Desa kecil di Mojokerto ini, ternyata pernah menjadi ibukota Nusantara yang dikagumi oleh bangsa Cina. Desa yang sama, juga menjadi tujuan utama rakyat Tanjungpura (sekarang Kalimantan) dan Tumasek (sekarang Singapura) untuk mengekspor hasil buminya. Tetapi, melihat sisa peninggalan kerajaan Majapahit di masa kini yang mulai lekang dimakan waktu, kita jadi paham bahwa memang sulit untuk mengingat masa kemakmuran kita sendiri sebelum dijajah Eropa.
Menguak Sejarah Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Mudah sekali ditelusuri di internet bahwa kerajaan Majapahit pernah menjadi hebat di bumi Indonesia ini sepanjang abad 13-15. Semua orang tahu bahwa Majapahit beribukota di Trowulan, sebuah desa di suatu area yang kelak akan menjadi teritori provinsi Jawa Timur. Orang masa kini seringkali mengasosiasikan nama Majapahit dengan Gajah Mada, pentolan militer kerajaan yang namanya sering dijadikan nama jalan di banyak kota Indonesia.
Persoalannya, jarang ada orang ingat bahwa ternyata, semenjak Gajah Mada meninggal, kebesaran Majapahit mulai terdegradasi. Rajanya yang paling terkenal, Hayam Wuruk, meninggal juga, dan ternyata istananya menjelma menjadi lokasi huru-hara lantaran perebutan tahta. Konflik internal keluarga raja yang berebutan mahkota, mengakibatkan banyak daerah yang sudah telanjur diakuisisi Majapahit menjadi terabaikan.
Padahal provinsi-provinsi yang dikuasai Majapahit itu telah bertebaran. Dari Sumatera hingga Ambon. Dari Sumbawa hingga Mindanao (sekarang menjadi wilayah Filipina). Para provinsi ini memberontak, hingga akhirnya separatis dan membentuk kerajaan baru. Kegagalan Majapahit menjaga kesejahteraan seluruh daerah kekuasaannya itu, berbuntut pada kolapsnya Majapahit. Akhirnya, Majapahit pun bubar.
Banyak kerajaan kecil yang terbentuk sesudah runtuhnya kerajaan Majapahit ini. Sebut saja Demak, Mataram, Banjar, Bone, dan lain-lain, namun wilayah kekuasaan ekonominya tak pernah sampai setangguh Majapahit. Krisis ekonomi lokal menyebabkan banyak wilayah menjadi terjajah oleh bangsa lain. Apalagi, pelaut-pelaut dari Eropa mulai berdatangan untuk mengeksploitasi hasil bumi negeri-negeri kecil ini. Maka berakhirlah masanya kejayaan Nusantara sebagai bangsa yang disegani bangsa lain, dan memasuki periode baru sebagai bangsa yang dijajah oleh bangsa lain (secara berturut-turut: Portugis, Inggris, Belanda, Jepang).
Peninggalan Kerajaan Majapahit
Pekan lalu, saya jalan-jalan ke Trowulan untuk melihat-lihat peninggalan kerajaan Majapahit yang tersisa. Trowulan merupakan sebuah kecamatan yang berada di pinggir kota Mojokerto, hanya bermobil sekitar 1,5 jam dari Surabaya.
Ini kedua kalinya saya mengunjungi Trowulan. Bedanya, ketika saya datang ke Trowulan 6 tahun lalu semata-mata hanya untuk wisata swafoto, kali ini saya ingin mempelajari tantangan konservasi pada salah satu cagar budaya Indonesia ini. Trowulan telah disertifikasi sebagai cagar budaya Indonesia berkategori Wawasan, yang artinya jika kita ingin melihat segala macam bentuk cagar budaya dalam satu wilayah, maka Trowulan merupakan contoh yang tepat. Tapi masalahnya, kenapa orang jarang tertarik mengunjungi cagar budaya peninggalan Majapahit di Trowulan ini?
Tidak salah jika Trowulan sampai ditahbiskan menjadi Kawasan Cagar Budaya. Sebagai eks ibukota Kerajaan Majapahit, banyak bangunan peninggalan kerajaan Majapahit di sana yang menjadi Bangunan Cagar Budaya, terutama candi-candi. Salah satu peninggalan kerajaan lainnya yang merupakan waduk buatan raja Majapahit, yaitu Kolam Segaran, telah ditetapkan menjadi Situs Cagar Budaya. Di sekitar candi pun banyak ditemukan benda yang diasumsikan sebagai benda yang digunakan oleh rakyat di masa pemerintahan kerajaan Majapahit, antara lain prasasti dan arca. Benda-benda ini kemudian diregistrasi sebagai Benda Cagar Budaya, lalu diekshibisi di museum khusus yang didedikasikan untuk kerajaan Majapahit, yaitu Museum Trowulan.
Candi Peninggalan Kerajaan Majapahit
Sebetulnya ada beberapa candi yang bisa dikunjungi masyarakat umum di Kawasan Cagar Budaya Trowulan ini. Sebut saja, Candi Gapura Wringin Lawang dan Candi Gentong. Tetapi karena waktu saya yang terbatas, saya hanya memilih mengunjungi ketiga candi lainnya, yaitu Candi Brahu, Candi Gapura Bajang Ratu, dan Candi Tikus.
Sejarah Gapura Bajang Ratu
Namanya saja gapura, maka dahulu candi ini menjadi pintu masuk pengelana yang ingin mendatangi ibukota Majapahit di Trowulan. Sebetulnya, selepas runtuhnya kerajaan Majapahit, sekitaran Gapura Bajang Ratu menjadi tak terawat dan ditumbuhi hutan jati yang lebat. Ketika Inggris mulai menjajah Jawa, pemimpinnya, yaitu Thomas Raffles, menemukan candi ini dan memerintahkan hutan itu dibersihkan, agar candi itu lebih mudah dikunjungi. Setelah Inggris mengoper penjajahan Jawa kepada Belanda, Belanda sempat berupaya memugar candi ini agar lebih kokoh. Batu bata pada anak tangganya diperbaharui, nat-natnya yang rapuh dikokohkan kembali, dan beberapa bagian candi yang terbuat dari kayu pun disemen.
