman saya yang satu lagi, Inri, ibu rumah tangga asal Batam, juga bilang begitu. “Biar gampang nyari anak-anak, terutama kalau pas kumpul orang banyak. Maklum anak-anak masih balita, yang seneng lari ke sana ke sini.” Lalu saya jadi kepikir barangkali dua ibu ini bukan butuh baju sarimbit keluarga, tapi lebih butuh GPS tracker.
Teman saya yang lain, yang ogah disamain dengan sodara-sodaranya dalam foto keluarga besar, bahkan melihat fungsi besar seragam sarimbit anak-anaknya sebagai alat identifikasi. “Kalau pas lagi kumpul keluarga besar, baju kembaran itu bisa jadi identitas. Orang bisa tahu sendiri siapa pasangannya siapa, siapa anaknya yang mana, jadi nggak repot basa-basi.” Memang saya tahu teman saya ini lebih seneng makan-makan di pesta ketimbang pura-pura ramah-tamah.
Tapi banyak juga lho yang kurang senang dengan ide baju couple keluarga ini. Saya pernah bikin survey kecil-kecilan tentang kesukaan orang akan seragam suami-istri-anak, dan ternyata sekitar 40% jawab nggak suka pakai seragam keluarga.
“Kayak panti asuhan,” kata Uwan, ilustrator asal Situbondo.
Temen saya lainnya, Nurul, eks wartawan asal Surabaya, bilang bahwa dia nggak suka pakai baju samaan dengan suaminya. Alasannya sungguh-sungguh membuat saya kagum, “Saya ingin dikenal sebagai diri saya sendiri, bukan sekedar dikenal sebagai istrinya Bapak Anu..”
Aprilytanti, ibu rumah tangga lainnya yang asal Sidoarjo, ogah pakai baju couple keluarga karena alasan simpel: ribet njaitinnya, soalnya dirinya dan suaminya itu punya ukuran big size. Urusan males njait ini juga menerpa Ayu, dokter gigi asal Pulau Bula, yang lebih suka beli baju yang udah jadi aja, seadanya tanpa mesti samaan.
Malahan, Wiwit, juru ngitung pajak yang sehari-harinya bergulat dengan kedua anak kembarnya, keburu menggeleng duluan kalau saya nyodorin ide pakai baju couple keluarga. Jangankan samaan dengan anaknya, “Suami saya nggak pernah mau pakai baju kembar..”
Temen saya lainnya, Wulan asal Kediri, juga emoh disodorin baju kembar. Tiap anggota keluarga punya selera yang beda-beda. “Biar jadi diri masing-masing aja. Sehingga bebas berkreasi, tidak selalu dikaitkan satu sama lain.” Sampai di sini saya terharu. Lalu lanjut dos-q berkata, “Terutama saat acara keluarga. Biar gak keliatan kalau kita makannya yang paling banyak, ternyata sepasang (suami-istri). Hahaha..”
Baju Couple Keluarga yang Serupa Tapi Nggak Sama
Padahal yang namanya baju couple keluarga nggak mesti sama persis plek plek ya. Ada banyak solusinya supaya baju couple keluarga itu nggak malu-maluin kayak baju tahanan dan masih bisa jadi bahan ekspresi masing-masing orang.
Mega, creator kreatif stasiun tivi, terus terang bahwa jahit baju memang sekaeang mahal. Makanya kalau ke pertemuan keluarga bareng suami dan anaknya, dia lebih suka pilih pakai baju dengan warna senada. “Ada kompaknya dalam perbedaan,” katanya.
PR-nya paling tinggal cari toko baju yang nyediain baju yang berwarna senada (bukan seragam) buat suami, istri, dan anak-anak sekaligus.
Brand Ethica misalnya, belakangan ini ngerilis baju keluarga yang bisa dipakai buat alternatif sarimbit untuk suami, istri, dan anak-anak barengan.
Tipe Couple coklat di bawah ini, misalnya, bisa jadi baju couple keluarga tanpa membuat si suami mesti kembaran dengan bininya. Keseragaman cuman tampil dari dominasi warna cokelat. Tapi suami bisa tampil gaya dengan celana hitam, sementara bininya kelihatan lebih stunning dengan warna putih pada bagian top-nya.
Ada lagi tipe lain. Berikan saja motif polkadot pada atasan anak perempuannya. Sedangkan si ibu cuma diberi polosan.
