Traveling Membangun Mental Tangguh

Suatu hari, saya bingung karena saya dipanggil untuk tour ke Sulawesi Selatan selama 3 hari padahal saya punya anak yang belum bisa saya tinggalkan. Pilihan terbaik hanyalah membawa Fidel ikut pergi dalam jadwal tour saya, padahal Fidel baru berumur 3 tahun. Akhirnya, saya bawa dia ikut tour, dengan segala keribetan tiada tara dalam membawa balita. Belakangan, baru saya ngeh bahwa keputusan itu adalah salah satu usaha saya untuk melatih anak saya memiliki mental yang tangguh.

Fidel dan Berinteraksi Luar

Pekerjaan saya memaksa saya kudu sering-sering bepergian. Padahal, saya nggak mau mendelegasikan tugas mendidik anak saya kepada orang lain. Maka saya terpaksa harus selalu membawa anak saya ke sana kemari.

Yang namanya anak balita, pasti ada masanya anak itu rewel kalau ketemu hal-hal baru. Fidel juga begitu. Sadar kerewelannya mengganggu, saya selalu berusaha antisipasi tiap kali Fidel mau lihat hal-hal yang nggak seperti biasanya.

Semenjak Fidel mulai bisa berinteraksi dengan orang lain, saya memang selalu ikutkan dia dalam kegiatan sosial saya. Kalau ketemu teman-teman saya, saya selalu ajarin dia buat salim sama mereka. Kalau orang itu tersenyum atau ngajak dia ketawa, berarti orang itu pingin main sama dia. Sehingga dia nggak jadi penakut.


Saya ngajarin Fidel, bahwa kalau ada anak lain, coba disapa dan diajak main bareng.
Itu akan membangun mental anak yang berani dalam kehidupan sosialnya nanti.

Saya juga ngajarin Fidel bahwa dia bisa ngatur dirinya sendiri. Kalau saya jalan sambil gendong dia, dia akan aman pegangan sama saya, tapi dia nggak bisa mengamati sesuatu lama-lama lantaran saya ini jalannya cepet. Tapi kalau dia jalan sendiri, dia bisa berhenti sesukanya cuma gegara kepingin ngeliatin kembang atau ngeliatin kupu-kupu, misalnya. Mau pilih yang mana?

Suami saya, ngajarin dia buat bawa tas sendiri. Semula tasnya cuman isi popok, lama-lama diisi sama mainan mobil Hot Wheels-nya 1-2 biji. Kadang-kadang dia protes, soalnya dia kepingin bawa semua mainannya (di rumah kami ada Hot Wheels sekitar 10-15 biji), yang tentu saja tidak saya ijinkan. 

Pernah suatu hari, saya lengah ketika packing. Begitu di jalan, saya terhenyak sebab ransel Fidel kok rasanya berat banget? Pas saya buka, ternyata diam-diam Fidel telah masukin sekitar 7 mobilnya ke dalam tas..


Fidel ke manapun selalu bawa tas sendiri.
Supaya dia bisa menyiapkan keperluannya sendiri.
Dengan begitu, dia akan berpikir mandiri.

Baru di kemudian hari, saya tersadar bahwa hal-hal yang saya dan suami saya ajarin ke Fidel itu, adalah hal-hal yang penting untuk membentuk mental anak kami jadi tangguh. Alias resilient.

Apa Itu Mental Tangguh a.k.a Resilient?

Setelah dewasa, baru saya ngeh bahwa tidak semua orang diberi privilege (ciyee..ciyee.. Lagi trending nih kata privilege) untuk punya mental resilient alias tangguh. Contoh simpel aja, saat baru-baru ini Garuda menghapus rute penerbangan jurusan Surabaya-Jember, banyak orang ngeluh karena kalo mau ke Jember Fashion Carnaval berarti kudu naik bis yang perjalanannya lama. Saya ngajakin temen saya naik commuter line aja ditolak, alesannya takut kecopetan. Masih inget cerita bude saya susah diajak memesan GO-Jek karena takut diculik? Belakangan saya ngeh bahwa alesan sesungguhnya nggak mau instal aplikasi taksol adalah lantaran ogah belajar internet.

