Ujian Loyalitas

Cerita ini sebenarnya ngendap di kepala gw semenjak tahun lalu, gw nggak pernah ngungkapinnya ke siapapun coz gw merasa cerita ini terlalu norak buat dikisahkan. Tapi hari ini gw berpikir bahwa untuk setiap apes yang diterima seseorang, pasti ada hikmahnya yang bisa dipetik banyak orang, jadi gw rasa sebaiknya cerita ini gw publikasikan. Untuk alasan etika, semua nama yang disebut di sini adalah nama samaran.

Di sebuah kota kecil di Kalimantan, sebut aja kota itu namanya Handap Hapakat, hidup seorang pegawai bernama Pak Benicio. Umurnya sekitar 50-an.

Pak Benicio punya istri dan anak yang tinggal di sebuah kota bernama sebut aja Tingang Menteng, letaknya sekitar 180 km dari Handap Hapakat. Karena harus bekerja di Handap Hapakat, Pak Benicio meninggalkan anak-istrinya di Tingang Menteng dan hanya menemui mereka di akhir pekan.

Istri Pak Benicio sekitar 50 tahunan juga, namanya Bu Kajol.

Suatu hari Bu Kajol mendapat telepon dari seorang laki-laki bernama Hugo. Hugo adalah seorang laki-laki berumur 30-an, pengusaha toko elektronik yang cukup punya nama di kota sekecil Handap Hapakat.

“Halo, ini Bu Benicio ya? Saya Hugo. Bu Benicio apa kabar?”

Bu Kajol alias Bu Benicio, yang pada dasarnya ramah, menjawab basa-basi. Kabar baik. Ada perlu apa?

Selanjutnya adalah basa-basi yang basi banget. Bu Benicio lagi apa? Pak Benicio nggak ada di Tingang Menteng? Kapan Pak Benicio pulang?

Jawab Bu Kajol, “Pak Benicio ada di Handap Hapakat. Hugo ke rumahnya Bapak aja sendiri, kan deket itu dari rumah Hugo.”

Lalu Hugo memutar pembicaraan. Bu Benecio anaknya berapa? Kok nampaknya masih muda ya? Rahasianya apa kok cantik terus? Bu, boleh nggak saya main ke rumah Ibu kapan-kapan?

Bu Kajol ketawa garing. “Oh iya, silakan. Sama Jeng Emily aja, lama saya nggak ketemu..”

Pak Benicio dan Bu Kajol menghadiri pernikahan Hugo dan Emily beberapa tahun lalu, karena orang tua Emily adalah pejabat lokal di Handap Hapakat.

Begitulah. Tadinya Bu Kajol menyangka itu hanya telepon biasa dari seorang warga tetangga suaminya. Tapi ternyata Hugo bukan laki-laki biasa.

Hugo mulai sering menelepon Bu Kajol. Kadang oleh Bu Kajol diangkat, kadang nggak. (Bu Kajol adalah ibu rumah tangga yang sibuk berat, saking sibuknya suka nggak denger bunyi telepon.) Dan tiap kali Hugo nelfon, isinya basa-basi nggak penting pula. Muja-muji Bu Kajol masih sintal, memohon main ke rumah Bu Kajol, dan lain-lain.

Lama-lama firasat Bu Kajol nggak enak. Pikirnya, kalau memang pasangan muda itu kepingin bersilaturahmi sama keluarga Benicio, kok nggak Jeng Emily aja yang melobi Bu Kajol, biar Pak Benicio dilobi oleh Hugo. Atau minimal ya ibu mertuanya Hugo yang nelfon Bu Kajol, coz usia mereka lebih nyambung.

Suatu hari, Bu Kajol lagi banking di Tingang Menteng, pas Hugo nelfon ke HP-nya lagi.
“Halo, Bu Benicio? Saya ada di Tingang Menteng nih, mau main ke rumah Bu Benicio!”

“Sama siapa, Hugo?” tanya Bu Kajol heran. Biasanya kan orang Handap Hapakat pergi ke Tingang Menteng kalau ada bisnis dan mereka bawa companion, entah staf atau istri.

