Kenapa Buah Impor Lebih Disukai?

Suka tidak suka, meskipun kampanye cinta buah lokal digaungkan berkali-kali, tetap tidak menggoyahkan fakta bahwa makin hari rakyat Indonesia makin banyak membeli buah dari luar negeri. Penyebabnya memang karena keunggulan buah impor yang sulit ditandingi oleh buah lokal dari tanah Indonesia sendiri.

Sebelum kamu sewot membaca tulisan saya lantaran jiwa nasionalismemu terusik, saya ingin kasih peringatan dulu bahwa nggak semua buah lokal di Indonesia ini kalah oleh buah impor. Karena sebetulnya hanya beberapa macam buah saja yang boleh diimpor oleh pedagang Indonesia.

Sumber Buah Impor

Keranjang buah impor negara kita itu paling banyak dipenuhi oleh apel, pir, jeruk mandarin, dan mungkin anggur. Selain itu, negara kita juga beli kurma, kismis, cherry, dan blueberry.

Menurut website pengimpor makanan, negara-negara yang paling sering kita beli buahnya itu sebetulnya masih negara-negara sesama Asia juga. Antara lain Thailand dan China. 75% keranjang buah impor kita dipenuhin oleh buah-buahan dari negara ini.

Sekitar mungkin 10%, buahnya dibeli dari Eropa. Masih lebih banyak daripada yang kita beli dari Amerika Serikat (cuma 7%). Bahkan cuma segelintir lagi isi keranjang buah kita yang dibeli dari Australia, Oseania, dan Argentina.

Kenapa Kita Butuh Buah Impor?

Memangnya Indonesia nggak bisa ditanami apel dan anggur? Oh jangan salah. Apel lokal Indonesia itu banyak dan bagus-bagus. Apel manalagi bikinan Malang termasuk yang digemari banyak orang.

Anggur bahkan bisa ditanami di halaman rumah kita sendiri. Saya punya kawan yang jualan bibit anggur di Binjai, Sumatera Utara, dan dos-q malah mem-branding kebon buahnya melalui YouTube.

Tapi, meskipun hasil panen buah apel dan anggur kita mungkin bejibun, ternyata kita masih kudu berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa hasil buah lokal belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan buah rakyat se-Indonesia.

Siapa yang Butuh Buah Impor?

Meskipun pada dasarnya orang Indonesia senang makan buah, tapi ternyata ada kebutuhan tertentu akan buah yang belum bisa dipenuhi oleh buah lokal.

Ada dua macam kelompok pembeli dalam urusan berbelanja buah ini. 

Kelompok pertama adalah pembeli individu, yang beli buah untuk dirinya sendiri, atau paling banter untuk keluarganya deh. Orang macam gini belanja buah kira-kira 1x seminggu, dan belanjaannya cuman dikit. Karena dia lebih banyak makan lauk atau makan nasi, tapi yang jelas bukan banyak makan buah.

Kelompok kedua adalah pembeli korporat, yang beli buah untuk disajikan kepada orang banyak. Biasanya, kelompok kayak gini berasal dari perusahaan hotel, restoran, atau katering. Kalau beli, jumlahnya pasti bejibun.

Ada perbedaan signifikan antara kelompok pembeli individu dan kelompok pembeli korporat. 

Kalau pembeli individu nggak ketemu buah yang dia mau, dia biasanya nggak begitu bingung. Kalau hari ini nggak ketemu apel, dia akan gantikan dengan alpokat. Di toko buah lagi nggak ada jeruk, maka dia akan beli mangga. Dan begitu seterusnya.

Tapi pembeli korporat nggak bisa begitu. Kalau juru buyer dari restoran nggak dapet pesanan apelnya, dia harus bilang sama juru masaknya bahwa apel nggak ada. Maka sang chef akan blingsatan harus bikin menu pengganti untuk dijual.

Belum lagi menghadapi pelanggan yang kecewa karena bela-belain dateng ke sana demi mencicipi pie apel bikinan sang chef. Pelanggan yang kecewa adalah kegagalan bisnis. Artinya kalo nggak ada buah itu, bisnisnya bisa jatuh.

