Menyelami Tren di Java Coffee and Flavours Fest

Kamu punya kedai kopi di Surabaya tapi masih bingung gimana caranya bikin menu yang relevan sama tren masa kini? Atau mungkin kamu pengen tahu supplier kopi lokal mana yang bisa jadi partner bisnis yang oke? Nah, Java Coffee and Flavour Festival ini sebetulnya tempat yang tepat banget buat kamu yang pengen belajar langsung soal perbedaan arabika, robusta, sama liberika. Soale di sini kamu bisa ngerasain sendiri kapan sebaiknya milih masing-masing jenis kopi buat memenuhi selera konsumen kamu.

Yang lebih menarik lagi, di festival ini kamu juga bisa paham variasi proses pengeringan kopi. Ini penting banget lho, karena bisa bantu kamu menciptakan menu yang lebih relevan sama tren pelanggan.

Festival ini juga bikin pengunjung gampang ketemu para pelaku roasting dari genre light, medium, sampai dark roast. Jadi kamu bisa dapet inspirasi segar buat beradaptasi sama pasar. Makanya, kalau kamu punya kedai kopi, festival ini wajib kamu datangi.

Menemukan Inspirasi Menu dari Proses Pengolahan Kopi

Nah, di Java Coffee and Flavour Festival ini, kamu bakal banyak jenis kopi dari macem-macem proses. Ada yang proses pembersihannya pakai proses winey, dried, honey, sama washed. Masing-masing punya karakter yang beda banget. Namun, nggak semua proses itu cocok untuk menu yang sama, jadi tergantung selera customer yang disasar.

Kopi Winey

Gw dan laki gw sempet beli kopi winey dari artisan bernama Gunung Raja, yang ngebopong kopinya dari kawasan Tasikmalaya (Jawa Barat). Kamu tentu tahu kalau proses winey itu adalah ngejemurin biji kopi (istilahnya: fermentasi) dalam durasi yang lebih lama ketimbang proses dried.

Artisan lainnya yang juga sempat gw beli kopi winey-nya adalah Arbilest, asal Blitar (Jawa Timur). Dia cerita kalau winey coffee itu nantinya lebih nikmat diminum tanpa susu, makanya dia nggak nyaranin buat dijadiin latte. Ternyata, proses fermentasi yang cukup lama bikin bijinya jadi cukup asem. Akibatnya, kalau dijadiin cafe latte, nanti jadinya malah kayak minum susu basi.

Jadi kalau kamu mau bikin menu latte, lebih baik pilih kopi yang proses pembersihannya washed atau dried. Paling problemnya tinggal mau milih, apakah customer-mu senang kopi yang kerasa fruity atau mau dominasi pahit sekalian.

Kopi Dried vs Washed vs Honey

Para artisan di festival ini umumnya nyediain produk kopi dari proses dried, washed, dan honey dari taneman yang sama di perkebunannya masing-masin. Ternyata versi honey itu merupakan versi tengah-tengah antara versi dried dan versi washed. Jadi, bakul coffee shop bisa beli 3 macam sampel sekaligus untuk bisa mutusin: selera customer masing-masing bakalan lebih demen sama produk kopi yang mana.

Bahkan segelas iced americano yang dibikin dari dried coffee ternyata beda dari iced americano yang dibikin dari washed coffee. Sama-sama americano, tapi versi dried coffee bakalan lebih banyak kaya rasa daripada versi washed coffee yang dominasi asem. Makanya diciptain honey coffee yang proporsi rasanya cenderung seimbang antara dried dan washed.

Terus implementasinya kalau mau dijual gimana? Di sini perlunya para bakul coffee shop ngelihat keperluan customer-nya. 

Contohnya nih, sekarang banyak customer kepingin hidup sehat, tapi masih kemecer kalau lihat menu kopi pakai gula karena mereka tetaplah manusia yang kepingin rasa manis. Nah, kamu bisa tetep bikinin mereka menu yang manis, tapi mending pakai dried coffee atau honey coffee yang masih ada manis-manisnya. Dengan demikian customer-nya merasa tetep sehat, karena nggak akan perlu gula tambahan.

Di sisi lain, washed coffee nampaknya bukan menentukan menu, tapi lebih menentukan gimana brewing kopinya. Nggak akan jadi masalah menggunakan washed coffee kalau kedaimu biasa nyeduh kopi dengan cara pour over ataupun dripping. Tapi mungkin agak repot kalau nyeduh washed coffee pakai mesin espresso, karena kadang-kadang rasanya jadi terlalu pekat buat customer. Padahal sekarang lagi musim espresso yang unik-unik, jadi agak kacau kalau dipaksa pakai washed coffee ketimbang dried.

