Pegawainya Nggak Nyantol


Semua orang kepingin jadi pegawai negeri. Bisa dapet tunjangan. Kredit rumah. Asuransi kesehatan. Beras gratis. Dan yang paling menyenangkan, tak ada ancaman pemecatan sampai waktunya pensiun.

Karena itu, adalah jamak kalo sarjana-sarjana fresh-graduated yang gw temui rata-rata punya omongan yang seragam, “Yah kalo bisa syukur-syukur saya pengen diangkat jadi pegawai negeri.”

Gw sering merasa aneh denger cita-cita itu. Anak-anak kecil kalo ditanya kan rata-rata jawab kepingin jadi pilot, jadi dokter, jadi presiden, tapi nggak ada yang bilang kepingin jadi pegawai negeri. Kenapa cita-citanya berubah semua setelah lulus sekolah?

Seumur-umur, hidup gw telah akrab dengan namanya instansi pemerintah. Gw sekarang kerja di klinik milik pemerintah. Tahun lalu gw kerja di rumah sakit milik pemerintah. Keluarga gw sendiri pensiunan dari instansi pemerintah. Dan gw sekolah dari kecil sampai gede di sekolah-sekolah milik pemerintah. Cuman TK aja yang swasta. Lagian jaman Little Laurent kecil dulu, Pemerintah belum mampu bikin TK.

Semua itu, bikin gw apal betul bagaimana kehidupan pegawai negeri. Banyak bagusnya, tapi yang jeleknya juga bejibun.

Mereka yang berprestasi maupun yang tidak, gaji nggak ada bedanya. Naik gaji didasarkan naik pangkat, naik pangkat didasarkan ijazah dan lama bekerja. Pertanyaan gw, mana tantangannya?

Padahal tantangan itu yang maksa kita mikir kreatif. Kalo kita udah kreatif, kita akan terangsang buat bekerja sebaik mungkin. Dan bekerja sebaik mungkin itulah yang bikin kita jadi pegawai profesional.

Hari ini, kantor gw kedatangan stafnya Menteri Kesehatan. Orangnya baik banget. Lalu belio nanya apakah gw mau jadi pegawai negeri buat Kantor Kesehatan Pelabuhan Pulang Pisau tempat gw kerja sekarang.

Biasanya tawaran macam gini bisa bikin gw semaput. Apa iming-imingannya? Tunjangan beras. Tunjangan asuransi kesehatan. Tak perlu lagi gw kirim-kirim CV buat ngelamar kerjaan di rumah-rumah sakit swasta.

Dokter sangat kurang di Cali. Apa lagi yang sudi tinggal di Pulang Pisau. Gw sendiri lahir di Pulang Pisau, dan gw udah tinggal di sini selama delapan bulan sebagai dokter pegawai tidak tetap. Jadi tunggu apa lagi buat naik pangkat jadi pegawai negeri?

Gw menyeringai. Kelihatannya gw satu-satunya manusia yang nganggap bahwa menjadi pegawai negeri bukanlah naik pangkat.

Apa enaknya makan beras gratis kalo perut kita sakit karena tetangga gangguin terus? Apa enaknya jadi dokter satu-satunya kalo penyakit yang kita ladenin cuman itu-itu aja? Apa enaknya punya gaji tetap kalo gajinya habis cuman buat nge-mailin kekasih yang jauh di ujung dunia? Apa enaknya penghasilan udah di tangan tapi ilmunya nggak berkembang?

Orang sering lupa, mereka bekerja mestinya karena senang, bukan karena butuh. Kalo sudah seneng sama kerjaannya, dia akan kerja setengah mati sebagus mungkin. Tapi kalo kerja cuman karena butuh, mereka cuman kerja setengah-setengah seadanya sambil nunggu pensiun. Itukah hidup yang kita cari?

Gw harus akuin, Pulang Pisau kasih gw banyak pelajaran. Tentang segelintir masyarakat yang tajir tapi akhlaknya jongkok. Tentang profesi dokter yang nggak dihargain mulia. Tentang rumah tempat gw lahir yang jadi saksi perkembangan dusun jadi kota.