Setelah Indonesia merdeka, Indonesia juga berusaha melakukan pemugaran terhadap candi ini. Sekeliling candi ditata menjadi taman yang luas, lalu taman ini diberi fasilitas penunjang macam pos penjagaan, tempat sampah, dan pagar pengaman.
Ketika saya datang kemari, taman Gapura Bajang Ratu dalam keadaan bersih, asri, dan hijau, seperti taman kota yang tertata indah. Penjaganya sangat ramah, dan bertanya “Ada yang bisa dibantu?”
Candinya kelihatan bersih terawat, meskipun saya lihat beberapa batu bata dindingnya mulai berlumut. Tak terkejut saya ketika saya jumpa palang bertuliskan Dilarang naik ke candi pada anak tangga candinya. Penduduk lokal percaya bahwa naik ke atas Gapura Bajang Ratu akan membawa sial, jadi Pemerintah memutuskan untuk menghormati mitos itu.
Penduduk Trowulan kelihatan sangat mencintai candi ini. Jalan menuju Gapura Bajang Ratu diaspal rata, tamannya dibersihkan dengan teratur, sehingga pengunjung yang datang pun tampak puas menikmati taman candi itu. Lepas dari benar/tidaknya mitos naik candi itu membawa sial, hingga kini jarang sekali terdengar ada bagian-bagian bangunan candi yang rusak akibat vandalisme.
Candi Tikus yang Sempat Jadi Sumber Hama
Lokasi Candi Tikus hanya sekitar 1 km dari Gapura Bajang Ratu. Candi ini unik, karena bentuknya tidak seperti candi langsing berisi kamar ibadah seperti pada umumnya. Malah, candi ini sebetulnya merupakan kolam pemandian, yang di dalamnya terdapat struktur panggung berbentuk atap mahameru. Makanya nama resminya adalah Petirtaan Candi Tikus. (Petirtaan = sumber air) Raja Majapahit sepertinya senang mandi di sini, sambil bersembahyang.
Konon, pemandian ini juga dipakai untuk memprediksi datangnya musim. Jika seluruh kolam terisi genangan hingga ketinggian anak tangga tertentu, maka musim hujan telah datang. Itulah waktunya rakyat Majapahit untuk mulai menanam padi. Namun selama genangan dalam kolam itu cepat kering, maka musim kemarau belum berlalu.
Saya beruntung datang pada musim kemarau, karena kolam itu sedang surut, sehingga saya bisa bermain-main di dalam kolam candi itu bersama anak saya. Beberapa kawan saya pernah kemari ketika musim hujan. Air merendam seluruh kolam dan menciptakan pemandangan isi kolam yang berwarna hijau akibat lumut.
Bicara soal lumut, kolam ini rupanya tidak ikut terobservasi oleh Raffles ketika menjajah Jawa. Selepas runtuhnya Majapahit, area Trowulan terkena macam-macam musibah, baik banjir Sungai Brantas maupun lumpur vulkanik dari erupsi Gunung Kelud. Kolam ini tertutup oleh tanah, dan begitulah adanya sampai sekian abad hingga awal dekade 1900-an.
Di awal masa itu, seorang bupati Mojokerto sedang berupaya mengatasi wabah hama tikus yang menyerang sawah penduduk. Ia dilapori bahwa tikus-tikus itu rupanya lari ke suatu gundukan tanah besar di daerah Trowulan, sehingga ia menginstruksikan agar gundukan tanah itu dibongkar untuk membasmi sarang tikus. Memang tikus-tikusnya jadi keluar semua, tetapi penduduk malah menemukan, bahwa gundukan aneh itu ternyata telah menutupi sebuah candi kolam pemandian. Semenjak itu, candi tersebut dinamai Candi Tikus.
Begitulah memang konsekuensinya tinggal di daerah rawan bencana, seperti halnya ibukota Majapahit ini. Di masa kini, penting buat rakyat untuk memprioritaskan penyelamatan Bangunan Cagar Budaya jika untuk mengatasi risiko bencana alam. Untungnya kini Sungai Brantas tidak lagi sering meluap hingga banjir sesering zaman dulu, karena kontribusi rakyat Mojokerto dalam membangun infrastruktur anti banjir di sekitar candi.
Hikmah Menarik pada Sejarah Candi Brahu
Berbeda dengan kedua candi yang saya sebutkan tadi, candi Brahu ini lain sendiri karena berarsitektur gaya Buddha. Hal ini terkonfirmasi ketika arkeolog kemudian menemukan Prasasti Alasantan di dekat candi tersebut, dan ada tulisan pada prasasti itu bahwa candi ini dibangun sebelum abad 11 Masehi. Jadi, candi ini sudah berdiri sebelum Kerajaan Majapahit itu ada.
Cukup menyenangkan, jika membayangkan bahwa meskipun Majapahit telah sedemikian berjayanya dengan filosofi Hindu yang dianutnya, namun raja-rajanya masih membiarkan agama Budha berkembang. Toleransi terhadap umat yang berbeda agama nampaknya sudah jadi hal biasa di Nusantara sejak dahulu kala.
Semula, seperti halnya candi-candi lainnya di Trowulan ini, Mpu Sindok membangun candi Brahu dari batu bata merah yang memang banyak sekali terdapat di sini. Batu bata ini lama-kelamaan lapuk dimakan usia, hingga kemudian Pemerintah Hindia Belanda memugar candi ini dengan memperbaharui batanya.
