Cinta Bunda Seperti Penjara

Sewaktu kita jadi murid TK, kita dicekoki lagu “Kasih ibu kepada beta.. tak terhingga sepanjang masa.. bagai sang surya menyinari dunia..” dan kita semua percaya doktrinasi itu, mungkin sampai sekarang. Tapi sewaktu umur 15 tahun, gw dipaksa berhenti percaya itu, gara-gara gw baca berita di koran bahwa seorang ibu tega membunuh anak kandungnya sendiri yang berumur balita. Lepas dari kemungkinan bahwa si ibu itu sakit jiwa, berita itu cukup mengguncangkan gw karena gw terpaksa berpikir bahwa doktrin kasih ibu sepanjang jalan itu mungkin nggak absolut.

I was 15. Dan waktu itu tidak ada yang bisa gw ajak bicara tentang hal itu.

***

Sepupu gw mengeluh ke gw. Dos-q bilang ke gw bahwa dos-q ingin kembali ke “jalan yang benar”. Maksudnya dos-q kepingin kerja jadi insinyur di ladang, coz memang latar kuliahnya memang dari jurusan itu. Bukannya dos-q nggak suka kerjaannya yang sekarang (saat ini dos-q kerja di perusahaan pelapis ubin), hanya saja bidang itu bukan yang dos-q sukai.

Seorang temannya telah menawarinya pekerjaan di ladang minyak. Gaji oke, fasilitas oke. Posisinya di Cali. Tidak usah lama-lama di sana, toh setelah 2-3 tahun dos-q bisa dipromosikan buat pindah ke Jakarta untuk jenjang karier yang lebih tinggi. Sepupu gw suka lowongan itu, dan sebenarnya yang tinggal perlu dilakukannya hanyalah angkat koper. Tetapi dos-q nggak bisa pergi. Coz, nyokapnya nggak mengijinkannya pergi.

Bude gw itu sudah lansia, usianya sekitar 65-an. Sepupu gw itu disayang banget sama bude gw, soalnya sepupu gw itu anak laki-laki, bungsu pula. Masih ada ketiga anaknya yang lain yang tinggal di Jakarta itu juga, tapi sepupu gw yang paling sering dicariin bude gw. Malah yang suka bikin gw geli, bude gw itu suka nggak mau tidur kalau belum ngelonin sepupu gw. Demi Tuhan, batin gw. Sepupu gw itu umurnya sudah 30 tahun. Dan dos-q mulai bosen dikeloni.

Sebagai adek yang baik, maka gw pun berkata, “Pergi aja. Mas mau bahagia apa enggak? Kalo Mas lebih bahagia di ladang minyak itu, pergilah. 2-3 tahun apa bedanya? Aku dulu juga di Cali setahun, nggak ada rasanya (kelamaan) kok.”

Lalu kata sepupu gw, dos-q nggak bisa pergi kalau nggak ada restu bunda. Gw mendengus pasrah. Gw kadang-kadang bingung kenapa anak begitu sulit menentukan jalan hidupnya sendiri. Padahal dia sudah mengajukan proposal yang tepat kepada orangtuanya, bahwa di tempat perantauan nanti, dia nggak akan kekurangan tempat tinggal dan akan sehat-sehat saja. Tapi orang tua begitu sulit mempercayai bahwa anaknya itu akan baik-baik saja tanpa pengawasan mereka. Padahal waktu usia 25 seharusnya anak sudah pantas keluar dari rumah orang tua mereka.

Memang ibunda boleh saja punya banyak alasan. Mungkin takut nanti anaknya sakit atau jadi buang-buang duit. Kata nyokap gw, laki-laki itu kalau nggak ada perempuannya (entah itu ibunya atau kekasihnya) pasti boros. Contoh kecil, kalau perempuan berhadapan dengan lombok, perempuan bisa mengulek lombok itu menjadi bumbu. Tapi kalau laki-laki, mereka akan buang lombok itu ke tempat sampah coz dianggapnya nggak berguna.