Tapi Pulang Pisau juga bikin gw lelah. PAM menyaring air tanah pake filter bocor. PLN yang seneng byar-pet tiga kali seminggu. Guru yang banyak protes ke Pemda dimutasi ke daerah tanpa aspal. Apartemen kontrakan yang mirip pondok lucu tapi induk semangnya ngidap gangguan psikotik. GPRS yang megap-megap. Dan Pemda yang jarang banget liat seperti apa rakyatnya merana di hari Minggu.

Kalo kita kepingin jadi pegawai tetap di suatu tempat, maka kita harus menganggap tempat itu sebagai rumah. Dan sulit sekali gw nganggap Pulang Pisau sebagai rumah gw. Tempat kerja harusnya bikin kita betah, bukan jadi sarang di mana kerjaan kita cuman kebelet liat jam tangan atau bahkan kalender karena kepingin buru-buru pulang.

Maka gw tersenyum kepada sang stafnya Menteri, dan bilang bahwa sebaiknya belio segera nyari dokter pengganti yang baru. Coz kontrak gw selesai September nanti, dan gw hengkang dari Pulang Pisau.

Menjadi pegawai negeri mestinya menyenangkan, tapi gw nggak mau jadi pegawai negeri di Pulang Pisau. Gw nggak nyantol di sana.

Sang staf Menteri bisa aja nugasin gw ke kantor-kantor kesehatan pelabuhan di seluruh Indonesia kalo gw jadi pegawai negeri, tapi gw nggak tertarik buat ngeronda anak-anak buah kapal yang mungkin terjangkit flu babi. Yang gw sukai adalah ngobatin, bukan meronda. Gw suka nyebarin ilmu, bukan duduk pasif nunggu perintah atasan. Tempat gw jelas bukan di instansi ini.

Maka untuk pertama kalinya dalam hidup gw, gw menolak tawaran menjadi pegawai negeri untuk Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit dan Pengendalian Lingkungan.

Rakyat sudah bayar pajak. Janganlah dipake buat bayar pegawai negeri yang nggak profesional. Dan pegawai yang profesional itu, harus kerja mulai dari hatinya.

26 comments

  1. Iya Mas, memang pola pikirnya beda kalo udah punya buntut. Intensitas orang mencari pekerjaan dengan status tetap itu akan meningkat kalau seseorang sudah ada buntutnya.

  2. mas stein says:

    pegawe negeri konon katanya memang gajinya ndak seberapa kok mbak, jadi ya ndak semua orang mau jadi PNS.

    setuju sama om arman, kadang kerja itu didesak kebutuhan, bukan kadang, sering malah. hehe. apalagi kalo sudah kawin, punya buntut.

  3. Ade says:

    Enaknya memang bekerja di tempat yang sesuai dengan minat, tapi harus hati2 juga klo dah sampai pada ‘kondisi nyaman’ alias ‘comfort zone’

    Wah.. sept bentar lagi ya.. lagi menghitung bulan dong 🙂

  4. Sulit mendefinisikan kata “memuaskan”, itu tergantung derajat kerakusan tiap manusia. Aku rasa supaya masing-masing puas dengan pekerjaannya, tentukan dulu sampai batas mana pekerjaan yang sudi kita kerjakan, dan target penghasilan macam apa yang mau kita capai. Kalo udah puas kerja seadanya jadi pegawai negeri dengan penghasilan yang tidak kompetitif, ya sudah, berarti memang di situlah takdirnya. Tapi kalo kita menjadi pegawai suatu instansi lalu tidak puas dengan pekerjaan kita sendiri dan ingin wawasan kita berkembang lebih luas, meskipun penghasilannya memuaskan, kurasa bukan takdir kita untuk jadi pegawai yang nyantol di situ.

  5. fauliza says:

    aku dapat kalimat bagus nih dari buku The 7 Laws of Happiness..
    Orang yang bahagia itu adalah orang yang dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya, serta memperoleh penghasilan yang memuaskan dari pekerjaan tersebut.
    Idealnya sih seperti itu, sebisa mungkin kita bekerja sesuai profesi/keahlian yang kita suka, lalu menjadi yang terbaik/ profesional pada bidang tersebut dan Insya Allah penghasilan pun bisa maksimal..^_^

  6. suwung says:

    ayo mbak tak dukung
    maaf dukunganya baru pada tahap doa supaya idealisme itu ada terus didada mbak…
    salam hormat
    dan salam soewoeng

  7. Pulang Pisau ada di Kalimantan Tengah. Boleh juga PTT di Kalimantan. Kalau mau digaji oleh Departemen Kesehatan, bisa ambil paket kontrak 6 bulan atau 1 tahun. Tapi kalau digaji oleh Pemda lokal, lama kerjanya tergantung Pemda setempat.

