Dampak Negatif Internet: Gunung Es Bernama Cyber Bullying

Dampak negatif internet bagi pelajar yang masih kinyis-kinyis semakin menyengat dalam tahun-tahun terakhir. Kasus cyber bullying alias anak-anak yang dipermalukan di media internet semakin banyak terdengar di Indonesia dan sukses bikin para anak depresi, menolak masuk sekolah, sampai gantung diri. Ketimbang parno menyembunyikan gadget-gadget dari anak, para orang tua diajakin buat menangkal cyber bullying dan bermacam-macam dampak negatif internet lainnya dengan tips-tips dari kampanye internet sehat.

Anak Indonesia dan Internet

Dari sekian total jumlah penduduk Indonesia, sudah ada 34,9% penduduk yang bisa mengakses internet. Sekitar 49% dari mereka ternyata masih berusia di bawah 19 tahun. Rerata populasi di bawah umur ini menghabiskan sekitar dua jam 51 menit sehari untuk main internet. Thanks to banyaknya pedagang smartphone yang berjualan di Indonesia, 85% rakyat negeri ini sudah main internet via gadget, yang jelas jauh lebih praktis ketimbang buka PC. Perhatikan bahwa saya menulis kata main internet dengan huruf italic, karena 87% dari aktivitas mereka di internet baru sebatas bermain di wilayah social media. Memang ada sekitar 59% yang membaca berita online, tetapi hanya segelintir yang mengunggah konten-konten positif. (Contoh saya tentang konten positif itu misalnya video proyek memberi makan kelinci di sekolah. Atau tulisan tentang cara menangkap belut di sawah. Konten tentang hal-hal cetek gitu deh, yang merangsang perkembangan kognitif, hahahaha..pokoknya jelas bukan konten tentang bocah-bocah ingusan yang foto wefie dengan pose mulut bebek).

Sebetulnya nggak heran kalau melihat anak-anak di Indonesia makin banyak yang main internet. Karena aktivitas sekolah mereka sehari-hari pun sekarang nggak jauh-jauh juga dari internet. Apakah karena sekarang kurikulum sekolahnya makin ruwet, sehingga sekitar 89% guru pun sudah menganjurkan muridnya untuk cari jawaban untuk PR sekolah masing-masing di internet.

Tetapi bahwa akhirnya anak yang semula disuruh nyari jawaban PR di internet itu malah belok ke situs-situs yang melenceng ke arah hal-hal negatif, menimbulkan masalah baru. Problem yang saat ini masih paling sering didengungkan adalah anak-anak yang kecanduan internet, terutama kecanduan game online. Problem lainnya adalah anak-anak yang ramai-ramai nonton konten negatif di internet, seperti film bokep, judi online, dan animasi bertema kekerasan. Kalau menurut sebuah non-government organization, ICT Watch, kecanduan dan konten negatif hanyalah sebuah gunung es. Tapi di dasar gunung es itu masih ada problem lainnya yang jauh lebih banyak, dan problem-problem itu bernama pedofil online, pelanggaran privacy, dan cyber bullying.

Dampak Negatif Internet bagi Pelajar Kanak-kanak

Kasus bullying, contohnya. Tiap bulan kayaknya ada saja figur beken yang dijelek-jelekkan ramai-ramai di internet, tinggal mengganti nama objeknya. Syahrini dan Ahok jelas korban bullying langganan tetap. Tapi tentu kita ingat nama-nama bocah di bawah umur macam Dinda dan Sonya Depari yang dihujat gila-gilaan di seluruh media sosial Indonesia gara-gara bocah-bocah ini ngamuk kepada ibu hamil yang menyerobot tempat di kereta api dan ngamuk kepada polisi yang menilang sewaktu konvoi kelulusan sekolah. Tindakan bullying yang spesifik terjadi pada anak-anak di bawah umur ini, istilahnya adalah cyber bullying, istilah baru yang jelas nggak ada waktu saya (dan Anda, mungkin) masih kuliah dulu.

Pelanggaran privacy adalah contoh yang lebih sering lagi. Anak difoto sembarangan, lalu fotonya diunggah ke internet. Kok ya kebetulan pose foto anak ini nggak secihuy fotonya Harper Beckham, sehingga pose si anak malah diledek habis-habisan oleh seluruh dunia. Efeknya termasuk diledek oleh teman-teman sekolahnya sendiri. Padahal siapa coba yang ngupload fotonya yang lagi menguap lebar-lebar itu? Orang lewat yang iseng? Atau temannya? Atau malah jangan-jangan orang tuanya sendiri? (Dan itu membuat saya terpaksa membongkar blog saya lagi, jangan-jangan saya pernah memotret anak orang tanpa izin dan mengunggahnya ke blog saya).

