Apakah kamu pernah mempertanyakan waktu melihat seorang food blogger mem-posting foto makanan yang kelihatan fancy dengan caption “Thank you for having me?” Blogger ini baru saja kasih pernyataan implisit bahwa dia makan itu karena diundang. Alias gratis. 
Suatu ketika, saya lagi duduk-duduk semeja bareng beberapa food blogger Indonesia di sebuah restoran cepat saji yang lagi nraktir kami makan. Sambil ngunyah ayam tepung, salah satu kawan saya curcol, “Aku gak semangat lagi nulis kulineran di blog. Sudah bubble, tapi fee-nya kurang.”
Ironisnya, restoran itu ngundang kami karena status kami adalah blogger. Tapi kami cuma diminta upload foto ke Instagram doang, bukan review yang deep di blog. Kenapa nggak minta wartawan halaman kuliner aja sih?
Definisi Food Blogger dan Dampaknya buat Industri
Food blogger adalah individu yang mendedikasikan diri untuk menulis, memotret, dan membuat tinjauan tentang pengalamannya berkuliner melalui blog. Blog adalah halaman digital yang menjadi bagian dari website.
Ada skema teknis tertentu yang membuat suatu halaman disebut blog. Jadi nggak bisa tuh orang nulis dalam bentuk carrousel di Instagram, lalu menyebut dirinya blogger. Karena skema teknisnya carrousel itu bukanlah skemanya blog. Apalagi video, jauh!
Akhir-akhir ini saya banyak ngobrol sama beberapa kalangan pebisnis restoran tentang upaya pemasaran mereka. Saya iseng tanya bagaimana tanggapan mereka tentang trend pemasaran online beberapa tahun terakhir dan seberapa besar upaya food blogger membantu strategi pemasaran mereka.
Restoran besar jawab, ngundang food blogger umumnya belum berdampak buat bisnis mereka. Sejauh ini, pemasaran suatu rumah makan masih dianggap berhasil kalau pengunjungnya banyak, dan umumnya pengunjung itu datang karena lihat iklan mereka di tv atau koran.
Khusus untuk restoran-restoran di kota besar, pemicu besar para pengunjung untuk dateng ke restoran mereka adalah dari promo-promo di social media, terutama Instagram. Hanya saja, untuk memicu penonton Instagram untuk lihat promo mereka di Instagram itu perlu bantuan accounts khusus, dalam hal ini adalah account Instagrammer yang followers-nya banyak.
Jadi, yang lebih banyak membantu kunjungan ke restoran besar saat ini sebetulnya bukan food blogger, tapi foodies instagram.
Rumah makan kecil punya pandangan lain. Mereka umumnya belum ngerti apa itu food blogger. Karena untuk ngerti konsep food blogger itu, mereka kudu ngerti tentang pemasaran online dulu.
Padahal sering banget rumah makan kecil nggak punya juru pemasaran khusus. Karena pemiliknya nyambi menjadi CEO dan pemasaran sekaligus (ini mah bukan CEO alias Chief Executive Officer, tapi Chief Everything Officer).
Rumah makan kecil umumnya sudah ngerti bahwa suatu depot sekecil apapun sekarang sebaiknya punya account Instagram. Tetapi mereka sering ragu-ragu minta food reviewer macam food blogger atau foodies instagram untuk mengekspos rumah makan mereka.
Soalnya mereka takut mengundang food reviewer akan memakan biaya operasional tambahan. Lha bisnisnya aja masih kecil kok, bisa mbayar listrik dan pegawai tiap bulan aja udah alhamdulillah.

Sementara itu, rumah-rumah makan kecil masih gelagapan dalam urusan pemasaran online, dan lebih suka memasarkan keberadaan usaha mereka dalam bentuk brosur. Kegaptekan mereka bikin mereka bingung dengan istilah food blogger.
Food Blogger vs Foodie Instagram
Saya balik ngobrol sama restoran besar lagi, gimana kesan-kesannya nyobain jasa foodies instagram buat review restoran mereka? Para representatif restoran ini kasih saya jawaban yang relatif sama, yang membuat saya tercenung.
Foodies instagram umumnya pinter motret, foto-foto mereka bagus-bagus dan cantik-cantik. Tiap kali foodies unggah foto restoran mereka ke feed Instagram mereka, mesti aja yang nge-like fotonya itu buanyak. Dan saban kali habis foto restoran mereka diunggah itu, banyak yang dateng ke restoran mereka untuk nyicipin menu kayak yang habis di-posting para foodies ini.
Kedengarannya legit bagi restorannya, tapi sebelnya, legitnya itu cuma temporer. Rame pengunjungnya cuman 2-3 minggu pertama doang, habis itu sepi lagi. Jadi, pendek kata, “sihir”-nya foodies yang cuman ngepost fotonya 1-2 kali doang ini hanya bertahan paling-paling sampai sebulan..
Beberapa rumah makan mengakali fenomena ini dengan bayarin foodies-nya untuk ngepost fotonya berkali-kali, mungkin sekitar 4-6 post, dengan jeda waktu sekitar 2 minggu gitulah.
