Di Sepatu yang Bloon

Jadi beberapa hari lalu tuh ada ibu melahirkan di kamar bersalin tempat saya nongkrong. Si bayi itu rupa-rupanya cukup besar waktu melewati jalan lahir emaknya, akibatnya vagina emaknya jadi baret-baret dan kudu dijait. Maka setelah bayinya keluar, si emak pun tiduran manis di tempat tidur buat saya jait vaginanya.

Manifestasi sepatu bloon.
Sepatu ini malah mengingatkan saya pada enggrang.

Lalu, begitu saya duduk di depan vaginanya si ibu yang terbuka lebar-lebar, kolega-kolega saya yang lebih muda (saya benci pakai kata junior, kata itu mengandung kesan gimanaa..gitu) mengerubungi saya untuk nontonin saya jait vagina.

Saya pun ambil jarum. Pinset sudah di tangan. Si pasien sudah dibius. Lalu saya tusukkan jarum pertama dan menarik benang. Kemudian, seorang kolega saya yang ikutan ngerubungin saya tadi, tau-tau nanya, “Lho, Dok, kok jaitnya nggak pake (metode) X?”

Saya, dengan lempeng jawab, “Hm-mm.” Lalu terus menjait.

Si kolega muda nanya lagi, “Dok, di buku saya baca, caranya bla-bla-bla..lalu benangnya di-bli-bli-bli..habis itu diblu-blu-blu.. Gitu ya Dok? Kalo jait (metode) X itu gimana?”

Saya giggling. (Eh, tau giggle kan? Ketawa yang sangat irit..maksudnya cuman buat basa-basi gitu lho..)

Kolega muda yang satunya melirik kolega yang pertama itu, dengan ekspresi muka bingung.
Lalu kolega yang pertama berkata, “Aku liat di YouTube.”

Oh. Saya ngerti. Mahasiswa-mahasiswa sekarang memang sering browsing tentang pelajarannya.

“Jadi gimana nyanyian (metode) X-nya, Dok?” Sang kolega muda masih tetep nanya.

Sementara jaitan saya udah jalan separo. Eh, darahnya mulai berhenti ngocor. Bagus, bagus.

Saya, yang kesiyan lihat si kolega kebingungan melulu, akhirnya menghiburnya, “Wah, saya nggak pake nyanyian X, Dek. Tapi saya pake nyanyian Linkin’ Park..”

Kolega-kolega muda lainnya ketawa terbahak-bahak.

Akhirnya penjaitan si pasien pun selesai dan perdarahannya berhenti. Sekarang si ibu sudah sehat dan sudah bisa pulang.

Jadi..berada di rumah sakit pendidikan, di mana dokter-dokternya berstatus masih sekolah semua, kadang-kadang sungguh memusingkan. Setiap pembicaraan antar kolega berbau isi pelajaran, dan isinya pasti tentang pasien, pasien, pasien. Sering sekali acara perumpian pelajaran itu terjadi persis saat kita lagi berhadapan dengan pasiennya, dan dalam kasus saya, saat kita nggak lagi ngehadap muka si pasien, tapi ngehadap selangkangan pasiennya. Kadang-kadang saya bertanya-tanya gimana perasaan si pasien, dia tiduran dengan kaki kangkang lebar-lebar sementara dokter-dokter ngobrolin vaginanya yang nggak karuan di bawah sana.

Tapi saya juga ngerti perasaan si mahasiswa yang nanya-nanya tadi. Dia kan nanya karena nggak tahu. Nggak tahu itu manusiawi. Dan dia sudah berupaya mencari tahu dengan segala macam cara: baca buku, nonton video, nanya ke kolega yang lebih senior, dan nonton upacara penjaitan yang terapeutik itu.
Ingin saya kasih tahu ke dia, “Kalo mau nanya-nanya jangan pas tindakan pertolongan sedang berlangsung, apalagi sampek kedengeran pasiennya. Proses bertanyamu itu membuat pasien gelisah, dan mengganggu konsentrasi, tauuukk..”