Pemerintah Indonesia juga berusaha memugar Candi Brahu dengan melapisi struktur candi menggunakan perawatan kimiawi, supaya dinding candi tidak terus melembab. Beberapa bata juga diganti, terutama karena sudah terlalu tua dan rapuh. Sekeliling dinding candi juga disemprotkan herbisida untuk mencegah lumut dan ganggang yang menghinggapinya.
Begitu pun dengan tamannya, candi Brahu juga dikelilingi taman yang luas dan rindang. Ketika saya datang, petugas kebersihan tengah menyapu dedaunan di taman untuk memastikan pemandangan di sekitaran candi tetap asri. Saya berjalan mengitari Candi Brahu (yang juga tidak boleh dinaiki tersebut), lalu menemukan bahwa bata di sisi yang satu cenderung lebih banyak yang lapuk ketimbang sisi satunya. Nampaknya sinar matahari yang kuat telah cenderung menggerus kemulusan batu bata di candi ini.
Sebetulnya saya merasa candi ini agak terpencil, sehingga mestinya rawan jadi tempat angker. Tapi saya melihatnya tidak demikian. Rakyat lokal merawatnya dengan menerbitkan karcis parkir di depan taman candi, sehingga tempat sepi itu tak berpotensi menjadi tempat kejahatan. Beberapa pedagang makanan gerobak nongkrong di depan taman candi, membuat taman itu serasa jadi taman kota saja.
Buang Sendok ke Kolam Segaran
Kolam Segaran, sekitar 1 km dari Gapura Bajang Ratu, adalah kolam yang besar sekali. Saya sempat menyangka itu telaga lokal bikinan papan Pemda setempat, kalau saja saya tidak melihat tanda larangan khas Cagar Budaya di situ. Ternyata kolam ini sudah tua sekali, raja Majapahit membangunnya sebagai waduk untuk membendung banjir. Waduk ini dalamnya sekitar 3 meteran, dan luasnya hampir seluas sebuah desa.
Konon, raja Majapahit senang menjamu tamu-tamunya di pinggir kolam itu. Begitu jamuan selesai, tamunya diajak untuk melempar piring, gelas, sendok, dan alat-alat makan lainnya ke pinggir kolam, Padahal, alat-alat makan itu terbuat dari emas, perak, dan beragam logam mahal lainnya. Begitulah cara raja Majapahit untuk mencitrakan dirinya kaya..
Ketika kolam ini mulai dipugar oleh Pemerintah, di dasar kolam banyak sekali ditemukan alat-alat makan yang disinyalir merupakan peninggalan kerajaan Majapahit tadi. Alat-alat ini dikumpulkan satu per satu, lalu kini diekshibisi di Museum Trowulan.
Saya datang di musim kemarau ini, tidak menemukan piring emas apapun di Kolam Segaran. Sejauh mata memandang, cuma tumbuhan lumut saja di dasar kolam luas itu. Sekeliling waduk hanya pagar, tanpa trotoar. Cuma ada satu unit tukang bakso gerobak sedang mangkal. Memang itu jalan kecil, tak diharapkan ada orang berjalan di pinggirnya secara sambil lalu.
Benarkah Museum Trowulan Angker?
Museum Trowulan, yang hanya selemparan batu dari Kolam Segaran, menyimpan Benda Cagar Budaya peninggalan Majapahit, seperti arca dan prasasti.
Gedungnya layak diremajakan, dengan dua staf yang duduk berjaga di resepsionis, berusaha keras nampak sibuk, dan sangat irit senyum. Saya meminta guide, namun mereka belum nampak bersedia. Akhirnya saya pun memasuki ruang-ruangan pameran sendirian.
Bagian dalam gedung dipakai untuk koleksi benda-benda dari logam dan tanah liat. Alat-alat yang biasa digunakan rakyat Majapahit ada di sini. Sebagian koleksi masih utuh, sebagian lagi sudah pecah. Mungkin pecahnya karena dilemparkan ke Kolam Segaran.
Di belakang gedung Museum terdapat teras berbentuk pendopo. Di pendopo inilah, arca dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit itu ditata. Sebagian diberi tanda keterangan namanya, sebagian lagi tidak diberi. Jumlahnya banyak sekali, sekilas saya merasa sedang berada di supermarket khusus jualan nisan. Dan semua nisannya ditulisi huruf Pallawa.
Saya tidak bisa memotret koleksi museumnya. Karena di museum itu memang tidak boleh memotret. Lagipula, pencahayaan di dalam museumnya memang tidak memungkinkan untuk menciptakan foto yang bagus. Rerata koleksi benda logam dan tembikar itu disimpan di dalam lemari, dan lemarinya minim lampu sorot. Padahal saya ingin sekali mengamati tiap detail koleksinya itu, apalagi figurin wajah manusia yang dibikin dari tanah liat itu.
Sulitkah Merawat Sisa Peninggalan Kerajaan Majapahit?
Saya pikir, orang yang sengaja menelusuri Trowulan hanyalah orang yang memang sungguh-sungguh mencintai arkeologi. Tapi, mengundang pengunjung untuk mau berbondong-bondong, mengenang runtuhnya kerajaan Majapahit, pasti butuh ekstra kerja keras.
Saya memang belum melihat Candi Gentong dan Gapura Wringin Lawang, tapi saya sudah menyukai ketiga candi di atas. Memang kendalanya, orang kalau mau kemari harus punya kendaraan sendiri dan meluangkan waktu luang lebih banyak dalam sehari.
Saya membayangkan seandainya rakyat mau berinvestasi dengan menciptakan biro travel yang menyewakan kendaraan shuttle untuk berkeliling Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Tentu akan jadi kegiatan pariwisata yang bernilai sangat ekonomis. Apalagi kalau ada travel agent yang mau jemput tamu dari bandara Juanda atau Stasiun Gubeng untuk membuatkan Trip Sehari Trowulan, mengapa tidak?
