Kebanyakan orang menyangka kota Pangkalpinang hanya sebuah kota kecil dengan pemandangan pesisir Pantai Pasir Padi yang memikat di pinggir Pulau Bangka. Nama Pangkalpinang paling beken di kalangan pasangan-pasangan calon pengantin yang sedang menyiapkan honeymoon.
Tetapi bagi sejarah Indonesia, kota Pangkalpinang menjadi penting karena di tempat ini terjadi banyak event yang menyumbang tonggak penting bagi peradaban ekonomi, budaya, dan juga politik negara Indonesia. Karena Pangkalpinang, Indonesia menjadi negeri yang diincar banyak bangsa hingga sampai ke Eropa. Di Pangkalpinang, etnis Tionghoa di Indonesia menemukan rumah yang nyaman untuk bertetangga dengan Melayu. Dan Pangkalpinang juga menjadi saksi untuk perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di mata dunia.
Tambang Timah Bangka
Mungkin seandainya negeri kepulauan ini bukan daerah penghasil timah, Eropa tidak akan begitu bernafsu menjajahnya.
Adalah bangsa keturunan Cina yang pertama kali menemukan tambang timah ketika sedang mengembara dan berlabuh di Pulau Bangka. Logam yang unik ini berserakan di pulau kecil itu, dan bangsa Cina mendapatinya persis tatkala Cina sedang mulai kehabisan di negerinya sendiri. Cina yang juga merupakan daerah penghasil timah telah berhasil mengolah timah menjadi bahan bernilai tinggi, dan mereka mengekspornya hingga ke Eropa. Di abad ke-18, timah produksi Asia ketika itu menjadi kompetitor berat bagi timah produksi Inggris (yang saat itu dikenal dengan nama timah Cornwall) dan menjadi bahan komoditas yang berdaya nilai jual tinggi.
Ketika itu, pulau Bangka itu sendiri belum banyak penghuninya. Orang-orang yang berbahasa Sansekerta menamai pulau itu vangka, cikal bakal bagi nama Bangka di kemudian hari. Kata vangka sendiri bermakna timah.
Suku Hakka, suatu etnis asal daerah di pegunungan negeri Cina, saat itu merupakan etnis paling miskin di negeri itu. Merasa kesulitan mencari nafkah di negeri sendiri dan mendengar peluang akan daerah penghasil timah di tempat jauh, maka orang-orang Hakka berlayar ke arah Sumatera untuk mencari penghidupan baru.
Di Pulau Bangka, suku Hakka berusaha menambang timah bersama penduduk Melayu yang telah lebih dulu tinggal di situ. Menurut sejarahwan Anthony Reid dalam bukunya Sojourners and Settlers: Histories of Southeast Asia and the Chinese (1996), ada seorang pemimpin penambang Cina yang bernama Un Asing. Ia memimpin anak buahnya menambang timah dengan cara yang cenderung lebih efektif daripada penambang kebanyakan di sana, sehingga hasil tambang timah yang mereka dapatkan memberikan profit lebih banyak bagi daerah itu, lebih-lebih lagi bagi kesultanan Palembang yang ketika itu menguasai Bangka.
Kesultanan Palembang, semenjak masa pemerintahan Akhmad Badaruddin (1756-1776), seperti yang terungkap dalam buku Hubungan Antar Suku Bangsa di Kota Pangkalpinang (2009) karya Evawarni, melihat peluang dari para penambang Cina ini bagi negeri Palembang sendiri. Dibuatlah kesepakatan agar orang-orang Cina ini boleh menambang timah sebanyak mungkin, dan boleh menjualnya kepada Sultan Palembang, dengan syarat kesultanan berhak menarik pajak dari para penambang. Bahkan, menurut Reid, Sultan Palembang bahkan mengimpor lebih banyak lagi orang Cina untuk bermigrasi ke Pulau Bangka, agar bisa menjadi penambang timah yang produktif bagi Kesultanan Palembang.
Reid menulis dalam bukunya yang lain, A History of Southeast Asia: Critical Crossroads (2015) bahwa pada tahun 1722 Sultan Palembang menjalin kontrak dengan Belanda agar VOC dapat memonopoli tambang timah Bangka. Evawarni pun mengungkapkan bahwa Belanda turut mengeksplorasi tambang timah di sana dan mengembangkan Pangkalpinang menjadi pusat perdagangan yang ramai. Termasuk dibukalah perusahaan Belanda yang bernama Banka Tin Winning yang menjadi perusahaan penambangan timah, yang mengeksploitasi ribuan suku Hakka untuk menggali timah bagi kepentingan Belanda.
Berkumpulnya Cina di Bangka
Begitu banyaknya suku Hakka yang bermigrasi dari negeri Cina ke daerah penghasil timah itu, hingga populasinya bahkan melebihi etnis Melayu sendiri yang telah berada di sana. Menurut Reid, etnis Cina ini telah mencapai 44% populasi penduduk di Bangka pada tahun 1930. Dan sebagian besar dari etnis ini adalah suku Hakka yang bermata pencaharian sebagai penambang timah.
