Kelakuan Orang Indonesia terhadap Gajinya

Apakah hari esok kita sudah terjamin mapan? Sikap kita tentang cara mengatur keuangan bisa meramalkan bagaimana nasib kita di masa depan.

Seorang pengunjung blog saya (@renidwiastuti) berkomentar di salah satu artikel blog saya. Tulisan yang ketika itu beliau komentari adalah cara memilih reksadana menurut karakter investornya. Waktu itu, beliau bilang begini:

Belum melirik ke reksadana, soalnya dananya habis terus hihihi…

Masih Hidup untuk Hari Ini Dulu, Besok Bagaimana Nanti

Ini sebenarnya persoalan klasik masyarakat negara kita. Jangankan menyisihkan untuk membeli reksadana, bahkan untuk berinvestasi saja belum tentu ada dana.

Malah, jangankan untuk berinvestasi, bahkan untuk menabung pun belum tentu ada uang. Karena jangankan untuk memasukkan koin ke celengan, untuk biaya makan sehari-hari saja masih mikir-mikir.

Mikir? Iya, karena untuk membuat menu makan saja masih takut menghabiskan uang. Padahal uangnya ada.

Akibat masih konsentrasi mikir untuk hidup hari ini, orang kita masih belum berpikir untuk hari besok. Kita tidak berpikir apakah besok harga beras masih semurah harga hari ini. Kita tidak berpikir apakah besok kita masih digaji oleh kantor kita atau malah dipecat karena pura-pura ada perampingan pegawai. (Kita? Oh saya sih enggak. Sudah lama saya nggak ngantor.)

Kita tidak berpikir apakah 10 tahun lagi kita masih bisa berlari sekencang hari ini, atau jangan-jangan kaki kita jadi letoy karena neuropati. Bahkan kalaupun kena sakit pun, kita tidak berpikir apakah kita bisa bayar obat untuk bertahan hidup atau tidak.

Dan..kita sungkan untuk berpikir sejauh itu karena kita juga takut akan masa depan. Kita sering menganggap gaji kita pas-pasan, cuman cukup untuk bulan ini. Jadi pengeluarannya ya untuk belanja bulan ini. Baru menabung kalau ada sisa belanja.

Investasi? Ih, kayak yang ada duit aja..

Perilaku Konsumen Indonesia terhadap Gaji

Apakah pengeluaran orang Indonesia memang pas-pasan? Coba kita lihat.

Saya akan merujuk kepada kota Surabaya dan Jakarta, karena kedua kota tersebut merupakan asal dari sekitar 60% pembaca blog ini.

UMR di Surabaya ialah Rp 3.296.213,-. Angka ini tidak beda jauh dari UMP Jakarta yang mencapai Rp 3.355.750,-. Artinya pembaca blog ini yang kebetulan sudah bekerja punya sekitar Rp 3,3 jutaan masuk ke rekeningnya tiap bulan.

Persoalannya, bagaimana cara mengatur keuangan kita? Apakah uang segitu bertahan, berkembang, atau banyak bocornya?

Dari survey Credit Suisse tentang perilaku konsumen di negara-negara berkembang, kelihatan bahwa perilaku konsumen Indonesia ialah menghabiskan sekitar 1/3 penghasilannya untuk beli makan sehari-hari. Kita hanya memasukkan sekitar 10% penghasilan kita untuk disimpan. Biaya sekolah anak-anak kita paling-paling cuma 3% per bulan. Kalau sampai jatuh sakit, atau sekedar mau perawatan dokter gigi, dana yang habis kira-kira hampir sama dengan biaya sekolah anak-anak.

Kalau sekitar 30% penghasilan kita habis untuk makan, dan hanya 10% yang ditabung, lantas ke mana 60% sisa penghasilan kita?

Nggak jelas, tapi bisa-bisa sengaja diakumulasikan untuk belanja besar-besaran. Menurut survey Credit Suisse ini juga, belanja besar yang paling sering dilakukan orang Indonesia adalah beli smartphone dan beli pulsa untuk internetan. Kalau ditotal dalam setahun, jumlah orang Indonesia yang rela keluar duit banyak untuk beli smartphone dan internetan ini, masih lebih banyak daripada jumlah orang Indonesia yang  mau nyisihan duit untuk bayar les anak (atau sekedar ikut seminar), untuk pergi liburan, atau sekedar ganti tv (atau langganan tv kabel).

Perilaku konsumen Indonesia UMR
Menurut survey Credit Suisse, belanja besar yang paling sering dilakukan orang Indonesia adalah beli smartphone dan beli pulsa untuk internetan.

