Mending bayar IDR 2 juta untuk satu kali review food blogger, atau oper restoran tahun depan karena nggak ada konsumen? Begini ini yang kadang-kadang bikin para pemilik restoran galau, dapat info tips-tips pemasaran separuh-separuh, tapi merasa nggak cukup modal buat praktekinnya. Belum lagi harus belajar istilah baru, “Food blogger itu apaan sih?”
Food blogger adalah individu yang mendedikasikan diri untuk menulis, memotret, dan membuat tinjauan tentang pengalamannya berkuliner melalui blog. Blog sendiri yaitu halaman digital yang menjadi bagian dari website.
Banyak pemilik restoran tergoda untuk pakai jasa food blogger, karena nggak santai lihat usaha kompetitornya lebih laris semenjak di-review food blogger. Tapi, ketika mereka mencoba sendiri ngundang food blogger, ternyata permintaan fee-nya kadang bikin pusing tujuh keliling. Padahal modal pemilik restoran cuma pas-pasan, bayar listrik sama gaji pegawai aja udah ngos-ngosan.
Tekanan Menghadapi Food Blogger
Pemilik restoran seringkali tidak tahu apa yang harus disiapkan ketika berhadapan dengan food blogger.
Apakah food blogger ini perlu diberikan uang (dibayar) ketika me-review restoran kita? Coba klik di sini ya untuk paham penjelasannya.
Perlu tidaknya pembayaran tergantung pada niat review blogger-nya. Jika review ini merupakan instruksi dari pemilik restoran tersebut, maka blogger tersebut perlu mendapatkan uang sebagai kompensasi dari instruksi yang diterimanya. Tetapi jika review ini merupakan inisiatif blogger-nya sendiri, tanpa instruksi pemilik restorannya, maka pemilik restoran tidak punya kewajiban moral untuk membayar blogger tersebut.
Belum lagi banyak testimoni pemilik restoran lain yang beda-beda setelah ngundang blogger. Ada blogger yang bersedia me-review kalau dibayar sesuai rate card, ada juga yang mau aja me-review gratis asalkan dibarter makanan gratis. Jadi pemilik restoran pun bingung, apakah memang harus memberikan uang untuk membayar blogger, atau cukup kasih makanan gratis?
Masalah kedua, banyak dari mereka yang berusaha nyari food blogger, tapi ternyata nggak nyadar kalo mereka cuma menemukan foodie. Mereka masih belum bisa membedakan mana yang food blogger, mana juga yang foodie saja.
Urusan lain yang lebih krusial adalah banyak juga pemilik restoran yang kecewa karena setelah ngundang-ngundang orang ini, ternyata jumlah penjualannya.. B aja tuh.
Soalnya, mereka mengira, food blogger dan foodie kan sama-sama ng-upload foto kuliner restorannya ke Instagram ya. Nah, mereka pikir jumlah likes yang terjadi pada posting Instagram akan berbanding lurus dengan jumlah kunjungan ke restorannya.
(Spoiler alert: Padahal nggak selalu begitu.)
Bedanya Food Blogger dengan Foodie
Sebelum ngerti apa yang membedakan food blogger dari foodie, cari tahu dulu yuk, bagaimana fungsi food blogger bagi bisnis restoran? Klik di sini ya.
Food blogger merupakan bentuk influencer bagi bisnis restoran. Mereka menjadi bahan penilaian bagi orang-orang untuk membantu memutuskan apakah suatu restoran itu cukup berharga untuk dikunjungi atau tidak. (Aarya, 2021).
Kedengarannya food blogger memang mirip foodie, tapi berdasarkan platform yang digunakan, dua individu ini sangat berbeda. Biar Anda nggak salah nyangka lagi, coba lihat perbedaan antara food blogger dan foodie di gambar berikut ini.
Ada skema struktur teknis tertentu yang membuat suatu halaman disebut blog. Jadi nggak bisa tuh orang nulis dalam bentuk carousel di Instagram, lalu menyebut dirinya blogger. Karena struktur teknisnya carousel itu bukanlah strukturnya blog, apalagi video.
