Jiplakan Sistemik

Mereka bilang, mahasiswa nggak boleh nyontek. Tapi mereka nggak pernah bilang, dosen juga nggak boleh nyontek.

***

Suatu hari di tahun ’07 (atau di tahun ’08? Gw lupa.), gw menghadiri sebuah konferensi tentang kedokteran jantung, di mana pembicaranya adalah dosen-dosen gw sendiri waktu gw kuliah dulu. Gw, dokter yang waktu itu masih giat-giatnya melahap ilmu tentang pekerjaan gw, bela-belain nyiapin alat tulis gw buat mencatat apapun yang pembicaranya presentasikan.

Lalu tibalah pembicara ini, sebut aja namanya dr Rafael, dosen gw naik ke podium. Dia kebagian presentasi tentang sirkulasi darah. Gw mendengarkannya ngomong sambil nyocokin ke bahan bacaan yang udah dibagiin ke peserta. Lima menit pertama tidak terlalu menarik, coz isi slide presentasinya sama persis dengan bacaannya.
Lima menit kedua, gw mulai mengerutkan kening mbaca teks makalahnya. Gw sumpah pernah lihat bacaan ini, di manaa..gitu.
Lima menit ketiga, gw udah nggak dengerin dosen gw itu bicara, tapi gw ngebut mbaca makalahnya itu. Gw langsung mengenali kalimat-kalimatnya, gaya bahasanya, bahkan caranya menaruh nomer-nomer paragraf dan anak paragraf. Ini kan buku teks gw waktu kuliah?
Pada lima menit keempat, dr Rafael mengakhiri presentasinya. Semua orang bertepuk tangan, tapi gw enggak. Gw malah melototin daftar pustaka pada bagian terakhir makalah. Sumber-sumber untuk makalah itu diambil dari jurnal-jurnal keluaran tahun ’80-an. Tidak ada satu pun sumber yang berangka tahun ’90-an di makalah itu.

Gw mbatin, kalau cuman nulis makalah ginian, nggak usah jadi dokter spesialis. Dokter umum keluaran S1 kayak gw juga bisa ah.

Gw merasa jadi penonton konferensi yang dibodohin oleh pembicaranya sendiri.

***

Praktisi profesional dateng ke konferensi, simposium, seminar, atau entah apalah namanya, bukan sekedar buat penyegaran otak mengingat kembali ilmu yang pernah kita dapet di bangku kuliah. Tapi kita juga nuntut ada penambahan informasi mengenai penemuan-penemuan baru, dan itu yang diharapkan dari suatu kuliah pada konferensi. Karena itu, dosen yang berbicara di atas podium juga dituntut memberikan kuliah dengan merujuk pada pustaka-pustaka terkini, bukan pustaka jadul yang lebih pantas jadi bahan bacaan mahasiswa S1 awal tahun 2000-an.

Lalu gw menelaah motivasi para dosen gw, kenapa kok mau-maunya jadi pembicara untuk seminar-seminar, padahal di saat yang bersamaan mereka bisa dapet penghasilan yang lebih banyak kalau mereka praktek aja. Ternyata semakin sering mereka presentasi pada pertemuan ilmiah berskala nasional, makin besar angka kredit yang didapat. Makin besar angka kreditnya, maka makin tinggi kemungkinan mereka jadi guru besar.

Persoalannya adalah makin bertambah usia dosen ini, maka kemampuan mereka untuk berkonsentrasi mengembangkan ilmu juga makin berkurang. Ketika seseorang sudah berumur 40 atau 50-an, ternyata mengejar jabatan itu makin susah. Jabatan tinggi itu cuman bisa diperoleh kalau sering bikin makalah ilmiah untuk dipresentasikan di forum-forum ilmiah. Masalahnya, untuk bikin makalah itu sang dosen mesti banyak baca jurnal ini-itu, dan waktunya nggak ada. Jadilah mereka nyuruh orang lain untuk bikin makalah itu.

