“Aku lagi spaneng,” curhat seorang teman beberapa hari yang lalu ke saya via Whatsapp Messenger.
“Kenapa?” ketik saya sambil ngawasin anak saya yang lagi bikin garasi dari lego buat mobil-mobilannya.
“Besok ada undangan selametan perusahaan opo gitu di Spazio, tapi ngirim undangannya mendadak. Sebelnya, undangannya itu pakek dresscode. Aku disuruh pake batik.”
“So what geto loh?”
“Yaa itu masalahnya. Batikku masih dicuci. Masih dijemur. Sudah dua hari belum kering-kering. Tau sendiri Surabaya ujan terus.”
Saya manggut-manggut. Memang akhir-akhir ini begitu. Semenjak topan Dahlia atau topan Cempaka gitu, Surabaya dirundung hujan melulu di siang hari. Ini malah fenomena alam karena dari dulu Surabaya jarang hujan saking panasnya. Mataharinya di Surabaya memang ada 6. I’m not kidding.
“Mbok ya pergi ke ******* ******* sana,” ketik saya sambil ngusulin toko dress batik yang rada cakep di mall.
“Abis dong duitku nantik?”
“Yaa sudah. Pergi ke *** aja,” kata saya sambil ngusulin sebuah pusat perbelanjaan kelas ekonomi menengah ke bawah yang satu lantainya penuh dengan kios batik.
“Emoh ah. Nantik luntur semua kalok dicuci.”
“Lha habis gimana? Mosok mau aku pinjemin daster batikku yang dari Bringharjo? Masih baru disetrika lho, ada gambar kembang-kembangnya. Ada bukaan depan pula, bisa buat menyusui.”
“Siyalan.”
“Wkwkwkwkwkwk”
Batik Dirindukan, Tapi Segan Dimiliki
Begitulah cewek, kalau sudah urusan pilih-pilih baju untuk mau menghadiri acara gitu, pasti dia akan mengeluh “Aduh, aku nggak punya baju..” padahal lemarinya seabrek. Tetapi bukan itu yang mau saya tulis sekarang.
Anda punya batik kan? Saya yakin Anda punya. Pertanyaannya, apakah Anda puas dengan batik yang sudah Anda punya?
Gegara pembicaraan dengan teman saya di atas, saya jadi tergelitik dengan persoalan teman saya yang merasa kekurangan baju batik. Dengan berjamurannya toko-toko batik di sekitar rumah kita, ternyata nggak membuat kita gampang merogoh kocek untuk beli batik banyak-banyak. Saya bahkan punya banyak teman yang rela merogoh kocek buat makan di Duck King tiga kali seminggu, tapi saya nggak punya teman yang mau beli baju batik lebih dari sepotong dalam sebulan. Padahal kan lebih mahal makan di Duck King tiga kali seminggu ketimbang beli dua potong batik tulis? Ada apa dengan batik?
Saya pun jadi iseng mencoba bikin riset kecil-kecilan berupa survey ke teman-teman saya di berbagai kota. Saya ingin tahu kenapa orang sungkan untuk beli batik banyak-banyak.
Hasilnya, banyak yang mengeluh bahwa merawat batik itu nggak segampang merawat pakaian biasa. “Warnanya mulai pudar dan kusam,” keluh @galeriarni, seorang kepala sekolah di Bogor, mengomentari macam-macam batik di lemari bajunya.
Dia benar. Tidak banyak orang tahu bahwa yang namanya nyuci batik itu nggak boleh disatukan dengan baju-baju kita yang non-batik. Kalau nekat dicucikan, lama-lama warnanya jadi mbladus. Tapi membuat sesi pencucian tersendiri buat batik berarti makan waktu, padahal kita kan kerjaannya banyak, nggak cuman laundry doang.
Kawan saya lainnya, @lipartic, pun menjawab dari segi finansial, “(Batik) yang tulis itu mahal.” Pengusaha gamis ini sendiri baru punya batik sebagai baju untuk di rumah aja.
Iya lah. Nggak semua orang mau menaruh batik tulis sebagai prioritas dalam membeli pakaian. Kalau boleh mliih, pasti semua orang akan beli batik printing aja karena harganya lebih murah. Atau batik cap.