Museumnyalah yang saya rasa betul-betul butuh perbaikan. Baik interiornya, sampai edukasi pengunjungnya. Banyak pengunjung yang sudah datang ke museum dalam keadaan ingin tahu, tapi keluar dari museum tetap dalam keadaan tidak tahu lantaran tak ada guide.
Padahal saya rasa lebih baik mempekerjakan remaja-remaja lokal Trowulan untuk jadi guide keliling museum. Anak-anak milenial itu pasti berminat kerja sukarela kalau demi menambah-nambah portofolionya.
Memang merawat cagar budaya itu butuh arkeolog profesional dan investasi besar supaya tak sampai punah Saya percaya bahwa dengan promosi besar Wonderful Indonesia kini, pasti ada segelintir turis yang mau berkunjung menikmati Kawasan Cagar Budaya Trowulan. Saat orang mau berkunjung, di sana akan terjadi apresiasi terhadap cagar budaya (mengamati, mengagumi, memuji). Dari apresiasi itu tercipta keinginan untuk ikut merawat cagar budaya. Tapi di sisi sebaliknya, memang para pengelola cagar-cagar budaya ini perlu belajar lebih banyak untuk menyajikan cagar budayanya secara menarik, minimal dengan bersedia menyajikan komunikasi yang edukatif kepada pengunjung.
Apakah kamu punya ide lain untuk melestarikan peninggalan kerajaan Majapahit atau cagar-cagar budaya lainnya di Indonesia? Ayo tuliskan idemu dalam blogmu, dan ikut sertakan artikelmu pada Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah. Jangan sampai ketinggalan lombanya ya 🙂
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Banyak sekali peninggalan-peninggalan kerajaan majapahit di Indonesia, dan bagaimana kita sekarang merawatnya sebagai cagar budaya Indonesia.
Iya, betul.
ini bangunan peninggalan masa kerajaan majapahit tapi bangunanya masih terawat dengan baik ya kalo diliat dari jauh gini, masih bagus heheh, paling seneng aktu tu dateng ke bangunan bersejarah kaya gini <3
Kalau dilihat dari jauh, memang nampak terawat banget. Tapi kalau dideketin, pasti kelihatan deh dindingnya berlumuran. 🙂
Trowulan ini sebenernya situs wisata yg bagus banget. Lokasinya nggak jauh dari surabaya, tiket masuknya murah, nggak rame. Jadi bisa sekalian ngajar sejarah ke anak anak.
Bener. Dengan kedekatan geografisnya terhadap Surabaya dan bandara Juanda, sayang banget kalau Kawasan Cagar Budaya Trowulan yang penuh peninggalan kerajaan Majapahit ini nggak dioptimalisasi jadi potensi wisata.
Impian banget ini berkunjung ke Trowulan dan sekitarnya
Banyak candi-candi dan situs peninggalan kerajaan Majapahit
Semoga tetap terjaga dan terawat
Untuk warisan anak cucu kita di masa depan
Ke Trowulan ini gampang banget, Mbak Arni. Cukup meluangkan waktu sekitar 4 jam di kawasan ini, sudah bisa mengeksplorasi candi-candi peninggalan Majapahit yang bagus-bagus ini. 🙂
Keren tata tulisan penyampaiannya. Plus foto foto yang keren. Artikel mengenai Candi yang menarik dan menambah wawasan tentang CAndi yang luar biasa. Terima kasih Mbak Vicky. Salam Sehat
Terima kasih, Pak Eko 🙂
Artikel yang bagus.
Semoga peninggalan sejarah bangsa bisa tetep terjaga.
Biar anak zaman sekarang juga tau peninggalan nenek moyang kita
Wah liburan semester lalu pas ke Surabaya kok nggak mampir sini ya? Kurang referensi nih, perhatian terpusat ke arah pantai & Madura. Padahal nggak jauh juga ya dari Surabaya. Next time ke kalau ke timur lagi deh. Libur semester ini gantian ke barat dulu.
Ya, Mbak Lusi, perlu didatengin nih Trowulan ini. Nggak akan makan waktu terlalu banyak kok. 🙂
Ulasannya lengkaaapp.. Jadi bisa sekalian belajar sejarah ini mah. Dulu aku paling males lho belajar sejarah, tapi mungkin kalau belajarnya ngeliat langsung atau fotonya lebih bagus & menarik, jadi bisa lebih tertarik ya..
Sekarang baru tertarik sejarah (telat ) karena kok ya ada aja cerita yang bisa dijadikan pelajaran
Saya suka sejarah. Karena pada dasarnya, sejarah Indonesia ini banyak dramanya. Inti dari sejarah Majapahit ini jelas: negara jadi ruwet karena rajanya punya bini dua.
wahh candinya kece2 mbak.. bersih terawat.. sukaak banget. Tapi aku belum. pernah mampir ke berbagai candi ini.. Cuma pernah yang di Malang aja. Btw.. selamat yaa juara kompetisi ini..
Ooh, candi yang di Malang itu Candi Singasari ya? Ya, itu candi cukup kece juga 🙂 Terima kasih ya, Mbak Dian 🙂
Senang sekali bisa mampir ke tukisan Mba Vicky ini.
Banyak hal tentang sejarah Majapahit yang ingat nggak ingat, dulu diajarkan di sekolah, tapi nggak sebanyak yang kemudian saya baca di sini.
Pada akhirnya, buat saya, Majapahit benar-benar kerajaan yang membuat Nusantara dikenal dan disegani pada masa lalu.
Iya, Majapahit ini sebetulnya bukan kerajaan kaleng-kaleng 🙂 Kita pernah jadi bangsa yang cukup besar dan cukup toleran terhadap agama-agama yang berbeda, itu yang pingin saya highlight dalam tulisan ini 🙂
Mbak, makasih udah nulis artikel ini.