Tapi ya jadi PR lagi bagi marketing brand rumah makannya untuk monitoring foodies sewaannya itu buat posting tepat waktu di Instagram. Iya kalo yang disewa itu cuma 1-2 orang foodies. Lha kalo yang disewa sampai 10 orang, tentu makan tenaga juga.
Apalagi, foodies yang udah merasa punya followers bejibun seringkali pasang rate gede per postingnya, yang kadang rate-nya lebih gede daripada harga menu makanannya, xixixi..
Banyak juga restoran yang udah sewa food blogger sungguhan. Food blogger di Indonesia umumnya merangkap jadi foodie instagram juga, tapi mereka punya value tambahan berupa punya blog. Alhasil, kalau nyewa insan-insan kelompok ini, restorannya nggak cuman dapet review di Instagram doang yang lahan caption-nya cuma seuprit itu. Tapi juga dapet review sepanjang-panjang cerpen di blog.
Dampaknya? Sejauh ini manfaatnya baru terasa kalau posting sang blogger nongol di halaman satu hasil pencarian Google. Adanya review itu bikin calon pengunjung yang mencari brand restoran mereka menjadi percaya dengan servis restoran itu, sehingga itu memicu kunjungan.
Maka, sebetulnya food blogger itu terasa fungsinya ketika digunakan untuk memperkenalkan keunggulan suatu rumah makan, selama nama rumah makan tersebut sudah dikenal lebih dulu di publik. Misalnya, orang awam sudah pernah dengar KFC jualan rujak tapi belum pernah nyobain rujaknya. Ketika baca review-an seorang food blogger tentang rujak tersebut, maka ini yang menarik pengunjung buat dateng ke KFC tersebut.

Tapi begitu saya terbitkan artikel tentang Rawon Pak Pangat yang saya potret ini, orang-orang yang berencana ke Surabaya jadi bergairah karena ternyata untuk makan rawon tidak perlu jauh-jauh dari bandara.
Food blogger itu membuat orang yang semula tidak kenal akan suatu brand, menjadi kenal.
Tapi, kalau tujuan rumah makan itu menyewa food blogger untuk memperkenalkan brand rumah makannya kepada orang yang belum pernah dengar brand-nya sama sekali, hasilnya jarang kelihatan.
Misalnya ada rumah makan baru bernama Rumah Makan Ayam Kaepsi, lalu ngundang food blogger. Ini mau review blogger-nya nongol di Google AI Mode dengan pencarian kata Rumah Makan Ayam Kaepsi pun, belum tentu juga akan jadi banyak pengunjung dateng ke rumah makan baru tersebut. Soalnya, nggak banyak orang yang ngetik langsung dengan kata Rumah Makan Kaepsi di Google.
Sebaliknya, kalau tugas memasarkan rumah makan baru tak dikenal ini disodorkan kepada foodie, kemungkinan untuk memicu jumlah pengunjung yang dateng pun sangat besar. Karena foodie pada Instagram bergerak berdasarkan trend, sedangkan food bloggers pada Google bergerak berdasarkan pencarian keyword. Tanpa keyword yang lagi trending, food bloggers nyaris tidak terasa manfaatnya.
Saya jadi teringat keluh kesah sahabat-sahabat saya sesama food blogger Indonesia yang mengeluh soal ke-bubble-an tulisan kuliner tadi. Sekarang sulit menghajar hasil AI Overview di Google ketika kita me-review suatu restoran.
Sebab, umumnya hasil AI Overview sudah didominasi situs-situs media macam TripAdvisor, Quora, dan lain-lain semacamnya. Situs-situs ini memang punya skill SEO yang cukup kuat hingga bikin postingan review kuliner mereka bisa masuk AI Overiew, membuat artikel review para food blogger Indonesia jadi terkaing-kaing.

Salah satu strategi pemasaran yang kudu dikuasai food blogger itu juga SEO (dan Search Engine Marketing kalau perlu), supaya paham bagaimana mengalirkan kunjungan terus-menerus ke tulisannya.
Kalau tulisan blognya masih dibaca orang, blog ini akan lebih bermanfaat ketimbang sekedar posting foto kue cantik di Instagram.
Perilaku Kontroversial dalam Ekosistem Food Blogger
Beberapa rumah makan kecil kadang-kadang mengeluh juga soal kelakuan segelintir food blogger yang kerap kali aji mumpung. Pembicaraan ini saya anggap bias juga, karena ternyata sosok yang mereka keluhkan sebetulnya bukan food blogger, tapi hanya foodie yang nggak punya blog (baca lagi definisi blog di atas).
Sekali lagi seperti yang saya bilang tadi, rumah-rumah makan kecil ini umumnya belum punya pengalaman banyak soal pemasaran online. Jadi, mereka belum berpengalaman juga dalam urusan milih food blogger, apalagi milih reviewer yang kelakuannya sopan.
Seorang petugas humas dari suatu restoran kecil pernah ngundang seorang foodie untuk makan di restorannya. Ternyata sang foodie ini nggak cuma datang dengan pasangannya doang, tapi bahkan bapak ibu aa teteh uwak dan tante-tante yang naik mobil Kij..-nya juga dibawa semua. Restorannya kelimpungan karena ternyata mereka nggak nyiapin meja untuk pasukan yang dibawa sang instagrammer itu.
