Hati Belah Jadi Dua


Ada beberapa bagian tertentu dari Lebaran yang ternyata nggak selalu menyenangkan buat sebagian orang, coz malah membuat mereka harus merelakan sesuatu.

Sepupu gw, Nay, seumur hidup hampir selalu merayakan Lebaran di rumahnya bareng bonyoknya di Malang. Kadang-kadang, kalo mereka ada dana lebih, mereka mudik Lebaran ke rumah Grandma kami di Ciputat, Jakarta, mungkin setiap 3-5 tahun sekali. Sekitar dua tahun lalu dia menikah, dan dapet suami orang Semarang. Itu mengubah pola kehidupannya dengan drastis; sejak itu dia dan suaminya selalu berada di Malang buat solat Ied, lalu siangnya sudah nyetir lagi ke Semarang, supaya mereka bisa berada di rumah bonyoknya si suami pada hari Lebaran kedua. Dan kita tau sendiri Semarang-Malang itu jaraknya jauh bukan main.

Lain lagi sepupu gw yang satu lagi, Dewo. Semenjak menikah 12 tahun lalu, dia kerja di Balikpapan. Mudik ke rumah BuDe gw di Jakarta adalah kemewahan buat dia, sama mewahnya dengan mudik ke rumah mertuanya di Gorontalo. Akibatnya, kalo Lebaran, dia lebih sering mudik ke Gorontalo ketimbang ke Jakarta.

Bokap gw sendiri, karena alasan geografis, lebih sering bawa keluarga kami ber-Lebaran di Ciputat, ketimbang ke rumah bonyoknya di Kreyongan, Jawa Timur. Nyetir Bandung-Kreyongan adalah perjuangan, perjalanannya minimal dua hari waktu bokap gw dulu masih muda, dan sekarang jadi tiga hari dengan nyetir ngos-ngosan. Makanya kami cuman mudik Lebaran ke rumah Grandma gw di Kreyongan beberapa tahun sekali. Akhir-akhir ini gw memohon-mohon supaya kalo mudik ke Kreyongan kita naik pesawat aja, supaya waktu tiba di sana tampang kita masih segar-segar, bukan kucel karena bergulat di jalan.

Gw mulai sadar bahwa gw nggak pernah merasakan perasaan bokap gw waktu Lebaran. Apakah bokap gw rela ber-Lebaran di rumah mertuanya, sementara bonyoknya sendiri cuman berduaan di Kreyongan nun jauh di sana? Apakah bokap gw kangen sama bonyoknya dan kepingin mencium tangan mereka di hari Lebaran? Gw nggak pernah mikirin itu, coz gw terlalu sibuk mengganyang ayam lontong yang dimasak di rumah Grandma gw di Ciputat.

Lalu gw sadar fase itu akan datang pada tiap manusia. Pada dasarnya manusia cuman punya sepasang orang tua, cuman ada dua paha yang harus disungkemi pada waktu Lebaran. Lalu manusia tumbuh dewasa, menikah, dan setelah itu menanggung konsekuensi untuk membaktikan dirinya kepada dua pasang orang tua. Maka bertambahlah menjadi empat paha yang harus disungkemi pada waktu Lebaran. Masalah datang ketika dua pasang orang tua itu tinggalnya berjauhan, kau jadi nggak bisa sungkem pada keduanya sekaligus. Dan saat itulah kau harus belajar merelakan.

Bokap gw harus rela nggak sungkem ke bonyoknya, coz harus Lebaran di rumah mertuanya. Dewo juga terpaksa merelakan nggak mudik ke rumah nyokapnya, coz kudu mudik di rumah mertuanya. Suaminya Nay juga rela menunda sungkem sama bonyoknya, supaya bisa nemenin Nay sungkem sama BuDe gw dulu. Nanti akan ada tiba saatnya gantian, di mana nyokap gw, Nay, dan bininya Dewo,harus rela menunda Lebaran di rumah bonyok masing-masing.

Mendadak, ketemu bonyok pada hari Lebaran aja udah cukup mewah. Belum tentu mereka bisa ketemu sepupu-sepupu yang main sama mereka sejak ingusan. Gw merasakan sendiri, kedekatan gw dengan sepupu-sepupu gw mulai renggang sejak mereka punya mertua. Masih untung ada Facebook, jadi sepupu-sepupu gw dan gw masih bisa cela-celaan. Yang nggak punya Facebook, udah lupa ini mukanya siapa.