Seorang juru hitung pajak di Surabaya yang bernama @wiwidwadmira, menjawab lain lagi. “(Batik dengan) model dan corak yang bagus, harganya terlalu mahal.” Senada dengan @raniyulianty yang juga bilang, “Harga yang mahal, dan model yang itu-itu aja.”
Siapa setuju nih kalau desain baju batik yang ada cuman itu-itu aja? Pasti banyak yang ngacungin tangan.
Filosofi Makna Macam-macam Motif Batik Indonesia
Begitulah, ternyata tekanan ekonomi bikin gap yang besar antara keinginan memiliki batik yang kualitasnya bagus (baca: nggak kuatir warnanya mblegadus meskipun sering dicuci pakai bolak-balik) dengan ketebalan kocek di saku kita. Nggak heran, orang jadi rame-rame beli batik cap karena nyucinya nggak ribet.
Tetapi ketidakribetan mencuci itu ternyata harus dibayar mahal. Baju batik yang sering dicuci ternyata warnanya jadi cepet mbulak dan kusam. Ketika baju bulak ini dipakai, pakaian ini nggak lagi seindah ketika kita baru membelinya di toko. Akibatnya, motif batik ini jadi berkurang keindahannya. Kita yang memakainya pun jadi kelihatan seperti pakai baju murahan atau baju pasaran. Intinya, baju batik pun jadi nggak eksklusif lagi.
Padahal kan bukan efek itu yang kita inginkan ketika kita memutuskan pakai batik. Siapa yang setuju sama saya kalau seni batik itu indah lantaran guratan-guratan motifnya sarat filosofis makna? Ketika pengrajin batik itu membuat motif batik, dia (dan kita) mengharap pemakainya akan nampak lebih anggun dan lebih cantik, bukan seperti ibu ketua dharma wanita sedang membacakan pidato sambutan acara bakti social yang membosankan. Keanggunan pemakainya itu terpancar dari motif-motif batik (tertentu), dan efek ini yang tidak akan nongol dari pakaian lain yang motifnya bukan batik.
Saya ambil contoh batik ya, berupa batik motif sekar jagad, dengan gambar batik unik berisi macam-macam kembang yang cantik dalam satu lembar kain. Ketika kain ini dipakai pada pakaian, maka pemakainya akan kelihatan memesona seolah-olah dia ditumbuhi kembang di sekujur badannya.
Lalu lihatlah perempuan-perempuan yang memakai batik motif parang klitik, ketika sedang bicara di podium membacakan ide-idenya. Orang yang menontonnya akan tidak sengaja melihat gambar batik berupa pola deburan ombak yang tidak putus-putus di pakaiannya, sehingga perempuan yang memakai ini akan kelihatan bersemangat seperti mau bekerja sungguh-sungguh.
Bahkan ibu-ibu lansia yang datang dalam balutan batik motif turuntum, akan kelihatan seperti ibu-ibu dengan aura keibuan yang mau menuntun anak-anaknya dengan penuh cinta kasih. Motif kembang-kembang kecil di batiknya itu menyiratkan memori tak sadar pada benak orang-orang akan kasih sayang. (Dan itu sebabnya kenapa motif ini lebih pantas dipakai ibu-ibu daripada dipakai gadis-gadis yang belum menikah).
Seberapa Paham Kau dengan Batikmu?
Pengetahuan tentang macam-macam motif batik Indonesia seperti inilah yang rupanya nggak dimiliki banyak orang, dan sayangnya bikin orang jadi sembarangan membeli batik. Tanpa ngerti makna motif batik tersebut.
Hampir semua orang Indonesia punya batik. Mereka punya baju batik untuk pergi jalan-jalan makan es krim di mall. Yang kerja kantoran bahkan punya baju batik langganan yang mereka pakai tiap minggu ke kantor. Dan banyak juga yang punya batik murah-murah yang dipakai sebagai daster atau sekedar celana monyet di rumah. Dan yang paling istimewa, hampir semua orang punya pakaian batik khusus untuk pergi ke kondangan.
