“Aku lagi spaneng,” curhat seorang teman beberapa hari yang lalu ke saya via Whatsapp Messenger.
“Kenapa?” ketik saya sambil ngawasin anak saya yang lagi bikin garasi dari lego buat mobil-mobilannya.
“Besok ada undangan selametan perusahaan opo gitu di Spazio, tapi ngirim undangannya mendadak. Sebelnya, undangannya itu pakek dresscode. Aku disuruh pake batik.”
“So what geto loh?”
“Yaa itu masalahnya. Batikku masih dicuci. Masih dijemur. Sudah dua hari belum kering-kering. Tau sendiri Surabaya ujan terus.”
Saya manggut-manggut. Memang akhir-akhir ini begitu. Semenjak topan Dahlia atau topan Cempaka gitu, Surabaya dirundung hujan melulu di siang hari. Ini malah fenomena alam karena dari dulu Surabaya jarang hujan saking panasnya. Mataharinya di Surabaya memang ada 6. I’m not kidding.
“Mbok ya pergi ke ******* ******* sana,” ketik saya sambil ngusulin toko dress batik yang rada cakep di mall.
“Abis dong duitku nantik?”
“Yaa sudah. Pergi ke *** aja,” kata saya sambil ngusulin sebuah pusat perbelanjaan kelas ekonomi menengah ke bawah yang satu lantainya penuh dengan kios batik.
“Emoh ah. Nantik luntur semua kalok dicuci.”
“Lha habis gimana? Mosok mau aku pinjemin daster batikku yang dari Bringharjo? Masih baru disetrika lho, ada gambar kembang-kembangnya. Ada bukaan depan pula, bisa buat menyusui.”
“Siyalan.”
“Wkwkwkwkwkwk”
Batik Dirindukan, Tapi Segan Dimiliki
Begitulah cewek, kalau sudah urusan pilih-pilih baju untuk mau menghadiri acara gitu, pasti dia akan mengeluh “Aduh, aku nggak punya baju..” padahal lemarinya seabrek. Tetapi bukan itu yang mau saya tulis sekarang.
Anda punya batik kan? Saya yakin Anda punya. Pertanyaannya, apakah Anda puas dengan batik yang sudah Anda punya?