Begitu Susahnya Menjadi Badut

Saya lagi seneng-senengnya nonton stand up comedy. Pas @StandUpIndo_SBY ngumumin minggu lalu kalau mereka mau bikin show open mic di Surabaya, tanpa pikir panjang saya taruh di agenda saya buat nonton. Sudah kenyang liat acara stand up yang kayaknya hampir saban malam ada di tivi, kurang asyik rasanya kalau nggak nonton sendiri live.

Maka minggu lalu, pergilah saya ke show yang dihelat di sebuah kafe di kawasan Jalan Jawa itu.

Sedikit cerita buat para jemaah yang jarang nonton tivi, “stand up” adalah pertunjukan tempat seseorang berdiri sendirian di atas panggung sembari ngoceh ngalor ngidul. Tugasnya adalah bikin para penonton ketawa.

Ya sebelas dua belaslah dengan pelawak, cuman bedanya kalau pelawak konvensional di Indonesia masih menonjol sisi slapstick-nya, sedangkan seorang comic (sebutan untuk pelaku stand up comedy) melawak dengan berbasis materi yang sudah dos-q susun sebelum naik ke panggung.

Jadi kesulitannya, dos-q kudu nyusun materi, menghafal, dan dos-q kudu ngatur kapan dos-q harus membuat penonton ketawa. Tugas yang susah karena di sini dos-q harus melakukannya sendirian.

Penggemar acara stand up di Indonesia cukup banyak, komunitas penggemarnya terbentuk karena seneng nonton acara Stand Up Comedy di MetroTV dan Kompas TV. Komunitas ini membentuk komunitas-komunitas lokal di kota tempat tinggal masing-masing, kegiatannya ya apa lagi kalau bukan bikin show stand up di kota mereka. Tujuannya sebetulnya menjaring orang-orang lokal yang punya bakat comic, untuk diorbitkan di daerahnya, sebelum akhirnya diorbitkan lagi untuk manggung di acara stand up di tivi nasional.

Untuk mengorbitkan comic anyar, Kompas TV punya kontes pencari bakat comic yang digawangi Pandji dan Raditya Dika. Dengan demikian, comic ini sebetulnya adalah selebriti juga, tapi menonjolkan intelegensianya, bukan tampang cakepnya.

Kali ini saya mau review acara stand up lokalnya Surabaya. Penasaran aja mau lihat bagaimana audisi calon-calon comic dari Jawa Timur, mumpung acaranya digelar di cafe jadi saya bisa sekalian dugem alias “dunia gembul” alias makan-makan (makanya saya males dateng kalo acara audisinya digelar di kampus).

Comic yang main ada sekitar selusin, setiap comic dikasih jatah ngoceh sekitar 10 menit buat bikin penonton ketawa. Kedengeran ringan? Semula saya kira demikian.

Comic pertama maju dan mulai ngoceh. Topiknya ringan. Saya ketawa selewatan. Tiga-empat menit pertama dos-q kedengeran kayak nyamuk lewat doang.

Leluconnya biasa aja, lucu sih iya, tapi ya nggak sampek tahap bikin saya sakit perut. Saya sebagai penonton mulai sadar betapa susahnya menjadi seorang badut.

Menit ketujuh dos-q mulai putus asa karena leluconnya nggak nendang-nendang amat. Ketika MC kasih tanda bahwa jatah waktunya akhirnya habis, dos-q nampak bernafas lega seperti baru lepas dari “siksaan’.

Comic kedua lewat, comic ketiga lewat lagi, dan saya menghabiskan sandwich pesenan my hunk sampek separuhnya sembari ketawa ngakak di atas kursi cafe yang empuk. Bukan ngetawain leluconnya, tapi saya ngetawain usaha ngocol para comic untuk bikin penonton ngakak.

Memang ternyata beda antara nonton comic yang baru manggung amatiran di cafe-cafe lokal dengan nonton comic yang sudah berpengalaman bolak-balik manggung di tivi.

