Masalah Ndeso pada Dokter Ndeso

Berpuluh-puluh tahun lalu, tersebutlah sebuah sekolah kedokteran spesialis kulit dan kelamin di sebuah kota, di mana ada seorang murid sekolah itu yang nggak lulus-lulus. Semua stase sudah dia lewati, semua tugas sudah dikerjakan, tinggal satu problem yang belum teratasi: Ada seorang dosen penguji yang nggak mau ngelulusin dia. Betul-betul bikin stress, pokoknya kalau akhir tahun itu dia nggak lulus, universitas mengharuskan dia di-drop out coz batas waktu pelajarannya sudah habis, dan cita-citanya menjadi dokter kulit terancam buyar.
Akhirnya suatu hari, pelan-pelan, dengan takut setengah mati, si mahasiswa beringsut dateng ke dosennya itu. “Dok, maaf ya, saya cuman mau nanya, kenapa sih saya nggak boleh lulus juga sama Dokter?”
Dosen itu terdiam. Dia menarik napas, dan akhirnya berkata, “Tau nggak kamu kenapa saya nggak mau meluluskan kamu? Nanti kalau kamu lulus, kamu akan jadi dokter kulit. Dan kamu akan jadi dokter kulit satu-satunya di kota ini SELAIN SAYA.”
Si mahasiswa melongo kaget. Ya ampun, jadi selama ini si dosen itu nggak ngelulusin mahasiswanya itu coz dosennya takut prakteknya dapet saingan.Singkat cerita, akhirnya si mahasiswa bikin perjanjian sama dosen, bahwa kalau dia lulus, dia akan praktek di kota lain. Dan akhirnya si mahasiswa pun mendapatkan gelar dokter kulitnya, dan di tempat tugas barunya, prakteknya rame, bahkan lebih rame daripada praktek dosennya. Apa sebab? Yah kan dosennya itu makin lama makin menua, kemampuannya berkurang, dan secara almiah kepercayaan pasiennya juga makin menurun.
***
Saya sudah lama nggak dengar persoalan rebutan pasien yang cukup norak itu sampek kemaren saya ngobrol dengan kolega-kolega saya dari luar Jawa. Di luar Jawa itu, distribusi dokter spesialisnya begitu minim sampek-sampek jamak ditemukan bahwa di tiap ibukota kabupaten hanya ditemukan satu orang dokter saja untuk spesialistik tertentu. Efeknya ternyata lebih berat daripada yang saya kira; pasien-pasien begitu bergantung kepada satu-satunya dokter tersebut coz memang dia cuman satu-satunya yang ahli menangani problem penyakit tersebut di sana. Ketika ada dokter spesialis yang sama, yang baru lulus dan buka praktek di kota itu, pasien jadi seneng karena merasa mendapat lebih banyak pilihan berobat. Akibatnya, dokter yang lama jadi merasa cemburu lantaran dapet “saingan” dan mulailah timbul gontok-gontokan kecil antar dokter.
Seorang kolega saya cerita bahwa di kota asalnya, cukup sering terjadi tabrakan motor. Repotnya kalau korban kecelakaan itu cedera kepala, nggak ada dokter spesialis bedah saraf yang bisa ngoperasi. Yang ada cuman dokter saraf (bukan bedah saraf), dan dokter saraf nggak berwenang ngoperasi kepala. Lalu suatu hari di kota itu terjadi kecelakaan lalu lintas, yang untungnya kepalanya nggak cedera, sehingga dia masih bisa makan, bisa ngomong, dan masih bisa ketawa-ketiwi, hanya problemnya adalah dia patah kaki. Tetapi, dokter saraf memaksa pasien itu diopname berhari-hari di ruang perawatan saraf, dan melarang pasien itu diopname di ruang perawatan bedah untuk operasi penyambungan kakinya. Alasan dokter saraf itu, takut pasiennya mendadak pingsan, kan dia habis kecelakaan lalu lintas.. Akibatnya, dokter bedah tulang yang mau ngoperasi pasiennya terpaksa bolak-balik visite ke ruang perawatan saraf, padahal sarafnya nggak kenapa-napa..
Saya ngerti masyarakat Indonesia di daerah-daerah luar Jawa sering mengeluh karena kekurangan dokter spesialis. Pemerintah sudah baik hati, menggencarkan banyak beasiswa untuk sekolah dokter spesialis, supaya setelah lulus nanti mereka bisa dipekerjakan sebagai dokter spesialis yang menolong masyarakat di luar Jawa. Tetapi nggak bisa disangkal bahwa di kalangan dokter sendiri, adanya dokter lain di daerah yang sama malah bisa bikin dokter itu merasa tersaingi, takut kehabisan pasien.Di mata saya sendiri, more merrier, more fun. Makin rame temennya, makin seneng. Kalau saya praktek nanti, dan ternyata ada dokter lain yang praktek sebelah saya, mungkin saya bakalan seneng coz berarti saya bisa bagi-bagi kerjaan. Kalau kerjaan pasien saya bisa dibagi, mungkin saya bisa meluangkan waktu lebih banyak buat ngeblog, bagi-bagi pengetahuan, dan jalan-jalan. Hidup saya akan lebih berwarna karena saya punya banyak kegiatan, jadi saya nggak akan stress..
Selama manusia masih ada, penyakit pasti masih tetap ada. Di dunia ini nggak ada sejarahnya suatu negara bisa bebas dari sakit. Bahkan Finlandia, yang konon negara yang paling sejahtera sekalipun, ternyata banyak penduduknya yang sakit, terutama sakit alergi cuaca di musim dingin. Negara kita? Kasus alergi cuaca kita masih sedikit, dan penduduk kita masih kebanyakan flu, mencret, dan panu. Mungkin akan ada suatu masa nanti di mana infeksi mulai berkurang, dan penyakit yang nge-trend adalah alergi debu dan diabetes lantaran kebanyakan makan bakmi goreng. Tapi yang pasti, penyakit tetap akan eksis, dan masyarakat tetap butuh dokter, jadi dokter nggak perlu takut kehabisan pasien.
Dokter boleh bertugas di kota kecil dan hidup ndeso. Tapi mental nggak perlu ikutan ndeso laah..