Menentukan Level Roasting yang Tepat

Selanjutnya, soal milih biji kopi berdasarkan pemanggangannya juga penting jika kedai kopi itu mau jualan menu-menu tertentu. Light roast, dark roast, dan medium roast bisa menentukan apakah kopinya nanti enak diminum, atau bikin kopinya gampang, atau malah nyusahin. 

Pertama, kopi yang dipanggang nggak terlalu panas (light roast) cocok buat customer jaman sekarang yang lebih sadar untuk milih black coffee aja. Tapi kalau kedaimu mau ngejagain customer yang maunya cappucinno, perlu banget milih biji light roast dari artisan yang tepat. Soalnya, kalau dapet bijinya yang masih terlalu asem, nanti rasanya berantem sama susunya. 

Karena itulah, banyak artisan lebih nyaranin cappucinno itu pakai dark roast aja (yang suhu pemanggangannya lebih tinggi). Atau minimum medium roast deh (suhu panggangnya nggak terlalu tinggi, tapi juga nggak serendah light roast) kalau supply-nya rada seret.

Mengenal Asal Daerah dan Supplier Kopi Lokal

Selain ketemu sama artisan kopi yang deket-deket dari sesama Jawa Timur, gw juga ketemu artisan yang belain bopong alat-alat pamerannya dari Jawa Barat dan bahkan Sulawesi Selatan. Ini jadi penting soalnya setiap daerah itu sebenarnya menghasilkan kopi yang rasanya berbeda, meskipun kultivarnya sama-sama Arabika atau sama-sama Robusta. Tiap daerah itu kan dapet rejeki hujannya juga beda, terus sifat tanahnya juga beda, dan itu akan menentukan hasil kopinya. 

Misalnya, kopi-kopi Arabika dari Jawa cenderung lebih pahit (ini terasa kalau kamu bandingin sama kopi dari daerah lain yang rada lebih floral). Kemudian, gw beli kopi dari artisan Bali Arabica, yang tentu bisa ditebak bahwa asalnya dari Pulau Dewata. Daerah Bali juga sama-sama memanen kopi Arabika, tapi cenderung ada aroma buahnya yang manis.

Udah gitu, ada daerah yang kopinya enak banget tapi susah ngirim dalam jumlah banyak. Sebaliknya ada juga daerah yang kopinya mungkin kurang cocok buat rencana menumu, tapi selalu siap kalau disuruh ngirim banyak boks.

Di booth miliknya artisan bernama Ketakasi asal Jember, Jawa Timur, gw nemu kopi yang dicampur antara Arabika dan Robusta. Mereka cerita bahwa Arabika sekarang lebih banyak dicari sama customer. Gw bisa ngerti sih, mungkin karena aromanya yang terasa lebih nyaman buat banyak orang.

Sebaliknya, artisan lain (namanya Om Ngemplak) yang berasal dari Boyolali, Jawa Tengah, cerita ke gw kalau nanem Robusta itu lebih gampang ketimbang nanem Arabika. Kayaknya sih ya, Robusta itu cenderung lebih tahan cuaca dan hama, dan nggak butuh naik-naik gunung segala buat bikin kebonnya. Makanya perusahaan perkebunan yang lahannya di dataran rendah bisa produksi kopinya dengan lebih efisien, sehingga gampang juga buat nge-supply ke bakul kedai kayak kamu.

(Ngomong-ngomong, selagi gw ngobrol-ngobrol sama barista Boyolali ini, laki gw tau-tau belanja kopi liberika dari dia. Harap diingat, liberika ini agak jarang ditemukan di pasaran.)

Gw ke sini 2 hari berturut-turut. Pas hari kedua, gw mampir di booth milik seorang artisan bernama Kopi Asik asal Enrekang, Sulawesi Selatan. Dia punya Arabika yang dia banggain karena bisa dijualin sebagai menu cold brew yang sekarang makin viral aja di mana-mana. Semangatnya gede banget lantaran dia pingin promoin kabupatennya supaya popularitasnya bisa nyamain kopi Toraja.

