Membuat Foto untuk Blogpost, Apa Susahnya?

Seharian ini saya menggarap foto buat artikel blogpost yang mau terbit. Saya kepingin cerita sedikit kenapa saya butuh waktu untuk nggarap foto ini seharian.

Peran foto buat blogpost ini bukan sekedar elemen visual pemanis. Tapi penting buat menjaga supaya penonton nggak kabur.

Karena pada dasarnya, tulisan saya itu rerata panjang-panjang. Bisa lebih dari 1.000 kata per artikel. Mungkin 2.000 kata kalau saya nggak mengerem diri sendiri). Maka saya selalu berhadapan dengan risiko penonton yang bosenan.

Saya ini tipe blogger egois yang pelit memangkas jumlah kata. Jadi saya kompensasi panjang kata dengan elemen visual. Biasanya aturan pribadi saya sih, tiap 300-390 kata harus diselingi image. Akhir-akhir ini, saya malah memperketat aturannya, tiap image akan nongol tiap 200-290 kata.

Bisa dibayangin, untuk produksi artikel berukuran 1.000 kata, maka saya akan nyiapin minimum 4 images.

Itu kalo bikin artikelnya memang diniatin buat personal branding ya. Tapi khusus untuk artikel curhat-curhat nyampah (kayak contohnya tulisan yang lagi kamu baca ini), saya sebodo amat sama image. (Percayalah tulisan yang kamu baca ini nggak ditujukan untuk personal branding, tapi hanya sebagai terapi jiwa doang.)

Persoalan akan nongol kalau jiwa matre saya ikut campur. Bahwa image itu kalau dioptimasi, bisa jadi sumber traffic organik buat blog. Dan semakin banyak traffic organiknya, maka efeknya gede banget buat penghasilan AdSense-nya.

Makanya saya selalu pastiin tiap image itu nggak dibikin sembarangan. Sebelum saya nyiapin image buat artikel, saya mesti udah siapin dulu keyword untuk nama file setiap image-nya.

Contoh kasus: Saya mau bikin artikel berjudul Semur Jengkol Favorit Gw. Dengan asumsi panjang artikel sekitar 1.000 kata, maka jumlah image yang dibutuhkan minimum 4 buah.

Nah, untuk keempat images itu, saya akan bikin nama file-nya masing-masing adalah “bumbu-semur-jengkol.webp”, “cara-membuat-semur-jengkol.webp”, “semur-jengkol-Betawi.webp”, dan “nasi-uduk-semur-jengkol.webp”.

Kenapa saya pilih nama filesnya itu? Ya sebab, menurut riset keyword-nya Ahrefs, keywords yang banyak dicari netizen terkait semur jengkol adalah “bumbu semur jengkol”, “cara membuat semur jengkol”, “semur jengkol Betawi”, dan “nasi uduk semur jengkol”.

Blogger-blogger tetangga sering nggak ngeh. Kenapa saya mau susah-payah menyesuaikan nama file dengan keyword turunan?

Karena sebenarnya, tiap image yang saya siapin buat jadi pemanis artikel itu, saya bikin deskripsinya juga. Berhubung saya pakai content management system WordPress, maka tiap deskripsi buat artikel tuh bisa jadi halaman tersendiri.

Contoh kecilnya nih: Saya punya image berjudul “Semur Jengkol Betawi”. Itu deskripsinya saya tulisin lho, minimal ya dua baris gitu. Misalnya deskripsinya begini,

“Semur jengkol Betawi adalah masakan buah yang menjadi pelengkap nasi uduk. Saya sering menyantap semur jengkol Betawi ini kalau sedang pulang ke rumah tante di Depok. Lihat ya cara tante saya memasak semur jengkol di artikel ini -> Semur Jengkol Favorit Gw.”

Nah, frase yang saya kasih garis bawah itu akan saya beri link menuju artikel saya yang berjudul “Semur Jengkol Favorit Gw”.

Yang saya harapkan dari tindakan saya ini ya:

1. Netizen yang ngetik keyword “Semur Jengkol Betawi”, akan masuk ke artikel pendek saya yang berjudul “Semur Jengkol Betawi” itu.

2. Mereka akan membaca deskripsinya yang cuma 3 kalimat itu.

3. Lalu mereka melihat ada ajakan untuk membaca artikel “Semur Jengkol Favorit Gw”.

4. Kemudian mereka mengklik link bergarisbawah itu, lalu masuk menjadi traffic untuk artikel utama saya, yaitu artikel “Semur Jengkol Favorit Gw”.