23 comments

  1. Hai Irni.
    Terminologi "ndeso" di sini bukan berarti desa, atau wilayah pemerintahan yang dikepalai oleh kepala desa. Tapi "ndeso" di sini berarti keadaan mental yang ciri-cirinya minim sarana, minim infrastruktur, minim penghasilan, dan minim segala macam lainnya dibandingkan keadaan di kota. Dalam hal ini bisa dicontohkan dalam kalimat, "Karena di Sambas tidak ada universitas seperti di Pontianak, maka Sambas lebih ndeso daripada Pontianak." Atau, "Upah minimum regional di Jakarta lebih tinggi daripada upah minimum di Pontianak, jadi Pontianak lebih ndeso daripada Jakarta." Gitu ya.

    Pada banyak kasus, sering kota-kota yang setaraf ibukota propinsi masih sering kekurangan dokter spesialis tertentu. Maksudnya, bukan berarti spesialis X itu tidak ada. Sumber daya manusianya sudah ada, namun jumlahnya belum mencukupi, jadi masih perlu ditambah. Ini biasanya terjadi di kota-kota yang lebih "ndeso" daripada kota lainnya. Sebagai contoh, misalnya jumlah dokter spesialis kandungan di Pontianak ada delapan orang. Jika jumlah perempuan di Pontianak ada 10.000 aja, dokter kandungan yang cuman delapan orang itu nggak cukup dong buat melayani semuanya, karena itu ya harus ditambah. Artinya, kita nggak boleh puas dengan jumlah tenaga yang sudah ada, tapi harus menambah jumlahnya supaya tenaga-tenaga yang ada itu bisa bekerja dengan optimal dalam kualitas terbaik. Kualitas terbaik itu, ditandai pasiennya sembuh tanpa harus bolak-balik berobat untuk penyakit yang sama, serta dokternya juga selalu segar tanpa kecapekan dan punya waktu buat keluarga dan dirinya sendiri. Begitu ya, Irni.

  2. niee says:

    waahh,,, ternyata ada yang seperti itu yak.. *baru tahu*
    Tapi mungkin desa bukan perlu penambahan dokter spesialis yang telah ada, tapi dokter spesialis yang baru dan belum ada di sana, jadi gak berebut pasien kan yak 😀

  3. Haiyah, itu neuropati diabetik atau stroke dengan faktor risiko diabetes? Apakah internisnya nggak tahu kalau orang pusing menahun harus dikonsul ke neurolog? Kadang-kadang ketidaktahuan seseorang atas kompetensi bidang ilmu profesi lain bisa bikin celaka pasien juga kan?

  4. Sri Riyati says:

    Ini miris tapi nyata. Makasih udah nulis tentang ini. Ada banyak kasus orang "menyimpan" pasien hanya karena alasan gak mau bagi2 rejeki. Betapa piciknya! Ada pasien dengan pusing menahun nggak dirujuk ke dokter saraf, karena dokter penyakit dalam masih mau menangani, padahal sebenarnya sudah di luar kemampuannya. Setelah pasien kehilangan kesadaran barulah dokter saraf dihubungi dan keadaannya sudah terlambat.