Tetapi cuma sekitar 25%-nya yang paham motif apa pada batik mereka. @galeriarni, contohnya, selain di lemarinya ada batik motif mega mendung, ia juga punya batik motif parang rusak, motif kawung, dan motif sekar jagad. Kawan saya @annelesmana yang kini mengelola bisnis homestay dari rumahnya di Pandaan, bahkan punya motif truntum, plus motif khas Banyuwangi, yaitu motif gajah oling. Kolega saya yang ahli rehabilitasi medis, @prasdr.official, bahkan menyimpan batik motif sidomukti di lemarinya (dan saya penasaran kapan dia mau pakai motif batik cantik itu).
Lain-lainnya, kalau ditanya bajunya itu motif batik apa, maka mereka cuma bisa jawab “ini motif daun”, “ini motif kembang”, dan jawaban-jawaban lain yang mengingatkan saya akan jawaban anak TK. Sebagian besar malah baru bisa bilang lokasi pembelian batiknya, misalnya “Ini motif garutan”, “motif Madura”, “motif Jogja”, tapi nggak bisa menjelaskan kenapa suatu motif tertentu bisa diasosiasikan dengan daerah geografis tertentu. Bahkan ada yang dengan jujur ngaku nggak tahu batik yang dimilikinya itu motif apa. Teman saya, @riscagrammin, arsitek asal Bandung yang kini menetap di Singapura, menjawab lugas bahwa dia tidak tahu motif apa pada baju batik yang biasa dia kenakan untuk acara formal. Buatnya, selama tampang busananya bagus, dia akan beli.
Kelebihan Produksi Batik, Kekurangan Pembeli, Kegagalan Industri Batik
Persoalannya, ketidaktahuan kita akan macam-macam motif baju batik yang kita punya sendiri itu, sedikit banyak kasih andil kenapa industri batik di Indonesia nggak maju-maju. Atau kasarnya, sebetulnya batik di Indonesia itu nggak selaris yang kita harapkan. Kenapa?
Sentra-sentra batik di Indonesia itu sebetulnya banyak banget, bertebaran di seluruh penjuru Indonesia, dari Lampung sampai Papua. (Maaf, kalo ada batik Aceh, tolong saya diingatkan.) Tetapi dari sekian banyak produksi batik, nggak semua batik itu laku. Atau lebih tepatnya, nggak selalu batik yang dihasilkan itu bisa memberi makan penghidupan para pengrajinnya. Meskipun, sepertinya semua orang Indonesia mencintai batik.
@mysukmana, travel content creator asal Solo berpendapat bahwa batik sebetulnya sekarang masih laku. Tapi masalahnya.. “..banyak batik KW sekarang,” katanya. Produksi batik di Indonesia di jaman now, terganggu lantaran banyak produsen lain menyaingi dengan menjual batik-batikan.
Kawan saya @pejalankece membenarkannya. “Terkadang (batik yang banyak dijual itu) harganya terlalu mahal. Padahal kain tersebut bukan batik tulis, melainkan menggunakan mesin seperti halnya kain-kain lain pada umumnya. Hanya saja, motifnya batik,” katanya. Kain bermotif gambar batik begini ini yang dikira konsumen sebagai batik sungguhan, lalu diserbu orang-orang untuk mereka beli. Ini yang bikin batik tulis jadi kalah laris ketimbang batik cap.
“Mahal, mungkin ya, terutama untuk batik tulis. Padahal, pengrajin batik tulis dapatnya nggak seberapa,” curhat @carolinaratri, kawan saya yang kebetulan seorang cucu pembatik tulis di Solo.
Komersialisasi yang Lebay
Berikutnya, produsen batik (KW) pun melihat animo masyarakat yang begitu tinggi, sehingga produksi batik cap-capan pun diperbanyak.
