Boss, Nggak Usah Tahulah!

“Apa yang terjadi di dalam ruang praktek, tetaplah di dalam ruang praktek.”

Tetangga saya mengeluh beberapa hari yang lalu ke saya. Waktu itu dia kena flu, jadi dia berobat ke dokter. Dokternya melayaninya, menagihkan sekian puluh ribu rupiah, dan kasih kwitansi. Tetangga saya, karena peraturan di kantornya menyebutkan bahwa karyawan yang berobat ke dokter bisa minta ganti pembiayaan berobat ke kantor, mengklaimkan kwitansi itu ke bosnya. Lalu datanglah jawaban itu. Kwitansi tetangga saya nggak bisa diganti, coz di kwitansi itu nggak ada diagnosa penyakitnya.

Saya mengernyit. Semenjak kapan dokter harus nulis diagnosa penyakit di kwitansi? Memangnya kami ini ember bocor?
Saya tahu bahwa peraturan ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan memastikan semua pegawainya selalu dalam keadaan sehat wal afiat supaya kegiatan perusahaan berjalan lancar. Maka, kalau pegawainya sampek sakit, selayaknya perusahaan meringankan beban sakit pegawainya itu dengan membayari pegawainya berobat. Karena itu banyak perusahaan mewajibkan pegawainya ikutan asuransi kesehatan kerja (misalnya Jamsostek atau entah apa lagi), supaya beban sakitnya pegawai bisa ditanggung oleh asuransi. Protokol umumnya, pegawai pergi berobat ke dokter dengan membawa formulir asuransi. Nanti setelah berobat, dokter mengisi formulir itu dengan kasih tahu diagnosanya apa, dan apa aja obat yang dianjurkan. Jadi asuransi bisa tahu, mereka tuh bayarin asuransinya untuk beli obat apa aja.

Pada kasus yang menimpa tetangga saya, kantornya tetangga saya nggak ikutan asuransi kesehatan. Akibatnya dia nggak dikasih formulir asuransi, sehingga dokter nggak bisa nulis diagnosa apa dan terapi apa yang mesti ditanggung oleh kantor tetangga saya. Ujung-ujungnya, biaya berobat yang udah telanjur dikeluarin oleh tetangga saya nggak bisa diganti oleh kantornya.

Timbul pertanyaan, apakah bisa dokter nulis diagnosa di kwitansi dan resep pasiennya aja, supaya pasien alias pegawai bisa mengklaimkan kwitansi dan resep itu ke perusahaan?
Jawabannya, TIDAK.

Semua orang yang nggak pernah sekolah juga tahu, bahwa sakit adalah wilayah pribadi masing-masing orang. Dokter nggak boleh ngomong ke siapapun di luar ruang prakteknya, bahwa pasien si Siti sakit anu, atau pegawai si Polan sakit anu, termasuk ke bossnya si Siti atau si Polan. Jangankan ke bossnya, ke orang tuanya si pasien aja belum tentu boleh kecuali kalau si pasien dalam keadaan sekarat atau sakit jiwa. Itu sudah kode etik dokter yang berlaku di mana-mana. Dengan demikian, ngomong aja nggak boleh, apalagi menulis penyakitnya si pasien di resep atau kwitansi.

Kenapa dokter boleh nulis diagnosa di formulir asuransi? Simpelnya, asuransi kesehatan itu bagian dari kedokteran kerja. Kedokteran kerja sudah disahkan sebagai sistem kedokteran yang punya kode etik, sehingga dokter boleh nulis diagnosa si pasien di formulir asuransi.

Coba bayangin, seandainya pasien saya mengidap penyakit yang malu-maluin, misalnya cacar air. Pasien akan malu karena di mukanya ada bekas bopeng-bopeng. Karena itu saya sebagai dokter ya nggak boleh bilang-bilang ke orang lain bahwa dia sakit cacar air. Kalau sampek orang kantor pasiennya tahu, mungkin dia akan dijauhin karena dia dianggap berpenyakit menular, akibatnya akan mengganggu situasi psikologis di kantor itu sendiri. Ini baru contoh kecil. Gimana kalau pasien saya mengidap TBC? Atau panu? Atau epilepsi? Atau lebih jelek lagi, AIDS?