(Oke, saya rasa memang mestinya Public Relation-nya bicara sama foodie-nya tentang kuota seat sebelum kunjungan itu. Pembicaraannya termasuk apakah sepasukan mobil itu bersedia posting di akun sosmed masing-masing.)
Dan ternyata sang foodie ini malah minta makanannya dibungkus bawa pulang karena pasukannya nggak sanggup ngabisin makanan yang telah disediakan di meja.
Kejadian ajaib lainnya, sebuah rumah makan kecil ngundang sekelompok foodie untuk soft launching cabang usahanya. Ekspektasinya yang diundang itu ada 10 account Instagram, jadi yang mestinya dateng itu ya 10 orang, separah-parahnya 20 orang deh (jika satu orang instagrammer membawa pasangannya atau asistennya).
Tapi ada aja 1 orang foodie datang membawa teman atau saudaranya sampai 3-4 orang yang ikutan makan. Pemilik rumah makannya nggak bisa nolak dong, kan kudu tetap ramah sama pengunjung.
Namun 3-4 bala pasukannya sang foodie yang tidak ikut terundang ini tetap makan, tapi nggak posting ke account Instagram-nya masing-masing. Jadi mereka aji mumpung mintak makan haratis, gitu lho.

Food blogger kudu ngerti manner bahwa tidak semua restoran bersedia kursinya dipanjat. Sudah banyak sekali kejadian foodies mematahkan kursi karena kursinya tidak tahan berat badan foodie-nya ketika foodie-nya nekad memanjat kursi.
Saya sendiri pernah jadi saksi polah tingkah ajaib seorang foodie ketika diundang ke suatu launching menu suatu restoran. Ceritanya, restoran ini ngundang sekitar 20 food bloggers, termasuk saya. (Pada prakteknya, yang bloggers sungguhan cuma 5 orang. Sedangkan 15 orang lainnya cuma foodie yang kebetulan di profil Instagram-nya ada tulisan blogger, tapi aslinya nggak punya blog).
Setelah pidato basa-basi yang memulai acara launching lebih lambat 1 jam, akhirnya staf marketing-nya menyilakan para undangan untuk ambil makanan. Makanannya diambil sendiri-sendiri secara buffet, lalu kami tinggal motret masing-masing dan upload fotoya ke Instagram kami, kemudian makan makanan itu. Yang fotonya paling banyak like-nya, akan dapet hadiah.
Saya selalu ambil satu piring, potret, upload, lalu makan. Setelah isi piring saya habis, saya balik ke meja prasmanan, ambil piring lagi, ambil menu kedua, potret, upload, lalu makan. Begitu terus sampai perut saya kenyang.
Kok ya kebetulan meja di sebelah saya diisi oleh seorang foodie. Dia bukan blogger. Saya lihat dia ambil dua piring makanan, lalu dia taruh di mejanya.
Belum dia makan, dia balik ke meja buffet ambil dua piring lagi, kadang tiga sekaligus, lalu dia tumpuk di mejanya. Begitu terus, sampai-sampai mata julid saya berhasil menghitung bahwa di mejanya itu ada 10 piring.
Mungkin kalau mejanya itu lebih lebar lagi, dia akan isi sampai 15 piring. Setelah mejanya itu penuh, baru dia foto mejanya. Mejanya yang dia foto, dan foto meja penuh makanan itu yang dia upload ke Instagram. Baru dia makan.
Di akhir acara, 1 jam kemudian, diumumin ada 5 orang yang dapet hadiah karena likes-nya paling banyak, termasuk saya dan tetangga-saya-yang-mejanya-berisi-10-piring. Selesai kami terima hadiah, tetangga saya itu langsung beberes kameranya dan cabut dari restoran itu. Dari ke-10 piring di mejanya itu, yang makanannya masih utuh ada 8 piring.
Bangsyedt. Orang ini pasti bukan food reviewer, dia hanya seorang food fetish. Siapa coba yang mau makan sisanya itu?
Evaluasi Return of Investment Mengundang Blogger
Followers Bukan Indikator Utama
Saking gapteknya kalangan industri restoran kecil terhadap fungsi pemasaran online, maka tak heran banyak food bloggers di Indonesia seringkali gusar karena kehadiran mereka seringkali disamaratakan dengan foodie non-blogger.
Pemilik restoran seringkali menyangka food reviewer macam foodies instagram dan food bloggers kudu mendulang kunjungan ke restoran mereka. Soalnya, mereka menyangka jumlah likes yang terjadi pada posting Instagram akan berbanding lurus dengan jumlah kunjungan.
Food bloggers diharapkan bisa menampilkan visual foto yang menarik (ini oke sih) dan punya banyak pengikut (eh eh, pengikut asli atau robot nih?). Food bloggers yang merangkap sebagai food celeb-instagrammer umumnya bisa mengemban tugas berat-tapi-tidak-mulia ini. Tapi food bloggers yang masih tertatih-tatih dengan jumlah follower seuprit tentu pusing tujuh keliling kalau hasil likes foto mereka masih cuma 20-30 likes.