Yang repot, motif gambar batik ini dijiplak, tetapi filosofi motifnya nggak ikutan dijiplak. Ambil contoh nih ya, tahu batik motif mega mendung kan? Motif mega mendung ini asalnya dari Cirebon, berupa awan dengan garis-garis tegas dan tepian gambar awan ini berwarna biru tua. Indah kan? Dulu batik mega mendung ini cuma dipakai orang-orang yang dihormatin, biasanya karena mereka tajir dan sering kasih-kasih bahan pangan ke orang banyak. Karena apa? Karena gambar tepi awannya berwarna biru tua. Awan berwarna biru pertanda mengandung air hujan. Hujan itu menyuburkan tanah, menyebarkan rejeki. Orang yang pakai baju yang ada awan biru tua berarti bisa kasih rejeki ke banyak orang lain.
Tetapi karena permintaan konsumen yang begitu banyak, produsen batik cap-capan pun bikin kain bermotif mega mendung dengan macam-macam warna, ada awan yang warna pink, warna kuning, warna ungu, dan entah warna apa lagi yang mengingatkan saya pada warna-warna angkot di Bandung. Yang makai pun karyawan sampai anak sekolah pun dikasih seragam batik motif mega mendung, warna pink pula. Lha memangnya anak sekolah sudah bisa kasih sembako ke orang banyak? Dan sembako macam apa yang diberikan dari awan berwarna pink..?
(Sekarang sudah cukup banyak pengrajin batik tulis yang menjual batik mega mendung dengan warna pink. I just don’t like it.)
Contoh lain, tadi pagi waktu belanja di supermarket, saya papasan dengan ibu-ibu pakai kulot bermotif batik parang barong. Motif parang barong itu sebetulnya bagus ya kalau gambar parangnya vertikal lurus, karena parang itu berarti pereng alias lereng atau tebing yang undak-undakannya dari atas ke bawah. Orang yang pakai motif parang nampak seperti pekerja keras yang bersemangat, seperti debur ombak yang terus-terusan berusaha memecah tebing yang tinggi.
Tetapi desain batik modern pada baju si ibu ini, sori dori mori, mengacaukan filosofi lereng itu. Si ibu sepertinya mendapatkan kain batik parang barongnya dalam keadaan masih berupa kain, lalu menjahitkannya pada penjahit entah siapa. Penjahitnya bikin kulot model kelelawar, (duh bagaimana ya saya menggambarkannya? Pokoknya kulot jaman sekarang yang kayak korden itulah), dan gambar parangnya terlihat horizontal. Apa yang mau dicari dari model lereng beginian? Aura manusia pekerja kerasnya nggak kelihatan karena lereng yang horizontal kelihatan cemen. Dan si ibu pemakainya lebih kelihatan seperti ibu alay ketimbang ibu yang teguh. Kok ya kebetulan saya lihat si ibu cuman berdiri di depan lobby supermarket nungguin supirnya dateng menjemput dia, bukannya menyeret kakinya sendiri ke tempat parkir padahal parkiran supermarket itu juga nggak luas-luas amat.
Oke, saya memang lebay menge-judge si ibu.
Tau nggak motif batik KW jaman now yang paling sering bikin mata saya sepet? Batik motif planet. Batik motif bola. Duh duh duh. Ini kain produksi Cina dari mana lagi sih? (Yaa dari Cina, Vic.)
Konsumen yang Malas Eksplorasi
Lalu sebab kesulitan lainnya kenapa pakaian batik yang bermutu sering susah terjual ke konsumen adalah menyocokin model pakaian yang ada dengan selera konsumen. Padahal 70% orang Indonesia lebih suka beli baju batik yang sudah jadi ketimbang menjahitkan kain pada penjahit.
Toko-toko mahal menjual baju batik dengan beragam model yang sophisticated, sayangnya banyak konsumen nggak mampu beli. Ketika konsumen terpaksa cuman bisa memilih di toko-toko batik murah, yang ada hanya berderet-deret baju batik dengan model pasaran.
Temen saya yang kebetulan badannya rada big size, mengeluh karena baju batik yang ada untuknya selalu aja disodorin yang model sayap kelelawar lagi, sayap kelelawar lagi.
Memang menurut saya sih, kalau konsumen rada rewel kepingin model yang nggak pasaran, ya mesti rela berkorban sedikit. Minimal ya berkorban waktu, kalau nggak mau berkorban duit di toko mahal. Waktu yang dikorbankan ini untuk menjahitkan kain batik pada penjahit yang professional. Sebab hanya dengan menjahit di penjahit yang terampil, kita dapet pakaian batik yang memang eksklusif cuman dimiliki oleh kita doang. Selain juga garansi bahwa pakaiannya pas dengan tubuh kita sendiri.