Yang juga nggak kalah kecewa adalah juru buyer dari perusahaan katering. Bukan katering yang jualan makanan rumahan atau makanan prasmanan lho ya, tapi umumnya yang bingung soal buah impor/lokal itu katering makanan sehat.

Suatu perusahaan katering makanan sehat itu biasanya udah ngatur jadwal, seminggu ke depan itu dia mau jualan menu apa aja, lalu minggu berikutnya mau ganti menu apa. Tiap menu mingguan udah diatur isi kalorinya berapa, lemaknya berapa, karbonya berapa, termasuk seratnya juga berapa.

Dan serat itu umumnya dari buah (selain sayuran). Nah, dia udah ngatur tiap batch kateringnya itu mau kasih buahnya berupa buah apa, berapa gram, karena tiap potong buah itu udah diitung seratnya berapa. Berarti dia udah ngitung berapa biaya produksi belanja buahnya. Bayangin kalo dia udah siap belanja, dan ternyata buahnya nggak ada di supplier, tentu dia kalang kabut.

Kelompok pembeli individu sendiri masih dibagi lagi jadi dua macem sub pembeli, berdasarkan tempat belinya. 

Kelompok sub pertama adalah tipe orang yang beli buah di mana aja, yang penting harganya cocok sama dompetnya. Biasanya orang kayak gini nggak keberatan beli di pasar tradisional, yang penting bayar dikit bisa dapet buah banyak.

Tapi kelompok sub kedua adalah tipe orang yang kalau beli buah itu milih-milih. Dia cuman mau beli buah yang udah pasti manis, lebih bagus lagi kalau ada nomer sertifikat bebas pestisidanya. 

Orang kayak gini biasanya banyak baca jurnal ilmiah, sudah sadar akan keamanan buah, sehingga dia nggak mau beli buah di tempat sembarangan yang sumber kulakan buahnya nggak jelas. Dia cenderung beli buahnya di toko yang premium. Sebut aja contohnya Aeon, Ranch Market, Farmer’s Market, dan sebangsanya.

Dan, orang-orang yang biasanya paling banyak minta buah impor, adalah 1) orang-orang dari kelompok pembeli individu yang kalau beli buah itu milih-milih, dan 2) orang-orang pembeli korporat.

Nah, kenapa sih kedua kelompok pembeli buah ini cuman maunya sama buah impor?

Keunggulan Buah Impor

Berbicara tentang keunggulan buah impor, mau nggak mau akan jadi membuka apa aja kelemahan buah lokal.

Buahnya Selalu Ada

Akar masalah pertama adalah iklim Indonesia sendiri yang tropis. Buah-buahan itu sifatnya cuman tumbuh di musim tertentu, sehingga kalau pembeli kepingin buah tertentu, harus nunggu sampai musim buah itu tiba.

Contohnya buah pir. Buah pir sebetulnya bisa tumbuh di daerah-daerah Indonesia yang berhawa dingin, tapi tetep aja kuantitas panennya nggak sebanyak panen pir di negara-negara lain yang beriklim non-tropis. Padahal orang Indonesia suka banget makan pir. Alhasil, Indonesia lebih banyak orang beli pir Singo asal China daripada beli pir asal Indonesia sendiri.

Ini belum lagi kalau ada risiko dampak perubahan iklim bikin petani jadi gagal panen, sehingga kebutuhan pembeli yang udah pesen pun jadi nggak bisa terpenuhi.

Memang yang mengalami dampak perubahan iklim nggak cuman Indonesia doang, karena ini sudah jadi masalah seluruh dunia. Tapi negara-negara lain sudah bertindak duluan untuk mengantisipasi risiko gagal panen ini. 

China, contohnya, mengajari petani mereka dengan macam-macam teknologi untuk budidaya buah mereka. Jadi biarpun air tanah lagi seret, hawa lagi kering, mereka akan tetap bisa panen, sehingga mereka tetap bisa menjual buah-buahan mereka, termasuk ke luar negeri. Sehingga buah-buahan mereka akan selalu siap diimpor (oleh Indonesia). Pinter kan?

