Calon Penghuni 9 Tahun?

Saya mau merekam cerita mendaftarkan anak saya masuk SD ini supaya saya inget bahwa saya dan suami saya pernah sama-sama kesulitan. Ampun, mau nyekolahin anak aja kok pusing amat..

Jadi prosesnya di tahun 2022 nih, kalau mau sekolahin anak di sekolahnya pemerintah, tiap anak itu pada dasarnya cuman boleh sekolah di kelurahan tempat dia tinggal. (Ini istilahnya: Zona Kelurahan.) Nah, tiap sekolah SD itu udah diplot cuman boleh terima 56 orang anak. Konsekuensinya, kalau ada lebih dari 56 anak di suatu kelurahan yang umurnya sama semua, maka pasti ada anak yang nggak keterima di sekolah negeri dalam zona kelurahan itu.

Gimana kalau ada anak yang masih kepingin masuk sekolah negeri, tapi nggak kebagian sekolah di kelurahan itu? Maka anak ini boleh melamar masuk ke sekolah di kelurahan tetangganya, asalkan kelurahan tetangganya itu masih berada dalam kecamatan tempat tinggal si anak. (Yep, jadi si anak ini istilahnya masuk ke Zona Kecamatan.)

Terus, kalau sekolah di kelurahan tetangga itu sudah penuh, gimana? Yaa berarti si anak boleh melamar ke kecamatan tetangganya, asalkan kecamatan tetangganya itu masih berada dalam kota tempat tinggal si anak.

Sampai sini udah mulai pusing?

Yak, karena ketika diaplikasikan ke tempat saya tinggal, ternyata SD negeri yang paling deket sama tempat tinggal saya itu, beda kecamatan sama tempat tinggal saya!

Jadi kasus saya tuh, saya tinggal di kecamatan X. Menurut Google Maps, SD negeri terdekat berada sejauh 2,1 kilometer dari rumah saya, sebut aja namanya SD Negeri Anu Anu. Dan administasi SD Negeri Anu Anu ini ternyata masuk kecamatan Y.

Anak saya belum boleh masuk ke SD Negeri Anu Anu yang deket rumah ini, soalnya dia beda kecamatan sama sekolah itu..

Lha bolehnya gimana? Anak saya ternyata cuman boleh mendaftar ke suatu SD, sebut aja namanya SD Negeri Oni Oni. Soalnya SD ini berada di kelurahan yang sama dengan anak saya. Tapi.. di praktek lapangan, SD Negeri Oni Oni ini jaraknya sejauh 2,8 kilometer dari rumah saya :))

Di sini saya ngurut dada. Sudah deh, saya mbatin. Alhamdulillah kan di kelurahan kita masih ada SD Negerinya.

Soalnya, ternyata nggak semua orang itu seberuntung kami. Sekitar beberapa kilometer dari rumah saya tuh ada suatu kompleks perumahan elit. Luas kompleksnya kira-kira 4 kilometeran gitu deh. Dan di kompleks itu nggak ada SD negerinya sama sekali. Anak sana, kalau mau pergi sekolah di sekolah negeri, mesti keluar dari rumahnya sejauh 5 kilometer. Capek!

(Sampai di sini saya baru ngeh kenapa orang-orang yang tinggal di real estate itu sekilas nampak borju, maunya sekolahin anaknya di sekolah mewah. Ternyata bukan karena sekolahnya itu mewah! Tapi karena sekolah swastanya itu lebih dekat ke rumah daripada sekolah negeri. Mereka terpaksa mbayar sekolah yang mahal asalkan anaknya nggak capek pulang sekolah tiap hari.)

Terus, sepanjang hari kemaren, saya jadi menelusurin, apa ada SMP Negeri di kelurahan saya? Ternyata, di kelurahan saya ada SMP Negeri cuman satu biji. Kalau SMP swasta mah, banyaak. Saya langsung mbayangin, ini berarti kalau saya jadi mau nyekolahin anak saya di sekolah pemerintah, maka sampai SMP selesai, dia akan berurusan dengan teman-teman yang itu-itu aja, karena temannya ya dari kelurahan itu aja. 9 tahun bersama temen yang itu-itu aja.

Pertanyaannya: Emangnya nggak bosen ya?

Karena saya inget, saya itu paling sering berantem sama temen sekolah ya waktu SD. SMP dan SMA jarang berantem, kuliah apa lagi.

Saya juga nggak inget persis kenapa masa sekolah saya itu paling nggak beres waktu SD. Bisa jadi, karena SD itu waktu sekolah yang paling lama. Jadinya bosen. Apalagi dulu SD tuh saya kan nggak punya ekskul. Karena saya udah diplot oleh ibu saya, setelah selesai sekolah ya mesti langsung pulang, karena supir bis sekolah sudah menanti. Rumah saya jauh, bo’, 7 kilometer lho dari SD.