Aku udah lama penasaran dengan Mojokerto, pengen menjelajah sambil dengerin tiap cerita masa lalu dari tiap situs.
Lewat artikel ini aku jadi ikutan jalan-jalan ke Mojokerto. Aku mulai ada bayangan lebih jelas mau ke mana aja kalo ke Mojokerto, dan cerita apa yang bisa aku dengar dari sana.
Sama-sama. 🙂 Mojokerto itu kota yang tidak terlalu besar, Trowulan-nya sendiri bisa dikelilingi dengan lengkap hanya dalam 4-8 jam 🙂
Ini toh tulisan yang mendapat gelar juara itu. Pantas menang, isinya bagussss.
Saya suka setiap gambar diberikan keterangan yang tidak pelit. Saya senang ada kritikan di dalamnya. Dan yang penting, tidak ada definisi cagar budaya, karena pembaca yang cerdas akan mencari tahu definisi itu sendiri.
Dari membaca ini, saya meniatkan untuk berkunjung ke Trowulan. 2 hari pun saya siap, dengan catatan memang ada guide-nya di sana. Bayar guide-nya pun nggak masalah kok 🙂
Makasih ya, Mbak atas ceritanya yang bagus banget.
Terima kasih, Bang Darius.
Tulisan ini panjang sekali. Kalau saya nggak kasih caption banyak di tiap foto, bisa-bisa tulisan ini jadi lebih panjang lagi. 😀
Memang saya nggak kasih definisi cagar budaya. Pembaca blog ini kebanyakan peminat pariwisata, pasti mereka udah tahu sendiri cagar budaya itu apa.
Kalau mau ke Trowulan, sebetulnya 4 jam aja sudah cukup. Kalau ambisius ya 8 jam. Yang jelas, bawa kendaraan sendiri. Soalnya nggak ada guide-nya :))
Mbak Vicky, tulisannya bernas. Penuh masukan dan saran yang berarti. Semoga dibaca oleh pemerintah yang khususnya badan/dinas/biro yang menaungi cagar budaya Indonesia sehingga masukannya dapat diaplikasikan di Kompleks Candi Trowulan dan museumnya.
Terima kasih 🙂 Saya sangat suka tempat-tempat bersejarah. Saya udah dua kali ke Cagar Budaya Trowulan ini, dan kepingin tempat ini meninggalkan kesan lebih edukatif buat para pengunjungnya. 🙂
Luar biasa ya bila membayangkan kejayaan Kerajaan Majapahit di masa lalu. Namanya tersohor ke berbagai bangsa. Aku jadi penasaran kenapa kerajaan ini pecah.
Wah, sang raja rupanya pongah juga ya sampe buang-buang peralatan makan dari emas kayak gitu. Padahal kan bisa disumbangkan ke rakyat kalo udah nggak mau pake lagi.
Perpecahan kerajaan ini sebetulnya diawali dari pertengkaran dua anak Raja Hayam Wuruk, setelah Hayam Wuruk meninggal. Anak pertama adalah perempuan (namanya Kusumawardhani), diberi tahta memimpin kerajaan. Tapi karena dia perempuan, dia menyerahkan tahta itu kepada suaminya (namanya Wikramawardhana).
Anak kedua, kebetulan tidak terima, jadi ingin memimpin kerajaan juga. Karena anak kedua ini seorang laki-laki (namanya Wirabhumi).
Lalu, supaya tidak berantem, Majapahit dipecah menjadi dua ibukota. Ibukota pertama tetap di Trowulan, diberikan kepada (suami) anak pertama. Ibukota kedua berada di Daha (sekarang Kediri, jawa Timur), diberikan kepada anak kedua. Daerah-daerah yang menjadi bawahan Majapahit ini tidak puas karena pemerintahannya tidak sesukses pemerintahan Hayam Wuruk, sehingga mereka memberontak. Karena terlalu banyak daerah yang memberontak, lama-lama Majapahit jadi tidak kuat deh.
Penasaran nggak, kenapa bukan anak kedua aja yang jadi raja di Trowulan, supaya gak usah bagi-bagi kekuasaan dengan anak pertama segala? Soalnya, anak kedua Hayam Wuruk yang laki-laki itu cuma lahir dari selirnya Hayam Wuruk. Sedangkan anak pertama yang perempuan itu, lahir dari istri Hayam Wuruk yang pertama, yang dianggap permaisuri. Jadi, yang dianggap pewaris tahta sah cuma anak perempuan itu 🙂
Karena di Jogja banyak candi, sering juga berkunjung ke candi seperti candi sambisari dan candi ijo. Selain menikmati pemandangan candi bisa juga buat menikmati sunset
Bagus tuh ya idenya, buat menikmati sunset 🙂
Gapura Bajang Ratu keren banget.. suka.. perkomplekan candi selalu hijau nan asri ya.. seneng mampir kesini jadi mengulang sejarah asal muasal nusantara
Well, gak selalu. Jika candinya kebetulan dapet yang nggak terawat, sekitarnya selalu nampak gersang. Makanya Gapura Bajang Ratu ini keren sekali karena dukungan rakyat Trowulan-nya 🙂
Di sana disediakan jasa tour guide juga, Mbak. Meskipun candinya kecil, kayaknya kalau ada guide bisa membantu wisatawan untuk lebih mengenal candi ini
Mestinya disediakan guide sih memang. Kebetulan saya datang pas waktunya weekday, jadi saya nggak dapat guide. Tapi pernah juga saya datang pas weekend, nggak ada guide juga 🙂
Membaca postingan mba Vicky ini adalah belajar sejarah dengan cara yang menyenangkan, banyak foto-foto candi yang ciamik membuat saya juga ingin kesana. Coba belajar sejarah di sekolah dulu bisa lebih banyak tampilan visualnya jadi rapot saya gak ada yang merah karena sering ketiduran waktu gueu cerita hahaha *bongkar aib 😀
mudah-mudahan perawatan candi-candi yang ada di Indonesia semakin diperhatikan dan juga semua pengunjung dan wisatawan bisa menjaga kelestariannya.