Motif polkadot pada atasan si upik yang jelas beda banget dari emaknya yang pakai rompi hitam, bikin mereka tetap keliatan kompak tanpa mesti membuat si upik jadi seperti fotokopi ibunya. Sebab yang namanya kompak itu nggak selalu mesti digambarkan dengan seragam yang sama persis. Anak kan mestinya dibiarkan punya jatidirinya sendiri tanpa mesti dibilang mirip emaknya.
Kadang-kadang orang males njait karena anggota keluarganya banyak. Diah, ibu rumah tangga asal Sidoarjo, ogah njahit karena anaknya tiga, sehingga praktis keluarganya pun berlima. Saya bayangin kalau dos-q jadi sosialita yang datengin kondangan tiap minggu, pasti dos-q udah semaput pada kondangan keempat lantaran kudu nyediain empat set baju seragam untuk seluruh keluarganya.
Tipe Couple hitam di bawah ini bisa membereskan persoalan sarimbitan para keluarga yang anaknya banyak, tanpa mesti jahit baju bersetel-setel untuk setiap orang. Di sini, suaminya cuman pakai hitam-hitam dari atas sampai bawah, cocok buat kondangan apa aja dan nggak perlu susah-susah mikir kalau mau dress up pada kondangan setiap minggu. Istrinya tinggal ganti warna rompi doang, menyesuaikan stok rompi yang ada di lemari. Baju kayak gini bisa buat sarimbitan tiap minggu, ngirit karena suaminya nggak perlu beli banyak-banyak baju, dan penampilan mereka bisa beda-beda dengan modal yang cukup sedikit.
Baju couple keluarga sebetulnya menyenangkan. Kalau difoto kelihatannya keren. Bisa jadi bahan identifikasi keluarga di muka umum. Asalkan kita kreatif, tiap orang tetap bisa tampil kompak bareng keluarganya dengan menampilkan gaya ekspresi masing-masing tanpa mesti takut nampak seperti seragam dari panti asuhan.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
I must comment.
kok loe gak survey ke gw sih?
Baju identik mnrt gw ya… bagus klo couple biar keliatan nya sudah “sehati”. Lagian i think it’s sweet sih.
Klo keluarga trus mo foto keluarga, batikan kompak itu keren. Gw sgt terinspirasi foto keluarga berbatik versi pak SBY. Tapiii itu cuma buat foto. Klo jumlah keluarga cuma 4, terlihat “kompak”. Tapi klo lebih, asli….kaya panti asuhan. Biar murah meriah beli bahan yg sama supaya dapet diskon kainnya.
Kalo di antara komunitas, pake baju seragam itu gw ogah bgt klo disuruh beli. Karena baju yg menunjukkan keseragaman itu hanya bs dipake pas misalnya…tour bareng (biar gak ilang). Atau klo Timnas atlit tertentu, itu jadi lambang keelitan. Dari golongan mana mereka.
Kalau bkn pd kondisi2 begitu, bagi gw baju dari bahan sama atau persis sama giti beneran kaya anak panti asuhan.
Kalo gw ama pasangan sih, kami suka ala-ala couple an gitu. Batiknya sama, warnanya sama, tulisannya sama. Tapi karema cuma berdua. Jd lucu. Bgitu jd ber-5 ma anak, mendadak pakaian tadi jd keliatan barang murah/obral makanya beli banyak. Kaya yg beli di pasar cakar beli 5 gratis 1 gitu deeh. Hahahhahaha.
Halo Syel..sebetulnya gw nyebarin survey ini di halaman Facebook dan Twitter gw kira-kira 1 bulan yang lalu. Mungkin halaman gw kurang eksis di timeline Facebook elu, jadinya elu nggak baca surveynya 🙂
Terima kasih buat insight-nya ya. Memang untuk bikin baju sarimbit keluarga itu mesti pinter-pinter milihnya supaya nggak terkesan murahan. Salah satu sepupu suami gw menikah dan kirim seragam ke tante-tantenya, lalu mertua gw yang juga dikirimi itu langsung mencela seragam itu sebagai baju plastik 🙁
Gw pernah lihat sebuah keluarga yang sepupu-sepupu dan tante-tantenya diseragamin semua gitu pakai gaun. Waktu dateng ke studio fotonya sih keren, mereka kelihatan seperti sebuah keluarga yang kompak. Tapi begitu hasil fotonya sudah jadi, gw melihat mereka seperti..anak-anak dari kondom bocor, saking mukanya sama semua, dan karena bajunya sama semua.