Jauh berbeda ketika saya masuk sekolah menengah. Waktu SMP, saya menyibukkan diri latihan drum band, main piano untuk paduan suara, dan rapat majalah sekolah. Itu pun kegiatannya sering bentrok. Waktu SMA, saya sibuk rapat majalah sekolah lagi. Waktu kuliah, kegiatan saya adalah rapat majalah kampus, jadi panitia kegiatan mahasiswa. Pokoknya sekolah itu nggak ngebosenin. Mungkin karena saya nggak bosen dengan kehidupan saya di luar urusan akademis ketika remaja, jadinya konflik saya dengan teman pun tidak sebanyak ketika saya masih SD..

Balik ke urusan sekolah anak saya lagi. Dengan cepat saya langsung memahami bahwa di kelurahan kami ternyata nggak ada SMA negeri. Bahkan, di kecamatan kami ternyata nggak ada SMA negeri. SMA negeri terdekat ada di kecamatan sebelah, sekitar 4-5 kilometer dari rumah. Artinya, saya kudu ngajarin anak saya puas-puasin sekolah di deket rumah dulu selama 9 tahun, lalu ketika dia berumur 16 tahun nanti, mulai belajar terbang sejauh 5 kilometer untuk bersekolah.

Itu juga kalau situasi lancar. Moga-moga saya dan suami masih sehat wal afiat untuk membelikan anak kami buku-buku sekolah.

Sahabat saya, Chela Fatmawati, seorang guru di sebuah desa di propinsi tetangga, mengirimi saya pesan di Facebook, ketika saya mengomel karena website PPDB lagi error. “Semangat, Bu! PPDB di tempatku masih manual!”

Saya hampir pengsan bacanya. Membayangkan orang tua mengantre untuk mendaftar di gedung SD, sambil panas-panasan, kipas-kipas, dengan bau ketiak tetangga di mana-mana, belum lagi kalau ternyata nggak diterima itu kudu lari-lari ke desa tetangga cari SD lain, membuat saya merasa kudu membenamkan diri ke bumi.

Lalu saya balik ke tempat saya berada. Baru menyadari bahwa pada beberapa blok dari rumah kami ada apartemen bagus. Di apartemen itu, pasti ada anak-anak seumuran anak saya. Saya tanya ke suami, “Anak-anak di apartemen itu, nggak akan pergi ke sekolah anak kita ya?”

Lalu suami saya bilang, “Pasti mereka nggak punya KTP kelurahan sini. Mungkin mereka kudu balik sekolahin anak mereka di kelurahan asal mereka.”

Hanya Tuhan yang tahu di kelurahan mana mereka berada. Dan itu membuat saya jadi terhenyak, “Oh, jadi kalau mau punya apartemen tanpa ganti KTP, harus siap anggaran buat mendaftar sekolah swasta dong?”

Hidup tidak lagi seperti dulu, ketika saya bebas mau ndaftar ke sekolah mana aja, dan akhirnya saya milih sekolah yang jauhnya 7 km dari rumah, dan berteman dengan anak-anak dari seantero kota Bandung dan kadang-kadang dari kota Cimahi.

Lalu saya menutup laptop, berhenti memprediksi calon-calon temen sekelas anak saya itu tinggal di jalan mana aja. Kemudian saya melakukan hal yang sudah berhari-hari tidak saya lakukan karena senep: Menelepon ibu saya.

Ibu saya, ketika menyahut video call, baru saja keringetan gobyos karena treadmill. Saya lalu bercerita tentang kekesalan saya mendaftarkan anak kami sekolah melalui online pada website yang kami pingin tau itu-siapa-sih-developernya-yang-bikin. Tentang suami yang akhirnya berhasil memasukkan anak kami ke sebuah SD di kelurahan kami, karena memang pilihannya cuman itu. Tentang saya yang overthinking soal lingkungan sekolah anak kami.

Ibu saya sesekali senyum-senyum, ketawa, manggut-manggut, sambil ngelap keringetnya yang berbulir-bulir. Saya yakin ibu saya baru saja menekan tombol speed yang paling gede di alat treadmill itu.

Lalu ibu saya bercerita, hal-hal yang tidak pernah diceritakannya kepada saya selama bertahun-tahun. Dulu, ibu saya diam-diam pergi berkeliling ke banyak SD untuk mendaftarkan saya. Ibu saya ingin saya masuk sebuah sekolah swasta milik yayasan agama Katolik, karena dilihatnya anak-anak di sana disiplin. Terus ditolak, karena saya bukan murid TK situ. Ibu saya patah hati, lalu pasrah karena saya cuman bisa disekolahkan di SD negeri (yang sepertinya kadar disiplinnya biasa-biasa saja).

