Bongkar Cerita Pebisnis Kreatif di Ideafest Surabaya

Aduh, banyak banget pedagang makanan dan pemilik kafe se-Surabaya yang nyesel berat hari ini, lantaran kelewat nggak dateng ke Ideafest di Surabaya. Padahal acara ini tuh ibarat buffet all you can eat untuk otak bisnis, di mana mereka bisa dapet insight bisnis yang unlimited. Buat Teman-teman yang masih bingung Ideafest itu apa, simpelnya gini: Ideafest adalah festival berisi seminar kece dari orang-orang industri kreatif yang cerita cara jalanin bisnisnya. 

Event ini jadi wajib buat para pedagang kuliner, karena banyak kompetitor mereka yang justru nge-share cerita perjuangan mereka ngegedein bisnis, terutama lika-likunya. Lantaran banyak insight yang bakalan keluar ini, orang-orang pengusaha rela merogoh kocek sekitar Rp 300k buat menikmati acaranya selama 2 hari penuh tanggal 1-2 Agustus 2025 (nganu, saya agak lupa harga persisnya, lha wong aku kena diskon, jeh). 

Saya bakalan cerita apa aja yang diomongin pembicaranya, yang bakalan bikin kamu manggut-manggut bijak kayak murid teladan, atau minimal nyeletuk “Oh, gitu ya?” 

(Disclaimer: Ini catetan dari sesi yang saya datengin sendiri. Kalo sesinya nggak saya datengin ya.. nggak saya omongin.)

Jadi Detektif Insight dari Konsumen

Sesi pertama yang saya sambangin adalah diskusi panelnya koko-koko kece bernama Christofel Angelo (kayaknya orang lebih kenal dia dengan nama Chello Ang). Dia ini pebisnis kopi asal Surabaya, yang berusaha supaya kedainya bisa bersaing sama franchise kopi asal Jakarta dan franchise luar negeri yang makin numpuk aja di kota sumuk ini. 

Ternyata strategi dia bukan nawarin harga yang murah, tapi bikin manajemen komunitas untuk menggalang konsumen. Dia dengerin komentar-komentarnya konsumen tentang kopinya, lalu dia cari produk yang kira-kira paling gampang diterima oleh publik. Konsumen jadi lebih gampang akrab sama menu kedainya, dan mau bolak-balik ngunjungin cabang kedainya. Jenius kan?

Komunitas itu bukan cuman buat seru-seruan aja, tapi juga jadi “mata-mata” buat dengerin pendapat konsumen tentang servis kedainya. Ide utamanya simpel: Biarin aja brand luar bikin cabang banyak-banyak di Surabaya, toh mereka juga belum tentu bisa paham selera lidah dan kebiasaan ngopi warga sini. 

Di sinilah celahnya brand-nya Ko Chello untuk menang, karena dia sendiri orang lokal dengan radar rasa yang lebih peka. Caranya memahami konsumen? Kalo konsumen yang ngopi di kedainya itu nganggep kopinya B aja, dia akan tanya secara proaktif apa yang kudu diperbaikin dan dia catet baek-baek supaya servisnya bisa diperbaikin.

Hey, kalau kamu jualan kopi juga, coba deh minggu depan jadi Chello Ang KW. Siapa tahu konsumenmu selama ini cuma nahan komen karena nggak dikasih ruang buat cerita.

Cerita lain saya dapetin di diskusi panelnya Yessie Mareti, mbak-mbak pebisnis kue sehat di Instagram yang sering dapet direct messages (DM). Banyak sekali pertanyaan di DM itu yang kepo soal bahan kuenya, jenis tepungnya, bahkan berapa kalori kuenya, dan laen-laen yang sekilas agak mirip “ngintip rahasia dapur”. 

Menurut dia, sebenarnya pertanyaan itu dateng dari konsumen yang terpaksa pilih-pilih makanan karena alesan kesehatan (misalnya punya alergi gluten, atau lagi diet rendah kalori). Yessie merasa bisnisnya akan lebih bermanfaat untuk segmen konsumen kayak gini, makanya dia atur servis online-nya supaya bisa melayani segmen beginian dengan memuaskan.