Dilihat dari sudut manapun, tinggal di Jakarta lebih enak daripada tinggal di Cali. Jakarta itu sumber uang dan sumber hiburan yang nggak pernah habis. Bandingkan dengan Cali yang isinya hutan dan teluk melulu. Sudah nyaman kan tinggal di Jakarta, kenapa harus pergi?

Tapi orang tua sering lupa, bahwa “zona nyaman” itu kadang-kadang bisa menghambat perkembangan anak-anak. Kita terpenjara di dalam kenyamanan, dan kita nggak tahu lagi rasanya kesulitan. Dampaknya, wawasan kita mengenai hidup jadi sempit. Gimana caranya kita tahu bahwa ada hidup yang lebih enak daripada hidup kita sekarang, kalau kita nggak pernah merasakan hidup yang lebih susah?

Lalu gw merenung. Apakah gw dan sepupu gw berpikir lebih baik pergi dari rumah bonyok karena kita masih anak-anak dan belum merasakan susahnya jadi orang tua? Mungkin kita yang belum merasakan kekuatiran mereka melepaskan anaknya pergi jauh? Ingat dulu bagaimana gw pergi dari Bandung buat merantau ke Cali selama setahun, dan gw berjingkrak-jingkrak di bandara sementara nyokap gw nangis karena takut gw kenapa-kenapa.

Tapi kalau kita nggak pernah jatuh, kita nggak akan pernah belajar. Dan mungkin, supaya anak rada pinteran dikit, orang tua yang harus rela melepaskan anak mereka.

Orang tua harus belajar memercayai kemampuan anak mereka. Coz, jika mereka nggak bisa memercayai darah daging didikan mereka sendiri, berarti akan susah buat para orang tua untuk memercayai diri mereka sendiri.

Gambar patungnya ngambil dari sini

20 comments

  1. Bang Ode, ambil aja dampak positifnya. Setidaknya kalau Abang nanti menikah, Abang nggak usah beli rumah lagi. Lengkap dengan konsekuensi dibilang dependennya, wkwkwkwk..

    Jessie, kalo nanti Jessie nggak bisa lepasin Vinn, sebaiknya siapin rumah yang cukup besar buat ditinggalin oleh Jessie + suami, + Vinn + istrinya + anak-anaknya, heheheheh..

  2. jc says:

    Iyah bener! Tapi tergantung anaknya juga sih.. Semoga ntar kalo vinn udah gede aku ga kedemenan ngelonin vinn terus ye..! *fingers crossed*

    comment-ku ga panjang kan? hehehe

  3. Wew..antara Bang Ode dan Aron beda jauh, hehehe..

    Mosok Bekasi-Jakarta aja nggak boleh ngekost sih? Bukannya kita pusing ngurusin ongkos bensin yah, tapi kan jadi buang waktu di jalan?

    Saya malah ngiri sama Aron. Merantau bikin mental kita jadi kuat, dan saya yakin Aron pasti bisa "ditaruh" di mana aja. Dulu saya sampek bilang sama ibu saya, bahwa kalau saya berani pergi dari rumah, saya akan bisa hidup dalam kondisi sesulit apapun..

  4. heheheh….
    saya termasuk beruntung…
    di umur 13 tahun dah merantau dari kampung di sumut sana ke sby…

    waktu berangkatnya, iya sih orangtua (ibu) saya nangis sesenggukan, tapi pada akhirnya khan tangis bahagia juga yg diterimanya ketika saya pulkam kemaren…

    hehehe

  5. masih mending mba, itu kan ke Cali yang jauh…Lah saya, mau nge-kost aja ga boleh sama Bapak, padahal cuma Bekasi-Jakarta *sigh

    Kalau udah kaya gitu, sepertinya karena Orang Tua belum melihat kita sebagai orang yang sudah dewasa, di mata mereka kita ini akan selalu jadi anak kecil yang butuh mereka…

  6. Bujubunee..baru ditinggal sejam aja komentar langsung membludak..

    Mbak Lili, wah..makasih banget udah berbagi ceritanya yah. Kok mendadak gw jadi kesiyan banget denger Mbak Lili kudu di-copilot-in segala. Nggak tengsin ya sama supirnya? 😀

    Ternyata orang tua juga punya konflik dengan dirinya sendiri ya? Pada beberapa orang tua, membiarkan anak mereka terbang sendiri ternyata jadi kesulitan besar. Bukan kesulitan terbangnya, tapi kesulitan "membiarkan"-nya.