Padahal food bloggers nggak ngurusin likes yang cuma jadi metriks semu itu. Kehadiran mereka justru baru bisa dievaluasi value-nya menggunakan jumlah session, alias jumlah kunjungan yang dateng ke artikel review mereka.
Banyak banget food blogger yang ketika posting Instagram cuma bisa dapet paling banter 40 likes dalam seminggu. Tapi begitu mereka meluncurkan artikel blog mereka, artikel tersebut bisa dibaca oleh 3.000 orang secara progresif dalam setahun setelah kunjungan mereka ke restoran tersebut. Itu jumlah yang jelas jauh lebih worthy ketimbang 1.000 likes dari sebuah post seorang foodie instagram yang cepat terlupakan dalam tempo seminggu.
Makanya kalau rumah makan mau menyeleksi ngundang food blogger, yang mestinya ditanya duluan itu bukan jumlah followers sang blogger. Tapi yang kudu ditanya itu ya jumlah pageview yang bisa dihasilkan sang blogger dalam sekali posting dalam setahun atau kalo bisa ya dalam 5 tahun. Karena rumah makannya itu kan mestinya kepingin tetap dibicarakan orang ya dalam tempo 5 tahun ke depan sesuai jangka waktu izin usahanya, bukan cuma dibicarakan dalam 1 minggu doang.
Tapi ya yang namanya restoran masih dalam bisnis skala kecil, belum tentu juga pemiliknya bisa mempekerjakan seorang staf pemasaran. Apalagi mempekerjakan seorang staf pemasaran yang ngerti bagaimana mengevaluasi pemasaran online.

Teman ini berfungsi sebagai model yang sedang memakan makanannya.
Kalau saya cuma motret makanan tanpa tangannya sang model, rasanya foto itu nggak ada ceritanya.
Efek awareness yang ditimbulkannya kurang mantep bagi strategi pemasaran kuliner restoran itu, jika dibandingkan dengan foto makanan yang ada modelnya.
Kedalaman Konten dalam Food Blogging
Faktor kualitas konten juga sebetulnya menentukan apakah review dari food blogger akan menggerakkan kunjungan terhadap restoran itu atau tidak. Food blogger sekarang makin banyak. Maka untuk bisa mendeskripsikan servis restoran, tidak hanya sekedar butuh punya sebuah blog aja, tapi juga perlu dasar pengetahuan mendalam tentang makanan.
Food blogger mestinya bukan sekedar seorang foodie (alias orang yang sangat tertarik pada makan-makan). Tapi juga lebih baik lagi jika dia seorang gourmand (alias orang yang ngerti bagaimana menyajikan dan menikmati makanan sampai ke saripatinya).
Ini yang akan membedakan dia dari sekedar foodies biasa yang kebetulan punya account Instagram. Keahliannya dalam mengupas topik makanan yang dia nikmati akan membuat review-nya nampak lebih mudah dipercaya ketimbang review bayaran. Efeknya juga lebih tahan lama bagi branding restoran yang di-review-nya.
Miskomunikasi dalam Kolaborasi Komersial
Belakangan, ada lagi masalah lain yang bikin beberapa food reviewers gusar. Beberapa restoran kecil menyewa mereka untuk datang ke restoran itu, lalu minta reviewers ini tampilkan fotonya di profil Instagram masing-masing. Pulang-pulang, file foto aslinya diminta.
Kelakuan kayak gini kadang-kadang dianggap tidak sopan oleh para food reviewers yang merasa fotonya indah banget. Pasalnya, diduga keras para restoran ini minta file foto aslinya karena mau ditampilkan di katalog buku menu mereka. Atau minimal ya ditampilkan di account Instagram restorannya sendiri.
Sang reviewer jengkel karena:
1) nanti kalau fotonya tampil di buku menu atau di marketing tools restorannya, tidak akan dituliskan nama sang reviewer sebagai pembuat fotonya,
2) restorannya tidak membayar hak cipta atas file foto tersebut, namun hanya membayar jasa endorsement sang reviewer pada Instagram.
Bagi kalangan food blogger, kejengkelan poin 2) seringkali ditambah karena restorannya tiba-tiba meminta blogger-nya me-review restorannya di blog juga. Padahal perjanjian awalnya hanya berlaku untuk review restoran tersebut di Instagram saja.
Apakah para restoran kecil ini terlalu naif, sampai tidak memperhitungkan bahwa biaya endorsement dan biaya kepemilikan file foto adalah hal yang berbeda? Dan bahwa biaya endorsement pada Instagram dan biaya endorsement pada blog itu juga berbeda?
Beberapa pelaku industri rumah makan kadang sulit diajak ngomong soal ini, karena mereka mikirnya, “Kan cuma motoin, kok jadi ribet minta biaya sih?”
Lalu para food bloggers pun ketawa miris. Saya sendiri nggak ikutan ketawa miris, karena sebagai seorang food blogger itu saya cuma mikir sederhana:
- Kalo pemilik restorannya bisa moto makanannya sendiri dengan indah, mestinya gak usah minta orang lain buat motretin makanannya.