Apakah tadi saya bilang bahwa menabung itu cuma menyerap 10% gaji? Ya, itu memang betul. Dan kelakuan orang Indonesia masih lebih banyak parnonya dalam urusan perduitan. Dari 230 jutaan orang Indonesia, cuma sekitar 40% saja yang percaya menyimpan duitnya di bank. Dan cuma sekitar 5% saja rakyat yang menyisihkan uang untuk menyicil beli tanah atau pun rumah.

Jadi kalau ada 100 orang yang dijejer, kira-kira cuma ketemu 40 orang yang jadi nasabah bank, dan mungkin cuma ada 5 orang yang sudah punya tanah, tapi belum tentu kita bisa menemukan 1 orang yang bersedia berinvestasi pada pasar modal (atau sekalipun, minimal emas.)

Sedihnya, dari 100 orang Indonesia yang dijejer itu, masih ada 30 orang yang lebih suka menyimpan uangnya di rumahnya sendiri (tanpa diapa-apakan). Dan ada sekitar 30 orang lagi yang merasa nggak punya uang sisa sama sekali untuk dimasukkan ke dalam celengan ayam sekalipun.

Pantes kan, kalau tiap Ramadhan banyak banget orang cepat marah kalau belum dapat THR. Dan banyak orang masih terlilit utang. Atau sudah nabung dari jaman batu, tapi duitnya malah lapuk dimakan rayap. Atau mati dalam keadaan tetap miskin.

Perilaku konsumen Indonesia financial check up
Menurut survey Credit Suisse, ada sekitar 20-30% orang di Indonesia yang tidak punya uang tabungan.

Sedihnya lagi, meskipun survey perilaku konsumen Indonesia ini bilang bahwa 1/3 penghasilan kita habis untuk urusan makan, sebetulnya bukan semata-mata urusan perut ini yang bikin kita kesulitan menabung.

Menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional yang juga menilai perilaku konsumen Indonesia (ini kenapa saya jadi kebanyakan baca survey-survey begini?), dalam anggaran makan orang Indonesia, sebetulnya cuma 14% saja yang dari anggaran itu dipakai untuk beli beras. Dan hanya sekitar 2-7% saja yang habis untuk beli lauk, atau sayur.

Perilaku konsumen Indonesia
Perilaku konsumen Indonesia: menghabiskan dana di rumah untuk merokok dan makan di luar.

Tetapi, hampir 30% dari anggaran makan ini dihabiskan untuk beli makanan jadi. Dan ada sekitar 13% anggaran yang habis untuk dibelikan rokok. Jadi, orang kita memang rada malas kalau disuruh makan daging di rumah, tetapi mereka lebih rela keluar banyak untuk merokok dan makan di luar. Apakah kita ini malas memasak?

Hidup Kita Tidak Pernah Sama

Persoalannya, pola hidup kita tidak akan pernah sama seumur hidup. Bertambah umur, pasti akan ada kejadian besar yang mempengaruhi hidup kita (dan akhirnya mempengaruhi cara mengatur keuangan kita).

Terasa kan, kalau kita baru melahirkan anak, pola belanja kita berubah. Kalau kita baru ganti pekerjaan (entah itu ganti boss, mengundurkan diri, atau malah dipecat), pasti porsi belanja kita juga berubah. Bahkan, teman-teman saya yang mendadak orangtuanya meninggal, juga merasakan pola belanja rumah tangganya berubah.

Jadi, kelahiran, kematian, atau pergantian mata pencaharian, pasti mempengaruhi hidup kita, termasuk juga mempengaruhi cara mengatur keuangan keluarga kita.

Akibatnya, kita juga tidak bisa memakai cara mengatur keuangan yang sama dari tahun ke tahun. Keadaan keuangan kita pun perlu dievaluasi ulang setiap tahun.

Saya sendiri mengalaminya.

Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengundurkan diri dari suatu pekerjaan di rumah sakit, dan kemudian memilih bekerja secara freelance, saya mengatur keuangan saya sesuka hati saya. Sebagian besar penghasilan saya pindah ke bank, bukan untuk didepositokan, tetapi untuk saya investasikan di saham dan reksadana, dan saya juga punya jadwal piknik yang teratur beberapa kali setahun.

Tetapi, begitu anak saya Fidel lahir, semua berubah. Saya sadar nggak bisa mentransfer keseluruhan penghasilan saya hanya untuk menambah portofolio saham terus-terusan, karena saya harus menyisihkan uang untuk imunisasi Fidel dan membeli popok.

Semula saya senang makan di luar, tetapi kebiasaan saya bergeser ke dapur untuk belajar memasak di rumah. Sebab, Fidel lebih suka MPASI homemade daripada MPASI jadi(-jadian).

Begitulah contohnya bagaimana kejadian besar (yang sebetulnya alamiah) mempengaruhi hidup saya, hingga memaksa saya mengevaluasi perencanaan keuangan saya dengan melakukan financial check up. Anda tentu punya pengalaman yang mirip dengan pengalaman saya.


