Mencopot Status Sosial

Semalam, seorang ibu curhat di tivi bahwa anaknya yang udah kerja di bank dengan penghasilan cukup akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dan berusaha di bidang lain. Sang ibu keberatan kenapa anaknya harus meninggalkan pekerjaan itu. Menurut dia, dia kan berasal dari “kampung”, jadi dia berpendapat kalau seseorang kerja di bank, orang itu akan dapet status sosial yang tinggi. (Sampai di sini, gw agak bingung mengkorelasikan antara “berasal dari kampung” dengan “berpikir bahwa kerja di bank = status sosial tinggi”).

Apakah kerja di bank itu = status sosial tinggi? Kalau seseorang kerja jadi tukang sapu di bank, atau jadi satpam di bank, itu status sosialnya tinggi, nggak? Sebenarnya status sosial tinggi itu apa sih?

Hasrat orang tua untuk punya anak yang memeluk status sosial tinggi itu sebenarnya udah dibentuk semenjak kecil. Coba bayangin, anak dimotivasi supaya jadi ranking 1 di SD -> supaya keterima di SMP favorit -> gampang masuk SMA favorit-> gampang masuk kampus bereputasi bagus -> mudah dapet pekerjaan -> dapet kedudukan -> status sosial tinggi. Jalur ini familiar banget buat gw, apakah ini familiar juga buat Anda?

Pengalaman ngobatin pasien-pasien berjabatan tinggi bikin gw percaya bahwa kedudukan nggak selalu bisa menolong kita dari bencana kesakitan. Gw pernah didatengin seorang pensiunan kolonel di sebuah kursi roda yang mengeluh sakit punggung. Dia ngidap hernia nucleous pulposus, yang menyebabkan dia nggak bisa berdiri buat gendong cucunya yang masih balita. Kata boss gw yang dokter bedah saraf, si pasien kudu dioperasi supaya punggungnya normal lagi. Riwayat medisnya bilang dia sempat cari pertolongan ke rumah sakit bagus di kota, sebelum akhirnya dia memilih dioperasi di rumah sakit sederhana lantaran asuransi kesehatan pegawainya berlaku di situ. Gw paham bagaimana preferensi seseorang dalam memilih tempat pelayanan kesehatan bisa berubah kalau urusannya sudah menyangkut uang.

Yang gw pikirkan, orang kalau udah jadi kolonel mestinya ya udah berjasa besar buat negara, mbok ya menikmati hasil kerjanya dengan pelayanan kesehatan di tempat yang bagus seperti hotel, bukan akhirnya bergantung sama asuransi. (Gw nggak bilang bergantung sama asuransi kesehatan itu jelek lho ya. Tapi kalau lagi ngomongin kualitas pelayanan hospitality di negeri kita, jangan berharap sama asuransi kesehatan.) Status sosial yang tinggi, menurut gw ya dirawat dengan pelayanan kesehatan yang kualitasnya paling bagus secara total, mulai dari konsultasi pertama sampai pemulihan operasi terakhir. Tapi nampaknya Pak Kolonel belum termasuk golongan yang mampu untuk itu. Padahal status sosialnya sudah tinggi, kan? Dan apa sih yang diinginkan laki-laki pada usia segitu? Meluk cucu kan?

Nyambung pada kasus anaknya si ibu, gw terhenyak jika orang berpikir bahwa berusaha sendiri tidak akan bikin status sosial tinggi. Aneh. Justru pasien-pasien gw yang rata-rata menyatakan sanggup bayar pelayanan yang berkualitas tinggi, malah berasal dari golongan pengusaha, bukan dari golongan pegawai. Mereka rata-rata boss, bukan karyawan.