Jadi ya, jemaah Georgetterox yang pintar-pintar, kalau Sodara-sodara jadi boss, sebaiknya Sodara-sodara tahu bahwa Sodara-sodara nggak berhak menolak klaim pengobatan pegawai cuman gara-gara nggak tahu pegawai Sodara-sodara itu sakit apa. Sebaliknya, kalau Sodara-sodara dalam posisi karyawan, sebaiknya carilah pekerjaan yang memastikan bahwa asuransi kesehatan kerja Sodara-sodara itu ditanggung dengan protokol yang tegas. Biar semua sama-sama enak. Bossnya senang punya pegawai yang sehat, dan pegawai juga bisa bekerja dengan tenang dan nyaman..
Gambarnya diambil dari sini

32 comments

  1. BabyBeluga says:

    Dulu pernah tuh bokap accidently nyerepet pengendara motor. Motornya gga kenapa2 hy si pengendara aja ngotot katanya mau check up ke dokter. Meskipun dia gga luka, tapi yah udah deh daripada ribut. Gga taunya kwitansi demi kwintansi dari dokter dia submit ke bonyok untuk minta direimbursed. Untungnya bonyok kenal ama dokternya, gga kenal baik sih, cuman kenal aja gitu. Pas dikasih tunjuk tuh kwintansi untuk segala macem obat dan vitamin utk si pengendara motor tadi berikut istri. Alamak….. bener2 tuh orang, mencari kesempatan dalam kesempitan.

  2. depz says:

    ikutan share ya

    spt di bbrp ktr lain. di ktr gw, ada yg namanya form asuransi
    jadi kalo kita sakit, ya dokternya hrs nulis diagnosanya diform tsb
    yg jadi masalah spt misal wkt gw dinas ke luar kota. ga mgkn kan gw persiapan bawa2 tuh form di dompet gw. lagian sapa jga yg bs memprediksi kapan sakit.

    nah karna gw ngga bawa tuh form dan wkt itu gw sakit wkt d puncak, jadinya demi klaim asuransi kesehatan gw (yg lumayan nominalnya kalo ngga diganti itu), dokter tempat gw meriksa harus menuliskan diagnosanya di balik kwitansinya, selain copy resep

    kalo memang secara kode etik ngga boleh, harusnya pihak asuransi pun udah ngerti dan ngga ngewajibin nulis diagnosa2 spt itu walopun u/ klaim asuransi. jadi dokter, karyawan dan pihak asuransi bisa sama2 ngga dirugikan.

  3. moga ntar bsa jadi boss yg baek 😀
    (amiin)

    klo memang kayag gitu ya g boleh juga.
    tpi mungkin bossna juga menghindari kemingkinan terburuk,
    sperti pnipuan (mungkin)

    #################################
    Mohon dukungannya atas event blog yang sedang saya ikuti..
    Mohon dibantu dengan mengklik “recomend facebook” dan mengcomment artikel saya
    Thanks ya semua

    mari kita menjadi pengguna IT yang sadar akan lingkugan
    “green computing to save our earth”

    >>> http://www.greand.co.cc <<<<
    #################################

  4. mr. sectiocadaveris says:

    jadi dokter sekarang serba salah ya dok… ngga ngasih informed consent bisa dituntut, lha ini ngga nulis diagnosa (utk disiarkan) malah dianggap salah.

  5. niee says:

    Haduh,,, aneh banget yak bosnya minta nulis diagnosanya di kwintansi, klo penyakitnya ringan ya biasa2 aja deh, klo berat kan jadinya aneh..

  6. nilola24 says:

    Mbak, kantor aku juga ikut asuransi, tapi untuk ke dokter spesialis (bukan inap), kita harus meminta dokter menuliskan diagnosa di kwitansi, soalnya ga ada form khusus (itu juga yang di ajarkan oleh pihak asuransi saat meeting di kantor). JAdi nanti kwitansinya di berikan ke HRD untuk di teruskan ke pihak asuransi. Ya otomatis semua penyakit, bisa di baca HRD. Cuma kan kadang2 bahasa diagnosa itu istilah kedokteran yang ga semua orang tau.

    Kecuali untuk rawat inap…nah..baru lengkap deh tuh formnya. Heheheh..

  7. Pak Joko, soal profesor itu, Pak Joko sudah nulis berkali-kali di blog saya.

    Memang dokter nggak sebaiknya nulis diagnosa di kwitansi. Makanya kalau Pak Joko berobat ke dokter praktek swasta, mendingan Pak Joko bawa formulir asuransi, coz nggak semua dokter praktek swasta bekerja sama dengan asuransi.

