Keliling-keliling Antar Undangan

Saya sibuk. Sepanjang dua minggu ini saya sibuk keliling kota Surabaya nyebarin undangan. Nyokap saya suruh saya dan my hunk untuk antar sendiri undangannya ke rumah masing-masing. Jumlahnya nggak banyak sih, paling banter cuman 10, mereka sepupu-sepupu bonyok saya atau beberapa kolega bokap saya sesama teman seperjuangan waktu sekolah dulu. Kami nggak mengundang terlalu banyak orang karena saya sudah berkomitmen dari awal bahwa pesta ini hanya untuk orang-orang dekat. Lagian pestanya kan di Bandung, saya sendiri bertanya-tanya apakah ada orang mau repot-repot terbang dari Surabaya ke Bandung kalau hubungannya nggak intim-intim amat.

Ternyata, dari nganter-nganter undangan itu, saya dan my hunk dapet pengalaman baru, mblusuk-mblusuk ke daerah-daerah yang nggak pernah kami jajah sebelumnya. Anda tahu nggak kalau Surabaya itu kota terbesar kedua di Indonesia? Banyak banget daerah yang nggak pernah disatronin sama my hunk, padahal dos-q warga Surabaya aseli, apalagi saya yang Surabaya murtad. Lucu deh bagaimana kami nganterin undangan itu hanya dengan bersenjatakan GPS di HP. Pembicaraan akhir-akhir ini hanya berputar di pertanyaan, “Hari ini nganter undangan ke mana, Yang?”, atau “Mana yang lebih dekat dari sini?”, atau “Hah, macet banget daerah itu. Jangan malem ini ke sana, besok aja..”
Dari pengalaman nganter undangan ini saya juga berterima kasih banget sama teknologi bernama KOTAK POS! Saya gemes banget karena rata-rata rumah yang saya satronin buat dianterin undangan ternyata nggak punya kotak pos. Sebagian rumah nggak punya bel. Sebagian belnya sudah dibel, tapi nggak ada orang yang keluar dari rumah, padahal jendelanya terbuka lebar dan rumahnya terang-benderang. Pembokatnya tidur, ya?

Saya bahkan bisa iseng menilai orang dari caranya piara rumah. Kalo rumahnya ada kotak posnya, itu seperti menandakan, “Kami sibuk. Drop aja surat Anda di kotak, nanti suratnya kami ambil.”
Beberapa alamat yang ditulisin bokap saya ternyata salah catet. Bokap saya suruh saya nganterin undangan ke Wonorejo nomer 52 yang ditinggalin sepupu nyokap saya yaitu Bapak Samuel (bukan nama sebenarnya). Saya pergilah ke tempat itu, sepanjang jalan ngomel gemas lantaran nggak ada rumah bernomer 52. Lalu saya berhenti di sebuah tempat tambal ban dan bertanya ke pemiliknya apakah dos-q kenal Bapak Samuel. Lalu si tukang tambal ban berkata bahwa Pak Samuel itu tinggal di rumah nomer 32, dan padahal rumah itu sudah saya lewatin bolak-balik. Saya langsung kirim Whatsapp ke bokap saya, “Daddy, you’ve mistyped your address book..”
Saya langsung bersyukur ternyata sepupu nyokap saya itu orang beken di lingkungan rumah situ, buktinya tukang tambal ban aja kenal. Saya aja sudah tinggal dua tahun di daerah Karang Menjangan sini, nggak ada tuh tukang tambal ban yang tahu siapa itu Vicky Laurentina..
Bagian yang menyenangkan adalah setelah bolak-balik mblusuk dan salah masuk gang, ternyata orang yang saya temuin itu sangat familiar. I’ll tell you what, jadi bokap saya nyuruh saya anterin undangan ke rumah seseorang bernama sebut saja Ernest Prakasa (again and again, ini juga bukan nama sebenarnya) di Jalan Pakem 6. Pergilah saya dan my hunk ke daerah Pakem itu sambil berbekal GPS di HP, dan langsung frustasi karena di Google Maps cuman ada Pakem 2, Pakem 3, Pakem 5, dan Pakem 12. Ya logikanya kami masuk ke Pakem 5 dong. Ternyata setelah jalan di sepanjang Pakem 5, kami malah nemu Pakem 10! Lho, Pakem 6-nya manaa?
Lalu my hunk curhat ke +angki ainur rifqi bahwa dos-q nggak nemu Pakem 6. Tahu-tahu temannya yang pejalan kaki kawakan itu bilang kalau mau ke Pakem 6 itu kudu lewat Pakem 3 dulu. Kami pun akhirnya mengikuti petunjuk sesatnya dan masuk ke Pakem 3. Di dalem kami ketemu tukang tambal ban (atau tukang sayur? Ah, saya lupa) dan tanya di mana itu Pakem 6. Tahu-tahu si tukang tambal ban nunjukin sebuah jalan yang kecil sekali, segitu kecilnya sampek saya ngira itu jalan menuju sebuah rumah pribadi. Saya masuk ke sana, dan menjumpai sederetan rumah-rumah mungil, lalu bertanya apakah di situ ada warga bernama Pak Ernest Prakasa. 
Ternyata seseorang bilang Pak Ernest tinggal di rumah berwarna abu-abu. Lalu saya pun ke rumah yang berwarna abu-abu itu dan ketemu seorang gadis kecil berumur mungkin sekitar 13 tahun. Saya tanya apakah itu rumahnya Pak Ernest Prakasa. Si nonik malah tanya, “Oh, mau ketemu Ayah?”
Lalu ayahnya keluar. Saya mau senyum sopan langsung nggak jadi. Sebagai gantinya saya langsung menjerit kegirangan. Itu ternyata paman saya, sepupu bokap saya, yang sudah lama nggak ketemu saya sejak 5 tahun lalu!
*Bagaimana saya tidak mengenali namanya? Tentu saja, karena saya memanggilnya selama ini dengan nickname-nya, dan saya sama sekali nggak tahu nama aslinya!*
Mengirimkan undangan dengan tangan sendiri ternyata bisa merekatkan tali silaturahmi. Setidaknya sekarang saya tahu ke mana saya harus berjalan kalau tahu-tahu disuruh nyokap saya buat melayat saudara yang meninggal di Surabaya. *lho?*
Pernikahan saya masih dua minggu lagi, tapi saya merasa proses menikah itu sudah mulai dari sekarang. Ya know, nyiapin undangan, nempelin label, nganterin undangan, prosedur tetek-bengek yang jelas cuman terjadi sekali seumur hidup, sungguh saya nikmatin. Bener ternyata bahwa pesta pernikahan itu urusan gotong-royong, dan banyak sekali pelajaran yang bisa saya ambil dari proses yang sekilas sungguh merepotkan ini.
Saya tukang pos yang bahagia, minggu ini.

17 comments

  1. efahmi says:

    Selain banyak nemu kerabat yg ternyata lokasinya dekat, banyak nemu juga situs kuliner yg belum terjajah hahahah…

    Btw, risda, aku nggak mau tangan bojoku dicoret2i tato. Aku nggak suka.

  2. vany says:

    mbak, nggak ada acara ngunduh mantu di sby ya?
    kalo ada, blh tuh saya diundang 😀
    btw, mbk vicky ngekos di karang menjangan mana?
    soalnya rmh saya di karang menjangan jg yg gang dkt pasar 🙂

  3. Biasanya sekarang undangan banyak dikirim via digital, terutama bagi yang ingin menghemat anggaran. Harusnya Mbak Vicky sediakan format undangan digital biar bisa diunduh pembaca setia :D.

Tinggalkan komentar