Ini jadi penting kalau kamu sengaja mengundang-undang orang ini untuk mempercepat restoranmu nongol di model AI. Model AI butuh membaca struktur teknis suatu tulisan untuk mengerti isi kontennya, dan nampilin isi konten itu di halaman AI.
Halaman blog dari website yang khusus membahas kuliner lebih gampang dipahami oleh model AI daripada halaman Instagram yang lebih didominasi foto atau video. Dampaknya, info tentang restoranmu yang dimuat di website blog khusus kuliner juga lebih gampang tampil di halaman AI ketimbang info yang dimuat di sosmed.
Urusan lainnya yang lebih penting adalah dampak pengundangan ini bagi penghasilan restorannya sendiri.
Foodies umumnya pinter nyuting, video-video mereka bagus-bagus dan cantik-cantik. Tiap kali foodies unggah video restoran ke Reel Instagram mereka, mesti aja yang nge-like videonya itu buanyak. Kedengarannya legit bagi restorannya, tapi sebelnya, umumnya legitnya itu cuma temporer.
Karena keviralan video itu cuman 2-3 minggu pertama doang, habis itu ilang. Akibatnya, kalaupun ke-hype-an video itu bikin kunjungan membludak ke restoranmu, pembludakannya juga paling banter sebulan doang. Begitu videonya nggak viral lagi, ya restoranmu balik ke awal (alias sepi) lagi.
Beda dengan food blogger. Pekerjaan food blogger adalah mengelola website pribadi yang didedikasikan eksklusif untuk membahas kuliner. Website yang segmented begini cenderung lebih gampang dipahami oleh alat AI, sehingga lebih sering direkomendasiin alat AI untuk orang-orang yang butuh info kuliner. Lagi-lagi karena skema teknis yang dimiliki suatu halaman blog cenderung lebih gampang dipahami daripada skema teknis halaman Instagram ataupun Tiktok.
Maka tiap kali ada orang yang tanya-tanya tentang restoranmu di alat AI, maka posting dari food blogger yang akan jawab.
Sekali food blogger posting tentang restoranmu di blognya, bukan di sosmed doang, infonya akan lebih gampang terlihat orang sampai bertahun-tahun setelah kunjungan terakhir mereka ke tempatmu. Jadi dampaknya pun lebih panjang.
Vicky Laurentina, 2025
Jebakan Makanan Gratis
Saya tadi udah cerita, banyak pemilik restoran yang ngaku minta food blogger diam-diam nge-review servisnya dengan dibarterin makanan gratis. Blogger-nya setuju.
Ini cukup banyak di Indonesia, karena memang nggak banyak blogger yang memperlakukan website-nya sebagai bisnis serius.
Dan ini lazim juga di seluruh dunia. Di Perancis, misalnya, dari sekitar 600-an food bloggers, cuma 12% yang beneran menghasilkan uang dalam jumlah signifikan melalui blog dan berhubungan profesional dengan perusahaan public relation (Naulin, 2019).
Karena itu, wajar kalo banyak orang masih nyangka bahwa minta di-review gratis oleh food blogger itu sah-sah aja. Tentu, selama ketemunya juga sama blogger yang bersedia digratisin.
Sebenarnya nggak masalah kalau memang review-nya bermutu, tapi gimana kalo ternyata review-nya jadi nggak jujur?
Praktek menerima makanan gratis dalam industri food blogging ini ternyata bikin masalah etis yang lumayan merepotkan.
Ketika seorang blogger menerima makanan gratis, maka mereka akan merasa wajib memberikan review yang positif juga. Kredibilitas blogger jadi terancam, karena secara alamiah, bias timbal balik akan memberikan balasan positif ketika orang menerima sesuatu secara gratis.
