Jika Anda ngira bahwa praktek nyontek kebut semalem cuman jadi monopoli anak sekolah dan mahasiswa kelas teri, maka Anda salah.
Seorang perawat di suatu dusun suatu hari bertanya kepada seorang dokter, biokimia itu apa. Sang dokter jawab bahwa biokimia itu gabungan biologi dan kimia. Si perawat nanya lagi contohnya biokimia kayak apa. Sang dokter jawab bahwa biokimia itu misalnya menerangkan bagaimana kebanyakan glukosa dalam darah bisa bikin kondisi hiperglikemia, lalu nyuruh si perawat buka internet aja supaya dapet contohnya.
Beberapa hari kemudian, sang dokter mendapati seorang perawat lain lagi browsing tentang glukosa darah di kompie kantor mereka. Perawat yang ini ngambil artikel di internet lalu menjiplaknya mentah-mentah ke halaman MS Word-nya. Sang dokter tanya kepada perawat untuk apa artikel itu, mengingat perawat yang satu ini kerja di bagian keuangan yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan glukosa darah.
Lalu perawat yang kedua ini jawab, dia bikin karangan ini buat atasannya, yaitu perawat yang pertama. Perawat yang gw ceritain pertama itu ternyata lagi ambil S2 Kesehatan Masyarakat di sebuah kampus di ibukota.
Kita lihat di sini ternyata ada yang ganjil.
1. Seorang mahasiswa S2 disuruh bikin tesis tentang hal yang bahkan dia tidak tahu sama sekali definisinya.
2. Karena mahasiswa S2 ini tidak mengerti materi tesisnya, disuruhnya orang lain yang kebetulan pendidikannya baru D3 buat ngerjain tesis itu.
3. Orang yang D3 ini tidak lagi bekerja dengan lingkup kesehatan, maka ketika dia disuruh bikin paper tentang dasar kesehatan, dia sulit cari bahan yang nyambung. Ini seperti disodori keyword doang lalu disuruh mengarang indah. Tesis macam apa ini?
Sang dokter pun mikir kampus macam apa yang nyuruh mahasiswa pascasarjananya bikin tesis tentang biokimia padahal mahasiswanya sama sekali tidak tahu apa itu biokimia. (Biokimia itu materi kuliah S1 kesehatan lho, jadi kalo mahasiswa pascasarjananya nggak tau apa itu biokimia, itu mengharukan.) Ternyata, program pascasarjana yang diikuti perawat itu, adalah program tiga semester yang kuliahnya cuma weekend, dan hanya sebulan sekali. Jadi, Anda bisa meraih gelar S2 Kesehatan Masyarakat hanya dalam tiga semester, dan cukup datang kuliah satu kali saja tiap bulannya. Tesis yang didaulat sebagai tugas akhir itu cuma formalitas, tak perlu riset. Dan itu pun nggak perlu Anda yang bikin, cukup Anda bayarin orang lain, nanti Anda tinggal tulis nama Anda di halaman depannya, dan gelar pun di tangan.
Gw rasa kasus ini banyak. Orang beramai-ramai masuk sekolah S2, sebagian bukan karena hasrat pengen belajar lagi, tapi lebih karena faktor kepepet. Buat pegawai negeri sipil, siapa yang punya gelar S2, berarti dia dapat pangkat yang lebih tinggi. Pangkat tinggi berarti gaji lebih gede. Jadi salah satu alasan orang sekolah pascasarjana adalah karena pengen duit.
Di pihak lain, kampus kudu cari akal supaya tetap bisa beroperasi. Mereka mulai buka kelas plus-plus, antara lain ya kelas weekend sebulan sekali itu, yang boleh diikuti mahasiswa manapun asal kuat mbayar. Perkara mahasiswanya nggak ngerti materi silabusnya karena kuliahnya cuman sebulan sekali, itu urusan belakangan. Masa bodoh dosennya nerangin cuman seadanya dalam tatap muka dua jam doang. Pokoknya yang penting, kampusnya bisa meluluskan mahasiswa pascasarjana dalam jumlah banyak. Kualitas lulusan masternya dogol, peduli amat.