    P.S. Nggak pa-pa komentarnya kepanjangan. Penonton-penonton gw memang hobinya komentar panjang-panjang. 😀

    Depp, nggak punya nyokap overprotektif adalah rejeki yang mesti disyukuri. Ribuan bujang bungsu mengimpikan ada di keadaan lu seperti ini.

    Pak Ari, nampaknya kuncinya ya ada di tangan yang merentangkan busur itu. Kalau pemilik tangan merasa dia bisa merentangkan tali busur dengan tepat (bukan kuat), dia nggak perlu takut anak panahnya melesat ke tempat yang nggak diinginkan.

    Wijna, perasaan orang tua jarang banget logisnya. Saya sendiri perlu bertahun-tahun untuk memahami perasaan orang tua saya.

    Jazz, Cali itu plesetanku terhadap Kalimantan. Bacanya bukan Ca-Li, tapi Ka-Li. (Hahaha..)

    Asalnya Jazz di Blitar kan? (Atau Kediri? Maaf aku lupa..) Gampang melepas Jazz buat ke asrama di Jakarta, coz mungkin fasilitas pendidikan di Jakarta lebih baik. Kalo budeku sih takut melepas putranya ke Kalimantan, soalnya dipikirnya Kalimantan tuh "middle of nowhere" gitu. Padahal perasaan sih nggak juga ah..

    Ines, ente kan cewek. Sudah kebiasaan kita kalau cewek selalu dikungkung..

    Ayu, kedengerannya neneknya Ayu mirip tuh sama nenek saya. Nenek saya juga nggak bisa tidur kalau putranya yang bungsu belum masuk kamar nenek saya. Padahal paman saya itu udah punya anak, mestinya kan dos-q ngelonin istrinya, bukan ngelonin ibunya dong? Akibatnya istrinya paman saya itu pun terpaksa tidur bertiga, ya bareng paman saya, ya bareng nenek saya juga. Ck ck ck..

    Mbak Fanny, gimana yah kalau adeknya Mbak Fanny itu nggak mau nerusin usaha papanya Mbak? Mosok mau dipaksakan?

  7. hmm.ini spt bokap ku nih. gak rela lepasin adikku yg cowok wkt mo married. tapi akhirnya harus rela juga dg sangat terpaksa. alasannya ; dia masih ingin adikku itu nerusin usahanya. padahal adikku itu udah punya gawe sesuai dg bidangnya.

  8. Itik Bali says:

    Gimana ya mbak,
    kalo menurut saya sih sangat wajar bila seorang ibu bersikap demikian
    bukan semata karena takut anaknya kenapa kenapa tapi sebenernya hidupnya sendiri amat tergantung pada putranya.

    Beliau gak bisa makan, gak bisa tidur kalo ngga ada putra atau putri yang menemaninya
    agak lebay memang
    tapi beberapa Ibu memang demikian
    contohnya gak usah jauh-jauh
    nenek saya tuh..

  9. wah yang satu ini memang berat teh

    tapi karena aku udah biasa hidup di asrama, jadi sudah biasa, baik dari aku sendiri, juga dari ortuku.

    oya teh Cali itu dimana ya? hehe ini kuper aku, penasaran aja..

    aku pernah baca cerita negeri lima menara. di sana diceritain kalau mau sukses ya sebaiknya merantau…

    katanya intan itu g akan mahal kalau cuma 'ndekem' di kalimantan….

    gitu kan ya…

    sip2

  10. mawi wijna says:

    katanya itu salah satu bentuk dari kekhawatiran orang tua, ah entahlah yang semacam itu tak bisa dinalar dengan logika, lebih ke perasaan semata.