“Sendiri,” jawab Hugo riang.

“O,” Bu Kajol ngernyit. “Tapi Pak Benicio nggak ada, kan hari ini Pak Benicio ada di Handap Hapakat.”

“Bu Benicio, saya cuma mau ketemu Bu Benicio aja. Bu Benicio ada di rumah? Ini saya di depan rumah Bu Benicio!”

“Hwalah, saya lagi di bank, nanti dulu ya!” Bu Kajol menutup telepon.

Setengah gusar, sembari ngantre di bank itu, Bu Kajol nelfon suaminya. Tanyanya, “Pa, itu Hugo yang mertuanya di Jalan Pualam itu ngapain sih ngeyel main ke rumah buat ketemu Mama padahal Papa lagi ada di Handap Hapakat?”

Pak Benicio mengerutkan kening. Lalu katanya, “Sebentar. Ta’ kros-cek dulu.”

Kemudian Pak Benicio men-dial rumah mertua Hugo. Puji Tuhan, yang ngangkat telfonnya ternyata ibu negaranya sendiri.
Sapa Pak Benicio riang, “Halo, Bu Meyers, apa kabar? Saya Pak Benicio. Ini, saya mau tanya, ada perlu apa ya kok Hugo sekarang ada di Tingang Menteng nyari istri saya?”

Tentu saja si ibu mertua terheran-heran. “Lha, sedang apa dia di sana? Kusangka dia di toko lah. Emily tak bilang padaku mau ke luar kota hari ini.”

Pak Benicio ketawa. “Dunno. Dia di Tingang Menteng sekarang. Saya sangka Emily ikut. Lha bilangnya mau ketemu istri saya?”

Telepon putus. Bu Meyers ribut sendiri di rumahnya yang megah khas pejabat itu.

Pokoknya, beberapa saat kemudian, Hugo nelfon Bu Kajol lagi. “Bu Benicio, maaf ya. Saya nggak jadi ketemu Bu Benicio. Barusan saya ditelepon Mama disuruh balik ke Handap Hapakat sekarang juga..” nadanya terdengar panik.

Bu Kajol tahu persis bagaimana perempuan Dayak kalau marah.

Semenjak itu, Bu Kajol tidak pernah ditelfon-telfon pria muda ingusan lagi.

***

Peristiwa ini terjadi bertahun-tahun lalu, tapi Bu Kajol baru nyeritainnya ke gw tahun lalu, waktu gw merasa perlu belajar tentang rumah tangga.

Nggak pernah ketahuan jelas, kenapa pria muda yang sudah punya istri, mau nguber-nguber wanita separuh baya yang udah punya suami. Tapi Pak Benicio akhirnya melakukan penyelidikan sana-sini di kota kecil itu, dan akhirnya nemu fakta yang amat nggak enak.

Hugo sengaja diperalat buat menggoda Bu Kajol. Diharapkan nanti rumah tangga Bu Kajol dan Pak Benicio buyar, dan ujung-ujungnya Pak Benicio akan hancur karena kehilangan penopang. Jadi sasaran utamanya sebenarnya adalah Pak Benicio.

Memang di Handap Hapakat itu, banyak yang ngiri sama Pak Benicio. Coz Pak Benicio itu tajir dan punya istri yang ayu.

Teror itu ada yang keras, ada yang halus. Teror yang halus lebih berbahaya ketimbang yang keras, coz kadang-kadang wujudnya nggak tampak. Kita menyadari teror yang halus itu hadir, hanya dengan naluri kita. Dan Bu Kajol, sudah menggunakan nalurinya ketika sadar ada yang ingin merusak pernikahannya.

Tanya gw kepadanya dengan polos, “Tante, kenapa Om Benecio percaya pada Tante selama bertahun-tahun padahal tinggal pisah kota?”

Bu Kajol ketawa. Lalu jawabnya, “Lha Om itu sedikit-sedikit pasti nelfon Tante, dan sembarang-sembarang Tante selalu Tante ceritain ke Om. Gimana Om nggak percaya sama Tante?”