    PTT seru? Yaa..saya bilang sih seru aja. Segala perasaan campur-aduk sudah saya alamin selama sembilan bulan di sini. Jadi kalo Alma kepingin merasakan petualangan, setelah disumpah nanti langsung daftar PTT aja.

  8. Wijna, kakak saya lulusan pariwisata. Dia pernah jadi guide, mengelola agen perjalanan. Ketika pensiun dini, dia membuka kursus pelatihan pariwisata di Jakarta. Sekarang dia berhenti mengurus kursus itu, dan kerja untuk bidang lain. Dia nggak pernah jadi PNS. Tapi berkat kerjaannya selama hampir 20 tahun itu, dia sudah melaksanakan mimpinya untuk pergi keliling dunia.

    Siapa bilang jadi pengusaha itu haram? Yang salah kalo kita jadi pengusaha tapi nggak punya pengalaman. Menurut saya, jadilah pegawai dulu, sambil belajar mengelola organisasi perusahaan pelan-pelan.

    Saya memang kepingin mengabdi buat rakyat Pulang Pisau, Na. Dan saya sedang melakukannya. Tapi kondisi birokrasi lokal tidak mendukung dokter untuk bekerja sebaik mungkin. Jadi saya harus cari tempat lain di mana saya bisa memanfaatkan kemampuan saya dengan lebih optimal. Supaya hidup itu LEBIH berkah.

  9. almahira says:

    jadinya kak vicky pengen nyantol dimana nih? hehehe

    btw, pulau pisang tu daerah kalimantan kan? saya juga pengen PTT di daerah kalimantan, tapi kalimantan barat. seru ga sih kalau ambil PTT tuh? kalau di kalimantan berapa bulan ya?

  10. mawi wijna says:

    Saya juga sebetulnya ga begitu seneng dengan PNS. Tapi mau gimana lagi? Klo saya pingin menekuni bidang budaya-pariwisata, toh paling banter saya masuk ke Dinas Pariwisata, Balai Arkeologi, dll yang intinya itu semua PNS. Saya dari dulu udah termotivasi buat jadi wirausahawan. Tapi orang-orang sekitar maunya saya cepet cari kerja yang menjamin masa depan saya. Pusink juga jadinya.

    BTW, mbak bener-bener mau hengkang dari Pulang Pisau? Padahal saya pikir mbak mau berbakti buat tanah kelahiran mbak sendiri 🙁

  11. Amien. Kalau hati ikhlas mendapatkan ritme pekerjaan yang penuh tantangan, pasti pekerjaan akan bikin kita bahagia dan kita mampu menikmatinya. Mudah-mudahan karier Mbak Fanda sukses juga.

  12. Fanda says:

    Setuju, kerja harus datang dari hati dan harus ada tantangan, meski jabatan mungkin tetap. Pd titik tertentu, bukan uang dan keamanan saja yg jd pertimbangan kita memilih karir. Semoga karir kamu sukses, Vick!

  13. Masih mending cokelat-cokelat, Dep. Seragamnya PNS Dephankam biru-biru donker. Paling dikit atasan putih bawahan biru donker. Gw make itu malah kayak anak SMP. Ya ampun, kenapa Pemerintah nggak menggaji desainer busana aja sih? Apakah mode selalu jadi prioritas terakhir?

  14. depz says:

    jahhhh
    tumben lgsg speechless vik 😛

    btw gw mo protes sama kalimat pembuka lo
    “Semua orang kepingin jadi pegawai negeri”
    coz, gw ENGGA tuh
    😀

    dari zaman kuliah sampe nglamar kerja n sampe skrg gw dah 3x pndah tmpt kerja, gw ga pernah minat kerja jadi PN. Ikut seleksi/tesnya aja ga minat.