Kasus pedofil online ternyata juga makin kentara. Dalam hal ini korbannya adalah anak-anak yang senang chatting sembarangan dengan orang yang nggak dia kenal. Orang ini secara licik membujuk si anak untuk upload foto-foto pribadi si anak, termasuk hal-hal pribadi macam alat kelamin. Lalu diam-diam si pedofil ngupload foto-foto nggak senonoh dari si anak ini di internet, termasuk ditunjukkan ke orang-orang yang dikenal baik oleh si anak (misalnya orangtuanya atau teman-temannya). Akibatnya si anak sontak jadi malu dan mengisolasi diri dari dunia. Yang merepotkan, pedofil online ternyata punya jaringan internasional. Sebagian pedofil bahkan tega memperjualbelikan foto-foto alat kelamin sang korban anak itu ke jaringan perdagangan pornografi.

Diskusi Ngabubur-IT oleh ICT Watch di Surabaya

Kasus pedofil online yang saya sebutkan itu santer terjadi di Surabaya dua tahun lalu dan tersangkanya, Tjandra Adi Gunawan,ย cuma dihukum empat tahun penjara. ICT Watch, sebuah NGO yang konsen mengurusi isu penggunaan internet secara positif, memperhatikan serius kasus pedofil online ini, plus kasus cyber bullying yang makin marak dalam dua tahun terakhir, dan juga kasus-kasus dampak negatif internet lainnya yang mengorbankan anak-anak di Indonesia. Karena dipicu ulahnya si Gunawan ini, makanya ICT Watch akhirnya memutuskan buat mendapuk isu dampak negatif internet ini sebagai tema utama untuk program roadshow tahunan mereka tahun ini, termasuk acara roadshow mereka di Surabaya. Acara yang ditajuk dengan nama Ngabubur-IT : Pentingnya Literasi Digitalย ini digelar di Mahameru Restaurant sore tadi, dengan mengundang sekitar 75 orang dari kalangan komunitas-komunitas di Surabaya.

Acep Syaripudin (@ace_pentura), Program Officer-nya ICT Watch, bicara di acara diskusi ini, bahwa ada beberapa hal yang mesti diobrolkan oleh orang tua dan anak tentang penggunaan internet supaya cara mengatasi dampak negatif internet ini berhasil. Satu, orang tua sebaiknya berdiskusi dengan anak tentang mengapa mereka butuh gadget, tanpa mesti takut anak akan ketinggalan jaman kalau nggak pegang gadget.ย  Dua, orang tua mesti bertanggungjawab terhadap penggunaan gadget oleh anak dan anak juga mesti paham kenapa orang tua mesti tahu apa-apa yang dilakukan orang tua untuk mengecek gadget mereka. Tiga, orang tua juga mesti memberi tahu risiko dampak negatif yang timbul dari internet, semacam kecanduan, konten negatif, pelanggaran privacy, pedofil online, dan cyber bullying tadi, kepada anak, supaya anak bisa memberi tahu orang tua jika mereka sampai terekspos dampak-dampak itu. Termasuk mengajari anak supaya nggak bagi-bagi password social media mereka sembarangan, terutama ke teman-teman mereka sendiri.

(Dan itu membuat saya terheran-heran, memangnya batas usia minimal untuk bikin account e-mail untuk jadi basisnya account Facebook itu berapa sih?)

(Lha memangnya buat bikin Facebook perlu e-mail?)

(Mudah-mudahan Anda bukan jenis pengguna internet yang lebih ingat password Facebook-nya daripada password e-mailnya sendiri.)

 

Cara mengatasi dampak negatif internet bagi pelajar
Begini cara mendiskusikan hal-hal untuk menghindari dampak negatif internet pada anak-anak, terutama untuk menghindari pelanggaran privacy

Kata Acep, anak bisa dilindungi dari dampak negatif internet dengan mengalihkan mereka untuk menonton konten lokal yang positif. Memang problemnya saat ini konten positif bikinan negeri kita masih sedikit. Acep bilang, kalau kepingin tahu sebuah website lokal itu bisa dipercaya atau nggak, halaman website itu bisa menyebutkan siapa nama orang yang berdiri di balik pembuatan website tersebut. (Tips dari saya nih buat pembaca, kalau buka halaman sebuah website, cari halaman About Us, atau halaman About Me. Kalau ada alamat domisili dari perusahaan pembuat website itu, atau minimal ada nama orang pembuatnya, berarti website itu bisa dipercaya, dan kontennya layak di-share.)