Memilih Batik Sesuai Individu
Terus, gimana sih caranya supaya kita bisa memilih batik dengan pas, tanpa bikin dompet jadi cekak, tapi tetap bisa menampilkan keindahan pribadi kita sebagai pemakainya? (Ceilee..)
Saya sih cenderung mulai dari mikirin untuk tujuan apa pakaian batik ini saya miliki. Contohnya, saya membedakan batik untuk keperluan acara formal dengan acara casual.
Untuk acara formal, saya prioritaskan memakai baju batik dari batik tulis. Sebab, pewarnaan pada batik tulis cenderung tahan lama, sehingga kalaupun saya beli mahal pun bisa untuk jangka panjang. Jadinya juga nggak rugi-rugi amat. Warnanya saya pilih warna monokrom untuk memberi kesan bahwa saya seorang professional. (Warna gonjreng bisa aja sih saya pilih, seandainya saya lagi disuruh ngemsi untuk acara yang bernuansa hiburan atau jingkrak-jingkrak.)
Untuk acara casual, saya lebih longgar memilih baju batik dari batik printing. Memang durabilitas penggunaannya lebih singkat, tapi bisa saya imbangin dengan perawatan yang telaten. Dan yang namanya acaranya lebih santai, juga saya pilih warna yang cerah ceria. Supaya kesannya juga lebih muda. (Warna monokrom akan saya pilih kalau di acara itu saya perkirakan bisa ketemu orang yang bisa naikin karier saya. Setidaknya orang yang mau anggap saya serius.)
Sebisa mungkin, saya juga milih-milih tempat untuk membeli batik. Diupayakan ya pilih tempat yang memang berdedikasi penuh dalam mengurus batik. Karyawan di toko begini biasanya mau mengajari cara merawat batik. Mereka merekomendasikan lerak untuk mencuci batik, dan kasih anjuran untuk menghindari menjemur batik persis di bawah sinar matahari. Mereka juga yang kasih saran supaya kalau ada noda pun batiknya dicelup dengan air hangat dulu.
Toko yang khusus menjual batik juga akan bisa kasih rekomendasi motif batik apa yang cocok dengan occasion event yang akan kita hadiri ketika memakai batik itu. Mereka juga bisa kasih saran motif apa yang cocok dengan karakter kita dan tonasi warna kulit kita.
Kalau saya kepingin lebih kreatif dengan model pakaian, atau ingin pakaian yang lebih pas dengan badan saya, saya cenderung pilih menjahitkan kain batik pada penjahit yang berpengalaman. Penjahit umumnya tahu bagian mana dari sisi tubuh kita yang indah kalau ditonjolkan dalam pakaian. Dan sebaliknya, mereka juga tahu bagaimana menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari tubuh kita yang kurang sedap dipandang.
Value lain dari penjahit yang berpengalaman dengan batik adalah mereka tahu bagaimana suatu motif batik itu harus ditampilkan. Sehingga kejadian zonk macam tampilan parang horizontal seperti yang saya tulis di atas bisa dihindari pada pakaian batik kita yang bagus. Contoh kecelakaan lainnya, motif wahyu temurun, di mana mahkota yang mestinya berada di atas burung, tentu akan hilang keindahan maknanya kalau sampai kain itu dijahitkan terbalik.
Do-s and Don’t-s dalam Memilih Motif Batik
Memang ada karakter-karakter tertentu yang baiknya nggak memakai motif-motif batik tertentu. Sebaliknya, motif batik tertentu juga bisa menonjolin pesan apa yang ingin kita sampaikan dari diri kita.