Tulisan ini bukan buat mengkontroversikan penyesalan si ibu karena anaknya lebih seneng jadi pengusaha ketimbang jadi pegawai bank. Tapi gw menggarisbawahi, “Mengapa si ibu harus menyesal?” Anak kepingin jadi boss, mbok ya mesti didukung, bukan diharapkan jadi pegawai. Pada dasarnya, kalau seseorang nggak enjoy kerja di situ, (entah itu bank, atau angkatan bersenjata, atau kantor entah apalah), biarpun dia sampai di tahap menjadi direktur pun (yang notabenenya pasti status sosialnya tinggi), maka sampai kapanpun dia nggak akan pernah bahagia. Pertanyaannya sekarang, kita mau ngejar bahagia, atau cuman mau ngejar status sosial yang tinggi?

Dan orang-orang yang pinter akan berkata, kenapa kita nggak dapet dua-duanya aja, ya bahagia, ya status sosial tinggi? Jawaban gw, kenapa tidak? Dan untuk menjadi bahagia dengan status sosial tinggi itu, tidak perlu setengah mati sekolah hanya supaya diterima jadi pegawai kan?

Jangan pernah mengharapkan anak berhasil di bidang yang Anda inginkan. Sebaliknya, dukunglah dia berhasil di bidang yang dia inginkan. Boss yang paling pantas buat diri kita adalah diri kita sendiri, jangan mengharapkan orang lain untuk jadi boss buat diri kita.

22 comments

  1. Gw dulu didoktrin bukan buat dapet duit banyak. Gw disuruh jadi dokter, coz itu profesi yang long-lasting dan nggak kenal pensiun.

    Orang pensiun jadi direktur dan dia diam aja di rumah, nggak ngapa-ngapain. Tapi kalau dokter umur 90, tanda tangannya masih legal buat nulis resep obat flu.

    Dan kalau gw ngelihatnya sih juga orientasi akhirat. Kalau Tuhan ngijinin, di dunia dapet duit karena jasanya dibayar, di akhirat dapet pahala coz nolong orang sakit..

  2. luvly7 says:

    Jadi inget satu hal … dulu sering kita dikasi tau, kalo anaknya punya cita2 kudu jadi dokter, biar bisa punya duit banyak dan bukan biar bisa nolong banyak orang.

    Makanya, kalo sekarang banyak dokter2 matre, jangan salahin dokternya, tapi salahin ortu dan lingkungan yang udah mendoktrik si dokter dari kecil

    *catatan : dokter Vicky Laurentia tidak termasuk dokter yang matre tadi looh ;)* hahahhahahaaa

  3. Berarti kalau mau penghasilan makin besar, ya harus makin berani nanggung resiko ya Mi?

    Tinggal kitanya aja yang mesti milih, mau jadi boss atau jadi pegawai. Gimana kalau kita jadi pegawai aja biar arus kasnya stabil, tapi punya mental bos yang berani menanggung resiko kena sikut?

  4. fahmi! says:

    jadi boss itu mungkin nampak keren. tapi untuk bisa keren itu memang usahanya mesti keras, dan resikonya juga besar.

    jadi pegawai itu mungkin penghasilannya nggak segede boss, tapi aman dan bisa dikalkulasi secara rutin arus kasnya.

    beberapa orang pingin dan coba jadi boss, mesti ngalami pelajaran pahit soal sikut2an dan penipuan. tapi memang demikianlah hidup di dunia.

  5. Well, aku nggak sepakat dengan gaya berpakaian Bob, tapi aku mufakat dengan semangat mandiri finansialnya, hehehe.

    Profesi dokter masih membanggakan sejauh ini, Mbak. Soalnya kami bisa memprediksi mana orang yang sehat dan mana yang calon penyakitan, hehehe. Tapi kalau dokternya keseringan jadi budak sistem kesehatan yang morat-marit, aku nggak melihat profesi dokter itu membanggakan lagi..

  6. Memang pola pikir zaman dulu sudah perlu dirubah, Vik. Dulu, orang bangga sekali kalau bisa kerja di bank, pakai dasi, setelan necis. Nggak perduli kerja di bidang apa. Yang penting di bank.