Gw tau setiap manusia akan tumbuh dewasa. Nanti manusia akan harus milih mau Lebaran di orang tua yang mana. Tapi ternyata efeknya juga mengimbas berupa kehilangan kedekatan mereka dengan para paman, tante, dan sepupu mereka.

Dan mungkin, gw juga akan seperti itu. Umur gw sudah 27 tahun. Gw nggak tau kapan mau punya mertua, mungkin dua-tiga tahun lagi, mungkin satu tahun lagi, mungkin lima tahun lagi, mungkin sepuluh tahun lagi. Akan tiba di mana gw harus milih, mau ikut suami gw ber-Lebaran di rumah bonyoknya, atau gw yang merayu suami gw supaya tetap Lebaran sama bonyok gw aja. Itu juga belum ditambah problem kalo bonyok gw rebutan antara Lebaran di Ciputat atau mau Lebaran di Kreyongan.

Ini menyakitkan. Ada orang tua yang harus dikorbankan. Nggak ketemu sepupu. Nggak ketemu nenek. Padahal kalo nggak Lebaran juga belum tentu bakalan ketemu mereka. Apa ini yang dimaksud bahwa anak memang meninggalkan keluarga yang membesarkan mereka setelah mereka punya keluarga sendiri?

Makanya gw nggak pernah setuju kalo pernikahan beda agama itu dilarang. Pernikahan beda agama justru menyelesaikan urusan rebutan kunjungan anak pada hari raya. Enak kan, cuman sepasang orangtua aja yang Lebaran, yang satunya enggak. Nanti pas orangtua yang satunya lagi merayakan hari raya mereka, anaknya tinggal dateng. Jadi makan besarnya dua kali. Untung dong? :-p

27 comments

  1. matinu says:

    Hmmm…
    Nice Posting..
    Vick..ada yang kurang,
    Kalo orang yang poligami gimana ya??
    Ada berapa Paha yang disungkemi..xixix, trus baginya gimana ya..hehehe.

  2. Henny, kalo perkara makan-makan berkali-kali sih saya sepakat! Hahaha..

    Selamat pagi, Pak Didi. 🙂
    Saya sedang mengingat-ingat apakah hewan bersel satu itu bereproduksi seksual atau tidak. Seingat saya iya deh. Lha virus yang nggak punya sel aja menggandakan diri, apalagi kita makhluk-makhluk yang mengandung banyak sel? Jadi kayaknya kawin itu wajib ya?

    Saya bingung, kenapa Pak Didi melenceng dari tema pembicaraan gini?
    Dan, kenapa saya juga ikut-ikutan terseret Pak Didi begini? 😛

  3. Aku adalah kamu
    Sejati-jatinya kamu
    Bersemayam dalam tubuh-tubuh
    mengendali tanpa tali
    melintasi generasi
    Jasmani boleh binasa
    Namun Aku kan selalu ada
    Menggoreskan ciri dan tanda
    Menembus waktu dan masa
    Membawa warisan lama
    Agar tak binasa
    Melalui cangkang-cangkang
    Salah satunya adalah kamu

    Apapun itu misi utama suatu perkawinan adalah untuk mempertahankan keberlangsungan machluk yang namanya manusia.
    Andaikata saja kita tercipta sebagai machluk yang reproduksinya aseksual tentu saja kita tidak membutuhkan perkawinan sebagai sarana menggandakan diri.
    Kita tidak tahu mengapa kiranya kita terlibat dalam reproduksi seksual yang jelas-jelas dalam kenyataannya membutuhkan waktu, biaya dan tenaga untuk mencari pasangan .
    Seandainya kita tercipta sebagai machluk bersel satu …tentu saja akan lain halnya.
    Ha-ha-ha …Dah akh…kebanyakan jadi ngaco nantinya.
    Selamat pagi Bu Dokter.

  4. Hahah..banyak yang nanggap serius ucapan saya di paragraf terakhir.. 😛

    Tiap orang punya pendirian sendiri tentang pernikahan beda agama, sesuai penerimaannya terhadap ajaran agama masing-masing.
    Ada yang bilang, "Nggak boleh!"
    Ada yang bilang, "Boleh. Kenapa enggak? Asal lu kawin gw diundang ya.."
    Nah, kalo saya termasuk yang bilang, "Jangan dilarang. Nanti bingung sendiri pas Lebarannya coz ribet mau Lebaran di mana. Tapi gw nggak mau melakukannya sendiri coz gw nggak mau bayar pemuka agama dua kali. Menikah itu harusnya gratis, bukan ditarik pungli!"