Lalu otonomi daerah memperparah keadaan. Sadar bahwa Pemda nggak punya cukup pegawai sipil yang kompeten buat jadi kepala kantor, maka Pemda nuntut para pegawai yang masih S1 buat sekolah S2 dan minta pegawai lulusan D3 buat sekolah S1 lagi. Makin rendah tingkat pendidikannya, makin besar kemungkinan sang pegawai negeri sipil buat dilempar ke daerah terpencil yang miskin listrik. Siapa mau toh?
Maka pegawai-pegawai yang panik, pun rame-rame cari sekolah lagi. Sialnya, kampus negeri nggak punya cukup bangku buat mereka semua.
Maka kebutuhan akan gelar pun jadi lahan bisnis baru. Kampus-kampus dengan akreditasi kacangan pun mulai jualan gelar. Mereka membayari orang buat jadi dosen terbang, dan mengeruk keuntungan dari pegawai-pegawai negeri sipil malang yang haus gelar S1 dan S2. Di Palangka, Anda bisa nemu sekolah tinggi yang jurusannya cuma kuliah tiap weekend, dan kuliahnya diadakan di ruangan yang bayaran kontrakannya Rp 1 juta/bulan.
Akhirnya, siapa sih yang peduli dengan output pendidikan? Kalo Anda mau daftar atau promosi jadi pegawai negeri sipil di daerah yang kepepet sumber daya manusia, Anda nggak akan ditanya IPK kok. Cukup jawab Anda ini S1 atau S2 doang, atau D3 aja. Latar pendidikan nggak sesuai bidang kerjanya pun nggak problem. Di Kalimantan, sarjana pariwisata pun bisa jadi Kepala Dinas Kesehatan.
Gw ngeri, ngeri dengan pendidikan a la master-master dogol ini. Sekolah bukan lagi buat meningkatkan wawasan dan cara berpikir, tapi tujuan akhirnya cuma buat kejar penghasilan lebih banyak.
http://georgetterox.blog.friendster.com
www.georgetterox.blogspot.com
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
hahaha … maapkan, rupanya aku salah naruh comment hehe.. sowri2 🙂
buka new tab yang banyak maLah bikin kita jadi linglung heuheu.. memang bener mba, comment yang itu mah buat posting mba yang buku blog.. hehe..
———————————
Ada orang yang kepingin dapet ilmu tapi nggak bisa masuk sekolah. Ada orang yang cuma ngejar gelar tapi nggak mau ilmunya. Mestinya sekolah lebih selektif menerima mahasiswa barunya. Apakah "penelusuran minat dan bakat" itu hanya label belaka?
Mudah-mudahan Mbak Reni bisa sekolah lagi ya. Aku juga pengen sekolah lagi kok..
Sekolah macam itu sudah menjamur sampai dimana-mana.
Sebenarnya aku hanya kasihan dengan orang-2 yang betul-2 mencari ilmu tapi kalah bersaing dengan orang-2 yang mencari gelar.
BTW.., aku berharap suatu saat ada yang berminat membiayaiku utk melanjutkan sekolah nih.. hehehe…
Betul, Airbening. Dan mungkin lebih match kalo komentarnya di post sebelah ya, hehehe..
Bukankah bLog itu sebuah buku juga? mungkin kita namakan Buku Elektronik hehe.. why not, kaLo surat eLektronik aLias emaiL itu ada.. kenapa versinya bukunya juga.. haha..
Mengenai aLesan nge-bLog sih macem2 juga neng, kaLo aq sih buat nyimpen semua catetan.. takutnya komputer error dan data pada iLang.. sayang banget heuheu.. kaLo akhirnya terLihat narsis, itu sih imbas aja.. kan kita juga pengin liat 'laci data' kita terLihat rada nyeni, makanya dibagus2in hehe.. Biarpun ga ada yang baca ya masa bodo, cukupLah aq sendiri sebagai penuLis sekaLigus pembacanya (penuLis dan pembaca bLog sendiri aja..).. hehe! Cari duit? hhmmmmm… iya kerja atuh.. hehe..