Tidak seperti etnis-etnis keturunan Cina lainnya yang menyebar ke Pulau Jawa dan cenderung menetap di pinggir-pinggir pantai sebagai pedagang, suku Hakka di Bangka ini lebih cenderung berkumpul di tengah-tengah pulau. Gaya hidupnya lebih sederhana daripada etnis-etnis Cina lainnya, jika tidak mau dikatakan lebih miskin. Namun mereka hidup berdampingan dengan penambang-penambang lainnya yang beretnis Melayu, dan nyaris jarang terdengar konflik bermakna di pulau itu.
Ketika kesultanan Palembang mulai kalah pamor ketimbang VOC dalam memerintah daerah penghasil timah itu, perlahan penambangan timah akhirnya dimonopoli Belanda. Termasuk para penambang itu pun, akhirnya menjadi sumber daya manusia yang dieksploitasi Belanda untuk menghasilkan timah sebanyak mungkin. Belanda yang melihat keefektifan kerja orang-orang Cina ini, akhirnya bahkan memberikan privilege lebih kepada mereka untuk kehidupan sehari-hari. Kehidupan para suku Tionghoa ini pun berkembang pesat di Bangka.
Lahirnya Pangkalpinang
Ketika kesultanan Palembang mulai kehilangan kendali untuk memerintah, dan eksploitasi Belanda terhadap tambang timah Bangka yang kurang menguntungkan etns Melayu, melahirkan ketidakpuasan di kalangan penambang Melayu sendiri. Sedikit demi sedikit muncullah pemberontakan di sekeliling Bangka, yang mulai merongrong kekuasaan Belanda terhadap penambangan timah di pulau itu.
Kesultanan Palembang akhirnya dikuasai Sultan Najamuddin yang mengirim banyak Demang dan Jenang ke daerah-daerah kekuasaannya untuk mengawasi penambangan timah, termasuk sebuah kota kecil ramai di sebelah timur Bangka yang banyak ditumbuhi pohon pinang, yang membuat kota ini kemudian mereka namai kota Pangkalpinang.
Banka Tin Winning, yang saat itu juga berupaya mengatasi pemberontakan para rakyat penambang Melayu di Bangka, juga ikut mendirikan pusat administrasinya di kota Pangkalpinang. Posisi geografis Pangkalpinang saat itu memudahkan Belanda untuk mengontrol daerah-daerah yang dianggap berpotensi memberontak. Lambat laun, Kesultanan Palembang pun jatuh, dan hanya tinggal masalah waktu sampai wilayah satelitnya di Bangka ini menjadi kekuasaan Belanda.
Pusat Tawanan menjadi Pusat Perundingan
Hingga masa kolonial Belanda diakhiri oleh Jepang dan kemudian Indonesia merdeka, rakyat Bangka menyambut kemerdekaan Indonesia, namun rakyat di bawah sisa-sisa pejabat Banka Tin Winning tetap menjalankan aktivitas penambangan timahnya seperti biasa.
Bangka mulai diperhatikan ketika Belanda kembali untuk menguasai Indonesia. Melalui berbagai agresi, Belanda berhasil menguasai daerah-daerah potensial di Sumatera sebelah timur, termasuk Bangka yang menjadi lokasi perusahaan Banka Tin Winning milik Belanda. Ketika pada Agresi Militer II di bulan Desember 1948 Belanda menguasai separuh lebih wilayah Indonesia, banyak pimpinan Indonesia berhasil ditawan oleh Belanda dan diasingkan ke Bangka, termasuk Soekarno, Hatta, Mohammad Roem, dan lain-lain. Bangka saat itu hanya disangka Belanda sebagai pulau sepi yang hanya beraktivitas penambangan, dan mengucilkan para pemimpin di sana diharapkan akan membuat Indonesia menyerah kepada Belanda.
Diasingkan bersama di Bangka, Soekarno dan kawan-kawan ternyata tetap giat bersikukuh terhadap pemerintahan Belanda bahwa Indonesia berhak untuk menjadi negara sendiri yang berdaulat. Mereka memaksa Belanda untuk bernegosiasi, sehingga Belanda terpaksa menurunkan diplomat-diplomat terbaiknya untuk meladeni para pemimpin Indonesia yang mereka asingkan di pulau kecil itu. Tempat strategis yang dijadikan lokasi perundingan berada di kota Pangkalpinang, yakni di rumah staf Banka Tin Winning. Tokoh utama dalam perundingan itu akhirnya adalah diplomat asal Indonesia (Mohammad Roem) dan asal Belanda (Van Roijen), dan perundingan pada Mei 1949 itu akhirnya berhasil membuat Belanda bersedia mengembalikan sebagian besar wilayah kekuasaannya kepada Indonesia.
Tempat-tempat Bersejarah di Pangkalpinang
Dengan serentetan sejarah panjang mengenai timah, migrasi bangsa Cina, dan pengasingan pimpinan Indonesia di Pangkalpinang, menjadikan kota itu kini sebagai kota berharga di mata sejarahwan. Hampir di tiap titik kota mengandung nilai sejarah yang tinggi, dan pemerintah nasional kini menjadikan banyak lokasi di sana sebagai cagar budaya.