Penghasilan hari ini, belum tentu sama pada hari esok. Cara mengatur gaji kita perlu dievaluasi rutin. Tidak perlu ribet introspeksi terus-terusan, tapi cukup dengan financial check up tiap tahun. Bagaimana caranya? Bisa dilihat pada artikel financial check up berikutnya dalam blog ini.

22 comments

  1. wiwid says:

    Kebiasaan sebagian besar orang menyisihkan uang utk menabung ato investasi itu dari “uang sisa”, atau jika ada sisa. Lha celaka nya setiap bulan mereka ga ada perencanaan budget setiap habis terima gaji. Ya pasti bubar jalan terus, ga pernah ada sisa.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Aku pernah menulis cara belajar manajemen keuangan pribadi dengan 4 langkah simple: bayar zakat -> mengisi celengan -> investasi -> belanja.

      4 langkah ini sebetulnya berurutan, lebih baik tidak dibolak-balik. Sehingga kalau kita mendahulukan mengisi celengan dulu ketimbang belanja, niscaya nggak akan ada cerita gajinya habis untuk belanja sampai tidak punya sisa untuk menabung.

  2. Dulu aku begitu, boros gila2an :p. Tp sejak nikah, prioritas berubahlah.. Investasi wajib. Apalagi aku dan suami sama2 kerja di bank asing. Kita banyak dpt benefit kalo mw ikut reksadananya, ato sukuk, ato bonds.. Selain itu, aku juga ikut tambahan asuransi utk proteksi anak2ku. Jd kalopun ada apa2 dgn kita berdua, anak2 syukurnya udah terjamin sampe mereka kuliah. Asuransi buatku sih ptg bgt apalagi utk org yg susah nabung. Ini bener2 payung menurutku

    Tp biar gt, traveling yg udh lama jd hobi aku dan suami, ga bisa ilang dong :D. Makanya kita jg nyisihin lumayan gede utk budget jalan stiap tahun. At least ini jd hiburan sekeluarga supaya ga stress nyari duit mulu mba 🙂

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Wah, aku baru tahu bahwa kerja di bank asing bisa kasih manfaat ekstra dengan instrumen investasinya. Apakah Fanny dapet jatah reksadana gratis? 😀 (Aku langsung nyesel kenapa aku nggak jadi pegawai bank)

      Banyak nasabah asuransi yang memang bercerita sama kepada aku bahwa asuransi itu juga membantu menabung. Adanya kewajiban bayar premi bulanan memaksa mereka menyisihkan uang, sehingga mau tidak mau mereka terpaksa menabung. Bagus itu.
      Eh, asuransi apa aja yang Fanny punya? 🙂

  3. hingga saat ini diriku belum bisa nyimpan duit 😀
    duitnya selalu habis untuk berbagai tagihan
    masalahnya kalo tagihannya ga dibayar, ya nanti malah ga dapat duit
    beberapa tagihan yang menghantui: tagihan koneksi internet rumah yang cukup mahal biar ngeblognya ga stress, tagihan dari banyak domain blog yang aku beli, dan lain-lain
    besar sih, tapi habis juga, hehe

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Dengan asumsi bahwa ngeblog dan ternak blognya untuk bisnis Mas Iskandar, maka saya menilai bahwa pendapatan dari bisnis Mas Iskandar lebih sering habis untuk biaya operational sampai tidak bisa menggaji pegawainya sendiri. Padahal pegawainya cuma satu, yakni Mas Iskandar sendiri yang juga sebagai bossnya. 😀

      Apakah itu bijaksana, Mas? 😀

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Saya kok nggak mufakat ya. Menurut yang saya baca di sini, orang bule masih lebih jarang travelling juga ketimbang mengurusi kebutuhan mereka sehari-hari. Kebanyakan duit mereka habis untuk konsumsi rumah tangga dan bayar asuransi.

      Apakah Bastanta punya data yang lebih baru?

  4. Ety Abdoel says:

    Wah, sy merasa tertampar dg artikel ini. Pengin investasi reksadana tp masih sebatas wacana doang.
    Ada hal yg blm sy pahami sih ttg reksadana makanya blm action
    Makasih diingatkan kembali akan pentingnya investasi.

  5. Nabung emas.
    Itu jadi pilihan saya, mba.
    Tapi suami lebih seneng ke properti.

    Jadi kalo kami masing-masing jalannya, engga apa-apakah..?

    ((Belum satu visi))

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Saya nggak melihat kesalahan kalau suami-istri punya cara yang berbeda untuk investasi, Mbak Lendy. Malah menurut saya bagus karena itu termasuk diversifikasi investasi yang sangat dianjurkan untuk memperbesar profit.

Tinggalkan komentar