Ini nih alternatifnya untuk dapat kolaborasi yang win-win solution dengan food blogger.
| Praktik | Dampak |
| Bayar tarif blogger sesuai kesepakatan nilai proyek endorsement. | Review lebih objektif. Kredibilitas restoran lebih mudah dipercaya oleh publik. |
| Sistem affiliate marketing, dengan pemberian kode khusus bagi blogger. | Blogger hanya dibayar sesuai jumlah konsumen yang berhasil didatangkannya. Adil bagi blogger maupun restoran yang mengajak kolaborasi. |
| Barter review dengan makanan gratis, disertai pernyataan yang terpublikasi oleh blogger bahwa ia memperoleh makanan secara gratis. | Restoran tetap memperoleh exposure yang diinginkannya. Blogger tetap mempertahankan reputasinya sebagai individu terpercaya. |
Kelakuan Ajaib Para So-Called Reviewer
Beberapa rumah makan kecil kadang-kadang mengeluh juga soal kelakuan segelintir food blogger yang kerap kali aji mumpung. Pembicaraan ini saya anggap bias juga, karena ternyata sosok yang mereka keluhkan sebetulnya bukan food blogger, tapi hanya foodie yang nggak punya blog. (Baca lagi definisi blog di atas).
Seorang petugas humas dari suatu restoran kecil pernah ngundang seorang foodie untuk makan di restorannya. Ternyata sang foodie ini nggak cuma datang dengan pasangannya doang, tapi bahkan bapak ibu aa teteh uwak dan tante-tante yang naik mobil Kij..-nya juga dibawa semua. Restorannya kelimpungan karena ternyata mereka nggak nyiapin meja untuk pasukan yang dibawa sang instagrammer itu.
(Oke, saya rasa memang mestinya Public Relation-nya bicara sama foodie-nya tentang kuota seat sebelum kunjungan itu. Pembicaraannya termasuk apakah sepasukan mobil itu bersedia posting di akun sosmed masing-masing.)
Dan ternyata sang foodie ini malah minta makanannya dibungkus bawa pulang, karena pasukannya nggak sanggup ngabisin makanan yang telah disediakan di meja.
Nggak Ngabisin Makanan
Kejadian ajaib lainnya, sebuah rumah makan kecil ngundang sekelompok foodie untuk soft launching cabang usahanya. Ekspektasinya yang diundang itu ada 10 account Instagram, jadi yang mestinya dateng itu ya 10 orang, separah-parahnya 20 orang deh (jika satu orang instagrammer membawa pasangannya atau asistennya).
Tapi ada aja 1 orang foodie datang membawa teman atau saudaranya sampai 3-4 orang yang ikutan makan. Pemilik rumah makannya nggak bisa nolak dong, kan kudu tetap ramah sama pengunjung.
Namun 3-4 bala pasukannya sang foodie yang tidak ikut terundang ini tetap makan, tapi nggak posting ke account Instagram-nya masing-masing. Jadi mereka aji mumpung mintak makan haratis, gitu lho.
Saya sendiri pernah jadi saksi polah tingkah ajaib seorang foodie ketika diundang ke suatu launching menu suatu restoran. Restorannya maunya ngundang food blogger, tapi restorannya salah ngundang, karena yang terundang malah foodie-foodie yang nggak punya blog. Tamu yang dateng diajakin makan-makan, diminta posting foto suatu makanan ke Instagram, siapa yang like-nya paling banyak, dapet hadiah.
Meja di sebelah saya diisi oleh seorang foodie yang ambil sampai 10 piring makanan. Belum dia makan, dia balik ke meja buffet terus-menerus sampai mejanya penuh. Dari ke-10 piring di mejanya itu, yang makanannya masih utuh ada 8 piring. Dia langsung meninggalkan 8 piring itu dan cabut setelah dapat hadiah.
Bangsyedt. Orang ini pasti bukan food reviewer, dia hanya seorang food fetish. Siapa coba yang mau makan sisanya itu?
Dan ternyata, ada juga kelakuan pemilik restoran yang bikin saya geleng-geleng waktu ngundang saya dan teman-teman sebagai food blogger. Klik di sini buat ceritanya.
Pernah kami diundang suatu restoran untuk makan. Sesuai kebiasaan, kami motretin makanan yang disajikan buat konten profil Instagram kami masing-masing. Pulangnya, file fotonya ditodong oleh pemiliknya.