Kita nggak bisa membendung konten-konten yang negatif, jadi cara mengatasi dampak negatif internet yang efektif ialah mensensor diri kita sendiri, supaya nggak menonton konten-konten negatif itu. Self-filtering, alias upaya kita menyaring diri kita sendiri dari konten-konten negatif itu, jika kita harapkan terjadi pada anak, paling efektif ya melalui lembaga pendidikan (dalam hal ini: sekolah), atau minimal ya rumah.

Tata kelola internet kita memang masih jauh dari sempurna. Semua stakeholder masih perlu diskusi lebih dalam lagi dan bekerja sama lebih klop untuk mengurusi perinternetan di Indonesia. Mereka yang dimaksud ini antara lain ya para orang tua, orang-orang institusi pendidikan, kalangan birokrasi informatika, dan lingkungan praktisi hukum perlindungan anak.

Mencari Formulasi yang Tepat untuk Edukasi Keselamatan Anak di internet

Materi tentang dampak negatif internet sebetulnya cukup berat kalau mau disajikan secara terstruktur kepada penonton yang ditargetkan dengan serius. Selain para blogger, komunitas penggiat buku C2O Library dan komunitas pecinta kota Surabaya Rek Ayo Rek juga hadir di acara Ngablogbur-IT ini. Ketua panitia acara yang juga merupakan partner ICT Watch di Surabaya, Frenavit Putra (@frenavit) bahkan mengundang beberapa guru dan murid Pesantren Mahasiswa al-Iqbal karena pesantren ini nggak cuman spesialis ngajarin ilmu agama, tetapi juga menyusupkan ilmu bisnis dan ilmu teknologi informasi di sekolahnya.

Kesulitan

cara mengatasi dampak negatif internet
Pada audiens dalam road show Ngabubur-IT. Foto saya ambil dari IG ahmadsayadi_

untuk memberikan seminar tentang internet sehat antara lain ialah karena calon audiens yang diundang sering banget salah paham. Mereka menyangka seminar ini adalah tentang promosi produk, sehingga mereka kehilangan minat. Saya sendiri nggak heran. Awalnya saya mendapat undangan untuk menghadiri acara Ngabubur-IT ini, saya menyangka bakalan dapet promosi tentang software e-book buku pelajaran untuk anak SD, hihihihi..

Saya sendiri ternyata bukan satu-satunya yang sempat clueless. Beberapa tamu lainnya yang saya colek juga mengakui bahwa topik ini terlalu berat bagi mereka, terutama untuk tamu-tamu yang masih belum punya anak. Agak sulit menjaga audiens untuk tetap berminat pada jalannya acara, dan panitia masih perlu banyak belajar tentang proses membuat acara yang tepat waktu plus belajar tentang cara membuat gimmick pada acara. Pembagian door prize dan kuis menyelamatkan acara di akhir-akhir show ini, meskipun perhatian audiens sudah terpecah karena waktu hiburan yang bermepetan dengan jam makan.

Heru Tjatur (@tjatur), promoter program Internet Sehat dari ICT Watch, mengakui kepada saya bahwa segmen yang paling strategis untuk dapat penyuluhan tentang topik internet sehat sebetulnya adalah ibu-ibu. Mereka sudah berusaha semenjak bertahun-tahun yang lalu untuk memikat ibu-ibu di Jakarta dalam diskusi tentang kiat penggunaan internet pada anak-anak, namun mereka masih berusaha mencari segmen komunitas yang pas untuk menjadi audiens. Topik tentang keselamatan anak di internet baru berhasil menarik perhatian sekolah-sekolah dasar yang high-end untuk mengundang ibu-ibu dari murid mereka, sementara komunitas lainnya masih dalam penjajakan.

Karena keselamatan anak di internet dirasakan semakin urgen, ICT Watch yang kebanyakan dananya dibiayai oleh Ford Foundation ini berencana akan membuat program lainnya yaitu Internet Baik. Program ini akan memperkenalkan kepada orang tua tentang bagaimana menjaga anak dari dampak negatif internet dan menggiring para orang tua dan anak menuju konten-konten positif. Tanpa tanggung-tanggung, Widuri (@widuri78), Deputy Director-nya ICT Watch bilang, program yang sedianya juga akan jadi proyek corporate social responsibility-nya Telkomsel ini akan menggandeng Yayasan Kita dan Buah Hati-nya Elly Risman dan brand software parental control Kakatu sebagai partner.