    Harus digarisbawahi bahwa punya bonyok yang tinggal di dekat rumah itu enak. Saya simpati kepada orang-orang yang tinggal jauh dari bonyok, coz bonyok saya senasib sama mereka tiap tahun. Dan jauh lebih mewah lagi kalo bonyok maupun mertua sama-sama tinggal di dekat kita. Kan nggak usah menjadikan diri kita sendiri piala bergilir..

    Please sedapat mungkin jangan berantem sama bonyok deh. (Tapi bonyok juga jangan bikin anak-cucu sebel.. 🙁 )

    *sambil melirik ke Grandma gw*

  5. hedi says:

    bisa juga pake kesepakatan antar suami-istri. Misal tahun ini lebaran (hari H) di rumah ortu suami, maka tahun depan di rumah ortu istri. Bisa berubah kalo ada hal yg lebih urgent. 😀

  6. Arman says:

    itulah itulah… gua suka sedih dan gemes kalo ngebaca blog2 orang yang suka ngedumel tentang ortunya lah, mertuanya lah… padahal mereka harusnya sungguh bersyukur karena ortu dan mertuanya sama2 tinggal deket mereka. mereka gak mikir kan gimana ama orang2 yang tinggalnya jauh dari ortu/mertua? yang cuma ketemu seminggu/2 minggu dalam setaun?

    yang kalo lagi hari2 besar gak bisa ngerayain bareng… 🙁

  7. Gw sih nggak mau, Depp.
    Soalnya pengalaman kakak-kakak gw yang nikah satu agama, bayar pemuka agama buat menikahkannya aja udah mahal.
    Lha kalo nikahnya dua agama, berarti bayar pemuka agamanya dobel dong?
    (duuh..)

  8. jrink says:

    Bagian kedua,
    Sejatinya kita tak perlu heran jika keimanan pun bisa datang dan pergi sesukanya, sebab menurutku keimanan itu bukan harga mati, tapi begitu pulakah kiranya dg kekafiran? (ingat dongeng pelacur yg masuk sorga). Yang jelas kita jangan terlalu PD dg mengklaim diri bhw jika kita sudah 'merasa beriman' lalu sampai mati kita tetep beriman (Oh no…. sekali lagi urusan keimanan itu merupakan wilayah Tuhan, tapi coba sermati sikap perilaku kita masing-masing detik-demi detik) It's ok, tapi saya mau bilang seandainya 'orang yg sudah merasa beriman' itu adalah 'se-benar2nya iman' maka itu pun perlu dijaga keberadaanya di hati setiap individu, setiap saat, dan tak ada tawar menawar utk tidak menjaganya, bahkan dianjurkan untuk meningkatkannya.

    Dalam keyakinan sodara kita ada ungkapan seperti ini: "Seorang Yogi harus dapat menjadikan hatinya sendiri sebagai biara dan setiap saat ia harus mengasingkan diri didalam biara itu", agar supaya dapat setiap saat selalu mawas diri. (kalimat terakhir tambahan sendiri)

    Nah kemudian jika yg melatarbelakangi sikap "setuju vs tidak setuju" maupun "boleh vs tidak boleh" thd pernikahan beda agama itu menggunakan 'rule of the game' dari agama yg dianut, tentunya masih diperlukan berbagai pertimbangan/referensi yg rada njelimet dan bisa dipertanggungjawabkan. Oleh pemikiran spt itu ijinkan saya utk berbagi sekelumit inpoh (meski blm tentu recomended, he2), tapi siapa tahu ada manfaatnya. Ok, coba aja repot2 maen sini:

    http://agamadiindonesiadanperkawinannya.blogspot.com/

    http://zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama/

    http://www.sarapanpagi.org/pernikahan-campur-vt2230.html

    http://new.drisalah.com/index.php/inspirasi/33-bolehkah-menikah-beda-agama.html

    http://sidiastawa.wordpress.com/2009/04/22/hello-world/

    (mohon dikoreksi, dan maaf kalo ada yg kurang berkenan).
    Salam.

  9. jrink says:

    Kali ini saya cmn mo urun rembug terkait dg paragraf terakhir, coz perihal itu menurutku menyimpan potensi utk menjadi krusial bagi sebagian orang,

    Bagian pertama,
    Kalo demi alasan dg batasan masalah yg spesifik spt itu, inti paragraf terakhir bisa dimengerti mbak. Saya pikir manusia itu memang sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri. Jadi jika seseorang itu menikah dg pasangan yag berbeda agamanya, hal semacam itu saya anggap bersifat kasuistis, sehingga 'kasus' itu tidak memungkinkan utk digeneralisasi.
    Seperti kita semua tahu bahwa segala kejadian itu baik disengaja atau tidak disengaja, konsekuensinya relatif sama. Pada mulanya adalah sikap. Maka sebelum2nya alangkah baiknya kita pertimbangkan masak-masak adanya berbagai kemungkinan yg melingkupinya.