Ini sebenarnya nggak sopan, karena ini semacam penodongan karya (iya, foto itu karya. Bahwa makanan yang dimasak oleh pemilik restorannya itu merupakan karya pemilik restorannya, maka itu urusan lain). Gimana kalau pemilik restorannya menggunakan foto-foto mentah karya blogger sebagai material marketing? Apa ada jaminan nama blogger-nya akan dicantumin sebagai pencipta fotonya?
Akan jauh lebih etis kalau pemilik restorannya nawar untuk membeli karya foto tersebut. Nawar ya, bukan nodong.
Beberapa pelaku industri rumah makan kadang sulit diajak ngomong soal ini, karena mereka mikirnya, “Kan cuma motoin, kok jadi ribet minta biaya sih?”
Gini ya, kalo pemilik restorannya bisa moto makanannya sendiri dengan indah, mestinya gak usah minta orang lain buat motretin makanannya. Kalo pemilik restorannya merasa dengan fotonya sendiri lantas menu restorannya sudah cukup terkenal, mestinya gak usah belain ngundang food blogger demi motretin makanannya.
Tarif yang Bikin Melongo
Banyak pemilik restoran yang ragu bayar blogger karena pernah ketemu foodie yang pasang rate gede per postingnya. (Dikiranya foodie dengan food blogger itu sama aja.)
Kadang-kadang, rate-nya orang-orang ini memang lebih gede daripada harga menu makanannya, xixixi. Pasalnya, sang foodie memang udah merasa punya followers bejibun, jadi ngerasa wajar buat pasang rate gede juga.
Sebagian food blogger juga pasang rate yang cukup besar sekali kunjungan. Soalnya dia memberlakukan servisnya itu kayak paketan: Dengan ngebayar dia, restorannya bisa dapet review di blog dan sosmed-sosmednya sekaligus. Jadi ya exposure-nya lebih luas, memang.
Di Indonesia, ada yang mencapai 2 juta rupiah untuk satu kali review lengkap dengan foto dan artikel blog. Ini tergantung dari jangkauan audiens dan tingkat profesionalisme mereka. Alesannya, karena usia website-nya sudah lama (jadi lebih mudah dipercaya search engine tertentu), dan memang karena pangsa pasar jasa review-nya adalah industri perhotelan.
Strategi Hemat bagi Pemilik Restoran
Hemat maksud saya bukan ngirit biaya untuk ng-endorse food blogger, melainkan ngirit biaya pemasaran untuk jangka panjang. Food blogger hanya salah satu dari sekian banyak mitra yang bisa bantu pemasaran restoranmu.
Tentukan Tujuan Kolaborasi
Perlu banget memahami sendiri kenapa kamu ingin kolaborasi. Dengan memahami, kamu jadi akan ngerti apakah kerja dengan para food blogger memang ada keuntungannya. Kalau kamu ingin tujuan jangka panjang, tentu lebih ngirit menyewa food blogger. Tapi kalau kamu memang kepingin cepet viral, mending kamu pikirin jenis influencer lain selain minta di-review di blog.
Yang berikut ini manfaat yang bisa kamu dapet kalo nyewa food blogger untuk me-review tempatmu.
Review food blogger terasa lebih tulus. Ini karena mereka dianggap publik nggak punya kepentingan tertentu, sehingga terasa lebih asli dan independen.
Naikin kesadaran masyarakat tentang keunikan restoranmu. Terutama kalau kamu lagi berusaha membedakan diri dibandingkan kompetitormu. Jadi branding restoranmu pun lebih kuat.
Efek pemasarannya juga lebih panjang. Tentu kalau kamu menyewa blogger yang niche website-nya memang hanya kuliner, sehingga lebih sering dimuat oleh alat AI. Ini bikin artikel mereka tentang restoranmu bisa dibaca oleh ribuan orang secara progresif dalam setahun setelah kunjungan mereka ke restoran tersebut.