Dunia cepat berubah dan makin kompetitif, dan perubahan itu sudah terjadi. Tapi manusia nggak mau berubah, karena mental mereka tidak cukup resilient untuk menghadapi perubahan itu.

Resilience artinya:

General concept related to positive adaptation in the context of challenge.

Masten dan Gewirtz, 2006

Padahal, seandainya bude saya mau gigih belajar cara mengoperasikan internet di HPnya, hidupnya bisa mudah lantaran mandiri tanpa perlu bergantung kepada orang lain buat nganterinnya ke sana kemari. Kalau teman saya bisa mengamankan dirinya sendiri dan barang-barangnya sendiri, dia akan bisa berani bepergian naik kereta. Dan memang apa susahnya sih naik bis? Kalau bisa adaptif dengan kenyataan bahwa bis itu memang nggak boleh ngebut, soalnya mengancam keselamatan orang banyak, orang pasti nggak akan ngeluh jika terpaksa harus naik bis ketimbang pesawat.

Gigih, berani, dan adaptif, itu beberapa dari ciri-ciri mental yang resilient. Dan mental itu yang saya ajarin ke Fidel.


Karena masa depan akan penuh perubahan yang sulit diprediksi, maka hanya mental tangguh alias resilient itulah yang akan membuatnya bertahan.

Laurentina, 2018
Saya mengajari Fidel bahwa orang lain itu teman.
Teman bisa diajak bermain bersama.
Jadi, dia akan punya ide untuk bekerja sama dengan kawannya.

Karakter anak resilient:

Berani: Kemampuan untuk siap menghadapi tantangan dengan mengalahkan rasa takut dan khawatir

Banyak akal: Pandai dalam mencari solusi untuk tiap tantangan

Adaptif: Mampu beradaptasi dengan lingkungan dan situasi di sekitarnya

Mandiri: Mengandalkan kemampuan sendiri dan tidak tergantung pada orang lain

Gigih: Mampu untuk tekun dan teguh pada pendiriannya serta berusaha melakukan sesuatu sampai selesai atau tuntas.

Traveling Membangun Mental Anak Tangguh

Seperti yang saya bilang di awal tadi, ketangguhan Fidel jadi teruji tatkala akhirnya kami berangkat ke Maros. Di sana, kami ketemu banyak partner baru, semuanya orang dewasa yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Fidel ternyata mau beradaptasi dengan salim sama mereka, duduk nyaman di sebelah om-om yang suaranya banter dan logatnya sangat tidak lembut. (Dia bahkan membagi Chitato-nya dengan om-om itu, padahal saya nggak dikasih!)

Pasti kalian sudah baca bahwa di Maros sana, kami kudu turun ke sungai naik perahu untuk mencapai Rammang Rammang. Tentu saja ini pertama kalinya lho Fidel berkendara di air. Saya contohin dia caranya melangkah masuk ke perahu dan duduk manis. Dia meniru saya, duduk, dan ketika kelasi menyalakan motornya, perahu itu berlayar di sungai, dan anak saya duduk dengan berani memandangi sungai dan pohon-pohon bakau.

Tempat tujuan kami di Rammang Rammang sana ternyata luas banget. Kami harus mengitari desa luas itu dengan jalan kaki, karena memang di sana nggak ada kendaraan. Fidel dengan bersemangat mau jalan sendiri dengan mandiri, tanpa mau digendong. Memang perjalanan jadi sedikit lebih lambat, soalnya Fidel nggak bisa berjalan cepat. Tapi nggak terasa sih, soalnya saya juga sambil shooting dan suami saya sambil motret.


Fidel berusaha mendaki medan yang berat menuju Goa Berlian di Maros.
Sendiri tanpa digendong.
Sebetulnya saya lebih kuatir nanti sepatunya rusak, wkwkwk.

Tantangannya berasa waktu kami kudu mendaki untuk mencapai Goa Berlian untuk bisa dapat gardu pandang. Medannya curam, cuacanya panas, situasinya gersang. Fidel gigih sekali ingin menyusul saya, dan bocah itu berjalan sendiri mendaki tebing itu. Ketika sampai di atas, saya bahagia bukan main. Bukan saja lantaran sukses melihat keseluruhan Rammang Rammang yang pernah jadi icon iklan Wonderful Indonesia ini, tapi lebih gara-gara saya berhasil membawa anak saya kemari meskipun dia masih balita.