    DIsamping alasan yg lo blg diatas, ada 1 lagi alasannya.
    Yaitu gw ga minat kerja berseragam coklat2 or seragam PNS itu.
    Ga keren n ga kliatan kayak esmud
    xixixixiixix

  15. Farid says:

    PNS itu bukan profesi, tapi menunjukkan status siapa yang membayarnya alias boss-nya. Dokter itu adalah profesi, dan bisa statusnya dokter PNS, PTT, atau swasta. Ada bankir PNS, dan swasta. Dulu juga ada pilot PNS, waktu masih ada masakapai penerbangan yang dimiliki oleh negara, ada pilot swasta untuk maskapai swasta. Ada guru PNS, guru kontrak, dan guru swasta/yayasan. Ada dosen PNS dan sawasta/yayasan.

    Kalau saya emang suka ngajar, makanya dulu cita-citanya pengen jadi dosen, mungkin karena ketularan bokap yang juga dosen. Nah, jadi dosen itu paling pas menurut saya kalau jadi dosen PNS, karena gajinya dibayar oleh negara. Saya berpikir, harusnya saya ngajar bukan dibayar oleh mahasiswa, tapi oleh negara, karena kewajiban negara untuk memberikan pendidikan kepada warga negaranya.Nah kalau jadi dosen swasta, secara otomatis saya digaji dari uang SPP mahasiswa, bukan oleh negara.

    Tapi sekarang ini, ternyata PTN mulai mengurangi subsidi, karena menjadi BHMN lalu BHP sehingga SPP di PTN semakin mahal, hampir sama dengan SPP di PTS. Tapi gaji dosen PTN masih dibayarkan dari APBN. Uang SPP mahasiswa hanya digunakan untuk biaya operasional kampus.

    Saya sangat prihatin dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, baik di PTN mau pun PTS, karena banyak yg pandai tapi tidak mampu secara ekonomi, akhirnya tidak bisa lanjut kuliah.

    Apakah ini efek dari neoliberalisme, yang meng"haramkan" subsidi hehehe….padahal di LN saja, yang tingkat pendapatan penduduknya relatif lebih tinggi, sekolah dan universitas masih disubsidi oleh pemerintah, bahkan untuk level tertentu, bebas uang sekolah.

    Jaman saya kuliah dulu di ITB uang SPP sangat murah, tapi sekarang uang SPP sudah 100 kali lipat, bahkan untuk jalur non subsidi, harus membayar sampai ratusan juta untuk bisa kuliah di situ.

    Padahal untuk kuliah di beberapa negara di LN, bisa lebih murah.Makanya banyak sekarang yang lebih suka kuliah ke LN, selain bisa lebih murah, mereka juga bisa membiayai hidup dengan bekerja part time.

  16. Jadi boss buat diri sendiri tentu jauh lebih enak ketimbang jadi pegawai. Memang penghasilannya tidak tetap, tapi semangat mandirinya layak diacungin jempol. Kalo gw bilang jadi pegawai negeri itu enak, asalkan jadi penguasa kebijakannya alias jadi menterinya, hehehe.

    Itu foto di Watu Ulo, Jawa Timur.

  17. TRIMATRA says:

    semangat memburu titel pegawaiu negri itulah yang membuat membengkaknya pengangguran intelektual.

    mestinya mereka yg ngaku intelek itu bukannya mencari lapangan kerja PW namun brani menciptkan lapangan kerja, minimal untuk dirinya sendiri.
    lebih2 bisa untuk orang lain juga, hehehe..*kejam nih komengnya*

  18. edylaw says:

    kalo aku gak punya urusan sama kerjaan pemerintah hehe
    btw, pemandangan fotonya kok mirip di pulau bangka ya banyak poon kelapa hehehe

  19. Arman says:

    yah emang sih idealnya tuh kerja karena senang bukan karena butuh. tapi mau dapetin kerjaan yang kita senang itu ternyata gak gampang. jadi karena butuh ya mesti kerja juga kan walaupun gak senang… 😀

    *masih berharap suatu saat bisa kerja di bidang yang bener2 gua seneng…* 🙂

Tinggalkan komentar