Akar masalah kedua untuk buah lokal adalah sumber daya tenaga kerja pertaniannya. Semua orang juga tahu bahwa rerata yang menjadi petani sekarang orang-orang yang sudah tua. 

Jarang banget generasi di bawah 30 tahun yang mau menjadi petani. Dan bukankah orang kalau makin tua itu makin sulit untuk belajar teknologi baru?

Amerika Serikat ternyata nggak begitu. Di sana, keluarga petani dikasih jaminan sosial macam-macam, asalkan mereka tetap mau bertani. Makanya petaninya betah untuk tetap produktif. Alhasil mereka tetap sanggup menghasilkan buah untuk dijual ke negara lain, termasuk ke Indonesia.

Kedua masalah di atas yang bisa dibereskan oleh buah impor: Buah impor hampir selalu bisa diperoleh. Cocok bagi konsumen (korporat) yang tidak mau menunggu.

Aman

Harus diketahui, suatu negara yang pemerintahnya baik, akan pasang regulasi ketat untuk melindungi rakyatnya dari macam-macam penyakit yang bisa menular melalui buah. Termasuk Indonesia lho.

Saya kadang-kadang terpana juga kalau melihat betapa banyak izin yang kudu dilalui negara-negara untuk bisa menjual buahnya ke Indonesia. Izin-izin itu ya, antara lain:

  1. Buah impor harus lulus Codex International Food Standards dari organisasi WHO.
  2. Ketika masuk pelabuhan di Indonesia, buah impor harus lulus karantina dengan menunjukkan bahwa buah ini bebas residu pestisida tanaman.
  3. Buah impor juga harus dapat izin masuk dari Kepala BPOM.

Dan, negara-negara yang kita impor buahnya itu, lulus surat ini semua lho. Jadi bisa dibilang, kalau beli buah-buahan impor yang dijual di toko-toko premium itu ya aman.

Keunggulan ini yang ternyata belum bisa ditandingi banyak petani lokal. Pernahkah kamu iseng tanya kepada penjual buah di pasar, “Mbok, ini jeruknya ada sertifikat pestisidanya, nggak?”

Mungkin yang ada malah kamu disemprot, “Kalo nggak mau beli ya nggak usah tanya-tanya sertifikat! Saya cuma punya sertifikat vaksin! Nih buktinya!” (sambil nyodorin aplikasi Peduli Lindungi dari HP Nokia-nya)

Petani lokal bahkan mungkin jarang ngurus sertifikat bebas pestisida, bebas hama, dan bebas entah apa lagi buat buah-buahan mereka. Karena mungkin mereka lebih suka perjuangkan sertifikat tanah, supaya mereka bisa garap lahan mereka sendiri.

Waduh, bisa panjang nih tulisan ini kalau sampai menyeret-nyeret ke urusan agraria.

Meskipun ada juga sih petani lokal yang masih mau bersusah-payah ngurusin sertifikat untuk buah mereka. Perkebunan buah kayak PT Nusantara Tropical Farm misalnya, yang kini menjadi kebun Sunpride, sampai belain ngurus sertifikat Global Good Agriculture Practice untuk membuktikan bahwa mereka merumat tanaman-tanaman mereka dengan benar.

Dan mungkin sejauh ini, buah pisang dan nanas honi mereka adalah sedikit dari buah lokal Indonesia yang mengantongi sertifikat Global GAP itu, sehingga aman untuk dikonsumsi, seaman mengonsumsi buah impor.

Penampilan dan Rasa yang Konsisten

Buat toko-toko buah premium, penampilan buah adalah urusan penting supaya buah mereka dibawa pengunjung ke meja kasir. Konsumen pasti nggak mau lah disibukkan milih-milih buah untuk nyari mana buah yang gede-gede, dan mana yang kisut.

Apalagi konsumen individu yang lagi jadi nutrition geek, pasti milihnya buah yang gede-gede. Mereka percaya, buah apel yang ukurannya gede, pasti nutrisinya lebih tinggi ketimbang buah yang kecil (ya iyalah). 