Gw terdiam dan menyeruput teh gw. Hari itu, gw belajar bahwa modal utama dari sebuah kepercayaan adalah komunikasi yang intensif. Dan kepercayaan itu, yang bikin setiap pasangan bisa menghadapi teror apapun.

Foto gw itu, my hunk yang motret. 🙂

24 comments

  1. Seneng deh, bu Kajol tak tergoda pada bujuk rayu Hugo…
    Itulah perkawinan, akan mudah hancur berantakan jika tak ada kepercayaan dan komunikasi.
    BTW…, fotonya emang cantik.. (sst… yg motret emang pinter nih hehehe)

  2. Soalnya Lukman itu nama kolega saya, SBY itu nama presiden, sedangkan Aril dan Uki adalah anak-anak korps PEmuda TERminal AntaPANi alias Peterpan, sedangkan saya nggak mau preman-preman terminal bis nongkrong di tempat saya, tidak selama mereka masih senang ngebul di tempat umum.

    Saya sehat-sehat aja, terima kasih.. 🙂

  3. The Michi says:

    kenapa nama samaranya harus Pak Benicio. siih…!!Asa belibeet gitu bacanya hahaha

    kenapa ngga aril,, uki,, lukaman,,ataaau sby misalnya ,, kan lebih bersahabat di lidah,,

    looh ko ngomongin nama,,hahaha

    kumaha teteh dameeng,,??

  4. eshape says:

    Waktu saya pacaran sama istri, hanya surat yang menghubungkan kita, telpon gak ada di tahun 80an

    Ternyata komunikasi yang berkualitas memang membuat hubungan menjadi terus hangat dan rapat.

    Sebuah tulisan sederhana yang inspiratif.

    TFS

    Salam

  5. richo says:

    yap komunikasi sangat penting sekali, tapi yg ga kalah penting juga bisa mengendalikan sikap yg konsisten….. jadi ga mudah tergohdah ahmah rahyuhan ahpahpun hehehe

  6. mawi wijna says:

    astaga…ternyata di kota kecil, ada juga yang ingin guling-menggulingkan orang demi kekuasaan, ckckckck…Pulang Pis…eh salah…Handap Hapakat 😀

  7. Yang mengejutkan, ternyata Hugo disuruh oleh Pak Meyers alias mertuanya sendiri, buat ngegodain Bu Kajol. Nampaknya, ada kebencian terselubung Pak Meyers atas Pak Benicio coz merasa Pak Benicio suka nggak mau diajakin ikutan memuluskan tender proyeknya Pak Meyers yang rada nggak halal.

    Nggak ngerti juga kenapa Hugo mau diperalat oleh mertuanya sendiri. Mungkin lantaran faktor ekonomi. Di Handap Hapakat, orang jadi wiraswasta coz nggak diterima jadi PNS. Dan di mata orang sana, seseorang itu nggak keren kalau nggak jadi PNS.

    Pak Meyers meninggal tahun lalu. Karena serangan stroke. Aku nggak terkejut. Orang-orang yang cemburuan memang gampang banget kena stroke.

  8. fahmi! says:

    jadi, siapa yg memperalat hugo supaya menggoda bu kajol? dan kenapa hugo mau diperalat demikian? seru ini kayaknya, bisa dibikin sinetron, hehe. tapi memang gitu ya tipikal orang2 semacam pak benicio yg punya istri ayu? banyak yg iri. semoga pak benicio dan bu kajol selalu bahagia sampek tua 🙂

    buat didut: dut kamu kalo mau blogwalking, sedia air dulu ya di sebelah kommputermu, 2 gelas.

  9. Itu bedug, bukan kentongan ronda.. 😀
    Bedug dipakai buat mengkomunikasikan jarak jauh, misalnya sekarang waktunya sembahyang, atau ada maling masuk desa.. :-p

    Kenapa saban ke sini Didut keselek melulu??

Tinggalkan komentar