    Padahal sekarang, orang sudah mulai berlomba-lomba untuk jadi pengusaha alias boss, yang melepaskan dia dari kewajiban memakai seragam dan segala tetek bengeknya. Lihat saja Bob Sadino. Kemana-mana, anteng aja dengan celana pendeknya. Itu baru namanya boss… Hehehe..

    Btw, dulu, profesi dokter juga termasuk yang paling dibanggakan loh, Vik. Sekarang gimana? Bangga nggak? 🙂

    Risma

  7. Aku mbaca komentar Mbak Fanda ini sambil nonton Robert Tantular diintimidasi parlemen, hehehe. Mendadak aku kesiyan pada orang ini. Dia jadi direktur pada bank yang salah.

    Jadi pegawai itu nggak salah. Tapi jadi orang yang bermental pegawai itu yang nggak baik.

    Tidak baik jadi orang yang memasrahkan satu-satunya nasib di tangan orang lain. Bolehkah kita membangun nasib menjadi orang yang diatur oleh diri sendiri?

  8. Fanda says:

    Aku jd teringat perkataan pak Kwik Kian Gie, bahwa mayoritas masyarakat kita (terutama yg generasi tua) masih bermental 'inlander'. Menganggap jadi pegawai itu tujuan akhir karena kemapanan (maksudnya gajinya kan udah pasti). Pdhal menurutku justru karir sbg karyawan itu sangat riskan. Soalnya bisa aja kita udah kerja dgn baik, mati2an tp bos kita krn sesuatu hal ga suka dgn kita. Akhirnya kita dipecat.

    Atau ada kolega yg iri, kita difitnah, akhirnya kita dipecat. Atau semuanya udah berjalan dgn baik, tp perusahaannya tiba2 bangkrut, kitapun di-PHK. Jadi, menjadi karyawan itu berarti kita memasrahkan hidup kita dan keluarga kita di tangan org lain.

    Menjadi pengusaha, sebaliknya, berarti kita benar2 mengontrol diri kita sendiri. Itulah status sosial paling tinggi menurutku. Percuma kerja di bank sbg direktur yg gajinya gede, tp begitu ada kasus dgn banknya, tiba2 hrs jobless. Mending jd pengusaha kecil2an tp ga ada yg bisa memecat kita! Tul ga??

  9. Terima kasih udah berdiri di sepatunya si ibu, Mas Yans. 🙂

    Susah ya, Pitshu. Memangnya kalau di sekeliling kita banyak orang, apakah semua ekspetasi mereka kudu dipenuhin satu per satu?

    Mbak Reni, kayaknya kita punya satu pemikiran tentang ketakutannya si ibu. Sebenarnya ketakutan itu bisa diatasin kalau kita mempunyai manajemen resiko yang baik. Misalnya, jangan sekonyong-konyong melepaskan pekerjaan yang sudah ada kalau penghasilan dari bisnis belum menentu. Atau hal-hal lain seperti itulah.

    Tapi, Mbak-mbak, di sini aku mau menekankan, impian anak buat jadi apa yang dia inginkan, jangan dihalangi orang tua cuman gara-gara orang tua yang ketakutan.

  10. Si ibu hanya berpikiran sederhana. Bukankan ia berasal dari kampung?! Kerja semacam itu, tentu sebuah prestise bagi si ibu. Kebanyakan pekerjaan semacam itu yang mereka dambakan yang dibayangkan bisa lebih menjamin masa depan.
    Soal pengobatan, mantab! saya pun sepakat dengan Vicky.