Sebenarnya gw demen sih di festival ini, karena memang aslinya gw seneng lihat para pedagang yang bersemangat manggil-manggil orang buat ngopi di depan stand-nya. Tapi gw harus jujur bahwa banyak artisan yang masih struggle sama produknya, misalnya desain kemasan yang masih seadanya (nggak ada nomer PIRT). Ada juga yang promosinya masih tradisional banget, misalnya sibuk nawarin harga promo daripada ngajakin buat beli lagi secara online.

Tapi bisa jadi ini peluang bagus buat kamu yang punya kedai kopi. Soalnya, kamu mungkin bisa dapet kopi yang berkualitas, tapi harganya masih matching sama anggaran usahamu.

Melihat Lebih Luas dari Java Coffee Culture

Kalau kamu pernah ikut event Java Coffee Culture (JCC) di tahun-tahun sebelumnya, kamu pasti ngerasain bedanya sama Java Coffee and Flavour Festival ini. Ternyata, JCC itu cenderung terbatas, cuman buat artisan kopi. Sebaliknya, Java Coffee and Flavour Festival lebih kaya, karena yang jualan juga para artisan rempah dan cokelat.

Kesempatan nih buat para bakul kedai kopi, soalnya bisa kolaborasi menu lintas bahan. Misalnya, kopi yang diinfus pakai kunyit, bisa jadi turmeric coffee yang sekarang lagi digemarin para penggemar kopi sehat. Chocolate bar bikinan artisan kayak Minang Cocoa (asal Sumatra Barat), Munch Mingle (asal Semarang), dan Kampung Cokelat, kalau dicampur sama kopi mungkin juga bisa jadi dessert untuk menarik perhatian customer.

Jadi festival ini bukan cuman soal kopi doang, tapi juga tentang ekosistem kuliner yang kasih lebih banyak inspirasi kreatif. Para pemilik kedai kopi yang pingin selalu relevan sama tren perlu banget buat dateng ke festival beginian. Karena inspirasi yang didapet di sini nggak cuman buat menu, tapi juga buat pengembangan seluruh konsep kedainya.

Waktunya Action!

Setelah dapet inspirasi menu dan supplier dari festival, tentu perlu dipikirin dong gimana memasarkannya. Mosok iya, latte art udah mirip Mona Lisa, arabica-nya udah pakai medium roasted paling sip dari Enrekang, tapi yang nemu kopimu cuman temen tongkrongan? Makanya perlu banget punya website yang fungsinya kayak booth di festival: Biar orang tahu bahwa (kafe) kamu itu eksis, bisa mampir, dan akhirnya repeat order.

Suatu website yang bagus nggak hanya nampilin menu lengkap, tapi juga bisa bikin orang related dan mau bayar di kasir kafemu. Kalau customer-nya baca di website bahwa nitro cold brew yang diminumnya dibikin dari kopi yang ditumbuhin di Enrekang, itu akan bikin dia berasa kayak terbang ke Sulawesi. Jika customer-nya tahu di paragraf AI-nya Google bahwa dia juga bisa dapet pistachio espresso dari kedaimu, dia jadi tahu bahwa untuk ngopi nggak perlu ngandalin kedai yang itu-itu aja.

Pada akhirnya, tanpa website yang kontennya dioptimasi supaya nongol di paragraf AI-nya Google, semua inspirasi di festival ini cuman berhenti di aplikasi notes HP-mu. Yuk, bikin kafemu lebih harum di halaman pertama Google, biar laporan keuangan bisnismu juga lebih harum lagi di akhir tahun. Pingin diskusi lebih banyak gimana ngembangin konten di website kedai kopimu? Connect sama gw di LinkedIn, siapa tahu kita bisa kolaborasi dengan nguntungin satu sama lain.

2 comments

  1. Avi says:

    Menarik sekali ada Java coffee and flavours festival. Selain bisa nyicip macam-macam kopi juga belajar tentang perkopian. Soalnya daku tahu kopi sebatas kopi sachetan, bukan kopi yang di kafe, dan belum paham bedanya kopi Arabika, robusta, dll. Semoga ada festival lagi dan diadakan di Malang sehingga yang newbie di dunia perkopian bisa terus belajar.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Wah, kalau festivalnya juga ads di Malang, bakalan rame dong. Daerah sekitar Malang kan juga banyak yang bikin kopi kayak Blitar dan Jember, jadinya petani-petaninya bisa unjuk biji. Para peminum newbie juga bakalan bisa belajar langsung dari roaster lokal, dan ini pastinya lebih asik daripada cuman belajar dari sisi belakang sachet kopi.

Leave a Comment