    Kalau begini apa ya mosok rejekinya dibilang halal? Jadi dokter kok mentalnya gembel sih, takut gak makan besok kaya pengemis aja…

  5. Yang boleh otopsi kan cuman dokter forensik, jadi ternyata Sarawak juga kekurangan ahli forensik tho?
    Kesiyan bener tuh jenazah ngendon dua minggu di ruang mayat, ya nggak akurat lagi dong hasil pemeriksaannya. Hm..sebegitu kurangnyakah distribusi spesialis di Malaysia sampek mayat aja nggak kebagian dokter?

  6. Ya ampyun, segitu piciknya yah Vic. Padahal rezeki mah udah dikasih Tuhan porsinya sendiri2.

    Gw seh kaga tau kalo di Miri ini macam gituh juga kaga. Tapi yang jelas, Dokter spesialis emang terbatas loh. Misalnya waktu tetangga gw ada yang meninggal tiba2, ditemukan di pingir jalan & kudu di otopsi (karena polisi menyangka doski korban perampokan), masa tu jenazah kudu nunggu 2 minggu di ruang mayat secara Dokter Forensiknya lagi ke Kuching. Cuman sebiji boo. Duuuhhhh!! *ini curcol mengenai penyebaran Dokter yang jumlahnya minim di daerah. Padahal Miri termasuk kota besar loh*

  7. Mbak Ina, aku bahkan nggak bisa nyebut praktek sampek subuh itu prestasi. Aku sangat meragukan kualitas kerja orang pada jam di mana seharusnya ia sedang tidur.

    Mas Stein, kalo mau nyari dokter miskin, carilah dokter yang baru lulus, bukan yang sudah berumur di atas Mas Stein. Atau carilah dokter yang tiap hari naik sepeda motor, bukan yang dianter pakai supir. Coba cari yang rumahnya di gang-gang kecil, bukan yang rumahnya di Jalan Dieng.

    Baik bener itu kolega saya yang nanyain sampeyan sudah punya obat apa di rumah. Saya rasa dia memahami bahwa pasien juga mesti ngirit. Pasien biasanya seneng kalau dia dikasih alamat dokter yang lebih expert dari dokter pertama. Tapi biasanya makin expert seseorang, prakteknya pasti makin rame, pasien jadi makin males ngantre, niscaya pasien ya baliknya ke dokter yang pertama lagi.

    Saya nggak tahu berapa presentasi dokter yang rajin berebut recehan, Mas. Tapi saya yakin kolega saya yang tidak seperti itu jumlahnya masih sangat banyak. 🙂

  8. mas stein says:

    saya sempet mikir tulisan ini dihapus lho mbak, wong muncul di reader saya tapi begitu saya klik page doesn't exist.

    jadi mikir, kayaknya saya blom pernah nemu dokter miskin. hehe.

    kalo ceritanya karena takut kehilangan pasien yang berujung ndak dapet duit, saya mau cerita tentang seorang dokter spesialis anak di malang. dokter ini tarifnya ndak mahal, paling ndak dia lebih murah dari dokter spesialis anak langganan saya sebelumnya yang pelit ngomong dan suka obral obat mahal.

    tiap kali saya bawa anak saya ke sana, sebelum ngresepin obat selalu ditanya, "di rumah sudah ada obat apa?" baru dia resepin yang saya ndak punya.

    itu saja?

    ada lagi mbak, waktu pamitan selalu dipesenin, "nanti kalo masih ada masalah dateng lagi ya."

    kadang saya dateng lagi, cuma untuk memastikan anak saya sudah ndak papa. dan konsultasi kedua ini selalu gratis, termasuk konsultasi setelah hasil tes lab anak saya keluar. kadang mbikin saya ndak enak, karena konsultasi ndak cuma di tempat dia praktek sendiri, kadang disuruh dateng ke rumah sakit.

    saya blom pernah ketemu dokter yang menggratiskan konsultasi macem ini sebelumnya, tapi saya yakin dokter yang ndak melulu mikir rupiah bukan cuma dia.

    kalo soal rebutan pasien, saya malah pernah direkomendasikan ke dokter spesialis anak lainnya, "Pak, menurut saya anak sampeyan itu begini-begini, tapi kalo mau second opinion silakan dateng ke dokter anu, dia lebih expert di bidang beginian."

    yah, semoga dokter yang rebutan receh macem yang sampeyan ceritakan itu cuma segelintir mbak.