Dan persepsi itu bisa macem-macem.
A. Oh, baiklah. Saya akan bertanya lagi lain waktu yang kira-kira lebih nyaman.
B. Ih, Dokter Vicky pelit banget sih, mosok nggak mau jawab pertanyaan teman sejawatnya sendiri..

Tapi kita tidak pernah punya waktu untuk mengatakan itu. Saya nggak bisa bilang ke sang kolega muda bahwa dia jangan ngajak diskusi di depan si pasien. Saya juga nggak bisa bilang ke si kolega sesudah proses tindakan itu selesai karena saya nggak nemu si kolega ada di mana. Sehingga, sampek entah kapan dia tidak akan tahu kenapa saya melakukan metode selain X yang jelas-jelas berbeda daripada metode yang pernah dilihatnya di video entah apapun itu.

Lalu saya juga inget bahwa saya pernah berada di posisi kolega itu. Saya pernah nggak tahu. Saya pernah nggak ngerti. Saya pernah kebingungan. Saya pernah bertanya pada waktu yang salah. Saya pernah bloon.

Dalam bahasa Inggris, peribahasanya “I was in her shoes.”
Saya pernah berada di sepatunya yang bloon.

Mungkin Pak Guru saya benar. Jadilah empati. Dan pikiran sempit kita selalu mengira empati itu adalah empati ke pasien yang sakit. Ternyata kita juga harus empati ke pihak-pihak yang lain, termasuk empati ke teman kita yang tidak tahu bahwa dia memang tidak tahu.

26 comments

  1. Olla says:

    huaaaa, kebayang banget perasaan si ibu yang sedang dijait itu! Untung dokter tukang jait udah prof, jadi cuman giggling doang dan gag melotot nyolot denger pertanyaan itu :p

  2. pretty'na says:

    eh, saya pernah tu liat ibu2 di kuret diliatin sama perawat2 sambil nanya2 gitu. dan begitu giliran saya, saya request yang ngeliat cuman bu dokter n perawat pwmbantunya aja. semoga aja dia ga ingkar janji, saya kan ga nyadar saat proses berlangsung….
    ga rela ah, bagian terpribadiku jadi tontonan.

  3. Nova, kalau Nova baca tulisannya dari awal sampai akhir, kesimpulannya akan bisa menjawab pertanyaan Nova.

    Mbak Sylvia, aku malah mau jait kelim sekalian biar vaginanya cakep, wkwkwkwk..Nggak dijait rapet lah, gini-gini juga kita kan masih pikirkan suaminya.. 😀

  4. BabyBeluga says:

    Iya tuh kalau aku jadi sang pasien, lgs minta kamu jaitkan sleting atau ziplock aja biar tahun2 mendatang gga usah bingung ama jaitan x, atau jaitan model feston, atau model rantai. BTW, gga dijait rapet semua kan???? LOL…..

  5. Mbak Dyah, jait vagina pasti dibius lah. Kalo nggak dibius berarti kita nggak sayang ibu dong.. 😀

    Hey, Bang Arnold, apa kabar?! Lama nggak ke sini, kirain Abang udah lupa lho.. Jait Mr P ya nggak sama dong dengan jait vagina, Bang. Barangnya aja udah beda, jaringannya juga beda dong.. 😀

    Fenty, Ninda, persoalannya, kita sering nggak paham apakah situasi itu cukup nyaman bagi kita untuk membuka diskusi atau itu bukan situasi yang baik. Perlu banyak-banyak belajar dan bergaul untuk itu. Yah, jangan kuper, singkatnya begitu. Dan kadang-kadang belajar bergaul itu masalah yang cukup sulit buat kita.

    Mike, koass nggak tahu bahwa itu bukan situasi yang pantas. Sebaiknya kami para residen memaklumi itu.
    Nggak usahlah ngomongin koass, saya yang udah residen aja masih sering bertindak tidak tepat pada situasi yang tidak tepat kok.

    Jessie, gimana rasanya di posisi itu? Medisnya ngeributkan diskonan Sogo sedangkan kamu gelisah?