Yang keren: dia ngajarin admin Instagram-nya buat njawab direct message itu dengan pengertian, terutama tentang ilmu per-anti-gluten-an dan kenapa kuenya bebas gluten. Dia kasih pengajaran lengkap pakai handbook segala berisi standard of procedure, sehingga adminnya jadi paham betul dan bisa ngejawab audiens dengan lancar. Calon konsumen jadi percaya sama brand-nya bahwa nih brand memang ngerti banget sama kebutuhan dia yang kudu lari dari gluten, sehingga mau beli (berulang-ulang) deh.

(Sebentar, apakah Teman-teman yang baca ini sudah “ngajarin” ke adminnya tentang mengapa kalian menjual produk/servis XXX di bisnis kalian, dan kenapa XXX itu bisa bantuin konsumen?)

Sadar Sustainability, atau Go Home Aja

Urusan bisnis ramah lingkungan juga dapet spotlight di Ideafest, misalnya aja yang dihadapin oleh Stephan Tanaja yang ngurusin banyak brand restoran. Salah satu brand-nya itu adalah restoran sate, yang sudah banyak cabangnya di Indonesia, dan baru-baru ini buka cabang di Belanda. 

Masalahnya, di Eropa, ada nilai bahwa restoran yang menghasilkan terlalu banyak sampah itu kurang disukai masyarakat. Termasuk tusuk sate yang dibikinnya dari biting bambu lama-lama bisa jadi problem besar karena bakalan jadi sampah juga, betul kan? Padahal kan yang namanya sate itu ya dimakannya kudu pakai tusuk bambu.

Maka dibikinlah solusi kreatif, biar nggak banyak-banyak bikin sampah. Caranya, cabang-cabang restoran mereka di Indonesia itu ngumpulin tusuk satenya yang udah dipake, lalu dilakukan proses pembersihan sampai steril. Abis itu tusuknya dikirim ke cabang Belanda, buat dipake lagi, jadi orang sana tetep bisa makan sate secara autentik tanpa kebanyakan nyampah. Saya jadi tertegun. Berarti mereka tetap pertahanin nilai budaya Indonesia, tapi ya tetep berusaha eco friendly dong.

Ada lagi pebisnis lain yang juga sama-sama concern dengan lingkungan, kayak Indawati Kusuma yang suka bikin bazaar UMKM. UMKM yang dia ajakin itu terutama para pedagang yang bikin makanan dengan bahan-bahan yang organik, dan minim pakai bahan-bahan aditif (bye bye, MSG!). 

Dia juga dorong UMKM buat ceritain latar belakang produk mereka ke konsumen. “Nih kacang asalnya dari petani di desa Anu, bukan diimpor dari negara lain.”. Dengan begini, bazaarnya bikin karya petani lokal jadi laku, sehingga konsumen juga bisa dapet makanan berkualitas tanpa perlu keluarin terlalu banyak avtur. (Tau avtur kan? Itu lho, yang bikin pesawat bisa terbang.)

Sorenya, seorang mbak-mbak asal Jember membuat saya melongo waktu dia bicara di pentas. Namanya Syukriatun Niamah, yang mendaur ulang botol plastik jadi meja. Ternyata sebuah botol plastik itu terdiri dari beberapa komponen: ada komponen yang lebih gampang dihancurkan untuk jadi benda baru yang berguna, tapi ada juga komponen lainnya yang susahnya minta ampun buat didaur ulang. 

Yang repot, milah-milah komponen botol plastik ini. Soalnya sedunia ini jarang banget teknologi buat memisahkan komponen di dalam botol plastik dalam waktu yang cepat. Wah, kayaknya para pemilik restoran mending kurangin jualan air botol plastik ya, biar lebih menarik minat segmen konsumen yang sadar lingkungan.

Artificial Intelligence Jadi Asisten Cerdas

Nontonin Ideafest selama 2 hari ini nggak cuman melulu dengerin tentang servis ke pengunjung, tapi juga bahas tentang bikin proses di balik bisnis makin efisien, dan cuan. Misalnya nih, banyak pembicara ngomong tentang gimana bisnis itu sekarang lebih mudah dapet tujuan cuannya kalau ngonten, dan artificial intelligence mempermudah mereka ngonten. 