Tempat perundingan Roem-Royen, misalnya, kini dirawat dan difungsikan sebagai Museum Timah. Diorama mengenai penambangan timah tradisional di masa Kesultanan Palembang dapat disaksikan di sana.
Surat pernyataan mengenai kemenangan Indonesia dalam perundingan Roem-Royen akhirnya diabadikan dalam bentuk prasasti.
Prasasti ini terpasang pada Tugu Wilhelmina yang berada di Taman Wilhelmina di Pangkalpinang.
Keberadaan suku Hakka sebagai etnis mayoritas di Bangka nampak jelas di segala penjuru Pangkalpinang. Klenteng Kwan Tie Miau, yang dibangun sejak tahun 1841, contohnya hingga kini menjadi klenteng yang sangat ramai dikunjungi oleh para diaspora Tionghoa Indonesia yang ingin bernostagia mengenai masa lalu leluhurnya di Pangkalpinang.
Juga House of Lay, dibangun pada tahun 1860, dan konon merupakan rumah pertama yang dibangun di Pangkalpinang.
Pekuburan Sentosa, kompleks perbukitan seluas 16 hektar yang menjadi pemakaman suku Tionghoa, merupakan pemakaman Tionghoa terbesar di Asia Tenggara dan mungkin juga salah satu yang tertua. Banyak keluarga Tionghoa Indonesia memakamkan leluhurnya di sini selama belasan generasi, nampak dari cara mereka mendesain makam yang menunjukkan betapa tua usia makam di situ. Perayaan Ceng Beng kerap kali menjadikan Pangkalpinang sebagai tujuan mudik utama tahunan etnis Tionghoa di Indonesia, karena pada perayaan ini mereka bersama-sama pulang untuk berdoa di depan makam keluarganya tersebut.
Pangkalpinang, Hari Ini
Pangkalpinang saat ini populer sebagai destinasi wisata alam, terutama bagi turis-turis pengincar pantai. Dengan makin maraknya promosi akan #pesonapangkalpinang di Kepulauan Bangka Belitung, diharapkan Pangkalpinang sebagai ibukota propinsi ini juga mengeksplorasi dirinya untuk menjadi tempat edukasi sejarah Indonesia. Karena Pangkalpinang, adalah lokasi yang menjadi saksi di mana asimilasi multietnis dapat terjadi secara damai, dan juga menjadi lokasi tempat Indonesia pernah disegani sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia, sekaligus menjadi lokasi yang bermakna bagi perjalanan kedaulatan bangsa Indonesia sendiri.
Menelusuri tempat-tempat bersejarah di Pangkalpinang, akan terasa seperti membaca separuh dari buku sejarah Indonesia.
Berikut adalah peta kota Pangkalpinang:
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Wuiih, keren ini tulisannya informatif, detail. semoga aku bisa pergi ke sana ya mba
Eh, Mbak Nefertite, kalau mau pergi ke Pangkalpinang, boleh pesan tiket pada saya lho 🙂
Kalo kesana lagi, nebeng ranselmu ya mbak vicky.. heuheu… Lumayan kan ada yang bisa dongengin sejarahnya pangkalpinang selama jalan-jalan. Kece sekali ya Indonesia kita.
Tapi..tapi..aku nggak bawa ransel.
Aku bawanya sih tas bayi.. :))
Sejarah Pangkalpinang kuat banget ternyata. Diam-diam Indonesia menyimpan banyak potensi selain rempah.
Rempah-rempah sih banyak, Yun. Nggak cuman di Indonesia. Tapi produk Pangkalpinang yang potensinya kuat banget itu ya timah. Di dunia ini, pesaing Pangkalpinang dalam urusan pertimahan cuman China.
Saya pernah ke Klenteng itu bu *dan juga ke pantai Parai* Iya sih di Pangkal Pinang nuansa Chinanya kuat banget
Ya wajar kalau nuansa Chinanya kuat banget di Pangkalpinang. Bisa dibilang ini ibukotanya suku Hakka di Indonesia. Dan suku Hakka ini adalah salah satu dari suku tertua asal China yang tinggal di Indonesia.
yang saya ingat tentang Pangkalpinang, nyamuknya banyak buanget…
obat nyamuk bakar ampe gak mempan..
kenapa saya curhat ya?
Darah sampeyan manis, Mas Fayyas. Makanya nyamuk-nyamuk ngefans sama sampeyan.. hihihihi..
Keren ulasannya ada sejarahnya. Btw udah pernah ke sanakah Mbak Vicky?
Kalau aku denger Pangkalpinang yg kebayang etnis Tionghoa dan budayanya yg kental hehe
Pangkalpinang memang full of Tionghoa. Malah ada masa ketika Orde Baru, di mana etnis Tionghoa malah diinstruksikan untuk tetap tinggal di Bangka sana dan jika ingin merantau keluar diberikan syarat-syarat yang cukup berat.