——————————
Kolega-kolega saya yang lagi ambil produk spesialisasi (setara S2) bilang, dosen mereka tuh cuma punya dua pilihan, nilai A atau nilai D. Tak ada nilai B atau C. Jadi yang namanya lulus S2 tuh susaah banget. Tapi mereka bukan nggak lulus di tesisnya, melainkan di praktek sehari-hari. Kalo urusan tesis sih, katanya "Tinggal njemput nilai A". Paling pas sidangnya aja dibantai.
Oguds bukan nggak bisa mikirin tesisnya kan? Cuman nggak ada waktu buat merangkum hasil peninjauan pustakanya aja kan? Yaah..standar sih itu. Masa' gitu doang masih pinjem otak orang lain?
Mas Farid, seumur-umur baru kali ini deh ada penonton yang nyanyi di blog saya..:-D Kok saya jadi bayangin Mas Farid nyanyi fals sambil bawa gitar ya? 😛
Mampir lagi nih, kalau sebelumnya no comment, ayeuna mampir hayang numpang nyanyi kawih na Iwan Fals
Teman Kawanku Punya Teman
oleh: Iwan Fals
Kawanku punya teman, temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir fakultas dodol
Lagaknya bak professor pemikir jempolan
Selintas seperti sibuk mencari bahan skripsi
Kacamata tebal maklum kutu buku
Ngoceh paling jago banyak baca Kho Ping Hoo
Bercerita temanku tentang kawan temannya
Nyatanya skripsi beli oh di sana
Buat apa susah susah bikin skripsi sendiri
Sebab ijazah bagai lampu kristal yang mewah
Ada di ruang tamu hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli tenang sajalah
Saat wisuda datang
Dia tersenyum tenang
Tak nampak dosa di pundaknya
Sarjana begini
Banyakkah di negeri ini
Tiada bedanya dengan roti
Menangis orang tua
Lihat anaknya bangga
Lahirlah sudah si jantung bangsa
Aku hanya terdiam
Sambil kencing diam diam
Dengar kisah temanku punya kawan
Namun saya sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah 'stressing' otak, sehingga perlu waktu yang cukup. Dosen jangan terlalu royal memberi nilai, malah bila perlu menekan mahasiswa mengingat di jenjang S2 sudah dianggap mandiri. Di kampus saya hal ini cukup berhasil, karena hampir separuhnya bubar jalan. Saya sendiri kelimpungan dengan tesis, molor 1 semester, barangkali kalo perawat di artikel ini bersedia membantu, lega sekali hati ini.
Saya belum dapet pencerahan dari kaum akademisi mengenai hal ini. Saya pikir mestinya mereka lebih kompeten untuk angkat bicara mengenai urusan jualan ijazah ini.
Dan untungnya Vick, hal ini hanya terjadi di tingkat pemerintahan/birokrasi yang penting Anda "dekat" dengan birokrat. Jika berada di lingkup pendidikan yang berorientasi keilmuan, gelar panjang tidak akan berpengaruh apa-apa. Seperti halnya kesehatan (dimana orang miskin dilarang sakit), pendidikan pun berubah menjadi sebuah bisnis untuk pekerja pemerintahan.
Memang, nggak semua orang yang alasannya kuliah lagi itu karena kepingin cari uang. Tapi dengan contoh guru yang mau sertifikasi dan contoh di kantornya Komuter, kita nggak bisa memungkiri lagi bahwa salah satu alasan untuk kuliah lagi adalah murni buat cari uang. Saya bilang murni, coz mahasiswa yang bersangkutan memang nggak kepingin ilmunya, cuma kepingin ijazahnya buat naik pangkat doang.
Saya menghargai niat mereka yang dipepet keharusan memiliki ijazah. Tapi mbok ya usaha kerja keras gitu lho, jangan main copy-paste kayak cerita panjang saya di atas. Ilmu itu menjadi berkah buat mahasiswanya karena mahasiswanya mau kerja keras, bukan karena instan doang..
Hmmm, mbak dokter rata-rata temen-temen saya (yg notabene alumni matematika) juga ngambil S2 tuh. Ada yang memang mau meningkatkan kompetensi ilmu mereka. Tapi ada juga yg jadi alasan krn susah dapet kerjaan. Ya itu dia, saya nggak mau aja masih ada anggapan bahwa "Kuliah = Cari Uang".