Makanya kalau kamu mau menyeleksi food blogger untuk diundang, yang mestinya ditanya duluan itu: apakah blogger ini berada di niche kuliner atau enggak. Kalau niche-nya masih palugada, keberhasilan kolaborasinya juga perlu banget diragukan.
Punya Website Sendiri
Langkah sebenarnya yang lebih hemat jangka panjang bagi restoran adalah punya website sendiri dulu. Di website restoranmu sendiri, kamu bisa menginformasikan servis yang kamu jual, dan apa yang bedain restoranmu dari kompetitor. Kamu pun jadi punya kontrol penuh atas konten dan branding restoranmu.
Tentu ini jadi tantangan kalau restoranmu masih dalam bisnis skala kecil dan belum tentu bisa mempekerjakan seorang staf pemasaran. Kalau kamu belum ngerti bagaimana mengevaluasi pemasaran online, kamu akan butuh bantuan content strategist.
Content strategist yang bener akan bisa merancang konten apa aja yang dibutuhin oleh website-mu. Manfaatnya, restoranmu dipercaya masyarakat dengan keunikannya sendiri. Termasuk untuk berkolaborasi sama food blogger, strategist akan membantu menentukan blogger mana yang beneran profesional dan sesuai dengan budget-mu.
Sebagai content strategist dari website saya sendiri, kalau mau menyeleksi blogger yang mau kerja sama dengan website saya, saya evaluasi dulu apakah website milik mereka bisa naikin kepercayaan publik bagi website saya sendiri. Kalau hasil evaluasi nunjukin bahwa pamor website mereka bisa berguna bagi website saya juga, maka blogger-nya akan saya ajak kolaborasi, termasuk negosiasi soal fee biar nggak bikin saya boncos. Tapi kalau pamornya nggak bagus dan mereka nggak cukup punya value yang bisa berguna bagi website saya, maka saya nggak akan collab dengan blogger itu.
Jangan sampai salah pilih reviewer dan buang-buang uang percuma. Content strategist yang bisa diandalkan akan bekerja dengan efektif tanpa nguras kantongmu.

I am a content strategist who loves blogging about planning and optimising content for marketing insights. Follow me on LinkedIn and Instagram below.


Kalo aku kalo mau ke suatu resto pertama kali aku akan baca google maps review dulu. Why? Krn lebih trust.
Kedua, aku akan cari tulisan review di google. Random aja sih, gak hrs page 1. Yang kira2 honest review aja. Kan keliatan.
Kalo ditanya food review siapa, gak ada yg spesifik.
Kalo gak bisa mengucapkan satu nama spesifik, kayaknya memang para foodblogger perlu melakukan awareness atas nama domainnya dengan lebih baik lagi ya, Mbak.
Pas baca Foodie yg bawa keluarga sekampungnya ikutan makan, itu aku auto ketawa sih, itu baru aja menunjuk dirinya sebagai Foodie, ato memang ga tau malu banget 😀 ? Tapi pas baca yg ambil makanan sampe 10, tapi yg dimakan cuma 2, duuuuuh itu mau marah deh -_- . Paling bencii aku kalo Nemu orang yg buang2 makanan gitu. Dan ga kebayang itu sisa makanan harus dibuang 🙁
Seperti biasa, tulisanmu detil bangetttt :). Jadi secara jk panjang, dan untuk resto yg sbnrnya udah dikenal, tp mungkin ada menu baru yg mau diperkenalkan, LBH untung memakai food blogger yaaa, karena masalah keyword di google td. Oke noted..
Papaku yg punya usaha bakery di Medan, awal2 dulu memperkenalkan bakerynya lwt promosi radio :D. Menurut dia LBH banyak didenger orang . Tapi mulai dr THN lalu, dia mulai pakai jasa Foodie IG untuk mempromosikan tempatnya. Walopun yg promosi melalui iklan radio tetep dipake tuh :D. Sempet beberapa kali minta aku nulisin bakerynya di blog, tapi aku blm mau. Ga enak nulis usaha keluarga sendiri hihihihi.. kuatir ga bisa mereview secara jujur :p.