Lhoo..dulu buku-buku pelajaran sejarah saya juga banyak tampilan visualnya. Tetapi ya itu.. sepertinya buku sejarahnya masih perlu direvisi dengan bantuan fotografer yang bisa memotret dengan visualisasi yang baik 🙂
Aku kalau wisata sejarah suka merhatiin satu-satu lalu mengingat di tempat lain ada yg serupa ga? Konon sih, warga Majapahit ada yang kabur ke Bali karena masuknya Islam. Diinget-inget, pure di Bali mirip candi-candi di Trowulan ya. Semoga sih, Trowulan tetap terjaga pelestariannya…
Kurasa penampakan candi-candi di Bali memang mirip Candi Bajang Ratu atau Candi Tikus karena sama-sama punya unsur memuja mahameru yang sama-sama berasal dari aliran Hindu. Tapi jelas nggak mirip Candi Brahu karena Candi Brahu itu aliran Buddha.
Sebetulnya rakyat Bali yang berasal dari Kerajaan Majapahit itu bukan kabur karena masuknya Islam sih. Awalnya begini, perebutan kekuasaan pasca meninggalnya Hayam Wuruk bikin Majapahit itu pecah menjadi dua kerajaan. Yang satu masih beribukota di Trowulan, sedangkan yang satunya lagi beribukota di Daha (sekarang Kediri, Jawa Timur).
Baik Trowulan maupun Daha lama-lama turun pamor, apalagi karena ada kerajaan baru yang lebih kuat dan kebetulan beragama Islam, yaitu kerajaan Demak. Kemudian, Demak mengakuisisi Majapahit sebagai wilayah bawahannya. (Raja Demak ketika itu adalah Sultan Trenggono).
Rakyat Majapahit di Daha itu tidak berkenan dengan cara memerintahnya Sultan Trenggono, sehingga mereka pindah ke Bali yang gaya hidupnya lebih sesuai dengan mereka, karena kekuasaan Demak itu tidak sampai mencakup Bali. Jadi, orang Majapahit itu pindah ke Bali bukan karena masuknya Islam sih, tapi memang karena berbeda pandangan politik dengan penguasa kerajaan Demak saja.
wisata candi memang menyenangkan ya mbak. Modalnya topi lebar dan kacamata hitam aja hehehe. Aku kebetulan suka wisata sejarah jadi candi selalu jadi spot wisata incaran.
Hihihi.. ya, aku juga sering heran kenapa di sekitaran candi itu nggak dikasih pohon aja yang banyak biar kita nggak kepanasan gitu :))
Wah aku juga suka banget kak mengunjungi candi-candi. Soalnya di Yogyakarta dan sekitarnya ada banyak banget candi-candi jadi sering deh main. Btw, setuju banget kak kita emang harus menjaga dan merawat cagar budaya yang kita miliki yah 🙂
Enak banget tinggal di Jogja ya. Aku tau tuh ada blogger Jogja yang namanya Mawi Wijna, dia demen banget mblusuk ke candi-candi di Jogja 🙂
Wah, baca bagian awal dari artikel ini, saya jadi keinget buku Arus Balik karangan Pramoedya. Kejayaan jaman dulu dikenang, tapi penyebab kehancurannya harus dipelajari supaya tidak terulang lagi. Btw, saya sudah beberapa kali wisata ke Trowulan. Ini salah satu tempat wisata yang saya suka.
Yap, kehancuran itu dimulai gegara anak-anak Hayam Wuruk berebut warisan tahta. Masing-masing merasa ingin jadi raja, tidak adil dinomorduakan hanya karena ibunya adalah selir. Makanya kalau mau anak-anak rukun, ayah jangan beristri dua.
Deket banget ama rumah ku ini. Mampir mbak
Terima kasih 🙂 Rumahmu di sebelah mananya Trowulan?
satu yg aku sedih dari museum di Indonesia itu, karena selalu sepi :(. Padahal buatku, museum seharusnya jadi tempat paling asyik untuk belajar sejarah, daripada dengerin guru sejarah yang cara jelasinnya hanya berpatokan dari buku, susah dihapal pula.. Melihat langsung dari museum, pasti lbh mudah dimengerti. sayangnya museum di banyak tempat di Indonesia memang ga keurus, boro2 mau interaktif :(. guidenya aja jg sering g ada. Bener katamu Vic, masuk ke dalam kita ga tau apa2, kluar tetep aja ga tau.
aku suka menekuni sejarah. apalagi yg berkaitan dengan cerita kelam dulunya. Tapi yg berkaitan dengan kerajaan2 hebatal zaman dulu seperti sriwijaya, majapahit dll juga suka sih. Tapi ya ituuu, ga banyak museum yg bisa menjelaskan ttg itu secara detil, ato menjelaskan dengan cara asik. Ga bermaksud membandingkan, tapi di negara2 cth aja Jepang, museumnya selalu rameee dikunjungi anak sekolah, turis, ato warga lokal. Kenapa? karena museum di sana kesannya ga spooky, modern, interaktif bangettt, ada video, ada penjelasan dengan berbagai macam bahasa memakai headset, ada ruangan simulasi bahkan. jadi pendatangpun ga ngerasa bosen, dan malah jd lbh ngerti kluar dari sana. berharaaaaap banget museum di Indonesia bisa seperti itu 🙂
Memang para petugas pengelola museum perlu belajar untuk lebih komunikatif terhadap pengunjung. Sebab pengunjung itu datang bukan sekedar untuk berwisata, tetapi ya karena ingin tahu (ingin belajar).
Makanya, kubilang juga di atas bahwa kalau memang kekurangan Sumber Daya Manusia, bisa banget menggantinya dengan merekrut sukarelawan dari kalangan pelajar atau mahasiswa.