  11. Ternyata bagi sebagian besar masyarakat kerja di kantoran (entah sebagai apa)… adalah sebuah status sosial yang tinggi ya..?
    Mungkin bagi si ibu tadi khawatir kalau dg jadi pengusaha (apalagi baru mulai merintis) takutnya penghasilannya masih belum menentu, beda dengan pegawai yg pasti dapat gaji tetap…

  12. Pitshu says:

    jadi manusia itu susah, klo cuek, dibilang na… " kita ga hidup di hutan, disekeliling ada banyak orang "
    klo soal memaksakan kehendak, kek na dd g lagi kena impact na, akibat si Cc 🙁

  13. Wijna, kalau cuman tutup kuping kepada kemauan pasar, itu gampang. Tapi kesiyan kan kalau tutup kuping kepada ibunya sendiri?

    Iwan, tentu saja ide si ibu tentang status sosial tidak seluas itu. Sekarang kita ngerti gimana sempitnya cakrawala pikiran orang tua bisa menuntun kepada terbatasnya anak untuk hidup menurut pilihannya sendiri.

    Depp, sebagai seorang pegawai bank, apakah lu merasa status sosial lu udah tinggi? Coba dijelasin ke si ibu itu, hahaha.. Mario pinter banget, membalikkan pertanyaan penontonnya sendiri. Turut simpati kepada si ibu yang terperangkap atas mindset-nya sendiri, semoga anaknya bahagia dengan pilihannya sendiri biarpun ternyata dia bikin hati ibunya jadi "susah".

  14. depz says:

    aha.. gw jga ntn acara itu semalam vik

    dan gw (seorg yg krja d bank) pun geli sendiri dgr curhat si ibu. apalagi wkt dia bngng pas dtnya MT.

    ternyata (buat sbagian masy) memang status dan imej itu msh 'lebih Penting'

  15. Mungkin ibu itu tidak sadar bahwa apa yang dilakukan anaknya bukan berarti kehilangan status sosial. Bukankah menjadi pengusaha juga usaha mencapai status sosial? Jika menilik dari definisinya, status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (Ralph Linton). Status sosial tidak terhindarkan dalam kehidupan masyarakat, karena selain penyamaan, masyarakat dalam pergaulannya juga membutuhkan pembedaan. Ada orang dijadikan kepala suku, pasti ada warga suku (Assigned Status). Dalam kasus ini, anak yang sudah kerja di bank, mau berusaha dari awal lagi sebagai pengusaha. Si ibu tidak perlu kawatir. Pengusaha juga masuk jenis status sosial, malah dalam kelompok yang sama dengan bank (Achieved Status). Jika usahanya berhasil, si anak akan mendapat status sosial yang tinggi juga. Justru ini yang harus didukung, kenapa seseorang yang sudah punya status sosial tinggi mau mulai lagi dari nol. Hanya ada satu alasan: ingin meraih hak dan kewajiban yang tinggi dalam masyarakatnya, tapi hak dan kewajiban yang sesuai dengan keinginannya. Langka yang mau seperti itu.

  16. mawi wijna says:

    Tutup kuping ajalah mbak Dokter. Kalau menuruti "kemauan pasar" itu ndak bakal pernah habis. Yang penting kita bahagia menjalani hidup dan berkontribusi untuk masyarakat.

  17. Menarik sekali, Pak Sugeng. Nampaknya kita mesti punya banyak pengalaman, bergaul dengan orang beda-beda, dan kenal banyak lingkungan ya, supaya cara pandang kita terhadap status sosial itu nggak muter-muter di situ-situ aja.

  18. BIG SUGENG says:

    Pengalaman hidup. pengalaman pergaulan dan kondisi lingkungan sekitar akan sangat berpengaruh dengan cara pandang tentang "status sosial" dan ini akan selalu berubah.

    Di desa saya dulu orang akan merasa bangga bila pakai motor dinas plat merah, sekarang mungkin orang akan berfikir beli motor nggak mampu malah bawa motor kantor.

    Orang akan berani keluar uanga ratusan juta rupiah hanya untuk menjadi peserta pemilihan kepala desa, padahal apa yang didapat?

    inilah uniknya "status sosial"

Tinggalkan komentar