Road show Ngabubur-IT ICT Watch tentang Literasi Digital ini akan berlanjut di Banda Aceh hari Selasa tanggal 21 Juni ini, dan berakhir di Pemalang, Jawa Tengah.

Vicky Laurentina Tutut Widhiastuti
Saya hadir bareng Tutut Widhiastuti (@tu2t_widhi) di Ngabubur-IT Surabaya bareng anak-anak kami.
Nampak di belakang adalah Acep Syaripudin, pembicara dari ICT Watch

22 comments

  1. Mugniar says:

    Sekitar 49% dari mereka ternyata masih berusia di bawah 19 tahun … wow … bahkan anak usia 2 tahunan saja sudah pinter buka sendiri Youtube. Yang kasian kalo nontonnya di akun bapaknya dan bapaknya suka nonton video porno ๐Ÿ™

    Punya akun e-mail dan FB batasnya usia 13 tahun, Mbak Vicky. Dulu, bbrp tahun lalu tidak ada batasan itu. Waktu itu anak saya sempat punya akun e-mail, dia buat sendiri. Kira2 usianya masih 10 thn. Kemudian tina2 akunnya di-banned sama Google, gak bisa e-mail termasuk ngeblog. Karena dia ikutan ngeblog saat liat saya asyik ngeblog.

    Tapi saya biaarkan. Sekarang usianya sudah 15 tahun, akun emailnya baru dia aktifkan lagi 2 thn yl. Akun FB sudah lama dia minta2 untuk bikin tapi sy gak kasih. Bisa sih, kalo mau bohon tulis usianya di situ. Tapi saya nggak mau anak2 curi umur hanya utk punya akun FB. Kalo ketentuannya 13 tahun ya 13 tahun. Utk apa kita ngajarin anak mendobrak peraturan walau sesederhana itu. Kan sekalian bisa ngajarin anak taat peraturan juga. jadinya dia baru punya akun saat usia 13 tahun. Sekarang pun berteman dengan saya dan bapaknya di FB. Dia bahkan berteman dgn bbrp teman saya (termasuh teman blogge ahahaha). Teman2 yang berteman dengan anak saya, saya minta utk bantuin saya mantau si sulung ini, kalo aneh2, supaya dilaporin ke saya ๐Ÿ˜€

    Ah, ini sekalian curhat kalo sepanjang ini komennya. ๐Ÿ˜€

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Oh, jadi batas usianya anak SMP yah? Pantesan saya suka lihat bocah-bocah ABG tanggung minta add friend ke saya tapi profilnya alay berat gitu. Saya malah nggak suka lihat anak seumuran gitu berkeliaran di FB. Isi postingnya bikin saya sakit mata.

      *atau mungkin saya aja yang sudah nggak nyambung dengan dunia mereka*

  2. kalo anak sudah melek internet, ortu juga musti ngikut. seperti di keluarga saya, adek2 saya sudah pada punya instagram, mama papa pun bikin instagram juga biar bisa ngawasin.
    kalo soal cyber bullying… duh kayaknya mesti ngikutin cara deddy corbuzier biar yang bully bisa langsung ditindak hehe.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Sekarang malah ada fenomena baru lho. Jadi anak-anak itu kadang nggak suka kalau orang tua terlalu banyak ikut campur dengan cara mereka bersosmed. Saya nggak ngerti persis yah, lha anak saya masih bayi belum kenal Instagram..

  3. Dunia internet sudah merambah ke anak-anak di bawah umur, tapi orang tua dan para pendidik masih tergagap-gagap dalam memberi rambu-rambu pengaman buat mereka. Kita perlu proaktif, jangan baru kelabakan kalau sudah jatuh korban.

  4. Waduh, kudu hat-hati ya kasih informasi ke si kecil. Saya punya anak 1 sudah hampir 3 tahun tapi kok ya suka reflek mukul, walau agak berbeda dengan dampak internet diatas, saya khawatir karena tontonan yang gak mendidik (kartun yang ada unsur kekerasan walaupun halus)

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Ya, kartun yang mengandung unsur kekerasan sebetulnya termasuk konten negatif juga, dan konten negatif merupakan salah satu dampak negatif internet.

      Saya sendiri juga waswas, karena saya mengajari anak saya yang baru berumur setahun dengan nonton Donald Duck yang sibuk mem-bully Chip dan Chop.

Tinggalkan komentar