Wah.. gawat kalau urusan kesehatan ditangani oleh orang yang "copy-paste".
bagaimana negara ini mau maju, semua serba instan…..
anda benar……
ambil gelar demi pangkat, bukan atas nama ilmu pengetahuan dan budaya….
it happened here, my opiss
Astaga.. gimana bangsa ini mau maju ya… mo pemimpinnya megawati, JK, atopun SBY, kalo rakyatnya masih menyepelekan pendidikan kyk gitu, ya mana bisa maju..
Sbg OP warnet, dulu aku juga sering dimintain Ibu2 nyari bahan artikel tertentu. Dari ngobrol2, aku tau ternyata dia ga ngerti apa2 ttg tema yg dia minta, lah dia nyuruh aku yang nyari, terserah yg mo kyk gimana, cuma ngasih secarik kertas yang ada judulnya doang. DIa cuma butuh artikel ltu untuk bikin makalah sbg syarat sertifikasi guru. Weleh-weleh.. kan guru yang udah dapet sertifikasi bakal dpt kenaikan gaji. mungkin itu yg dicari…
ceritanya panjang juga…
lam kenal
Mbak Zizy, sebenarnya makan banyak nggak bikin perut buncit. Itu cuma perasaan orangnya aja. Kapan-kapan aku nulis deh soal ini.
Mungkin aku luruskan dulu, sebenarnya ini cerita tentang dapet gelar M.Kes hanya dalam tiga semester aja (bukan SKM dalam tiga bulan). Sebenarnya nggak pa-pa sih kalo durasinya cuma sependek itu, tapi kalo kuliahnya cuma sebulan sekali, lulusannya mau dapet apa?
Bener kata Mas Budi, itu pilihan. Pilihan mahasiswanya mau dapet gelar instan, pilihan Pemerintahnya mau dapet sarjana instan. Apakah ada kemungkinan master-master intelektual di negeri kita kebanyakan adalah dogol akibat kuliah yang instan? Hanya Tuhan serta penyelenggara dan peserta pendidikan yang tau.
Susah melacak kerjaan jiplak-menjiplak dari mahasiswa ecek-ecek macam gini. Sekarang gini ajalah, kita sebagai mahasiswa, nggak usah beli ijazah kalo emang nggak merasa mampu lulus. Lalu kita sebagai penyelenggara lapangan kerja, harus ngecek para pelamar kerja apakah kualitas mereka sebonafid ijazah mereka apa enggak. Karena kalo kita tetap maksain menjadi sarjana yang intelektualitasnya palsu, sampai kapan pun negeri kita nggak akan maju-maju.
ya tapi inilah negeri kita..
jangankan tesis, langsung ijazahnya aja, bisa kita beli he..he,,
No comment hehehe
*speechless, bingung mo ngasih komen apa*
pantesan Indonesia ga maju2 kalo karya karya para intelektualnya ternyata jiplakan,,……..kebanggaan akan suatu karya ilmiah yang orisinil sudah hilang karena mentalitas instan dan asal jadi semakin menggejala
serem juga ya efek dominonya
hmmm… jangan2 master2 di indonesia sebagian (besar) master dogol
ahhh… cermin pendidikan yang buruk
wah vick,
sorry banged nih… barusan komen nya terdelete gak sengaja di blog gw, gara2 di atas nama kamu ada spam panjang bgd, jd salah klik deh.
sorry ya non.
eniwei,beruntung banged ya makan banyak ga pernah buncit. gimana crnya biar makan tp ga buncit?
dapat gelar skm dalam waktu 3bln kul saja? pantes banyak bgt sekarang pengangguran bergelar sarjana. punya gelar tp ga siap kerja, sama saja..
Wew..
Itulah manusia..
Berbeda dan mempunyai pilihan..
Dan semua itu kan ada..
Konsekwensinya..
Dan si pemilih pilihan..
Kudu siap dgn resikonya..
Bukan begitu ce..
Hehehe..
Met happy weekened aja ya ce.. 😀