Batik, awalnya memang diciptakan oleh raja atau penguasa pemerintahan di Jawa. Makanya yang memakai batik memang awalnya adalah orang-orang penguasa, yang berkepentingan mengatur hajat hidup orang banyak. Sampai sekarang, motif-motif tertentu macam motif wahyu garda, motif sidomukti, motif sidoluhur, dan motif sido-sidoan lainnya, memang cuma cocok dipakai oleh orang-orang tua karena mereka yang biasanya sudah berpenghasilan banyak, bisa mengatur hidup keluarga mereka, dan bisa memimpin orang banyak. Anak muda macam Anda mungkin kurang cocok pakai motif klasik beginian, kecuali jika Anda adalah Mark Zuckerberg. Atau jika Anda adalah CEO Google. Intinya orang-orang yang sudah punya banyak modal dan jadi teladan orang banyak.
Kalau kita cuman kepingin tampil low profile, motif yang paling sering dipakai adalah motif kawung atau motif pecah kopi. Motif begini biasa dipakai para serdadu keraton atau rakyat yang menunjukkan ingin mengabdi kepada raja, makanya sifat mengabdi ini yang butuh kepribadian low profile. Menurut saya sih, sosialita yang kepingin mendominasi komunitas, baiknya jangan pakai motif ini. Nanti pesannya nggak akan sampai. (If you know what I mean).
Sebaliknya, kalau kita ingin kelihatan bisa merangkul banyak orang, motif yang cukup laris adalah motif mega mendung. Motif asal Cirebon ini seperti yang saya ceritain tadi, menunjukkan ingin bagi-bagi rejeki ke banyak orang. Kalau mau modis total, pilih motif awan yang warnanya biru sungguhan. Biru tua pertanda rejekinya banyak. Biru muda memang kelihatan lebih muda, tapi juga bisa pertanda belum ada penghasilan (wkwkwkwk). Dan pilih motif awan yang garis ujungnya tegas. Karena ketika Sunan Gunung Jati menciptakan motif ini, tujuannya adalah menggabungkan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Cina yang kebetulan waktu itu sedang diasimilasikan melalui perdagangan para saudagar Cina. Ujung yang tegas adalah pertanda saudagar Cina mau menghormati kebudayaan Jawa yang sudah ada sebagai tuan rumahnya.
(Saat ini, negara lain yang sedang berusaha menjual kain bermotif batik, banyak sekali nyetok kain yang bergambar awan-awan ini. Memang sekilas mirip mega mendung, tapi kalau kita perhatikan garis ujung awannya yang kurang tegas, Anda akan paham bahwa itu bukan batik mega mendung. Apalagi kalau pinggiran awan itu warnanya pink.)
Motif lainnya yang jelas banyak dicari orang adalah motif parang atau motif rereng. (Motif parang sering kita jumpai di Jawa Tengah. Motif rereng ditemukan di Jawa Barat. Sebetulnya ini cuman beda terjemahan bahasa, tapi gambarnya ya itu-itu lagi, debur ombak berbentuk huruf S yang naik seperti mau memecah tebing.)
Motif ini bagus untuk menampilkan kepribadian kita yang tegar, tegas, dan teguh pendirian, tapi mesti lihat-lihat pemakainya juga. Ukuran parangnya yang mirip huruf S itu mesti dilihat betul-betul; makin gede diameternya, makin kelihatan sifat maskulinnya. Parang barong contohnya, popular dipakai sebagai bawahan kain raja, makanya lebih cocok untuk orang yang kelihatan banget ingin mendominasi. (Beberapa pengrajin tas saat ini mengambil motif parang barong ini sebagai aksen tasnya untuk menciptakan citra pejabat.) Kalau Anda cewek, lebih baik pilih motif parang klitik. Diameter parangnya lebih langsing, hasilnya pun auranya lebih feminine tanpa menghilangkan kesan tegarnya.
Siap Beli Batik?
Anda baru mau belajar beli batik sendiri setelah sebelumnya selalu dibeliin batik oleh orang tua, tapi nggak tahu motif apa yang cocok? Coba pakai batik dulu dalam bentuk asesoris. Misalnya dalam bentuk dompet, tas, atau bentuk syal. Beberapa UKM bahkan sekarang memasang batik sebagai aksen untuk sepatu. Kalau sudah merasa nyaman dengan motifnya, bisa mulai beli batik sendiri sebagai kain lilit. Sebelum akhirnya benar-benar menggunakan batik sebagai atasan atau bahkan one piece semacam dress.