Repotnya, buah lokal ternyata jarang segede buah impor. Apakah di tanah lokal ini pupuknya kurang sehingga akar dan batangnya ikut-ikutan stunting?

Masalah warna juga begitu. Soal apel aja, warna apel impor cenderung lebih cerah ketimbang warna apel lokal. Apakah karena irigasi di negara orang lebih baek ketimbang irigasi tanah negeri kita yang sering kebanjiran atau sering kena kemarau?

Sementara itu, kalangan pembeli korporat lebih ribut soal rasa. Beberapa chef yang pernah saya ajak ngobrol, ngaku bahwa kalau beli buah impor itu manisnya konsisten. Tapi kalau beli buah lokal, taste-nya ibaratnya kayak tebak-tebak buah manggis, kadang manis kadang asem kadang kecut. Lha ini kalau mau dibikinin hidangan buat tamu restorannya kan repot kalau rasa buahnya nggak konsisten?

Bisa jadi, buah impor itu penampilan dan rasanya cenderung konsisten karena petaninya sudah distandarisasi. Ya atuh kalau urusan hama dan residu pestisida aja disertifikasi, maka standarisasi rasa buah mestinya bukan urusan sepele juga buat mereka. 

Bukan tidak mungkin sebelum mereka masukin buah mereka ke container, mereka ngetes acak buah mereka di laboratorium. “Yak, batch ini kadar sukrosanya ternyata kurang! Gak usah masuk truk! Dibikin rujak aja!”

Bagaimana Menyaingi Buah Impor

Tulisan ini, tentu saja bukan dimaksudkan untuk mengglorifikasi buah impor dan meninggalkan buah lokal. Tapi saya juga ingin menyampaikan bahwa meskipun kita kudu cinta ploduk-ploduk dalam negeli, kita perlu tetap introspeksi kenapa buah lokal kita kalah bersaing dengan buah impor pada kelompok segmen konsumen tertentu.

Satu hal yang masih jadi poin penting sampai sekarang, negara-negara lain yang berhasil jadi sumber impor buah negara kita itu, rerata memang lahan pertanian buahnya gede-gede. Istilahnya, food estate. Di Indonesia, pembangunan food estate kadang-kadang masih terhambat oleh beberapa kalangan karena seperti memicu deforestasi. Kita memang kadang-kadang tidak tahu apakah pemulihan lahan-lahan hutan yang rusak itu memang sengaja diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan buah rakyat Indonesia, atau ujung-ujungnya mau dipakai untuk memenuhi kebutuhan biogas (baca: kelapa sawit).

Beberapa konsumen korporat dari kalangan hotel dan restoran, kini memang berusaha mengurangi ketergantungan kepada buah impor. Mereka berusaha mempromosikan menu-menu baru dari buah lokal. Ini juga dibantu oleh kampanye di sana-sini yang mengajak konsumen individu supaya mau makan buah lokal. 

Tapi tetep, persoalan konsistensi ketersediaan buah lokal masih jadi keberatan bagi para pelaku bisnis ini. Mungkin salah satu jalan keluarnya, adalah bikin industri logistik dan penyimpanan dingin di banyak daerah, supaya buah lokal selalu tersedia dalam perjalanan menuju konsumen korporat. Di sinilah gunanya pembangunan infrastruktur, supaya logistik bisa jalan. Repotnya, kalau orang Pemerintah mau bikin jalan aja, masyarakat lokalnya sebel karena ribut perkara pembebasan tanah..

Pada akhirnya, saya merasa bahwa larisnya buah impor ketimbang buah lokal di kalangan konsumen-konsumen tertentu, hanyalah semata-mata urusan supply and demand. Saya yakin, kalau 1) seluruh petani buah lokal bisa memperbaiki hasil panennya, dan 2) seluruh rakyat mau mendukung distribusi buah lokal, dan 3) seluruh manusia mau mengurangi dampak perubahan iklim, maka buah lokal akan bisa jadi raja di negeri sendiri. Kalau menurutmu, gimana keunggulan buah impor yang sulit ditandingi buah lokal? Bagikan ya, pendapatmu di kolom komentar..

