Ketika Bikin Video Masuk Ranah Profesional

Saban kali saya berurusan dengan orang-orang production house, saya selalu nggigit bibir. Saya mengerti orang-orang ini adalah tipe seniman yang mentingin kualitas dan membanggakan hasil kerjaan mereka, tapi penampilan mereka nyaris selalu bikin saya kepingin beliin mereka sabun Lux.

Bikin video profesional
Banyak hal ribet dari sebuah pembuatan video untuk kepentingan korporat. Gambar diambil dari sini

Bertahun-tahun yang lalu, suatu hari saya ditugasi merekrut production house untuk pelantikan dokter baru di kampus. Dua kameramen datang membawa kamera besar-besar ke acara itu. Mereka nampak mirip nggak mandi berhari-hari. Untung tugas mereka cuman nyutingin wisuda dan menyerahkan hasil ke saya dalam bentuk compact disc (waktu itu DVD belom ngetrend) dan filmnya bagus. Definisi bagus buat saya adalah tidak ada gambar kamera nyuting lantai gegara kameramen lupa tekan tombol pause, dan hasilnya jadi dalam tempo tiga hari.

Setahun kemudian, sepupu saya menikah. Sebuah perusahaan jasa dokumentasi pernikahan pun direkrut untuk menyuting sepanjang pesta siraman. Sebulan kemudian, sepupu saya panik nelfon apakah keluarga kami ada yang nyuting pesta itu. Ternyata kameramen yang mereka sewa buat nyuting prosesi, file-nya corrupted sehingga filmnya nggak jadi. (Memang kameramennya akhirnya mengembalikan uang kontrak. Tapi sepupu saya sudah kadung married dan mengharapkan ada yang menyuting selama mereka sedang dimandikan!)

Oh, pernah pas saya masih sekolah kedokteran, kepala sekolah saya iseng ingin bikin film tentang sekolahnya itu. Beliau kepingin ada adegan murid sekolahnya lagi meriksa pasien. Sayangnya beliau nggak tunjuk murid yang mana buat jadi talent, dan lebih parah lagi, siapa yang bakalan jadi aktor buat berperan sebagai pasien. Dasar production house yang direkrut pun nggak kehilangan akal. Kameramennya masuk ke rumah sakit, dan coba tebak dong siapa dokter yang lagi in charge di Unit? Ya jelas saya. Saya pun ditodong jadi talent buat pura-pura mainan spekulum sembari cuap-cuap di depan kamera. Saya (yang ngeri kalau filmnya Pak Kepsek dibintangi oleh talent nggak kompeten) bilang sama kameramennya, “Minta sama boss saya aja. Dia lebih pas.” Tapi kameramennya ngeyel minta saya yang main. Soalnya, katanya, dari tadi kru mereka ngeliatin saya dan saya bisa ngoceh selama 10 menit tanpa demam kamera.

Begitulah dunia production house ketika terjun ke lapangan, sering banget banyak tantangannya. Aslinya kompetensi mereka adalah bikin video profesional, tetapi jika sudah berurusan dengan klien korporat yang jelas-jelas nggak ngerti seni, semua bisa jadi beda jauh dari apa yang mereka rencanakan. Karena bikin video nggak sesimpel sekedar menyuting, ada proses editing yang lebih njelimet (prosesnya kan sudah saya tulis beberapa minggu lalu di artikel ini), perlu ketelitian meskipun beberapa di antara Anda bisa bikin video kilat pakai iMovie.

Saya ngobrol dengan beberapa kawan yang pernah kerja di production house dan mereka semua bilang bahwa bikin video profesional adalah kerjaan yang selalu bikin sakit punggung. Plus menguras emosi. Dan kadang-kadang bikin pelakunya sampai nggak mandi. Saking kebanyakan sh*t happens-nya. Soal file corrupted atau inkordinasi talent seperti yang saya ceritain di atas cuman remah-remah dari dunia production house.

1) Bikin video company profile untuk suatu klien korporat. Filmnya terdiri dari beberapa scene. Talentnya orangnya itu-itu lagi, diambil dari karyawannya si perusahaan itu. Pas sudah mau masuk scene kesekian, talent nggak bisa syuting karena dikirim tugas luar yang sudah terjadwal internal jauh-jauh hari.

2) Bikin video dokumentasi untuk suatu acara gala dinner sebuah korporat. Anggap saja kamera yang direkrut ada tiga buah untuk menyuting dari angle yang beda-beda. Pas di lapangan, ternyata masing-masing kameramen nggak kordinasi buat nyamain standar syutingnya. Alhasil, ada yang stelan kameranya over brightness, ada yang audionya hypervolume, dan ada yang gambarnya kebanyakan pendar warna biru. Padahal semua gambar dari semua kamera akan diedit jadi satu file video yang sama untuk kliennya.

3) Yang paling bikin sebel para production house (dan ternyata itu adalah dosa umum para konsumen) ialah para klien sering minta videonya segera jadi, tapi doyan banding-bandingkan harga dengan production house tetangganya. Padahal untuk nyuting video itu butuh keterampilan, ngedit video itu butuh ketelitian. Kalau mau hasilnya profesional. Bukan yang amatiran seperti bikinannya iMovie atau Windows Movie Maker. Sayangnya klien sering kali nggak ngerti kualitas juga. Tentu saja saya ngerti, seumur-umur saya nggak pernah dengar sebuah korporat mau sering-sering bikin video  company profile, jadi bagaimana mereka mau menilai perbandingan production house yang mereka sewa?

Makanya saya mafhum kalau seniman-seniman video rerata sering nampak kucel kalau ketemu klien. Mungkin mereka kebanyakan nongkrong di depan laptop ketimbang di depan cermin. Belum lagi kalau masalah laptopnya crash, karena laptop buat ngedit video mesti butuh spesifikasi gede (spesifikasinya kayak apa, coba lihat di sini). Di lain pihak, saya juga salut buat para pebisnis production house yang mau bertarung di kompetisi sulit ini. Saya percaya jasa mereka akan sering diperlukan seiring dengan makin banyaknya start up anyar di Indonesia. Semakin perusahaan butuh branding, semakin video diperlukan. Tinggal masalah bagaimana mengambil hati klien untuk mau manfaatkan jasa para production house ini.

6 comments

  1. mawi wijna says:

    Ya begitulah Bu Dokter pekerjaan seniman itu. Sering dihantui tuntutan kerja cepat dan juga rapi koordinasi. Sepintas sih kerjaannya asyik, tapi ya.. pengalaman membuktikan banyak teman yang kemudian mengibarkan bendera putih. :p

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Yang mengibarkan bendera putih, mungkin benderanya lebih besar daripada passion yang dimilikinya. Karena kalau passion di dunia seninya besar, mesti jalan terus biarpun menghadapi banyak kendala.

Tinggalkan komentar