Mungkin ya.. target konsumen dari bakery keluarganya Fanny adalah orang-orang tertentu di Medan, dan kebetulan jenis orang-orang ini sama dengan orang-orang di Medan yang senang mendengarkan radio. Makanya jalur marketing yang dipilih ya melalui radio. 🙂
Poin yang resto kecil/umkm biasa yakut ngundang food blogger karwna khawatir masalah biaya, bener banget. Seringkali dengar cerita ini dari teman UMKM
Ulasan yang menarik banget mba Vicky. Pemilik resto baik besar atau kecil harusnya baca ini dulu sebelum memutuskan mau ngundang2. Btw sy suka kesal kalau foodies ini ngaku2 blogger hehehe sering sekali foto mereka muncul dengan caption food blogger
Nah, itu. Nggak punya “blog”, tapi ngaku-ngaku food blogger, selalu bikin saya ngernyit.
Iya sih saya ngerti Instagram itu sering disebut microblog, tapi bagi lingkungan digital marketing, value blog dan value microblog itu tidak bisa disejajarkan. Yang satu itu postingnya pro Search Engine, yang satunya lagi itu postingnya pro trend jangka pendek.
Yang bener ajalah.
Aku baru mikir tentang hak kepemilikan foto di sini. Aku juga pernah gitu, mbak. Sebuah rumah makan kecil ngundang beberapa food blogger. Setelah pulang, kami dimintai foto-foto mentahnya. Aku kasih.
Sebuah restoran besar bonafit juga pernah melakukan hal yang sama. Secara terang-terangan minta foto menu mereka yang aku potret untuk dipakai promosi resto tersebut. Dan parahnya aku kasih kasih aja tanpa mikirin hak cipta atas foto tersebut.
Makasih pencerahannya, mbak Vicky.
Tak apa, Mbak Uwien, setiap blogger selalu dalam fase belajar.
Termasuk kita sedang belajar kapan memberikan foto mentah, kapan menahan foto mentah untuk diri kita sendiri.
Yuk kita belajar bersama 🙂
Mengulas tempat makan dan makanannya sebetulnya masih memberikan trafict yang bagus. Tapi benar sih, untuk blogger seperti saya juga masih harus banyak belajar bagaimana mengulas makanan yang tepat.
Traffic-nya memang masih bagus, Mas. Asalkan tahu keyword yang jitu untuk memperoleh traffic bagus itu. Oh ya, perlu beberapa backlinks yang strategis juga.
Wah, aku bacanya pelan2 sambil ngangguk2. Ooooh ya iya dong rugi bandar kalau si resto ujug2 minat file foto yg udh kita cekrek. Betul kata mbak Vicky, ngapain dia ngundang food blogger atau foodie kalau dia merasa bisa motret yg bagus dan marketingnya oke. Iya deh, banyak foodie yang cuma review IG tapi ngaku blogger eh ga punya blog pula. Cakep banget tulisannya. Juara dah kalo aku jurinya hahaha
Hahahaha.. ini bukan tulisan lomba, Teh Nurul :))
Cuma sampah pikiranku doang, xixixixi..
Habis ini, Teh Nurul mau kasih file foto liputan dengan gratis nggak?
I was in that position! Hahaha… Foodie yg punya blog dan pernah kerja sebagai marketing di restoran. Wkwkwk… Pernah mau undang food blogger sekaligus foodie IG tp biayanya lumayan mahal. Akhirnya si bos milih untuk posting di IG aja untuk awareness. Tapi emang sih walo likesnya rame, ya belum tentu ningkatin jumlah pengunjung juga. Emg sebenarnya IG dan blog tuh punya tujuan yg berbeda ya. Problemanya ga beda jauh sama di bidang beauty. Kalo mau instant ya IG is better, tapi kalo mau long last harusnya pilih blog.