    Mas Sugeng dan Richardo, memang harusnya hanya nama obatnya yang tercantum. Bukan nama penyakitnya.

  8. Sugeng says:

    Kalau di tempat kerja ku cuma diminta mencantumkan obat apa saja yang diberikan. Cuma itu, jadi wilayah privacy karyawan tidak terusik.

    Salam hangat serta jabat erat selalu dari Tabanan

  9. Jadi ingat pengalaman saya, Mbak Vicky. Saya pernah menghadapi seorang Dokter sepuh yang sudah Profesor di RS swasta Jogja. Dia keberatan waktu saya mintai diagnosa. Saya diceramahi panjang lebar kalau diagnosa itu rahasia medis jadi pasien tak boleh atau berhak tahu diagnosanya. Gitu katanya. Karena jika dia sampai salah tulis diagnosa efeknya sungguh berat. Dia bisa dituntut ratusan juta ke pengadilan, itu katanya.

    Weleh-weleh gimana saya mau nuntut, lha wong bahasanya (diagnosa) saya ndak ngerti. Batin saya menggerutu. Ini permintaan pihak asuransi saya, Dok. Bukan saya yang minta.

    Kalau diagnosa ditulis di kwitansi saya juga pernah beberapa kali. Ini kalau berobat ke dokter praktek, bukan ke RS. Karena saya tak bawa form asuransinya. Kalau di RS biasanya form pihak RS sudah menyediakannya jadi diagnosa akan ditulis di form asuransinya.

  10. Oh iya, kadang-kadang dulu gw suka ditegor orang administrasi, gara-gara sering salah nulisin formulir asuransi. Katanya gw bisa buang-buang formulir, hihihi.. Padahal kan tinggal fotokopi lagi, hahaha..

    *dasar nggak go green*

  11. Pitshu says:

    cuma dibalik itu kadang mintak form ama HR na susah :), atau klo udah mintak ga jadi berobat ke dokter dimarahin juga ama si HR buang2 form, soalnya biasanya form na udah jadi tatakan gorengan wakakaka ^^

  12. Mbak Tia, di rumah sakit tempatku magang dulu, kami pernah dapet pasien TB bonus HIV. Sulit sekali buat kami menulis diagnosa di formulir asuransinya, coz kalau sampek perusahaan tempat kerjanya tahu pasien ini ngidap HIV, dia bisa dipecat. Tahu sendiri stigma HIV seperti apa. Di sinilah aku sadar bahwa memberitahukan diagnosa seseorang itu tidak boleh sembarangan.
    Solusi: Akhirnya kami cuma menulis TB-nya saja, toh obat HIV kan gratis, jadi perusahaan yang menanggung asuransi dia kan nggak perlu tahu. Tapi bagaimana jika masalah ini terjadi pada orang lain?

    Aku juga udah sering nulisin formulir asuransi yang berlembar-lembar itu. Pasien yang baru pertama kali berobat, seringkali nggak tahu bahwa dia harus bawa formulir tetek bengek segala macam jika dia ingin ditanggung kantor. Blog ini aku tulis untuk para buruh dan pekerja supaya mereka tahu akan hak kesehatan kerjanya, dan bagaimana kiatnya supaya hak mereka tidak sampai terlanggar cuma gara-gara mereka nggak tahu seni ribetnya penanggungan biaya pengobatan karyawan itu.

  13. Hai Vicky, makasih kunjungannya yah.. tp kmrn kayaknya kamu gak pake blogspot, kayaknya wordpress yah…

    anyway, emang kadang utk nulis d/ dokter biasanya keberatan, krn bertentangan dgn kode etik.. tapi dilain pihak, rumit juga, karena aku pun dulu pernah kerja diasuransi yang memang harus jelas diagnosanya..

    Aku jg pernah dpt pasien yang udah pulang, lalu balik lagi demi meminta aku isi form asuransi yg berlembar2 itu… ya kasian jg klo gak dikabulkan, berarti asuransi nggak bisa gantiin uang berobatnya…

    lagipula d/ gigi nggak ada yg malu2in spt d/ dr umum sih, jd aku gak pernah ngalamin dilema,.. dan mungkin balikin lagi ke pasiennya… setelah dijelaskan ttg kode etik tentunya…

  14. Sebenarnya, dengan melampirkan surat keterangan dari dokter yang merawat karyawan itu, perusahaan nggak perlu takut dikibulin karyawan. Toh, di surat dokter itu ada alamatnya, ada nomer telepon dokternya. Selain itu, pada kwitansi, juga sudah tercantum uang pembiayaan berobat yang ditagihkan dokter kepada karyawan itu. Resep boleh difotokopi, jadi perusahaan bisa tahu obat apa aja yang dianjurkan dokter untuk kesembuhan karyawannya. Sudah, selesai. Ya nggak perlu diagnosanya lagi toh?