Ibu saya, sebagai warga pendatang yang bukan orang Bandung, nggak tahu SD negeri mana yang “bagus”. Dari sekian banyak SD di seluruh kota, ibu saya mendaftarkan saya ke sebuah SD karena alasan sederhana: Kepala sekolahnya bisa bicara dengan ramah kepada ibu saya. Ibu saya memilih sekolah itu, meskipun SD itu letaknya 7 kilometer dari rumah saya.

Selama bertahun-tahun, ibu saya selalu mempertanyakan keputusannya, apakah benar keputusannya sudah menyekolahkan saya di situ. Karena meskipun prestasi akademis saya nggak jelek-jelek amat, tapi saya tetep tumbuh menjadi anak yang punya banyak kekurangan. Dan ibu saya selalu bertanya-tanya, apakah kekurangan itu bisa diminimalisir seandainya saya sekolah di SD swasta, seandainya saya sekolah di sekolah yang lebih dekat dari rumah, dan seandainya-seandainya yang lain.

Saya mendengarkan semua cerita ibu saya itu, sambil bertanya-tanya dalam hati, cerita apa lagi yang dirahasiakan ibu saya dari saya. Apakah ibu saya sengaja merahasiakannya, karena mengantisipasi reaksi saya, atau karena ada rasa malu akan kegagalannya sendiri (itu juga kalo dibilang gagal?) sebagai orang tua.

Kita semua, punya cerita sendiri ketika menjadi parent, punya ekspektasi akan anak kita, punya harapan akan sekolah yang jadi tempat kita menitipkan anak kita, punya keraguan akan kemampuan kita sendiri dalam membuat keputusan. Itu adalah lika-liku menjadi orang tua.

Lalu saya menatap ibu saya yang masih berkeringetan gegara treadmill itu, dan bersyukur ibu saya masih bisa lari-lari di atas treadmill, padahal saya tinggal serumah dengan ibu mertua saya yang sulit berjalan gegara kena hernia nucleosus pulposus. Terima kasih, ya Allah, sudah kasih saya ibunda yang mau berkeliling separuh Bandung untuk mencarikan sekolah. Saya baru keliling satu kecamatan di Surabaya aja sudah kehabisan stok kesabaran lihat anak-anak yang maskernya copot-copot.

Suami saya mengirim pesan via WhatsApp. Dia telah menjemput anak kami dari TK, lalu mereka pergi berbelanja. Anak saya terdengar riang karena merasa diajak jalan-jalan sepulang sekolah. Sepertinya dia akan tetap riang begitu sampai bertahun-tahun lagi, karena satu hal: Nggak capek sepulang sekolah, karena sekolahnya masih dekat rumah.

4 comments

  1. Kak Vicky, daku beneran penasaran. Mengapa pilih SDN untuk ananda Fidel?
    Kalaupun enggak pilih sekolah yang depannya al al al kan ada SD swasta lain?

    Soalnya kukira Kak Vick lebih percaya sekolah swasta gituu.

  2. Syarifani says:

    Sebenernya aturan domisili ini bagus tujuannya agar sekolah negeri ini standarnya bisa bagus dan merata.
    Ngga ada lagi istilahnya sekolah favorit ini itu.
    Tapi yang jadi masalah ngga semua kecamatan itu punya SMP dan SMA.
    Problemku juga sama di Kecamatanku ndak ada SMA.
    Sedangkan SMA hanya terpusat di kawasan pusat.
    SMP baru ada 1 dan itu juga baru 5 tahunan. Mudah-mudahan beberapa tahun kedepan bakal dibangun SMA di kecamatanku.
    Anak tetangga juga kalah sama jarak tempat tinggal yang jauh dari lokasi dan harus berebut sama anak yang lingkungannya deket sama sekolah sana. Alhasil mereka masuk SMA Swasta.
    Yang miris itu, ketika anak berprestasi tapi kalah saing sama yang rumahnya deket SMPN, SMAN

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Jadi begini ya situasinya nyekolahin anak di SMA tuh.

      Kita masih punya waktu 9 tahun lagi. Mudah-mudahan kita bisa beradaptasi dengan situasi per-SMA-an anak-anak kita nanti ya, Fan. Mbayangin bocah-bocah ini pintar sembarang kalir tapi nggak bisa masuk SMA negeri cuman gara-gara kalah jarak tempat tinggal, kok miris juga..

Leave a Comment