Beberapa museum yang kusukai itu adalah Museum Bank Indonesia. Penataannya memang interaktif sekali, sehingga bikin betah. Ada lagi Lawang Sewu, yang interiornya nggak sekeren Museum Bank Indonesia, tapi ya ada guidenya, jadi ya tetap membetahkan juga. Ya mosok untuk bikin museum jadi keren begitu nunggu banyak biaya dulu? Mbok dimulai dari investasi paling dasar dulu, yaitu investasi tenaga kerja, alias guide museum. Supaya museumnya nggak angker, nggak sepi.
Sengaja ke Mojekerto, nih, Mbak, dari Surabaya?
Iya, Mbak Relinda, kami nyetir sekitar 2 jam dari Surabaya ke Trowulan sini. 🙂
Candinya terlihat bersih dan terawat. Syukur deh karena masih terjaga agar terus menjadi saksi sejarah
Bener, petugas-petugas candinya nampak rajin dan menyenangkan. 🙂
Sudah lama mendengar keelokan Trowulan sebagai situs cagar budaya, namun blm.sempat mengunjunginya hingga kini, aku berayukur sekali bisa mengenalnya melalui post mba Vicky ini. Setuju sekali bahwa perawatan cagar budaya masih menjadi PR bagi Bangsa kita. Sayang sekali ya..
Yaah.. kita perlu belajar bahwa mungkin bangsa kita masih punya prioritas lain selain merawat cagar budaya, padahal mestinya pelestarian cagar budaya itu bisa diintegrasikan dengan aktivitas sehari-hari.
Aku suka sekali foto-foto candi ini
Terang dan bener-bener menampilkan keindahan candinya
Warna candi yang kontras dengan langit itu lho bikin cakep
Semoga tetap terjaga kelestariannya
Hahaa.. makasih, memang aku berusaha banget cari momen pas sinar mataharinya masih bagus 😀
Cakep-cakep banget Mbak candinya. Bentuknya itu lho, unik sekali! Baru tahu juga kalu Candi Tikus itu beneran dulunya sarang tikus 😀
Ya itulah akibatnya kalau candi sebagai cagar budaya itu nggak dirawat karena ditinggalkan. Bisa-bisa jadi mangkrak dan berubah fungsi jadi sarang tikus.
Lengkap banget mbak jalan-jalan dan ceritanya..waah aku baru tau asal mula nama Candi Tikus. Lumayan luas juga ya Candi Tikus ini
Iya, luasnya lumayan buat mandi bareng-bareng sekeluarga :))
majapahit ini walo adanya di abad-abad yang lampau, tapi teknologinya masih relevan kalo diterapkan di zaman sekarang. salah satunya sistem pengairan. bener gak sih, mba vicky?
Yap, betul. Kolam-kolam yang saya ceritain di atas itu yang jadi pertanda bahwa mereka sudah bikin sistem pengairan. Pertama-tama mereka bikin dulu waduk untuk membendung banjir (sekarang jadi Kolam Segaran). Lalu mereka bikin kolam mandi (sekarang jadi Petirtaan Candi Tikus) untuk penanda musim hujan. Di dinding kolam Petirtaan itu sebetulnya ada lobang-lobang yang kalau ditelusurin bakal mengalirkan air ke sawah-sawah penduduk. Cerdik yaa.. 🙂
Dan aku baru tahu ada candi ini sebagai peninggalan dari kerajaan majapahit. KAlo gak mampir kesini kayaknya gak akan tahu deh. Trims ya mbak ulasannya….
Aku belum bisa berkunjung ke situs-situs cagar budaya lagi nih karena lagi hamil gede. hiks
Iya, Majapahit sudah bubar, dan cuma meninggalkan arca, makam, candi, dan kolam. Lain-lainnya hanya dalam bentuk tulisan di naskah kuno yang nampaknya sekarang disimpan di Museum di Jakarta dan di Eropa.
Aku jadi pengen ke candi2 ini, mbak
Ayo datang yuk ke sini. Dari bandara Surabaya cuman 1,5 jam lho 🙂
Tulisan ini layak menjadi pemenang lomba. Sangat detil dan informatif.
Oh ya, mbak riset tentang candi2 ini dan nulis ini sebelum berkunjung atau sesudahnya?
Riset dulu sebelum berkunjung, supaya ngerti apa yang mau dicari. Karena tujuannya seperti kubilang di atas adalah buat mempelajari konservasi, jadi aku riset dulu sebelumnya candi ini sudah dikonservasi dengan cara apa aja oleh Pemerintah. Jadi pas tiba di candinya, tinggal mencocokkan dengan data yang aku baca dan motret kelemahan-kelemahan candinya aja 🙂
mengunjungi situs candi, salah satu cara untuk belajar sejarah, supaya lebih paham bagaimana keadaannya saat itu.
Ya, betul, Mbak 🙂
candinya cakep banget Mba Vika, jadi pengen ke sana, dan lihat poto adeknya dong sendirian di depan taman bunganya kayak berasa lagi di luar negeri. btw kayaknya hampir semua candi itu emang berkesan angker ya Mba
Semua candi pasti berkesan angker. Sebab kalo nggak angker, itu namanya bukan candi, tapi taman ria.. :))
Oh ya.. nama saya bukan Vika.. 😀
Paling suka kalo ada tulisan tempat peninggalan bersejarah kayak gini disertai dengan cerita, in love
Hahaha.. syukurlah Kak Lily senang 🙂
Wahhh aku kemarin baru nonton youtube dari Kisah Tanah Jawa yang bikin konten di sini Mba. Eh mba Vicky ngulas juga jadi makin ngerti dan makin pengen berkunjung ke sana. Yang seru kalo ada tamu dari negara lain peralatan emasnya dibuangin ya dan ternyata buat menegaskan kalo Indonesia ini kaya raya. Makasih mba ulasannya komplit banget suka membacanya.