- Kalo pemilik restorannya merasa dengan fotonya sendiri lantas menu restorannya sudah cukup terkenal, mestinya gak usah belain ngundang food blogger demi motretin makanannya
Foto itu bukan sekedar foto. Foto suatu makanan dari suatu restoran itu bisa memicu orang awam untuk membuat keputusan apakah orang itu mau dateng ke restoran itu atau tidak. Maka setiap jepretan yang tampil di internet adalah suatu kekayaan intelektual yang punya value, jadi pembuat fotonya pun layak dihargain.

Bahkan usaha kuliner sekelas UMKM pun bisa menggandeng food blogger bagi strategi pemasaran mereka.
Tak perlu banyak-banyak, sebetulnya lima-enam orang sudah cukup.
Yang penting UMKM tahu tujuan strategi mereka, yaitu membuat orang yang tidak kenal menjadi kenal, membuat orang yang sudah kenal jadi ingin berkunjung, atau membuat orang yang sudah berkunjung jadi ingin beli, dan pada akhirnya ngerti bagaimana strategi mencapai tujuan tersebut.
Optimasi Kolaborasi Restoran dengan Food Blogger
Jadi, sebetulnya food blogger dan foodie instagram bermain di area yang berbeda, sehingga value-nya tidak bisa dibandingkan. 
Foodie instagram dalam jumlah banyak cukup manjur meningkatkan pengunjung restoran. Tapi karena efek hype-nya hanya berlangsung beberapa hari, maka penyewaan foodie untuk promo makanan perlu dilakukan terus-menerus. Jika kinerja foodie tidak dilakukan monitoring, misalnya dikontrol jumlah view-nya, jumlah reach-nya, jumlah link click-nya, maka menyewa foodie bisa jadi boncos bagi restoran tersebut.
Menyewa food blogger dalam jumlah banyak sebetulnya bisa mempertahankan jumlah kunjungan ke restoran untuk kurun waktu yang lama. Tapi perlu monitoring juga, antara lain dengan memastikan artikel yang dituliskan oleh blogger masih terus dibaca hingga kurun waktu lama. Restoran juga perlu menyeleksi mana tulisan food blogger yang bisa mencitrakan restoran tersebut supaya nampak unik daripada restoran-restoran kompetitornya. Meskipun kedengarannya lebih ribet, tetapi efek return on investment bagi restoran tersebut malah bertahan lebih lama.
Saya sendiri, kadang berpikir, baik foodie Instagram maupun food blogger mungkin akan bekerja jauh lebih keras jika mereka dititipi kode urchin tracking module (alias kode UTM) khusus. Kode ini bisa dipasang di website para food blogger, maupun dipasang di link in bio para food instagram.
Tiap blogger dan foodies akan dapat kode UTM yang beda-beda. Jika seseorang membaca posting para blogger ataupun foodies itu dan mengklik kode UTM-nya, maka akan terkirim sinyal ke website milik restoran yang bisa dilacak oleh restorannya.
Lihat cara mengecek pengunjung website untuk mengetahui apakah pengunjungnya datang dari website milik blogger atau malah datang dari Instagram.
Jadi bisa dilacak, siapa blogger ataupun foodies yang kodenya diklik, dan siapa yang enggak. Maka kelihatan siapa blogger ataupun foodies yang terbukti menghasilkan kunjungan publik menuju restoran yang menyewa mereka.
Saya masih optimis bahwa di kalangan food blog di Indonesia itu belum terjadi bubble. Yang ada hanyalah kita masih kekurangan food blogger yang bersedia belajar tentang mempertahankan eksistensi mereka di wilayah search engine.
Mengapa Food Blogger Perlu Tidak Diberi Makanan Gratis
Praktek menerima makanan gratis dalam industri food blogging ternyata bikin masalah etis yang lumayan merepotkan. Ketika seorang food blogger menerima makanan gratis, maka mereka akan merasa wajib memberikan review yang positif juga. Paradoks begini yang mengancam kredibilitas food blogger, padahal kredibilitas mereka yang membuat para pembaca percaya sama isi blog mereka.
Secara psikologis, bias timbal balik akan memberikan balasan positif ketika orang menerima sesuatu secara gratis. Ini bukan problem moralitas doang, melainkan juga mekanisme kognitif yang agak sulit dihindari. Bahkan food blogger yang integritasnya tinggi sekalipun juga akan kesusahan memberikan review yang beneran objektif ketika telah menerima layanan gratis dari restoran.
Normalisasi praktik makanan gratis telah membuat industri food blogging jadi amatir. Ketika mayoritas blogger dikompensasi dengan makanan gratis, maka standar servis yang profesional jadi terdistorsi.
Restoran-restoran akan mengekspektasi bahwa review yang bermutu bisa diperoleh dengan memberi makanan gratis, tanpa perlu membayar tarif yang pantas untuk membuat konten. Konsekuensinya, food blogger yang menolak makanan gratis dan menuntut tarif profesional seringkali dianggap “terlalu mahal” atau “tidak realistis”.
Food blogger yang ingin mempertahankan integritas profesionalnya bisa bikin bisnis model lain. Misalnya, dia bisa pasang harga profesional untuk jasa review, lengkap dengan transparansi keterangan tentang servis sponsored content.