44 comments

  1. hamimeha says:

    wah aku juga pemilih nih dalam memilih buah, suka menggrutu kalo dapat buah kisut2. dan rempong kalo suruh muter2 membolak ballik dagangan buat dapat yang lebih segar

    nah inilah alasan kadang aku suka merajuk ke suami buat ke salah satu supermarket buat nyari buah yang terlihat lebih segar, besar,bersih di sana ketimbang harus berlama2 millih buah di pasar atau pinggir jalan

    knpa buah lokal keliatan lebih imut ya hahaha aku membaca stunting di gunakan unttuk buah langsung auto bayangin buah cebol kayak mana mbakkk 😀

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Buah lokal mungkin nampak lebih kecil daripada buah impor karena asupan pupuknya kurang banyak, kurang tepat waktu, atau tanahnya belum cukup gembur tapi sudah dipaksa ditanami buah. Kalau mau buah lokal nampak lebih besar, ya sistem perkebunannya perlu lebih baik.

  2. Ya Allah ngakak bagian nunjukin sertifikat vaksin wkwkwkwkwk, bisaaa aja bu dokter ini :p.

    Dulu yaa aku sempet jadi tipe pembeli buah yg ga penting beli di mana, asalkan murah . Tapi beberapa kali beli di swalayan biasa (bukan yg kelas premium) kok yaaa kecewaaaaaa Mulu. Beli semangka cuma 1 hari, trus besoknya disimpan di kulkas kok ya lgs bau… Ato rasanya hambar g manis. Beli salak, banyak busuknya. Beli apel kecut, beli anggur apalagiiiii hahahahah.

    Trus iseng aja ke toko buah premium, dan aku beli deh buah2 impor mereka kayak anggur seedless hitam, apel, melon dan semangka. Duuuuuh itu ekspresi muka lgs bahagia Vic, kok ya anggurnya beneran muaniiiis dan seedless. apelnya kres2 banget digigit, ga kayak gigit gabus.

    Semangka dan melonnya juga uenaaaak. Memang mahal, tapi kalo rasanya seenak itu, jujur aja aku ga keberatan bayarnya. Daripada aku beli murah, tapi ujung2nya ga ikhlas buang duitnya :p.

    Jangankan dibanding Ama China dkk, lah dibanding a Thailand aja buah kita jauuuuuhhh. Aku pas traveling ke Bangkok, Chiang Rai dan Chiang Mai, selalu beli buah Ama pedagang kaki lima, itu buahnya seger dan enak2. Padahal iklim mereka sama aja kayak kita kan. Kenapa Thailand bisa, Indonesia ga -_- .

    Kalo ditanya buah lokal mana yg msh rutin aku beli, itu cuma durian :p. Tapi terkadang pun suka nemuin juga yg rasanya hambar hahahahah.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Aku dengar Pemerintah Thailand itu serius dengan petani buah mereka. Mereka tuh fokus ke buah-buah tertentu aja, tetapi buahnya diriset baik-baik supaya benih yang dipakai hanya benih unggul. Makanya rasa buah dari Thailand ya enak-enak begitu.

      Negara-negara lain yang berhasil mengekspor buahnya, rerata juga pinter di riset buahnya. Batch buah yang nggak enak (misalnya karena kurang manis), nggak boleh dimasukin ke kapal kargo. Jadi quality control mereka tuh berfungsi banget gitu.

  3. Pak Eko says:

    Bener lho, saat ini Buah Lokal terkadang tidak konsisten baik dalam supplay maupun kualitas, mungkin karena diproduksi dari tanaman petani yang tersebar dan bukan dari perkebunan buah seperti di overseas. Belum banyak perkebunan buah di Indonesia, dengan sistem management yang mendukung, yang banyak perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan belum banyak intensifikasi perkebunan buah. Masih menggantungkan musim buah dan panen dari tanaman buah di halaman atau pekarangan. Terima kasih sharingnya, salam sehat.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Soalnya bikin food estate khusus buah di sini juga susah ya, Pak. Mungkin kalau petani-petaninya mau diajakin bikin food estate, kita bisa bikin buah lokal kita seproduktif buah impor.