Danis Sie, pengusaha desain grafis, bilang bahwa AI bikin para pekerjanya lebih sedikit lembur. Fellexandro Ruby, laris buka endorsement di channel vidio pribadinya, bilang bahwa AI mempercepat proses decision making di proses editing vidionya.

Ada lagi Akhyari Hananto yang punya website media khusus berisi berita positif Indonesia. Mas-mas ini udah punya sekian banyak website buat nulis berita (semacam cabang deh, kalau kita pakai analogi pengusaha restoran) di mana dia juga sediakan space buat tempat iklan. Supaya dia nggak kerepotan mengalokasikan konten setiap hari untuk bermacam-macam website yang berbeda, makanya dia pakai AI. (Wah, ini sih sama kayak saya, yang juga menggunakan AI buat alokasi ide konten website).

Novia Nurist, pengusaha video edukasi bisnis, kasih tips unik: AI bisa dipakai buat ambil sudut pandang orang lain (konsumenmu, audiensmu, partner rumah tanggamu, terserah deh). Dia suka tanya ala curhat ke alat AI-nya, gimana cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain tanpa bikin orang lain itu tersinggung. Robot AI ternyata bisa kasih pandangan tentang cara berkomunikasi yang lebih baik, sehingga kita bisa pakai ini buat ngurangin konflik-konflik yang nggak perlu.

Tetap Autentik daripada Fotokopian

Tapi hati-hati ya, keseringan buka-buka alat AI dalam urusan bikin konten untuk promosiin bisnis, bisa bikin bisnismu jadi kelihatan sama kayak kbisnis orang lain yang sesama pengguna AI Untungnya di Ideafest sini juga isu autensitas digaungin keras-keras supaya para pengunjung nggak tergoda buat jadi fotokopi orang lain.

Sidney Mohede, misalnya, yang sudah bikin banyak album musik rohani, ternyata puluhan tahun setia di genrenya biarpun dan pangsa pasarnya bukanlah penganut agama mayoritas. Menurutnya sih ya, kalau tiap orang mau gali keunikannya diri sendiri, maka mereka akan bisa bikin inovasi yang autentik, dan value-nya lebih gede daripada niru-niru yang viral.

Saya dapet cerita lain dari figur lainnya, Gerak Samudra (teman-temannya manggil dia Gee), yang kali ini didapuk jadi pembicara lantaran mempopulerkan gerakan pake wastra. Gee ini punya komunitas yang ngajak orang-orang buat pake batik, songket, dan kain tradisional lainnya, buat kegiatan casual kayak jalan-jalan dan nongkrong. Bahkan mereka juga bikin  acara-acara lain buat populerin elemen-elemen budaya autentik negeri kita, kayak workshop mbatik, jumputan, sampai nulis hanacaraka. Wah, kalau restoran-restoran mau sediain ruangan buat bikin kegiatan ini, kayaknya bisa deh jadi community marketing yang nguntungin restorannya.

Urusan autentisitas ini juga jadi sorotan kalau kita sudah bicara tentang susahnya promosikan budaya kita dalam bidang kuliner di luar Indonesia. Om William Wongso, chef yang pastinya suka kamu lihat di acara kuliner dan ikut bicara di panggung konferensi, cerita tentang betapa susahnya masakan Indonesia beken di luar negeri. Kalah deh sama bangsa lain yang beken kulinernya karena populer melalui acara hiburan (halo, drakor!) atau bangsa Cina yang diasporanya tersebar di mana-mana. Masalah utamanya, bumbu Indonesia yang khas itu perlu dari tanah Indonesia, dan negara-negara lain susah mengimpor bumbu seger dari kita.

(Saya ngelihatnya ini sih peluang ya buat para pengusaha makanan cita rasa tradisional. Akan bagus banget kalau mereka mau bikin marketing dengan menyasar wisatawan asing buat nyamperin Indonesia, dan makan di tempat mereka setradisional mungkin. Promosi bisa lewat SEO yang menjangkau lebih banyak orang ketimbang sosmednya Meta atau Bytedance. 