  11. Ari says:

    ortu mana sih yg tidak khawatir pisah jauh dengan anaknya. itu wajar. Tapi yg hrs dipikirkan adalah masa depan anak. Anak = anak panah, ortu = busur panah, tangan kuat yg merentangkan busur adalah tangan-NYA. Jika sang busur percaya kepada TANGAN yang merentangkannya, tentunya dia tidak usah khawatir kemana arah anak panah itu pergi. (just my opinion 🙂 )

  12. depz says:

    ahh untung nyokap gw ngga overprotectif
    walo gw jga bungsu, manja gila dulu sampe kuliah

    tapi diumur 20 doi ikhlas melepas gw merantau sampe ke lombok sendirian dimana ga ada sodara ato pun relasi kolega disini

    namanya aja OVERprotectif
    yg over over ga pernah bagus kayaknya

  13. Serem liat judulnya, Vick 🙂
    Tp emang sedikit banyak perumpamaannya 'ngena' kok.

    Dulu gue jg gitu. Lain dgn ceritanya Arman. Di keluarga, gue mah 'bukan siapa2'. Bkn siapa2 disini maksudnya bkn anak sulung, bkn anak bungsu, bkn satu2nya anak cewek. Gue 'cuma' anak tengah.

    Mestinya dgn 'status tidak istimewa itu' aturan buat gue agak2 longgar dong yah. Kagak..

    Waktu lulus2an SMA, perpisahan sekolah gue ke Bali. Nyokap gue memberlakukan sistim 'wajib lapor'. Jd setiba gue di Bali, gue kudu lapor ke kepala cabang kantor nyokap gue di Bali. Hanya utk menginformasikan bhw 'gue baik2 saja' (jgn ngebayangin kayak skrg yg pemantauan dah bisa dilakukan lwt tekhnologi.. jmn gue dulu, HP aja blm ada.. ha222 ketauan umur dah)

    Belom lagi cerita konyol lainnya. Pas gue udah kerja, di konsultan yg pergi pagi pulang pagi adlh hal biasa, gue wajib pake sopir. Bukan… bukannya gue dianter jemput pake sopir lho.

    Gue yg udah ngantongin SIM dr 5 thn sblmnya,ngotot bawa mobil sendiri. Tapi krn nyokap gue 'parno' bin 'worry' jadinya pas dah dekat2 jam gue pulang, tuh sopir di drop oleh bokap gue ke kantor gue, n dia harus mendampingi gue nyopir di sebelah gue. Kayak co-pilot gitu.
    Uaneeh kan? Alesannya, takut gue ngantuk, jadi mesti didampingi. Alesan lainnya, keinginan gue utk bw mobil sendiri sdh diijinkan, jd gak ada alesan nolak sistem co-pilot ini.

    Tapi…. sejalan dgn waktu, gue paham knp nyokap gue segitu khawatirnya. Semua itu krn beliau sendiri butuh suatu proses. Sama spt seorang anak perlu proses utk menjadi dewasa,ortu jg perlu proses utk memberikan kepercayaan kpd anak2nya.

    Dalam kasus nyokap gue, 1 yg gue selalu pegang. Gue kagak pernah mau bohongin nyokap gue. Jd kagak pernah gue main petak umpet bilang ke sini pdhl mau ke sana. Yah.. walopun konsekwensinya yah gitu, siap2 terima 'penjara' itu. Tp gue berharap, dgn nyokap liat gue bisa dipercaya, gue bertanggung jawab atas apa yg gue buat, sedikit demi sedikit belenggunya terurai.

    Kalo sampe akhirnya skrg nyokap juga tetap menunjukkan tanda2 khawatir berlebihan, gue anggap itu sbg tanda ungkapan cintanya, yg harus disikapi dewasa.

    Dewasa di sini, harus ditunjukkan dengan kepala dingin, jiwa besar dan lapang dada. Ada saatnya kita sebagai anak hrs 'ngotot'. Ada saatnya kita jg lebih mau mendengar.