  4. julia says:

    Tak disangkal kadang buah impor memang lebih enka konsumsi. Apalagi kalaunApel dan anggur lagi diskon selebihnya kami mengkonsumsi buah naga , jeruk medan , pisang ambon.

  5. Ning! says:

    Kalau aku malah suka buah lokal Mba Vic, soalnya kalau di sini lebih fresh dan harga juga lebih murah. Nah, masalah pestisida ini sih ya yang agak repot. Hal kecil yang aku lakuin sih dengan mencuci buah dengan sabun cuci botol anakku yang food grade, buat mengurangi residu bahan kimia yang melekat.

    Pilih buah lokal juga karena pengin mendukung petani dan penjual buah lokal

  6. Taumy says:

    Kalau di kampung saya sih nggak terlalu ngelirik, dengan kehadiran buah impor karena sudah terbiasa dengan buah-buahan yang sedang musim. Apalagi kan harganya terjangkau. Kaya lagi musim rambutan harganya cuma 5ribu. Jadi merakyat. Setiap bulan pasti selalu saja ada buah yang lagi musim. Jadi ga terlalu ngelirik buah impor.

  7. Ayu Natih Widhiarini says:

    Saya sebenernya lebih suka buah lokal ketimbang buah impor, namun sering kali para pedagang buah cenderung mengagungkan buah impor “Ini Apel Impor, manis banget di dalamnya” yang membuat sebagian besar ibu-ibu lebih milih beli buah impor.
    Padahal sebenernya buah lokal juga gak kalah bagus, cuma ya memang gitu dari segi tampilan memang terkesan kurang, seperti buahnya kecil-kecil, kisut dan lain sebagainya.

    Saya setuju, andaikan petani buah terus berinovasi memperbaiki hasil panen dan masyarakat lebih suka produk lokal, pasti buah-buahan lokal ini bisa mendominasi.

  8. Menjadi PR untuk kita semua terutama petani dan pelaku usaha hortikultura (khususnya buah-buahan) untuk terus meningkatkan kualitasnya sehingga mampu bersaing dengan produk impor. Dulu waktu masih menangani impor sebenarnya suka miris sendiri karena negeri ini kebanjiran produk Impor termasuk buah-buahan juga. Namun, kita juga gak bisa menolak itu karena perdagangan akan terus bergerak dan salah satu cara untuk menghadapinya ya dengan meningkatkan kualitas produk lokal

  9. Fenni Bungsu says:

    Dari bentuknya, kalau buah import itu misalnya bulat ya bulatnya nggak pakai acara penyak-penyok dan karena dijualnya di toko premium jadilah bersih, sehingga bikin tertarik beli.

    Selain itu juga sama rasanya. Waktu kecil dikasih tahu Tanteku, “kalau beli buah di supermarket, Fen, karena soal rasa udah pasti gak bohong.” Ya memang sih, kualitas terjaga.

  10. Raja Lubis says:

    Aku kadang nggak paham mana yang impor dan mana yang lokal. Aku termasuk konsumen pribadi yang nomor 1, selama duit ada dan pas, beli di pasar tradisional pun nggak masalah. Karena dengan uang yang sama bisa dapat banyak untuk sekeluarga. Hehe.