Alternatif lainnya, dia bisa mengembangkan sumber pendapatan semacam affiliate marketing. Jadi sistemnya tuh, dia diberi kode khusus yang cuman dia muat di blognya. Kalau ada pembaca blogger-nya yang jadi customer ke restorannya nanti, pembacanya tinggal nyebut kode khusus supaya dapet harga khusus untuk menunya. Tapi petugas kasir akan nyatet berapa customer yang nyebut kode khusus itu, sehingga bloggernya mendapat fee sesuai dengan jumlah customer yang berhasil dia datangkan.
Apakah kamu kepingin tahu caranya biar nggak sampai terjebak pilih so-called-flu-influencers yang ternyata nggak punya influence? Ngobrol sama saya yuk. Cari saya di halaman berikut ini: About Vicky Laurentina

I am a blogger who love making content about planning and optimizing contents. Follow me in my Linked In and Instagram below.

menarik ini kaitan antara food blogger/foodie dengan urusan peningkatan bisnis. kalo dari istilah marketing, ada conversion rate-nya, dan seperti yang dirimu bahas, tujuan dari menyewa si food blogger/foodie ini apa.
aku sendiri jika jika diundang untuk menulis resto, ya sebisa mungkin memberikan informasi selengkap-lengkapnya, termasuk soal makanan dan pelayanan (kadang dipoles sedikit) dengan tujuan siapa pun yang nantinya mencari informasi terkait dengan si restoran atau menunya, nyangkut dan bisa memutuskan untuk datang atau tidak.
perkara konversi, sudah bukan tugas si blogger sebenarnya, karena memang tugas dia kan hanya memasarkan, ibaratnya memasang poster. kecuali jika si blogger disewa khusus untuk sampai terjadi konversi transaksi, sih..
anyway, dirimu mendapat Liebster Award dariku! silakan dicek https://matriphe.com/2020/05/10/mendapat-liebster-award.html
Konversi itu tidak selalu harus berupa transaksi, menurutku sih. Aku lebih menekankan tanggung jawab blogger untuk mendorong terjadinya Action. Action ini bisa berupa kunjungan ke restorannya. Ya memang tiap kunjungan pasti menghasilkan transaksi (meskipun cuma beli es teh doang).
Kalau sekedar memasarkan jangka pendek, kurasa kerja instagrammer masih lebih baik daripada blogger. Tapi untuk efek pemasaran jangka panjang, sebetulnya blogger memegang andil lebih banyak. Karena artikelnya bertahan lebih lama daripada sebuah posting Instagram.
Aku juga merasa lebih baik blogger diberi tanggung jawab tambahan untuk terjadi konversi transaksi. Supaya kinerja memasarkannya lebih kencang.
Ya ampun, Ron, masih ada aja ini Liebster Award! :)) Terima kasih yaaa
Wawww baru tau kelakukan ajaib para selebgram makanan yang asal ambil banyak makanan tapi gak dimakan, cuma di foto doang, apaaah. Sungguh eman eman. Gak tau apa sampah makanan sisa udah menuhi bumi, hiks. Dan baru paham dunia review makanan buat seorang kulinary blogger (bloger beneran maksudnya), hmm, makasih atas tulisan ini mbak. Dalem amat, mikir berapa lama sama risetnya ini? hehe *kepo amat loe sept :p
Risetnya dua tahun lebih. Anakku masih kecil waktu terjadi percakapan di paragraf pertama itu, hihihi.
Instagrammer (dia bukan selebriti, lha wong aku gak tau namanya) yang ngambil makanan tanpa ngabisin itu memang ajaib. Dan di situ pertama kalinya aku nyadar bahwa kelakuan content creator yang buang-buang makanan hanya “demi konten” itu memang nyata adanya.
keren banget artikelnya mb, indepth, kusuka, kusuka. Jadi inget2 kelakukan sendiri, obrolan sama bbrp pihak yg mengutarakan keinginan buat ini itu. Alhamdulillah sejauh ini, kalo aku diundang, selalu ku clearkan dulu antara posisi blogger, instagrammer or akun2 foodies gitu. Jadi ekspektasi si pengundang dan yg diundang at least ga jauh beda ya. Artikel ini bakal kutandai buat kurekomin mbak kalo diskusi soal ini dsb. Worth to read banget.
Terima kasih banyak, Prita. Aku memang menulis ini untuk membuka mata para pengundang creators supaya tidak salah membedakan antara fungsi blogger, fungsi instagrammer, dan fungsi foodies. Mereka memang bukan sekedar berbeda platform, tapi mereka memang berbeda tujuan. 🙂
I was in that position! Hahaha… Foodie yg punya blog dan pernah kerja sebagai marketing di restoran. Wkwkwk… Pernah mau undang food blogger sekaligus foodie IG tp biayanya lumayan mahal. Akhirnya si bos milih untuk posting di IG aja untuk awareness. Tapi emang sih walo likesnya rame, ya belum tentu ningkatin jumlah pengunjung juga. Emg sebenarnya IG dan blog tuh punya tujuan yg berbeda ya. Problemanya ga beda jauh sama di bidang beauty. Kalo mau instant ya IG is better, tapi kalo mau long last harusnya pilih blog.