    Saya juga punya pikiran kayak gini: Seyogyanya 'orang baik2' itu seharusnya berpasangan dengan 'orang yang tidak baik' dg harapan supaya semuanya menjadi baik. Lha trs kalo misalnya 'yg baik pengin dapet baik' dan 'yg tidak baik layak utk sll dapet yg tidak baik' kan probabilitas utk kemajuan peradaban dunia ini seakan ga ada toh, he2… Coba perhatikan orang2 yang kita kenal di sekeliling kita, lalu kita kalkulasi perilaku mereka (termasuk kita sendiri tentunya), maka hasilnya? Hahaha…, Dan nyatalah melakukan peberbuatan baik secara murni dan konsekuen itu bagai berjalan dilorong sunyi, hiiiiii….

    Pernikahan beda agama itu menurut hemat saya, jika ditilik dari sejarahnya bhw (dulu) dasar utk menentukan 'boleh atau tidaknya' pernikahan itu kayaknya terkait dengan urusan 'iman vs kafir' (baca: laki2 yg beriman tdk boleh beristrikan wanita kafir, atau sebaliknya). Jika demikian lalu menjadi jelas bahwa 'iman atau kafir' itu adalah predikat bagi si pemeluk agama, bukan agamanya. (berarti sejak dulu nikah dg pasangan yg lain agama boleh dunk, he3..)
    Ya nanti dulu, utk menentukan seseorang iman atau kafir itu bukan perkara gampang, sebab kita harus tahu diri bahwa urusan hati manusia (iman terletak di hati?) hanyalah Tuhan yang tahu. Yang kita lihat hanya sekedar 'tanda-tanda' yg melekat pada orang itu. Persoalannya kemudian adalah seberapa dalamkah pemahaman thd ajaran agama bagi si pemeluk itu, yg mana hasil pemahaman itu masih dituntut untuk diimplementasikan pada hidup keseharian tiap2 pemeluk agama, sebab dari situ minimal kita bisa melihat adanya indikasi seseorang itu beriman atau tidak beriman. Nah, suka tidak suka harus diakui bhw ternyata kita bisanya cuma mampu menduga.
    (bersambung…)

  10. Hahaha..maaf, maaf! Saya nulis ini coz kemaren saya dapet e-mail bahwa sepupu-sepupu dari keluarga bokap saya mau kumpul pas Lebaran nanti. Saya bimbang, coz kalo saya nurutin acara mereka, berarti saya nggak akan ketemu sama sepupu-sepupu dari nyokap saya. Waduh, makanya hati saya terbelah jadi dua..

    Percaya deh, saya cuman sungkem dua kali lho sama orang tua. Satu kali tiap tahun pas hari raya, satu kali lagi (mudah-mudahan) seumur idup pas mau menikah nanti. Makanya di keluarga saya, sungkem hari raya ini bermakna sekali.

    Lebaran juga hari penting coz pada hari itu saya bisa liat keluarga saya sekomplit mungkin. Bahkan pernikahan pun belum tentu bisa mendatangkan keluarga sebanyak ini.

  11. mawi wijna says:

    aih…udah keduluan sama mbak dokter, awalnya topik artikel ini mau saya pakai di blog saya je. Saya sih ndak pulang kampung lebaran ini. Alibinya ada dua.

    Pertama, karena soal ketemu n sungkem sama orangtua ndak mesti di hari Lebaran. Pulang juga bisa kapan aja, toh pekerjaan saya ndak mengikat kewajiban masuk kantor.

    Kedua, saya ndak merasakan spesialnya hari Lebaran, selain menu opor ayam dan Shalat Ied di pagi hari.

  12. NURA says:

    salam sobat
    setuju dengan tulisan mba,,pernikahan beda agama kurang sempurna ya mba,,,
    fotonya bagus mba yang dipostingan.

    ada AWARD sederhana untukmba VICKY,,mohon diterima ya mba,,di blogNURANURANIKU,,trims.

  13. reni says:

    Emang 'problem' itu selalu dihadapi siapa saja saat menjalani hari lebaran.
    Walaupun ortu dan mertuaku sama-2 di Madiun, tapi hari pertama lebaran aku selalu bersama dg keluarga mertua di rumah eyang (ortu dari mertua) yg ada di Jombang.

Tinggalkan komentar