  11. Atiq says:

    Memang harus diakui yg import lebih menggoda, selain ya memang kualitas yg didapatkan terkadang lbh bagus. Mungkin produk lokal perlu lebih belajar lg untuk mengelola produknya biar disukai warga lokal jg 😉

  12. Asyeek akhirnya aku dapet jawaban dari pertanyaan besar ini. Ternyata kembali ke modal awal. Kualitas. Duh jadi makin greget deh sama ibu pertiwi ini. Selalu kalah dalam hak kualitas. Moga saran dari Mbak Vicky nih dibaca dan dilaksanakan oleh para pemangku kebijakan. Email ke mereka deh Mbak, terus todong: ayo laksanakan, atau kutembak (dengan cinta)

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Pemangku kebijakan udah punya kebijakan kok. Mereka mau bikin food estate. Tapi para pemilik lahan mungkin ogah karena bisa-bisa ijinnya diselewengkan menjadi deforestasi. 😀

  13. Saya akui buah impor memang terbukti lebih unggul dari buah lokal, baik dari segi rasa maupun penampilan (warna dll). Tapi kadang saya suka kepikiran kalo tuk buah impor itu pake pengawet ga sih? soalnya kan proses pengirimannya butuh waktu yang relatif tidak sebentar. Trus ada yang bilang kalo apel impor dilapisi lilin biar lebih. awet. Masih simpang siur juga sih. Dan saya termasuk orang yang cinta ploduk dalam negeli. Inget jargon ini jadi auto pengen ketawa, hihi.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Sekarang mau buahnya disuntikkan pengawet atau dilapisin lilin, apakah lantas pengawet dan lilin ini berbahaya bagi konsumen? Kalau BPOM sudah kasih izin masuk kepada buah impor, berarti buah-buahan ini tidak berbahaya bagi kesehatan meskipun diberi zat aditif macam-macam.

  14. setuju banget Mbak Vicky

    kuncinya ada pada kemauan dan kemampuan pemerintah memproteksi petani seperti AS, Australia dan yang paling dekat: Thailand ya?

    selama ini petani berjuang sendiri, gak heran kualitas gak terjaga, sehingga banyak yang pindah ke lain hati, ke buah impor 😀

  15. Waktu di Thailand dulu kaget juga dengan rasa buah-buahannya yang jauh lebih enak dengan di Indonesia. Dengan Thailand negara tetangga saja pertanian kita masih kalah ya. Sayang sekali padahal unsur tanah gembur, air dan matahari yang berlimpah kita punya. Harus semakin banyak anak bangsa yang bergerak di bidang pertanian untuk memajukan teknologi pertanian kita nih.

    Bukan hanya anak-anak yang stunting eh buah2 an juga ikut2an…. heu..

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Sebetulnya sarjana teknologi pertanian kita udah banyak. Tapi sarjana nggak bisa bergerak sendiri kalau petaninya nggak mau belajar hal baru untuk meningkatkan kualitas buah mereka.

      Ya memang perlu kemauan untuk belajar sih. Yang satu belajar komunikasi, yang satu lagi belajar teknologi.

  16. Ariefpokto says:

    Memang harus diakui keunggulan buah impor selain kualitas adalah konsistensi bentuk, rasa dan juga stocknya. kadang memilih buah impor walau mahal tapi mencari kualitasnya yang selalu sama. Masih beli buah lokal juga sih, tapi dari jenis lokal seperti salak, mangga, manggis. Karena kalau apel, jeruk dll kalah jauh

  17. Ina Tanaya says:

    Langsung kena dech dengan analisa, kenapa kok suka buah impor. Iya rasanya sangat beda sekali utk buah impor. Jika lokal kadang-kadang enak, tapi kadang-kadang sepat. Kuncinya memang pada konsistensi. Semoga apa yang telah diusahakan Pemerintah dengan regulasi bisa diperkuat dengan usaha petani dan pengguna/konsumennya

  18. Reyne Raea says:

    Bener banget Mbak, sejujurnya saya lebih suka buah lokal, apalagi kalau Apel Malang.
    Duh favorit banget tuh, meski apel impor itu menggoda dan manis, dasar saya suka yang kecut-kecut ya, jadinya lebih suka apel Malang.

    Cuman ya gitu ya, kadang sulit nyarinya.
    Lebih mudah nemukan buah impor sih ya, lebih murmer juga harganya hiks

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Problem apel lokal itu pada logistiknya. Kadangkala mereka nggak berhasil nyetok di pasar buah karena kebetulan ada halangan pada transportasi dari kebon apel menuju pasar. Makanya sering tidak available meskipun murah.

Tinggalkan komentar