Kain batik mestinya bukan hanya dipandang sebagai sekedar alat sandang belaka. Batik mesti dipandang sebagai alat untuk mengkomunikasikan keanggunan pemakainya. Memilih batik yang tepat untuk dikenakan, bisa bikin kita nampak memukau dan memancarkan pesona kita. Dan jika diperlakukan dengan istimewa, batik bisa menjadi asset budaya yang autentik dan sulit untuk ditiru bangsa lain.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Lengkap sekali penjelasannya, Kak. Saya sendiri juga sangat menggemari batik dan konsisten memilih batik cap dan tulis.
Saya bersyukur sekali bisa membaca artikel ini, karena dapat melengkapi riset saya tentang dongeng batik untuk anak-anak yang hendak saya bukukan.
Btw, modelnya cantik, bajunya keren, dan artikelnya pun kece. Amazing!
Terima kasih, Jessica 🙂
Kalau dongengnya sudah diterbitkan, tolong foto bukunya di-mention-in ke saya ya 🙂
Di Aceh ada sih batik Aceh. Motifnya biasanya pintu Aceh.
Hai Millati, saya sampai googling tentang batik motif pintu Aceh lho. Dan terpana baca arti motifnya.
Terima kasih ya sudah ikut urun rembuk 🙂
Setuju mbak, saya juga pernah gemes sama teman saya sendiri motif Sidomukti dibikin dress padahal kain itu kan untuk pengantin ya… Tapi maklum juga sih teman saya ini bukan orang Jawa
Pada masa lalu batik sidomukti cuma dibuat di kain untuk dijual ke orang-orang tertentu. Sengaja dijual mahal karena memang dimaksudkan untuk dimiliki orang-orang yang paham makna sidomukti.
Tetapi pada masa kini motif sidomukti dicetak pada kain-kain yang dijual lebih murah. Sehingga tiap orang pun bisa beli. Termasuk orang yang tidak paham sidomukti pun ikutan beli, lalu dia pakai pada sembarang tujuan.
Sering pas main2 ngopi2 lucu pake batik dan celana kain
Selalu dibilang abis kondangan darimana wkwk
Pdhl suka banget pake batik buat dipake harian
Ya memang batik ini macem-macem wujud motifnya. Ada yang buat kondangan, ada juga yang buat nongkrong-nongkrong doang. Motif batik buat kondangan sebaiknya jangan dipakai buat nongkrong..
Ulasannya keren banget, saya pun diwajibkan menggunakan batik saat hari Jumat,,, untuk menamamkan kecintaan pada tanah air 🙂
Jadi tanah dan airnya sudah diapain aja selama mencintai ini?
Q punya beberapa batik karena kl kerja kan mau nggak mau pakai batik, tp ya kl ditanya motif batik yg lg dipakai aku nggak bisa cerita, wkekwk
Wah..coba sekali-kali diselidikin dong, itu batik motifnya apa..
Kalo cewek batik bisa jadi lucu-lucu designnya, kalo cowok yang casual dikit banget yang jual hihihi
Makanya cowok mendingan jait batik sendiri, supaya bisa bikin desain baju casual yang keren juga, hahahaaha..
Aku punya beberapa potong pakaian batik. Sayangnya, aku beneran belum paham banget soal batik, apalagi setelah baca postingan ini. Apa itu artinya, makna hari batik nasional 2 oktober belum merasuk ke jiwa jiwa cuekan macam aku ya? Ah, Indonesia Kaya, tapi anak muda macam aku saja, ternyata nggak tau apa apa soal Indonesia.
Aku nggak hapal kalo 2 Oktober itu hari batik. Dulu aku pernah posting tentang hari batik, tapi sepertinya waktu itu cuma euforia.
Aku menulis ini karena memang selama ini batik di kalangan sebagian besar di antara kita masihi sebatas euforia. Tetapi belum menjiwai makna batik itu sendiri.
Sekarang aku juga membongkar baju-baju batikku di rumah, dan aku masiih sibuk menebak-nebak ini motif apa.