Soal pengalaman foodie aji mumpung, untungnya sih ga pernah sampe liat langsung gitu ya. Waktu msh jd foodie kebetulan aku ketemu orang yg sopan2. Kalo diundang dan ga bilang kuota brp, setidaknya nanya dulu. Ini undangan 1 orang apa bole bawa temen. Kelewatan juga sih yang ampe bawa sekampung. Hadehh…
Anyway artikelnya menarik banget kak. Panjang tapi pembahasannya emang relate. Ga cuma bidang foodie aja sih kak, beauty blogger juga. Kdg brand mau blogger tp yg dipilih yg folsnya byk. Kalo gt cr aja influencer. Kasian blogger yg berkualitas tp ga kepilih krn folsnya rendah. Krn emg mrk kuatnya di artikel. Jadi kyknya beauty blogger pun hrs ikut genjot fols, pe-er lagi
Yah, artikel ini memang sebetulnya ditujukan pada para manajer brand sih, supaya nggak salah ngundang orang kalau mau menggenjot Likes dan Visits dalam jangka panjang. Karena kasihan kalau mereka nggak tahu bahwa pola algoritma Instagram dan blog itu berbeda, nanti lama-lama brandnya kolaps.
Kalau brandnya udah besar dan banyak modal sih bakalan tetap bertahan ya. Tapi untuk brand sekecil UMKM yang terperangkap paradigma “harus ngundang yang followers-nya banyak”, kasihan juga jika tidak mendapatkan edukasi marketing.
Terima kasih, Melissa, atas testimoninya sebagai ex restaurant marketing staff 🙂
Memang mencenangkan resto-resto yang undang seleb seleb buat foto makanan mereka diupload. Padahal search inten followers seleb tersebut ya bukan karena makanan jadi saya kira salah sasaran si kalo ngeluarin uang jutaan untuk endorse. Lebih baik resto tersebut mengembangkan bisnisnya dengan cara lain, misalnya berinvestasi pada sistem ERP terbaik untuk mendongkrak bisnisnya.
Meskipun saya belum ngerti ERP ini apa, saya setuju bahwa bayar jutaan hanya untuk lihat seleb upload foto makanan itu pemborosan. 🙂 Kecuali kalau yang diundang itu seleb ahli memasak. 🙂
Promo food blogger dan foodie instagram memang mantul foodie instagram ya mbak harganya juga murahan instagram hihihi (ini aku dengar langsung pas lagi chit-chat dengan teman yang punya usaha) aku iya-iya saja. Trus aku bilang enakan blogger dong sudah paket lengkap blog+3 sosmed, jadi food blogger nih sebenarnya masa depan masih cerah ya mbak
Ya, kalau ditinjau dari “return of investment”, menyewa seorang food blogger yang bisa memberikan layanan posting di 3 sosmed + 1 blog sekaligus, tentu lebih murah daripada menyewa seorang instagrammer yang cuma posting di 3 sosmed aja. Dengan syarat, operational cost-nya sama. 🙂
Ini benar banget, mbak. Kadang kasian sama brand yang salah target untuk promosiin brandnya. Tapi kebanyakan memang karena mereka nggak ngerti tools apa yang mau mereka gunakan untuk promosiin produknya. Jadi tools dan tujuan marketingnya suka gak singkron. Kasihan udah keluar budget marketing besar tapi nggak achive target.
Ya kan.. makanya mestinya para staf marketing brand jangan tergesa-gesa bikin promosi. Kebanyakan dari mereka memang lebih fokus pada cara promosinya, tapi lupa tujuan promosinya. Alhasil tools yang dipakai jadi nggak nampol deh.
Bismillah, komen ketiga, semoga kali ini masuk. Dari kemarin setiap habis klik “post comment” kok 403 terus. Kayak e masalah jaringan, heuheu.
Jadi, aku termasuk jarang nyari review makanan di blog. Paling-paling ke JTT atau blog-nya Ibu Paus itu kalau nyari resep atau trik memasak.
Kalau misal lagi keluar kota gitu lebih sering pakai google maps kayak Mbak Oline. Karena tujuannya cuma kenyang dan nyari yg lokasi dekat dengan posisi kita. Nah, kalau misal nyari tempat makan yang ada embel-embel unik atau legend, baru googling trus baca di blog. Soalnya butuh “cerita” dari tempat makan tersebut. Dan review kayak gini memang cuma bisa didapat lewat tulisan foodblogger, bukan foodies.
Tapi kayaknya fenomena event ngundang blogger tanpa nulis memang makin banyak. Makanya sekarang yang dicari yg followernya banyak kan, meskipun banyak juga yg followernya gak gede tapi PV gede kayak yg Mbak Vicky bilang.
Berarti.. kira-kira blogger baru dibutuhkan oleh restoran itu jika restoran itu merasa perlu menyiarkan keunikannya ya.