Buat dosen, gampang aja nyuruh orang bikin makalah. Suruh aja mahasiswanya, entah itu mahasiswa S1 atau S2-nya, dengan iming-imingan nilai A. Mahasiswa, yang mengincar kelulusan kuliah, akan ngerjain tugas itu tanpa dibayar. Tapi mahasiswanya juga nggak mau repot, ketimbang mereka membongkar 10 jurnal di perpustakaan kampus, mereka milih nyalin buku teks mereka sendiri lengkap dengan meng-copy paste 10 daftar pustaka di buku teks itu.

Plagiasi tidak sengaja?

Jadi kalau ada seorang guru besar disomasi gara-gara karya ilmiahnya ternyata menjiplak karya ilmiah orang lain, barangkali guru itu memang tidak mencontek. Tapi orang yang disuruhnya membuatkan karya ilmiah itulah yang menjiplak.

Namun, sekarang yang mesti kita pertanyakan kepada Pak dan Bu Dosen, mosok sih, buat bikin makalah atas nama sendiri aja, mesti pakai nyuruh-nyuruh dibikinin orang lain?

Gw nulis ini setelah hari ini baca berita, seorang guru besar sebuah kampus di Bandung terancam dikeluarkan gara-gara karya ilmiahnya ternyata ngejiplak sebuah karya ilmiah dari kampus di Ostrali.

Kalau pendidikan di negara kita dibangun oleh guru-guru yang nggak pe-de bikin makalahnya sendiri, lantas gimana mahasiswanya mau jadi sarjana yang pe-de dengan kemampuannya sendiri?

25 comments

  1. reni says:

    Dulu dosenku yang sedang tugas belajar, pasti nyuruh mahasiswanya utk membuat rekap sebuah buku (Bhs. Inggris lagi!) secara berkelompok…
    Jadi tuh dosen tak perlu repot-2 lagi baca buku tebal dan cukup baca rekap dari para mahasiswanya.

  2. Tanpa maksud menghina, aku sering melihat akhir-akhir ini dosen-dosenku waktu kuliah dulu, sekarang sudah banyak yang berangkat jadi guru besar. Semula aku terheran-heran bin kagum, coz terus terang aja, aku sempat meragukan dedikasi mereka terhadap pendidikan, kalau mengingat dulu mereka-mereka jarang banget masuk buat ngajar kuliahku atau kasih tutorial pas aku jadi mahasiswa magang.
    Sekarang baru dapetlah ide bahwa ternyata mendapat gelar doktor atau bahkan guru besar itu sangat gampang, asal tahu cara triknya copy-paste dari sumber yang tepat dan oleh tenaga kerja yang tepat.
    Mendadak, aku jadi kesiyan sama para guru besar yang mendapatkan gelar mereka dengan sungguhan tanpa mencontek. Mereka hampir kehilangan segala-galanya untuk itu: kepala nyaris gundul, rumah nggak terurus, anak mereka sendiri terabaikan coz mereka banting tulang baca buku buat cari ilmu.

    Mestinya mahasiswa jangan dibiasakan mikir a la copy paste gitu. Belajar dari buku teks sungguhan, baca jurnal sungguhan. Peredaran jurnal-jurnal dalam bentuk e-book itu lama-lama mengikis mental kita untuk menulis karya ilmiah dengan jujur.

  3. didut says:

    makanya salah satu (atau salah dua) temen dari eropa sempet bigung, mahasiswa disini kok jarang yg keliatan baca buku yah :p

    Dari mahasiswa aja keliatan jarang baca buku tapi gak tau juga mahasiswa jaman sekarang, ini memang mengenai culture