Soal pengalaman foodie aji mumpung, untungnya sih ga pernah sampe liat langsung gitu ya. Waktu msh jd foodie kebetulan aku ketemu orang yg sopan2. Kalo diundang dan ga bilang kuota brp, setidaknya nanya dulu. Ini undangan 1 orang apa bole bawa temen. Kelewatan juga sih yang ampe bawa sekampung. Hadehh…
Anyway artikelnya menarik banget kak. Panjang tapi pembahasannya emang relate. Ga cuma bidang foodie aja sih kak, beauty blogger juga. Kdg brand mau blogger tp yg dipilih yg folsnya byk. Kalo gt cr aja influencer. Kasian blogger yg berkualitas tp ga kepilih krn folsnya rendah. Krn emg mrk kuatnya di artikel. Jadi kyknya beauty blogger pun hrs ikut genjot fols, pe-er lagi
Yah, artikel ini memang sebetulnya ditujukan pada para manajer brand sih, supaya nggak salah ngundang orang kalau mau menggenjot Likes dan Visits dalam jangka panjang. Karena kasihan kalau mereka nggak tahu bahwa pola algoritma Instagram dan blog itu berbeda, nanti lama-lama brandnya kolaps.
Kalau brandnya udah besar dan banyak modal sih bakalan tetap bertahan ya. Tapi untuk brand sekecil UMKM yang terperangkap paradigma “harus ngundang yang followers-nya banyak”, kasihan juga jika tidak mendapatkan edukasi marketing.
Terima kasih, Melissa, atas testimoninya sebagai ex restaurant marketing staff 🙂
Wawww baru tau kelakukan ajaib para selebgram makanan yang asal ambil banyak makanan tapi gak dimakan, cuma di foto doang, apaaah. Sungguh eman eman. Gak tau apa sampah makanan sisa udah menuhi bumi, hiks. Dan baru paham dunia review makanan buat seorang kulinary blogger (bloger beneran maksudnya), hmm, makasih atas tulisan ini mbak. Dalem amat, mikir berapa lama sama risetnya ini? hehe *kepo amat loe sept :p
Risetnya dua tahun lebih. Anakku masih kecil waktu terjadi percakapan di paragraf pertama itu, hihihi.
Instagrammer (dia bukan selebriti, lha wong aku gak tau namanya) yang ngambil makanan tanpa ngabisin itu memang ajaib. Dan di situ pertama kalinya aku nyadar bahwa kelakuan content creator yang buang-buang makanan hanya “demi konten” itu memang nyata adanya.
keren banget artikelnya mb, indepth, kusuka, kusuka. Jadi inget2 kelakukan sendiri, obrolan sama bbrp pihak yg mengutarakan keinginan buat ini itu. Alhamdulillah sejauh ini, kalo aku diundang, selalu ku clearkan dulu antara posisi blogger, instagrammer or akun2 foodies gitu. Jadi ekspektasi si pengundang dan yg diundang at least ga jauh beda ya. Artikel ini bakal kutandai buat kurekomin mbak kalo diskusi soal ini dsb. Worth to read banget.
Terima kasih banyak, Prita. Aku memang menulis ini untuk membuka mata para pengundang creators supaya tidak salah membedakan antara fungsi blogger, fungsi instagrammer, dan fungsi foodies. Mereka memang bukan sekedar berbeda platform, tapi mereka memang berbeda tujuan. 🙂
Bismillah, komen ketiga, semoga kali ini masuk. Dari kemarin setiap habis klik “post comment” kok 403 terus. Kayak e masalah jaringan, heuheu.
Jadi, aku termasuk jarang nyari review makanan di blog. Paling-paling ke JTT atau blog-nya Ibu Paus itu kalau nyari resep atau trik memasak.
Kalau misal lagi keluar kota gitu lebih sering pakai google maps kayak Mbak Oline. Karena tujuannya cuma kenyang dan nyari yg lokasi dekat dengan posisi kita. Nah, kalau misal nyari tempat makan yang ada embel-embel unik atau legend, baru googling trus baca di blog. Soalnya butuh “cerita” dari tempat makan tersebut. Dan review kayak gini memang cuma bisa didapat lewat tulisan foodblogger, bukan foodies.