    Yunan, hahahah..barusan saya jait vagina lagi. Dan sebelum jait, suaminya wanti-wanti, "Jangan ketutup semuanya ya, Dok.."
    Saya ketawa. "Jangan kuatir, Pak. Nanti Bapak tetap kebagian. Urusan 'itu' sudah kami pertimbangkan.."

    Tikka, aku mengerti gimana perasaan Tikka. Jadi ya kalo bisa jangan bikin rapat di depan pasien. Nggak enaklah 🙂

  6. Tikka says:

    postingan yang menyeramkan >.< Sebagai pasien kalau ada yang liatin gt terus kayak diskusi kok ga ini ga itu jadi senewen pasti, apalagi diskusinya di hadapan situ >.<
    Jadi mikit emank salah ya, apa ada yang ga beres? >.<

  7. Yunan says:

    Iya…Kalo lagi nge jahit tiba-tiba interupted… bisa-bisa jahitnya kebabalasan jadinya ketutup semua tuh vagie… Kasian suaminya. Ra komanan..

  8. saya kayaknya miripan sama si 'adek' yang bingung itu
    karena saya suka nggak ngeh sama keadaan kalau isyaratnya kurang jelas(bagi saya), contoh jelasnya kalau dibilangin nanyanya nanti ya.. jadinya bisa ngerti, kalau didiemin saya suka mikir yang iya iya sih :p habisnyanya selama ini saya suka langsung nanya mbak, biar gak keburu lupa nanti.

  9. mikhael says:

    nice sharing bu dokter

    saya juga kadang melihat teman2 sesama koas sering ngerecokin konsulen/residen di depan pasien, bahkan kalau lagi hectic di IGD. saya rada ndak suka cara semacam ini, krn selain tidak elok dipandang mata, juga kalau dilihat sama pasien terkesan dokter2 nya pada "kurang gizi" semua pake nanya2 segala. lebih baik bertanya setelah jam klinik selesai, biar lebih puwas pwol…

  10. yeah, kadang kita nggak sadar kita melakukan kesalahan apapun itu yang mungkin dilakukan oleh orang yang kita ketawain kelakuannya, atau mungkin akan terjadi ke kita …

    dan yah, membayangkan ditanya hal2 yang bisa ditanya di tempat lain di saat genting adalah bloon ~.~"

    *saya miris membaca postingan ini, sungguh* T_T

  11. Dee Ayu says:

    huaaa. Mba Vicky,,, aku ngilu bacanyaaa..hihhihi.. dulu pas waktu dijait aku ga kerasa, karena bius I*A nya masih bekerja. untunglahh..

    klo pas lagi jait vagina gitu pasti dibius ya Mba? yah klo ga dibius minta dibius aja kali ya.hehe

  12. Menjahit vagina itu menyeramkan, terus terang aja. Jadi aku ya hati-hati kalo melakukan. Kalo bisa ya penuh konsentrasi. Makanya kalo ada yang nginterupsi pas aku lagi operasi minor gitu, meskipun interupsi itu hanya berupa pertanyaan aja, itu cukup mengganggu. Dan efeknya jelas nggak baik buat pasiennya. Diskusi kan kedengeran oleh si pasien, dan rasa ngeri si pasien itu menambah rasa nyeri yang tidak perlu lho.

    Aku rasa nggak aku doang yang menghendaki bertindak tanpa interupsi. Banyak dokter lain yang juga ingin bekerja dengan konsentrasi penuh 🙂

    Aku belum jadi dokter kandungan ya. Aku masih dokter umum 🙂

    Buat Keven, tips supaya bayi nggak terlalu besar, lihat saja di post-post berikutnya, hahahahah..

  13. dan pertanyaan kolegamu itu, klo didengar pasien, dan klo pasiennya itu aku, maka aku akan mpot2an … eh ada berapa metode penjaitan? terus apakah yg dipraktekkan ke vaginaku ini sudah yang terbaik? aduh aduh duh hehehe seperti itulah kira2 …

    jadi, mba dokter ini dokter kandungan ya? mau dong konsul jiahhhh ujung2nya hahaha

Tinggalkan komentar