  9. Vicky aku suka kasihan sama dokter yang praktek sampe subuh pasiennya bisa mencapai seratus orang sehari, dokterkan butuh istirahat, butuh tidur, jalan-jalan juga kan? Vic, ditempatku dokter kandungan cewek cuma satu nih, ntar kalo lulus kesini aja yaa…

  10. Kembali pada pasien..meskipun dokter sudah buka praktek sangat lama tetapi jika tak mengerti pasen pasti pasien akan jenuh, begitu juga jika dokter yang baru buka praktek.

    Pasien hanya akan datang kepada dokter yang menurutnya cocok dengannya…meskipun itu dokter mahal atau biasa aja.

  11. Inge, kalo kejadian ini ada di Lombok, aku sangat mengerti bagaimana bisa seperti itu.
    Terlalu sedikit dokter di suatu tempat, sebetulnya tidak baik buat masyarakat di tempat itu. Dokter perlu istirahat, jadi dokter nggak seharusnya melarang pasien pindah ke dokter lain.
    Semoga di masa datang, jumlah dokter di tempat-tempat tinggal kita lebih memadai ya.

    Mbak Dini, aku setuju banget sama Mbak. Milih dokter itu seperti milih restoran pizza. Biarpun restoran-restoran itu berdiri berjejeran dan kita bisa mencicipinya satu per satu, tetapi jika ada satu restoran yang sudah sreg dengan lidah kita, pasti kita maunya balik ke restoran itu lagi, sehingga restoran itu nggak perlu takut kehilangan kita sebagai pelanggan.

  12. IbuDini says:

    Jika tak ingin di saingi jadilah dokter yang benar2 mengerti akan penyakit pasien dan dengan baik memberikan solusi kepd pasien.

    Meskipun kita praktek bersebelahan..kembali pada pasien dia akan memilih dokter yang sudah cocok menurut dia.

  13. AdeLheid says:

    Vic, ini jadi ngingetin saya akan kejadian di kampung halaman sendiri tahun lalu yang akhirnya jadi korban keluarga sendiri juga. *jadi pengen nangis kalo inget2 lagi*
    Dokter ngga ada, rumah sakit penuh sampai ngga ada tempat. Disaat genting dokternya malah pergi berlibur & ngga mau dateng, padahal waktu mau pindah dokter lain ngga dikasih. Aku sampai kepikiran, apa segitu kurangnya dokter diIndonesia??? Apa segitu dalamnya keinginan mereka buat mikirin "uang" sampai nyawa orang ngga ada harganya. 🙁 Tapi aku ngga bisa salahin siapa2 karena nyawa yang sudah pergi ngga bisa dibawa kembali 🙂 Moga2 Vicky & adek2ku juga nanti bisa jadi dokter yang melayani masyarakat dengan sepenuh hati. *ngelap ingus* hikz.

  14. Dear dr Grace, isi otaknya begitu karena kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya rendah. Kecerdasan otaknya rendah karena malnutrisi.
    Makanya sebagai dokter, kita mesti banyak-banyak makan makanan yang bergizi supaya emosi dan spiritual kita cerdas.
    Semoga dr Grace diterima di Riau ya, dan nggak rebutan pasien di sana. 🙂

  15. Grace says:

    yah… memang pendidikan ini banyak ceritanya yah doc yah?
    Kalo bagi saya sih, dunia ini masih terlalu luas untuk semua orang, apalagi untuk para dokter, kasihan…
    Tapi, tidak dipungkiri, yah banyak ntuh yang masih begitu isi otaknya..

  16. widihh licik banget doker yang ngak lulusin gitu. wihhhh mudah mudahan sadar. hmmm rebutan pasiean. mudah mudahan juga ngak doain pasien sakit. hihi. nice post

  17. Arman says:

    wah iya gak bener itu dosennya.. masa gara2 takut pasiennya direbut jadi mahasiswanya gak dilulus2in…

    kaco juga ya kalo ada oknum2 dokter yang begitu, takut kehilangan pasien… hehehe.

    lu jangan gitu lho vic! 😛

  18. kata-kata terakhirnya itu menarik sekali. memang mentalitas itu sangat penting. muka dan tempat tinggal boleh ndeso, tapi mental jangan ndeso. dipikir-pikir, egois dan serakah sekali dokter yang takut kekurangan pasien itu. padahal tuhan itu maha adil dalam menjatah rejeki, jadi kenapa mesti takut? 🙂

Tinggalkan komentar