Tentu saja perjalanan ini nggak terlalu sempurna. Soalnya ada satu hal yang masih sulit diadaptasi oleh anak saya, yaitu urusan makan. (Dia hampir selalu GTM kalau tidak makan di rumah sendiri.) Tapi Fidel jarang banget lapar selama perjalanan. Soalnya kalau dia laper, dia langsung minta snack (saya memang bawain snack dalam ransel yang selalu digendong Fidel. Dan di dalam tas saya juga. Makanya tas saya selalu gede kalo lagi piknik).

Mental Tangguh Itu Diciptakan dengan Sengaja

Orang sering bilang, manusia jadi resilient lantaran power of kepepet. Misalnya kayak Fidel, dia bisa tangguh selama perjalanan itu, soalnya memang selalu saya bawa pergi-pergi sejak bayi, lantaran nggak ada yang jagain dia di rumah. Tapi saya rasa nggak demikian.

Kenyataannya, saya memang membiasakan dirinya untuk jadi tangguh begitu. Saya membiarkan dia belajar jalan sendiri dengan langsung melipat strollernya begitu dia bisa jalan. Saya membiarkan dia melihat saya beramah tamah dengan orang lain, dan nggak pernah mengajari dia konsep tentang manusia yang menyeramkan.

Suami saya punya cara lain lagi dalam mendidik kemampuan berpikir Fidel. Salah satu me time-nya suami saya itu adalah nyervis mobilnya di bengkel. Nah, tiap kali ngurusin mobil itu, dia selalu ngajak Fidel. Dan Fidel, demen banget nontonin kerjaan mekanik bengkelnya dari awal sampai selesai. Pulang-pulang, Fidel selalu ceritain apa yang dilihatnya di bengkel tadi, dan dia bisa nyeritain step by step prosedur yang dikerjain mekaniknya secara kronologis.

Dan langsung bikin saya minder karena saya nggak ngerti otomotif. Kalah banget pengetahuan saya ketimbang balita satu ini. 😀

Fidel mengawasi mekanik mengurus mobil bapaknya.
Di sini dia belajar bahwa memperbaiki mobil itu ada prosesnya.

Riset bilang, masa paling krusial untuk membentuk mental resilience itu adalah pada masa perkembangan dini manusia, yaitu antara umur 1-5 tahun. Pasalnya, mental resilience itu berasal dari rasa percaya diri, sedangkan perkembangan psikologis manusia untuk mendapatkan rasa percaya diri itu paling banyak terjadi pada antara umur 1-5 tahun. Untuk percaya diri perlu otak yang terus-menerus bertumbuh, dan jalur-jalur saraf otak ini tumbuh paling pesat juga dalam kurun waktu 5 tahun usia kehidupannya. Anak yang percaya diri, mentalnya akan mudah sekali menjadi tangguh, dan sikap ini perlu sekali buat dia ketika menghadapi tantangannya di masa depan.

Kata Masten dan Gewirtz (2006), untuk membentuk mental tangguh (resilience), perlu unsur-unsur ini:

  1. Anak yang memperoleh kesempatan untuk belajar demi mengembangkan kemampuan berpikir,
  2. Gizi yang memadai untuk daya tahan tubuh anak,
  3. Pengasuhan yang berkualitas, dan dukungan keluarga untuk mengembangkan keterampilan kognitif dan sosial

Perhatikan nomer 3. Ternyata untuk membentuk mental resilient ini, orang tua sebaiknya banyak-banyak memberi purposeful exposure, alias kesempatan bagi anak untuk belajar, dan kesempatan ini sebetulnya adalah tantangan yang disengaja. Ada macam-macam contohnya purposeful exposure ini, misalnya bikin proyek keluarga, outbound, atau traveling.

Bikin proyek keluarga

Contohnya simpel aja, misalnya bikin rumah-rumahan dari kardus. Kedengarannya ribet, bikin berantakan, tapi sebetulnya kegiatan ini mengajarkan anak tentang proses dan kemampuan berpikir. Ini membentuk sifat gigih dan sifat banyak akal yang akan menciptakan mental tangguh tadi.