Kalau restorannya nggak unik, biasa-biasa aja, “just another restaurant”, yaa repot juga dong, wkwkwkkw. Mending jor-joran terkenal di awal usaha dengan disiarkan via foodies, kalo nanti boncos di akhir jalan ya wassalam. Karena aslinya juga nggak unik, jadi nggak usah terkenal sepanjang tahun sekalian.. :))
Wah, aku bacanya pelan2 sambil ngangguk2. Ooooh ya iya dong rugi bandar kalau si resto ujug2 minat file foto yg udh kita cekrek. Betul kata mbak Vicky, ngapain dia ngundang food blogger atau foodie kalau dia merasa bisa motret yg bagus dan marketingnya oke. Iya deh, banyak foodie yang cuma review IG tapi ngaku blogger eh ga punya blog pula. Cakep banget tulisannya. Juara dah kalo aku jurinya hahaha
Hahahaha.. ini bukan tulisan lomba, Teh Nurul :))
Cuma sampah pikiranku doang, xixixixi..
Habis ini, Teh Nurul mau kasih file foto liputan dengan gratis nggak?
Mengulas tempat makan dan makanannya sebetulnya masih memberikan trafict yang bagus. Tapi benar sih, untuk blogger seperti saya juga masih harus banyak belajar bagaimana mengulas makanan yang tepat.
Traffic-nya memang masih bagus, Mas. Asalkan tahu keyword yang jitu untuk memperoleh traffic bagus itu. Oh ya, perlu beberapa backlinks yang strategis juga.
Aku baru mikir tentang hak kepemilikan foto di sini. Aku juga pernah gitu, mbak. Sebuah rumah makan kecil ngundang beberapa food blogger. Setelah pulang, kami dimintai foto-foto mentahnya. Aku kasih.
Sebuah restoran besar bonafit juga pernah melakukan hal yang sama. Secara terang-terangan minta foto menu mereka yang aku potret untuk dipakai promosi resto tersebut. Dan parahnya aku kasih kasih aja tanpa mikirin hak cipta atas foto tersebut.
Makasih pencerahannya, mbak Vicky.
Tak apa, Mbak Uwien, setiap blogger selalu dalam fase belajar.
Termasuk kita sedang belajar kapan memberikan foto mentah, kapan menahan foto mentah untuk diri kita sendiri.
Yuk kita belajar bersama 🙂
Poin yang resto kecil/umkm biasa yakut ngundang food blogger karwna khawatir masalah biaya, bener banget. Seringkali dengar cerita ini dari teman UMKM
Ulasan yang menarik banget mba Vicky. Pemilik resto baik besar atau kecil harusnya baca ini dulu sebelum memutuskan mau ngundang2. Btw sy suka kesal kalau foodies ini ngaku2 blogger hehehe sering sekali foto mereka muncul dengan caption food blogger
Nah, itu. Nggak punya “blog”, tapi ngaku-ngaku food blogger, selalu bikin saya ngernyit.
Iya sih saya ngerti Instagram itu sering disebut microblog, tapi bagi lingkungan digital marketing, value blog dan value microblog itu tidak bisa disejajarkan. Yang satu itu postingnya pro Search Engine, yang satunya lagi itu postingnya pro trend jangka pendek.
Yang bener ajalah.
Kalo aku kalo mau ke suatu resto pertama kali aku akan baca google maps review dulu. Why? Krn lebih trust.
Kedua, aku akan cari tulisan review di google. Random aja sih, gak hrs page 1. Yang kira2 honest review aja. Kan keliatan.
Kalo ditanya food review siapa, gak ada yg spesifik.
Pas baca Foodie yg bawa keluarga sekampungnya ikutan makan, itu aku auto ketawa sih, itu baru aja menunjuk dirinya sebagai Foodie, ato memang ga tau malu banget 😀 ? Tapi pas baca yg ambil makanan sampe 10, tapi yg dimakan cuma 2, duuuuuh itu mau marah deh -_- . Paling bencii aku kalo Nemu orang yg buang2 makanan gitu. Dan ga kebayang itu sisa makanan harus dibuang 🙁
Seperti biasa, tulisanmu detil bangetttt :). Jadi secara jk panjang, dan untuk resto yg sbnrnya udah dikenal, tp mungkin ada menu baru yg mau diperkenalkan, LBH untung memakai food blogger yaaa, karena masalah keyword di google td. Oke noted..
Papaku yg punya usaha bakery di Medan, awal2 dulu memperkenalkan bakerynya lwt promosi radio :D. Menurut dia LBH banyak didenger orang . Tapi mulai dr THN lalu, dia mulai pakai jasa Foodie IG untuk mempromosikan tempatnya. Walopun yg promosi melalui iklan radio tetep dipake tuh :D. Sempet beberapa kali minta aku nulisin bakerynya di blog, tapi aku blm mau. Ga enak nulis usaha keluarga sendiri hihihihi.. kuatir ga bisa mereview secara jujur :p.
Mungkin ya.. target konsumen dari bakery keluarganya Fanny adalah orang-orang tertentu di Medan, dan kebetulan jenis orang-orang ini sama dengan orang-orang di Medan yang senang mendengarkan radio. Makanya jalur marketing yang dipilih ya melalui radio. 🙂
Kalo gak bisa mengucapkan satu nama spesifik, kayaknya memang para foodblogger perlu melakukan awareness atas nama domainnya dengan lebih baik lagi ya, Mbak.