Saya bisa banget bikin bikin konten untuk website-nya, termasuk ngitung potensi konversinya juga. Hmm.)

Lega Banget Dateng ke Ideafest

Dateng ke Ideafest ini bikin mixed feeling juga. Senengnya, jadi ngeh sama kesulitan-kesulitan yang dihadapin para pengusaha, dan lebih kenal situasi di balik sosok-sosok yang selama ini cuman saya kenali sosmednya. Tapi rada getun juga, soalnya.. banyak sesi menarik yang jadwalnya barengan dan saya dipaksa milih satu doang di antara sekian pilihan keren.

Dari semua dongeng yang ada di Ideafest ini, satu hal yang penting buat para pemilik bisnis kuliner: Dengerin konsumenmu, jaga nilai lokalmu, dan jangan takut pakai teknologi, tapi jangan sampai kehilangan jati diri juga. Eh itu sih empat ding.

Moga-moga Ideafest ada lagi di Surabaya, dan lebih banyak pembicara yang bisa ngomong dengan lebih relevan untuk kebutuhan pelaku industri kreatif kayak saya. Keren!

4 thoughts on “Bongkar Cerita Pebisnis Kreatif di Ideafest Surabaya”

  1. Aiiiih kalau acara ini diadakan di Medan, aku harus minta papa atau adikku di sana untuk hadir, karena toh selama ini mereka menjalankan bisnis bakery dan restoran .

    Tapi dari beberapa poin yg ditulis nih vic, aku bisa ikutan belajar bagaimana seorang pemilik bisnis harus paham apa yg dibutuhkan oleh customer nya. Ini lagi2 berkaitan Ama tulisan mu yg bagaimana untuk repeat order sebelumnya ya.

    Dulu papa juga sempet ga mau pakai teknologi cashless di bakery shops nya, dengan alasan ribet. Tapi untung adikku yg lebih melek , maksa untuk pasang, Krn tanpa itu pembeli pasti akan beralih. Lah wong dah makin dikit orang bawa cash. Apalagi ada beberapa komplain masuk waktu itu, Krn pembeli lebih menyukai sistem cashless.

    Mendengarkan apa yg dibutuhkan customers penting memang. Toh kita berjualan tujuannya memang buat mereka. Jadi kalo ga bisa mendengarkan apa yg mereka butuhin, ya siap2 bakal ditinggal .

    Reply
    • Iya, bener banget. Kadang-kadang teknologi itu bukan musuh, cuma dia suka tampil nyentrik dulu di awal, baru bikin jatuh cinta belakangan, hihihi. Salut sama adik yang langsung gercep pasang sistem cashless. Karena kalau enggak pasang sistem cashless, bisa-bisa pelanggan udah kabur ke toko sebelah yang “tap-tap bayar, langsung roti melayang ke tangan”.

      Memang sih, bisnis itu kayak hubungan. Kalau nggak mau mendengarkan pasangan… eh, maksudnya customer, siap-siap ditinggal, tapi customer-nya nggak bilang-bilang.

      Reply
  2. Waktu nyimak story Mbak Vicky yang saat itu lagi nyimak Ideafest rasanya kepingin minta tolong dibikin highlight biar bisa dibaca ulang. Suka juga sama cara Mbak Vicky menceritakan. Tantangannya, waktu itu lagi di jalan sama keluarga, jadi nyimaknya nggak bisa fokus. Tapi karena khawatir ngerepotin, akhirnya screenshot sendiri beberapa story-nya, hehehe. Alhamdulillah ditulis di blog juga, jadi bisa ikut belajar, nih. Makasih, Mbak, sudah berbagi.

    Reply
    • Terima kasih sudah mengabari, Mbak Leila. Saya nggak ngira Instastory saya sampai di-screenshot segala.

      Saya menulis ulang isi Instastory itu di blog ini supaya pengetahuan yang didapet itu nggak cepet ilang. Seneng rasanya denger Mbak Leila suka nyimak isi Ideafest itu di halaman blog ini. 🙂

      Reply

Leave a Comment