Outbound

Misalnya kayak mainan panjat-panjatan, atau mainan melangkah di atas jaring-jaring. Intinya, main di tempat yang tantangan dan rintangannya bejibun. Ini akan menimbulkan sifat berani dan sifat gigih, soalnya anak kita jadi dipaksa menyelesaikan perjalanannya sampai selesai. Mosok di tengah jalan mau minta turun?

Traveling

Terutama ke tempat yang tidak pernah dia datangi. Ketika anak bangun pagi di tempat yang asing dan sama sekali berbeda dari tempatnya di rumah, ini memaksa dia jadi beradaptasi. Makanya orang-orang yang senang traveling, umumnya adalah orang-orang yang mentalnya tangguh..

Belajar Mental Tangguh Itu Mulai dari Mana?

Meskipun anak kita mungkin sekarang udah nggak bayi lagi, tapi sebetulnya kita masih bisa lho belajar untuk mendidik mental anak menjadi tangguh. Salah satu tempat buat kita supaya bisa belajar tentang bagaimana melatih mental anak menjadi tangguh ini adalah booth Royal Lounge yang saat ini ada di Pakuwon Mall, Surabaya.


Fidel bermain lantai digital di Royal Lounge.
Permainan lantai digital ini sekilas mudah, tapi sangat merangsang mental resilient pada anak-anak.

Di booth ini, anak-anak yang mengunjunginya bakalan diajak bermain games yang sesungguhnya berupa purposeful exposure.

Ada permainan kecil kayak masuk-masukin bola kecil ke dalam botol, kelihatannya sepele tapi ternyata butuh kordinasi mata dan tangan yang menuntut anak jadi gigih menyelesaikannya sampai botolnya penuh. Sementara itu, Fidel sendiri sudah nyobain permainan lainnya, yaitu nginjek-nginjek lantai yang ada gambar-gambar digitalnya. Di sini, dia harus melangkah di “jembatan”, nggak boleh nginjek “sungai” yang dilintasi “jembatan” itu, dan di ujung jembatannya ada pohon yang “ulat”-nya bejibun, yang mana kudu dia injek ulatnya supaya mati. (Fidel seneng di sini lantaran dia boleh loncat-loncat, saya seneng sebab permainan ini ngajarin dia buat berani sama ulet dan mandiri karena harus mikir sendiri cara kordinasi badannya supaya bisa melintasi jembatan).

Dan, lantaran semua acara permainan di sini ada latar belakang psikologisnya, disediain juga seorang psikolog untuk konsultasi psikologi para orang tua, terutama tentang bagaimana mendidik anak supaya jadi tahan banting.

Pada akhirnya, melalui booth ini, Royal Lounge kepingin menyampaikan pendidikan bagi para orang tua bahwa setiap tantangan di masa depan pasti akan bisa diatasin oleh anak-anak kita, selama anak-anak kita punya mental resilient, alias mental yang tangguh.

Teman-teman, are you resilient enough? Apakah kalian cukup tangguh? Ceritain dong di kolom komentar, apa yang dulu dilakukan oleh orang tua kalian sampai kalian jadi punya mental tangguh kayak gini. Kalo kalian belum merasa tangguh juga, coba ceritain dong apa yang bakal kalian lakukan pada anak-anak kalian supaya anak kalian jadi anak yang tangguh 🙂

30 comments

  1. Tulisannya bagus banget, jadi makin gak ragu kalau kita mau ga mau sebagai orang tua harus membiasakan ke anak kita harus bisa bermental tangguh. Saya dan suami alhamdulillah udah nerapin hal kecil kaya balikin mainan ke tempatnya, buang sampah langsung ke tempat sampah, bilang “halo” dan “dadah” sambil menyalami orang yang lebih tua.. Ga sabar banget pengen nerapin hal lainnya..

  2. Betul banget deh, anak2 sedari kecil diajari bermental tangguh, percaya diri, mudah beradaptasi dll. Dengan traveling anak2 secara langsung akan belajar bersosialisasi dan tanggap terhadap kejadian atau tantangan yang mau ga mau harus dihadapi sehingga menjadi manusia yang mandiri ga cengeng. Sebel sama anak dan orangtua yang travelingnya mau ala koper manja2an mulu. Iya sih mungkin mereka duitnya berlimpah, tapi ga sadara apa ya didikan pada anak menjadi minimal sekali.