Ada yang leluconnya pasaran (tebak-tebakan jayus yang sudah berkali-kali saya denger dulu-dulu), ada juga yang lelucon berbasis ngetawain orang lain (entah konconya, sodaranya, dan sebagainya).

Ada yang untuk manggungnya pake bawa contekan segala yang ditulisnya di telapak tangan, macem kayak mau UAS aja. Ketika kapasitas telapak tangan sudah sedikit, contekannya sudah habis tapi jatah waktunya masih panjang, sang comic langsung blank dan mati gaya, mulailah dos-q ngoceh nggak terarah seperti mau nembak ketawa penonton tapi nggak kena-kena.

Saat itulah saya ketawa terbahak-bahak sampek hampir terjengkang dari kursi. Ya ampun, mau bikin orang ketawa aja susah nian..

Saya rasa kesalahannya jelas. Orang-orang ini terlalu pusing untuk berusaha menjadi badut. Padahal tugasnya kan membuat komedi. Dan membuat komedi itu tidak selalu harus dengan cara menjadi badut.

Nonton ginian bikin saya puas, biarpun comic-nya nggak lucu-lucu amat. Ngedate sama my hunk nonton orang ngelawak bikin saya seneng.

Saya jadi belajar menghargai usaha orang yang sudah capek-capek menghibur orang lain. Tidak semua orang punya kemampuan untuk membuat orang lain ketawa hanya dengan bermodalkan pengetahuan umumnya.

Beberapa comic yang biasa saya tonton di tivi malah punya ekspresi muka flat cenderung sinis, tapi lelucon-lelucon yang dos-q lontarkan bisa bikin tawa seluruh hall meledak tanpa comic-nya sendiri ikutan ketawa. Singkatnya nonton ginian butuh selera humor yang tinggi, luas, dan dalam.

Kapan ya ada acara stand up comedy lagi di Surabaya? Saya mau nonton lagi. Kepingin sekali bikin acara stand up comedy di sekolah saya. Supaya murid-murid dan guru-gurunya nggak ruwet mikirin orang-orang preeklampsia dan kanker ovarium melulu..

23 comments

  1. Bener, teorinya sih kita ga perlu jadi badut, cukup bicara yg menarik saja. Tapi karena penonton udah terbiasa liat comic macem Raditya Dika dkk yg udah profesional, kadang mereka jadi berharap terlalu tinggi dan kecewa jika ternyata lelucon yg mereka tonton tidak semenarik yg mereka bayangkan

  2. ke2nai says:

    menjadi seorang komedian emang ternyata susah bgt ya.. Apalagi kl hrs sendirian di depan panggung.. Jgn sp terjebak ke komedi slapstick tp hrs tetep lucu padahal grogi bgt.. 😀

  3. jadi kesimpulannya : yang bikin tertawa adalah melihat tingkah para comic yang gak bisa bikin penonton tertawa.. gitu…
    lucu juga.. hehe.. #ketawa mingkem…

  4. lulu says:

    emang lebih cepet bikin orang nangis…
    jadi comic emang kudu smart…
    itu itu, aku tetap suka sama Ryan n Ernest, apalagi kalo Ryan vs Ernest…

  5. acungkan jempol kita untuk sebuah proses/ usaha mereka untuk mengibur para penonton. Tidak semua bisa, harus melalui tahab belajar dan belajar..

    Cak lontong dan Setiawan tiada tara, aku demen bgt sama topik yang mereka bawakan..

    1. Ya, saya nggak nyangka sebelumnya bahwa untuk menghibur penonton ternyata harus belajar juga. Upaya mereka patut dihargai, makanya saya nggak melengos liat para comic yang gagal melucu.

      Saya juga suka Cak Lontong, Git. Nonton performanya minggu lalu, dia tidak melawak, tapi semua penonton ketawa mendengar apa yang dia ucapkan. Itulah komedi, dan dia pandai melakukannya.

Tinggalkan komentar