    Dlm kasus sepupu elo, gue pikir, kalo sepupu elo jg gak bisa menunjukkan bahwa dia 'siap' utk memperjuangkan masa depannya, mgkn kekhawatiran nyokapnya utk tidak melepasnya adalah tidak berlebihan.
    Mgkn dlm diri sepupu elo jg msh ada keraguan (secuil apapun) utk pergi ke Cali itu, shg dia jg gak mau ngotot.
    Hanya dia yg tau..Hanya dia yg bisa menentukan apa yg dia mau.. Tinggal dikemas dengan cara yg saling tidak menyakitkan. Good luck, semoga dia bisa memperjuangkan masa depannya dengan tetap 'dibungkus' oleh cinta bunda.

    PS : Saat ini kadang gue merindukan 'penjara' dari ortu gue, terutama bokap yg udah gak ada. Krn dgn adanya 'penjara' itu, kita tau kita diajar dan diayomi. (Itu bkn sih tujuannya penjara ??? 🙂 )

    PS lagi : sorry commentnya kepanjangan.. lebih pnjg dr postingannya gak?

  14. Anak sulung bude gw itu meninggal sekitar umur 33 tahun. Penyebabnya sangat nggak keren: Demam berdarah. Makanya bude gw sangat takut kehilangan anaknya yang lain, apalagi di Cali kan nggak ada perempuan yang ngurusin.

    Memang pisah sama bonyok itu berat banget, tapi kita nggak bisa terus-menerus di ketiak bonyok selamanya. Suatu saat kita mesti ngepakin sayap sendiri (ceilee..serasa burung aja). Dan kedua pihak mesti sadar itu, ya anaknya, ya orangtuanya.

    Yah, kesiyan juga gw. Mudah-mudahan nanti kalo anak-anak gw gede, gw cukup dewasa untuk membiarkan mereka mandiri.

  15. Arman says:

    kadang emang cinta itu jadi salah arah menjadi overprotektif ya…

    gile aja orang udah umur 30 th masih dikelonin tidurnya ama si mama? hahaha. yang bener aje… 😛

    gua juga deket banget ama nyokap. yah gua juga bungsu kan. dan dari kecil seperti 'tak terpisahkan' ama nyokap. dimana ada nyokap, disitu ada gua. gua sampe disebut 'buntut nyokap' ama semua sodara2 nyokap. soalnya gua tuh ngintilin terus kemanapun nyokap pergi. hehehe.

    gua pun gak pernah tinggal pisah dari ortu gua. sampe gua married di umur 27th. pas setelah married pun gua tinggal pisah tapi rumahnya deket banget. jadi hampir setiap hari bokap nyokap pasti dateng ke rumah gua. hahaha.

    sampe gua umur 30 th dan gua akan pindah ke cali. sama kayak sodara lu ya.. malah gua pindah nya ke cali yang lebih jauh lagi. tadinya gua takut juga kalo bokap nyokap gua akan ngelarang kita pindah. ternyata enggak lho. bokap nyokap gua malah mendukung. gua bersyukur banget punya bokap nyokap yang selalu supportive ke anak2nya. 😀

    berat banget emang tinggal jauh dari orang tua. gitu juga gua yakin itu berat banget buat ortu gua (selain gua bungsu, waktu itu si andrew cucu satu2nya pula… hehe), tapi ya demi masa depan anak, harusnya emang orang tua mengijinkan ya… dan merestui.

    emang harusnya kita si anak, yang udah dewasa, direstui maupun gak direstui, keputusan ada di tangan kita. harusnya kita bisa dan berhak untuk pergi kemanapun yang kita mau yang menurut kita adalah yang terbaik.

    tapi tetep kalo emang keputusan kita itu dapet restu dari ortu akan lebih enak. kita ngejalaninnya pun lebih tenang, gak terbeban gitu, dan gak merasa bersalah karena 'membangkang'.

    jadi ya menurut gua tante lu harusnya gak boleh gitu ya. melarang anaknya untuk mencoba merantau demi masa depan yang lebih baik. coba diomong2in lagi aja… siapa tau bisa ngertiin. walaupun emang ada ya orang yang keras kepala. hehehe.

    moga2 ntar gua pas udah tua gak jadi overprotektif ke anak2 gua… 😀

Tinggalkan komentar