  3. Leyla Hana says:

    Betul banget, anak-anak bisa dilatih ketahanan dan kemandiriannya dengan traveling. Tapi kalo aku kudu bawa 3 anak, budgetnya lumayan. Jadi jarang-jarang deh travelingnya hehe

  4. Hmm.. apa ya? saya lupa dulu orangtua saya ngajarnya gimana sampai saya bisa kemana-mana sendirian.

    tp beberapa yang saya ingat, kalau dulu naik kapal pelni, saya bebas menelusuri kapal dari atas sampai ke bawah, dari ujung sampai ke ujung, yang penting gak manjat-manjat pagar pembatas. saya cuma boleh manjat kalau ada mereka, dan benar2 dibolehin kalau saya minta. jadi klo sendirian justru gak rusuh. trus kalau nyasar? suruh cari bagian informasi utk laporan anak hilang nyari orangtuanya. jadi terbiasa kalau sampai tempat baru, yang saya cari duluan adalah bagian informasi sama pos polisi/penjagaan.

    kalau naik pesawat, orang tua saya selalu suruh antri dan pegang tiket dan boarding pass sendiri, bawa ransel isi camilan dan minuman sendiri. Bahkan kalau misalnya butuh beli makanan/minuman pasti dikasih uang dan disuruh jalan sendiri, tapi pakai waktu, misalnya 10 menit udah harus balik ya, biar gak ketinggalan pesawat, nyari toilet sendiri, naruh ransel di kabin atas, kalau gak nyampe minta tolong sama pramugarinya, dll, dkk dsb deh..

    Satu hal yang pasti selalu dikasih tahu, jangan mudah percaya sama orang asing, terutama di tempat sepi. kalau ditanya orangtuanya di mana, bilang aja, ‘tuh di sana, saya mau samperin nih’ abis itu ngacir pergi. hahahaha.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Artinya, sebetulnya Endah ini udah diajarin untuk selalu observant kepada lingkungan sekitar. Ditandai dengan cara mengenali mana bantuan berupa pos keamanan, polisi, pramugari, dan semacamnya. Juga diajarin mandiri, ditandai dengan disuruh beli dan pegang tiket sendiri. Tapi ortunya juga tetap mengontrol meskipun cuman dari jauh, ditandai dengan kasih batas waktu, kasih batas jarak, dan semacamnya. Bagus lho itu, Endah. Salam hormatku untuk orangtuamu ya 🙂

  5. Mei says:

    setuju banget Mba sebagai seorang solo traveler aku merasakan betul bahwa travelling itu menumbuhkan karakter tangguh alias mandiri, akan sangat lebih bagus lagi diterapkan sejak usia dini, seperti yang Mba Vicky lakukan saat ini sehingga anak-anak terbiasa sejak masih kecil

  6. bagus banget permainan lantai digitalnya. Melatih anak untuk menjadi tangguh ya? mungkin hampir sama seperti yang dijabarkan kak vicky. tidak banyak dengan ocehan kamu harus begini dan begitu tapi dengan mencontohkan dan melatih. misalnya, walaupun dirumah ada asisten mereka dilarang minta ambilin minum, mereka harus ambil sendiri. simple sih tapi biar gak bossy. hehe

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Ah yaa betul. Di rumah, anak saya masih suka merengek minta diambilkan minum kalau terbangun malam hari. Tetap saya suruh ambil sendiri. Karena dia memang harus menyelesaikan masalahnya sendiri.

  7. Cilya says:

    Dulu Mama Papa aku, ajarin aku ke sekolah ngga diantar. Jarak nya lumayan sih 500m. Naik angkot ngga ada, ada tapi muter alhasil jalan kaki berangkat sama pulang. Sampai rumah, siapin makan sendiri dan cuci piring sendiri. Ada mba di rumah tapi katanya hanya boleh minta tolong cuci setrika dan hal yg urgent saja. Yg bisa dilakukan sendiri aku musti lakukan sendiri. Dulu kesel sih, tapi sekarang aku jd tahu bahwa orgtua ku mengajari aku supaya besar nanti bisa menghadapi situasi yg tfk sesuai ekspetasi dan tdk tergantung org lain.

Tinggalkan komentar