Ah, nanti aku cari ah video Kisah Tanah Jawa itu, kayaknya mereka bisa kasih visualisasi yang lebih baik 🙂
wah aku paling suka lihat candi, selalu kagum dg yang buatnya dan gambaran di dinding dan selalu ada filosofinya
Maksudnya gambaran di dinding itu reliefnya ya? Mbak Hastira paling seneng candi apa? 😉
Baca blog mba Vicky ini aku jadi nambah pengetahuan baru deh. Aku baru tahu ternyata akuisis Majapahit bisa sampai Mindanao lho, kayaknya dulu pas belajar sejarah ga disebut deh ini, atau aku yg udah pikun
Lho, sampai Mindanao, Mel. Malah sampai Kamboja segala akuisisinya. Dan cara mengakuisisinya itu dengan cara menikahi putri raja Kamboja sana..
cerita dibalik penemuan candi tikus unik banget dong wkwkwk mau nanganin wabah tikus eh jd nemu candi(?) btw, dirimu nulisnya lengkap bgt, kyk baca buku sejarah akuuuu
Lhoo kamu nggak tau ya, yang nulis buku sejarah itu kan akuuu.. :))
Saya sangat menikmati betul alur dari cerita yang yang disampaikan pada tulisan mba Vicky.. bagaimana sejarah penamaan candi tikus lalu adanya sebuah alat ukur pergantian musim pada masanya dengan kolam. Oleh karena itu sejarah memang harus kita jaga ya
Terima kasih ya sudah baca, Kak Laksmi 🙂
Candinya keren banget mbak dan kawasan sekitaran candinya juga super duper luas.
Iya, parkirnya juga nyaman, makanya saya seneng 🙂
Jadi kebayang Masa kejayaan majapahit yang kekuasaanya sampai ke Filipina. Kuat banget berarti kerajaan ini. Bagus tuh idenya memperkerjakan anak-anak Lokal buat jadi guide. Semoga ada yg bisa memberikan pelatihan
Waaa bagus banget candi nya dan memang bagusnya tidak untuk dinaiki untuk melestarikan cagar budaya ini eksis hingga anak cucu kita nanti.
Jadi mau main-main k Trowulan ini deh mba Vicky apalagi sungainya ini penasaran sama warna warni ganggangnya
Anu, Grandy, itu bukan sungai, tapi kolam.. (iya, memang kolamnya segede itu :D)
Anu, kekuasaannya yang terbukti sih sampai Mindanao. (Tapi memang Mindanao sekarang jadi wilayah Filipina sih :))
Pelatihan guide sebetulnya memungkinkan sekali. Di sini ada balai pelestarian cagar budaya, yang bisa memberi informasi bagi calon guide.
Pelatihan hospitality intensif juga bisa diberikan oleh sekolah pariwisata, dan mestinya nggak perlu butuh waktu lama. Kalau di Jakarta aja bisa bikin travel guide kreatif bernama Jakarta Good Guide, mestinya Trowulan sih bisa.
Tempat makan di area tertentu nampaknya bisa di buat akan tetapi tidak meninggalkan, merusak budaya yang Ada di situ
Iya nih bener, aku sulit menemukan tempat makan yang nyaman di sana, meskipun hanya sekedar minum es teh
aku kalau ke candi suka ngebayangi mbak kalau gimana kehidupan pada masa itu, kan candi itu ada yang luas banget ada yang sedang seperti Trowulan ini. Jadi keinget candi yang pernah aku datangi pas di Jogja, safari candi hehe..
Ya, keliling candi di Trowulan ini sebetulnya gampang banget. Candinya kecil-kecil, tapi memang terpencar-pencar dalam radius 3-4 km. 🙂
Wuaa aku baru tahu ternyata sampe dilempar-lempar sendok piringnya ke kolam sama rajanya, menarik banget mbak tulisannya smoga kedepan peninggalan ini ttp bakal terurus
Iya, menurut kitab sastranya begitu, rajanya suka lempar-lempar sendok piring ke kolam. Ketika Pemerintah eksplor kolamnya, banyak sendok dan alat makan peninggalan kerajaan Majapahit lainnya yang ditemukan, hihihii..
Kaya banget raja2 di indonesia dulu ya.
Ak pengen ke museum trowulan suatu saat
Wah jadi ikut belajar sejarah ini saya… soalnya saya termasuk jarang mengunjungi peninggalan sejarah, paling 1-2x ya itupun sdh lama hehehe…trims infonya mbak..lengkap sekali
Kak Helena, sama-sama, terima kasih ya udah baca tulisan saya 🙂
Kaya lho, Res. Dan rakyatnya nurut semua ke rajanya karena rajanya memerintah dengan sistematis, kalo dilihat dari caranya ngatur waduk dan kolam buat mencegah banjir itu.
Asyik tulisannya lengkap banget. Jadi tercerahkan sekali informasi soal adanya kerajaan majapahit ini. Smoga berkesempatan datang langsung dan juga moga tetap bagus
Datang ke sini dong, Lid. Ini deket kok sama bandaranya Surabaya 🙂
Candi-candi yang semasa SD hanya bisa aku lihat dari buku pelajaran sejarah saja. Trus baca tulisan Mbak nya yang super lengkap bahas sejarah candi ini. Kebayang dulu kerajaan Majapahit se-kaya apa. Jadi makin sayang dan ga tega untuk merusak bangunan warisan budaya Indonesia ini.
Engga, ini nggak lengkap-lengkap amat. 😀 Hanya sedikit pendapatku tentang candi-candi ini aja. 🙂 Candi-candi ini tidak seterkenal candi Prambanan dan Borobudur, padahal Majapahit itu lebih kaya daripada kerajaan yang membangun Prambanan dan Borobudur 🙂