Memang kalau baju couple yang sama persis itu baiknya untuk dua orang aja. Kalau mau anak-anaknya ikutan yaah..jangan sama persis lah.
hahaha…gw kebayang bgt lucunya Vick. muka sama, baju sama. sekeluarga pula. sense of fashionnya dimana ya?
gw pernah ikutan komunitas gitu.. trus kami ada event apa gitu yg bajunya kaos hitam dgn sablon yg buat gw jelek bgt gambarnya. kita semua umur 20 tahunan tp sablon di kaos itu beneran sangat ke kanak2an kaya buat anak SD. Semua di komunitas sepakat mo foto pake baju itu. hanya gw yg gak mau. gw mati2an gak mau beli. krn mau foto mereka todong gw paķe bajunya pinjem dr stok yg ada.
Berfotolah kami semua dgn baju yg sama, menggunakan kamera poket biasa. Karena kita waktu itu memang masa2 santai, gak ada yg pake make-up. Mana fotonya outdoor di panas teris. Alhasil di foto kami tampak kaya anak2 panti asuhan semua dgn wajah kuyu (meski senyum) dan muka berminyak.
Wkwkwk…. Ada namaku di sana… . Bahkan aku lupa pernah ngomong kayak gitu Mbak. . Tapi emanh iya sih baju couple yang sama plek itu kadang maksain banget buat keliatan kompak. Kadang malah yang enak diliat cuma si istri doang. Modelnya kece abis. Sementara si suami cuma gt doang dan jadi aneh… G sedikit juga sih yang keliayan lucu kalo kompak kapelan….
Yah, memang sebetulnya milih baju itu harus disesuaikan untuk matching dengan pemakainya. Yang sering terjadi itu para perempuan ribut bikin baju yang pas dengan dirinya sendiri, tapi karakter bajunya nggak pas dengan karakter suami mereka. Yah, ini pelajaran lah buat kita supaya rada cerdas dikit kalau mau bikin baju couple.
Aku suka pakai couple buat acara tertentu aja. Lainnya asal warna senada, biar gak timpang warnanya kalau di foto. Color full bagus sih, cuma kadang bikin sakit mata wkwkwkwkw
Ivon sama Mas Ihwan punya berapa pasang baju couple di rumah? 🙂
Aaaaa kalo aku sih suka suka aja couple wkwkwkw. Biasanya tuh warnanya beda tapi motifnya sama. Atau ya kainnya sama cuma beda2 model. Karena ada 3 cewek yang bentukan tubuhnya sama, jadi enak bisa ganti2 wkwkwkw.
Multifungsi sih kalo kembaran wkwkw. Bisa gampang nyari, “itu pak, anak yang pake baju item kaya gini (nunjuk adek/kakaknya), tadi lewat sini ga?” kwkwkw.
Hai Zahrah, makasih sudah mampir sini ya 🙂
Kalau menurut saya sih, jika warnanya aja udah beda, rasanya itu bukan baju couple lagi. Mungkin lebih baik beda model aja, tapi warnanya sama.
Kamoooh niat banget sist kalau bikin postingan? Juaraaakk, dan aku juga agak amnesia, kok alasanku ga doyan pake baju kembar, se-“feminis” itu yak? Hwawahahahha.
Etapi kalo dikasih baju sarimbit sama Ethica ya so pasti daku akan terima dengan lapang dada plus rasa syukur seluas samudera lah. #eaaaa
Sehubungan aku mau baju-bajunya Ethica laku, jadi aku bikinin riset pasar aja sekalian supaya produknya Ethica jatuh ke konsumen yang valuable dan prospektif serta dapet insight kenapa Ethica jangan dipaksakan dijual kepada konsumen-konsumen yang nggak doyan sarimbitan.
Iya, itu alasanmu di survey yang aku buat. Masih ada kok rekaman surveynya, hahahaha..
Wahai Ethica, tawarilah Nurul ini baju sarimbitmu yang terbaik, karena dia buzzer yang rela berbuat apa saja supaya OOTD-nya di-like oleh banyak orang, hahahahahah…
wuuaaww… baju-bajunya keceeeh sekalii.. ngakak bagian baca komennya.
Aku yang nyeleksi komennya aja ngelu..
Apik apik ya baju brand ethica ini…eia asli ngakak baca komen tentang: biar ngga ketauan sebagai pasangan suami istri klo pas makan banyak di resepsi
Koncone sampeyan iku, Mbak. :))