Dan, berhubung images-nya ada 4 biji, ya berarti saya bikin deskripsinya pun ada 4 biji! (Ah, ini tidak berat. Toh, tiap deskripsi saya paling banter cuma nulis 2-3 kalimat. Yang penting tiap deskripsi itu ada inbound link bagi artikel utama.)

Dan saya juga nggak berhenti di deskripsi masing-masing images. Berhubung saya pakai plugin SEO, maka masing-masing image itu juga saya optimasi meta-informasinya.

Contohnya nih, untuk image “nasi-uduk-semur-jengkol.webp”, di plugin SEO tuh saya setel frase kunci utamanya “nasi uduk semur jengkol”. Judul SEO diisi “Nasi Uduk Semur Jengkol – Vicky Laurentina”.

Untuk semakin menambah pusing kepala, deskripsi metanya juga saya isi dong. Contoh deskripsi metanya kayak gini, “Nasi uduk semur jengkol adalah masakan Betawi yang cukup laris. Klik link ini untuk melihat bumbu semur jengkol pedas yang sering dipakai para chef.

Perhatikan bahwa di dalam deskripsi meta ini, saya nembak 3 keyword sekaligus: “nasi uduk semur jengkol”, “masakan Betawi”, dan “bumbu semur jengkol pedas”. Tentu saya nggak usah jelasin lagi dari mana saya dapat inspirasi ketiga keyword itu.

Sampai sini, sudah ngerti kan kenapa saya butuh waktu seharian untuk menggarap images untuk blogpost? Ya karena images itu bukan elemen visual pemanis doang!

Malah kalau saya punya lebih banyak waktu untuk merencanakan foto, saya bahkan sudah “memotret duluan sebelum berhadapan dengan objeknya”.

Contoh: Saya sudah tahu nih, bahwa saya perlu membuat foto dengan nama file “bumbu-semur-jengkol.webp”. Lalu saya googling dong, foto “bumbu semur jengkol” yang ada di Google itu adanya apa aja.

Ternyata, di Google Images, foto “bumbu semur jengkol” yang paling banyak seperti apa? Tepat, hanya foto jengkol ditumpuk-tumpuk berlumuran saos warna merah.

Wah, kalau saya cuman motoin jengkol saos merah lagi, ya apa bedanya saya dengan creator lain? Tentu saya harus bikin foto yang berbeda.

Hmm.. bumbu semur jengkol itu apa aja sih? Kan ada gula merah, pala, serai, salam.

Bagaimana kalau saya mencoba motoin jengkol yang masih bersih, ditata bersebelahan dengan sisiran gula merah, biji pala, batang serai, dan beberapa daun salam?

Siapa tau netizen lebih tertarik dengan foto yang sungguhan mendeskripsikan bumbu semur jengkol. Bukan sekedar foto yang memajang semur jengkol yang udah jadi?

Dan coba bayangin kalau saya udah berencana bikin 4 images. Karena mau ngejar 4 buah keywords. Maka berapa buah kompetisi foto semur jengkol yang perlu saya menangkan?

Lalu tetangga-tetangga saya yang sesama blogger akan bertanya-tanya, kenapa mesti segini ribetnya sih nyiapin foto doang hanya demi sebuah artikel? Maka jawaban saya,

“Kalau ada banyak pintu yang berpotensi menghasilkan traffic (yang bisa dikonversi menjadi duit), kenapa kita cuman mau mengandalkan satu pintu saja untuk berkompetisi?”

P.S: Saya nggak doyan jengkol. Kasus semur jengkol di atas hanyalah contoh soal untuk menutupi proyek sebenarnya yang sedang saya garap.

P.S lagi. Tulisan ini dibikin buat merekam langkah-langkah yang saya kerjain seharian tadi, setelah seharian saya umek motretin objek buat blogpost. Tau nggak, ada salah satu foto yang udah siap tayang di artikel, tapi begitu saya re-googling keywordnya, foto itu langsung saya buang dan saya ganti dengan konsep foto yang sama sekali berbeda, karena foto sebelumnya sangat “pasaran”.

2 comments

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Iya. 😀 Makanya aku sebelum upload foto ke dashboard tuh, aku rename dulu file-nya. Dan aku kalo rename itu lihat primbon dulu, cari KW apa yang banyak dicari orang :))

Leave a Comment