Filosofi Batik memang luar biasa yaaa mba. Saya penikmat Batik dan selalu berusaha belajar memahami makna dalam dari setiap goresannya. Terus terang saya pecinta batikk tulis, makanya koleksi Batik saya memang sedikit. And I love tenun so much. Wastra Indonesia memang tiada dua..
Emang nggak perlu punya batik tulis banyak-banyak sih. Kecuali kalau kita ini socialita yang difoto 7x seminggu. Eh, tapi Mbak Indah dinas di PBB ya mestinya sering-sering pake batik dan tenun ya sebagai buzzer budaya Indonesia, hahahahaha..
Batik pasti selalu aku pakai…lha iya soalnya seragam di sekolah… senengnya batik itu nyaman dipakai
Syukur alhamdulillah, juru penentu seragam batik di sekolahnya Mbak Reni bisa memilih kain batik yang nyaman 🙂
Jujur ketika belanja batik pasti butuh waktu yang lama buat cari motif yang pas. Jadi masukan buat Saya, lain kali kalo belanja batik nanya ke penjualnya motif yang pas buat si pemakai, dipakai di acara apa, kalo perlu tanyain juga filosofi di balik motif batiknya. Sekalian ngetes penjualnya paham gak ini
Kalo nanyain filosofi motif batik ke SPG-nya toko, nanti malah serasa lagi melonco dia, wkwkwkwkwk.. Tanya ke pemilik tokonya aja, hahahaha..
Aku punya beberapa koleksi batik sekalipun saya gak terlalu paham motif ya. hmm.. tapi masih ada gengsi ketika pakai batik ke kampus. Temen-temenku juga jarang pakai batik kalau gak ada iming-iming dari dosen ‘yang pakai batik dapat nilai A’ eh ternyata cuma bercanda itu xixixi
Aku ngerti. Ketika aku masih seumuranmu dulu waktu kuliah, aku selalu sungkan kalau pakai batik. Karena risikonya bakalan diledek mau pergi kondangan. Nggak matching dengan situasi kuliah. Kami dulu kalau kuliah selalu kumus-kumus, kucel, keringetan, pokoknya nggak cocok deh kalau pakai batik kondangan.
Mungkin lain kali aku mau bikin tulisan tentang batik untuk dipakai mahasiswa yang kuliah. Nanti ya, aku harus riset dulu 🙂
aku tahu motif batik cuma sekedarnya saja, tapi sampai yang warnanya ada yang khusus macam megamendung tadi nggak ngeh lho. Memang sih kendala beli batik itu harganya yang lumayan, padahal kalo harga yg murah ya kualitasnya memang beda.
Aku dulu juga nggak tahu kalau mega mendung itu ternyata mesti khusus berwarna biru. Aku baru paham setelah aku membaca.
Aku setuju batik memang mahal. Tetapi membayangkan neneknya Mbak @carolinaratri yang ternyata honornya nggak seberapa sebagai pengrajin batik tulis, membuatku paham kenapa kita mesti menghargai kerja keras orang lain.
Aku orang jawa. Tapi pengetahuan batikku sebatas kalau nikah kain batiknya pake sidomukti. Udah itu tok.
Dan aku malu.
Nggak apa-apa kalau pengetahuannya cuman sebatas itu thok. Kalau sering bergaul dan banyak membaca tentang perbatikan, lama-lama juga pengetahuannya nambah sendiri 🙂
Saya jg gak ngerti motif batik dan membedakan mana yg asli dan palsu. Apa yg harganya murah itu palsu ya?
Saya rasa motif batik itu nggak ada yang asli, nggak ada yang palsu juga. Karena motif batik itu adalah seni, dan seni itu nggak ada yang palsu. Yang ada ialah karya seni yang punya nilai filosofi, dan karya seni yang belum diketahui filosofinya.
Karya seni yang punya nilai filosofi layak dihargai tinggi. Sedangkan yang tidak punya nilai filosofi ya pantas untuk dihargai rendah.
Cantik bangrt mbaa, batik plus gincu yg cetar membahana. Emang srharusnya sebagai pembeli harus cerdas yaa, plus mengetahui asal usul seninya.
Terima kasih, Mbak Atiqo.. 🙂