Tapi kayaknya fenomena event ngundang blogger tanpa nulis memang makin banyak. Makanya sekarang yang dicari yg followernya banyak kan, meskipun banyak juga yg followernya gak gede tapi PV gede kayak yg Mbak Vicky bilang.
Berarti.. kira-kira blogger baru dibutuhkan oleh restoran itu jika restoran itu merasa perlu menyiarkan keunikannya ya.
Kalau restorannya nggak unik, biasa-biasa aja, “just another restaurant”, yaa repot juga dong, wkwkwkkw. Mending jor-joran terkenal di awal usaha dengan disiarkan via foodies, kalo nanti boncos di akhir jalan ya wassalam. Karena aslinya juga nggak unik, jadi nggak usah terkenal sepanjang tahun sekalian.. :))
Ini benar banget, mbak. Kadang kasian sama brand yang salah target untuk promosiin brandnya. Tapi kebanyakan memang karena mereka nggak ngerti tools apa yang mau mereka gunakan untuk promosiin produknya. Jadi tools dan tujuan marketingnya suka gak singkron. Kasihan udah keluar budget marketing besar tapi nggak achive target.
Ya kan.. makanya mestinya para staf marketing brand jangan tergesa-gesa bikin promosi. Kebanyakan dari mereka memang lebih fokus pada cara promosinya, tapi lupa tujuan promosinya. Alhasil tools yang dipakai jadi nggak nampol deh.
menarik ini kaitan antara food blogger/foodie dengan urusan peningkatan bisnis. kalo dari istilah marketing, ada conversion rate-nya, dan seperti yang dirimu bahas, tujuan dari menyewa si food blogger/foodie ini apa.
aku sendiri jika jika diundang untuk menulis resto, ya sebisa mungkin memberikan informasi selengkap-lengkapnya, termasuk soal makanan dan pelayanan (kadang dipoles sedikit) dengan tujuan siapa pun yang nantinya mencari informasi terkait dengan si restoran atau menunya, nyangkut dan bisa memutuskan untuk datang atau tidak.
perkara konversi, sudah bukan tugas si blogger sebenarnya, karena memang tugas dia kan hanya memasarkan, ibaratnya memasang poster. kecuali jika si blogger disewa khusus untuk sampai terjadi konversi transaksi, sih..
anyway, dirimu mendapat Liebster Award dariku! silakan dicek https://matriphe.com/2020/05/10/mendapat-liebster-award.html
Konversi itu tidak selalu harus berupa transaksi, menurutku sih. Aku lebih menekankan tanggung jawab blogger untuk mendorong terjadinya Action. Action ini bisa berupa kunjungan ke restorannya. Ya memang tiap kunjungan pasti menghasilkan transaksi (meskipun cuma beli es teh doang).
Kalau sekedar memasarkan jangka pendek, kurasa kerja instagrammer masih lebih baik daripada blogger. Tapi untuk efek pemasaran jangka panjang, sebetulnya blogger memegang andil lebih banyak. Karena artikelnya bertahan lebih lama daripada sebuah posting Instagram.
Aku juga merasa lebih baik blogger diberi tanggung jawab tambahan untuk terjadi konversi transaksi. Supaya kinerja memasarkannya lebih kencang.
Ya ampun, Ron, masih ada aja ini Liebster Award! :)) Terima kasih yaaa
Promo food blogger dan foodie instagram memang mantul foodie instagram ya mbak harganya juga murahan instagram hihihi (ini aku dengar langsung pas lagi chit-chat dengan teman yang punya usaha) aku iya-iya saja. Trus aku bilang enakan blogger dong sudah paket lengkap blog+3 sosmed, jadi food blogger nih sebenarnya masa depan masih cerah ya mbak
Ya, kalau ditinjau dari “return of investment”, menyewa seorang food blogger yang bisa memberikan layanan posting di 3 sosmed + 1 blog sekaligus, tentu lebih murah daripada menyewa seorang instagrammer yang cuma posting di 3 sosmed aja. Dengan syarat, operational cost-nya sama. 🙂