  4. Sri Riyati says:

    Iya sih Vic, aku juga ngerasa, kebanyakan orang (di lingkungan akademisi lho) cuma kejar setoran. Bukan mikirin minat atau ketertarikan pada suatu subyek. Kalo ditanya kenapa neliti ini, ya karena adanya ini dan yang dapet biaya dari luar ini jadi dikerjain aja ini. Jadilah si-ini semata pekerjaan yang "cepat selesai semakin bagus" bukannya ada keingintahuan/ide/ketekunan untuk memecahkan masalah. Tambah lagi, dokter apalagi spesialis, memang sibuk praktek (harap dipertimbangkan juga, pasien=uang) dan terus terang saja, mengembangkan ilmu terlalu berat kalo disambi praktek. Delegasi itu OK2 saja asal ide dan editor/reviewernya si spesialis sendiri (dan diperiksa ketat, bukan terima jadi). Bukankah memalukan untuk mempresentasikan sesuatu yang tidak diketahui karena dikerjakan orang lain? Ini seperti lipsing. Dan kalau itu artikel lama, sungguh, kita berhak protes (ingat konsumen adalah raja). Ada juga yang menerbitkan artikel lama, artikel orang lain, artikel 'daur ulang' demi ajang cari gelar ini. Aku ngerasa banget, sekitar kita ini maunya instan, langsung dapet gelar, langsung jadi guru besar. Tapi kalo kita tidak menjalani prosesnya benar-benar, ibarat bunga kembang tak jadi (apaan coba). Ya ibarat mangga karbitan. Kulitnya kuning buahnya masam.

  5. hryh77 says:

    iya nih di kampus saya juga terkadang dosen2 yang ngambil S2 tesisnya ngambil karya dari tesis orang luar terus di translate.. giliran yg S1 mau lulus ada kayanya dipersulit T.T

  6. Jika kita pernah memelototi suatu halaman textbook buat keperluan merangkum bahan kuliah, Sel, kita akan ingat isi bab itu dengan baik dan bisa mengenalinya kapan saja jika ada yang mengutipnya. Ulah pembicara itu bikin aku sakit hati.

  7. Esel says:

    Buset dah, Mbak Vicky kalo tahu isinya bakal sama kayak di Textbook yawdah toh gak usah ikut seminar, mending baca di rumah aja kan ? Parah ye…dosen aja gitu, apalagi mahasiswanya….^^

  8. Sayang banget! Kalau cuman demi kejar-kejaran angka aja sampai harus menghilangkan esensi dari pendidikan. Pendidikan itu bertujuan membuat orang yang semula tidak tahu menjadi tahu, bukan angka yang tadinya nol menjadi sepuluh.

    Saya setuju bahwa meniru ide itu boleh-boleh aja, tapi mbok ya jangan semata-mata meniru keseluruhannya. Kita butuhnya penulis makalah yang kreatif, bukan copycat. Lebih malu-maluin lagi kalau yang melakukannya itu guru. Guru dari mahasiswa lho. Guru itu pendidik kan? Atau guru itu cuman pengajar doang, bukan pendidik? Jadi nggak ikutan mendidik budi pekerti?

  9. Itik Bali says:

    Ide boleh mirip kan mbak
    namun yang penting, mengembangkan sebuah ide agar hasil akhirnya tidak sama.

    Kadang 2 orang yang berjauhan kutub, bisa mempunyai ide yang sama secara kebetulan, hanya yang membedakan gaya penyajiannya.

    Kalo menjiplak skripsi atau tesis, he..he aku ngga banyak tahu
    tapi kalo sesepuhnya melakukan itu komennya satu aja : Gak Sempet Buat yang Baru..

  10. mawi wijna says:

    Ini efek dari keinginan hidup yang menuntut serba cepat dan ringkas. Saya akui juga kalau metode pendidikan negara kita pun tak mengedepankan sisi pemahaman, melainkan hanya mengejar angka semata. Kalau begini, contek-mencontek lumrah saja toh?

  11. Oh, enggak, aku bukan almamater kampus itu. Tapi kalau sesepuh kampusku sendiri ternyata juga ada yang jadi plagiat, aku nggak kaget kok. Itu budaya. Dan aku kuatir fenomena ini gunung es yang nggak pernah ketahuan. Dan ini bukan budaya yang pantas ditiru siapapun.

  12. fahmi! says:

    apalagi ngeblog, jangan njiplak. dijamin langsung ketauan dan dicaci blogger lain. dan sialnya, secara teknis, menurunkan rank di mata mesin pencari.

Tinggalkan komentar