  15. ihh gw belum pernah sih dapat sistem yang sakit langsung di tanggaung prusahaan. tapi bener juga yah kalo mau di tanngung perusahaan, gimana caranya perusahaan tau ini sakit beneran. yah gimana caranya perusahaan tau paryawan ngak ngibul. ada ide ngak?? ato lebih baik gini aja. di cantumin harga dokter dan harga obat aja. tapi ngak di kasi tau itu obat apa. trus kalo mau tanya lebih lanjut, cantumin aja telpon call centre dokter nya.

  16. Rawins says:

    kantor emang suka ribet
    padahal dia juga ga mudeng
    kasih asuransi juga suka ngaco
    seperti aku dikasih jamsostek
    kalo sakit harus ke klinik pmi jogja
    trus ongkos kalteng – jogja
    sapa yang nanggung..?

  17. Iya Julie, praktek nulis salinan resep di balik kwitansi itu dibenarkan. Karena itu untuk mengetahui alokasi obat apa aja yang digunakan oleh pembayaran dari kantornya kan?

    Boleh juga dokter kasih surat keterangan bahwa karyawan itu berobat ke dia. Tapi yang jelas, karyawan sebagai pasien berhak minta penyakitnya dirahasiakan. Dan kantor nggak berhak mengetahui diagnosa yang dialami karyawannya dong, jadi ya nggak boleh itu dokter nulis diagnosa di kwitansi tanpa ijin karyawan.

  18. IbuDini says:

    Kalau saya berobat di tanggung perusahaan tetapi terkadang saya juga berobat diluar yang mengharuskan perusahaan mengklaim uang berobat saya.
    Dan saya akan minta surat keterangan dari dokter yang bersangkutan agar biaya pribadi bisa di klaim oleh kantor.

  19. julie says:

    biasanye neh vick, kalo ngeklem medical mereka suka minta ditulisin salinan resep dari dokter di balik kuitansi dan mnrt gw blm ada tuh yang minta ditulis diagnosa dokter
    aneh juga tuh perusahaan

  20. Mbak Ria, Gaphe, nggak apa-apa sih kalau pasiennya ngijinin diagnosanya ditulis di kwitansi. Tapi gimana kalau diagnosanya kutu air kayak Odri? Dokternya kudu nulis diagnosanya juga nggak di kwitansi? Kan kesiyan, semua orang yang nggak mesti tahu penyakitnya jadi tahu gara-gara baca di kwitansi bahwa karyawannya ngidap kutu air?

    Raja, ini bukan masalah apakah perusahaan mau ngalah atau dokter yang harus ngalah. Ini lebih terkait tentang hak seseorang untuk merahasiakan penyakitnya. Dokter memperhatikan hak pasien itu, itu sebabnya dokter nggak boleh dipaksa menulis diagnosa pasien di kwitansi. Dan perusahaan nggak boleh memaksakan mengetahui penyakit karyawannya dong.

  21. ReBorn says:

    kalo perusahaan ga mau ngalah, ya ga masalah juga menurut gue dokternya yang ngalah. soalnya kalo ga ada yang mau ngalah ya kasian ke karyawannya juga sih…

  22. Odrii says:

    Wah, harus nulis diagnosa di kuitansi? *alis naik semua*

    kalo aku sih selama ini resep yang harus di tulis di kuitansi, Von. Kalo harus ditulis diagnosa, ketahuan dong kalo aku kutu air-an? 😛

  23. Gaphe says:

    eh, tapi emang di asuransi kan kalo sistemnya reimburse kayak gitu Vick. Kan ada juga dokter yang nggak ada hubungan sama pihakk asuransi.

    lagian kalo pasiennya yang minta nulis kan nggak apa-apa to, toh dia yang butuh buat direimburse kan?

  24. Arman says:

    eh iya di kantor gua yang dulu juga gitu lho mesti nulis diagnosa di kuitansi. hihihihi. tapi biasanya dokternya mau2 aja tuh disuruh nulis… 😀

Tinggalkan komentar