
Lupakan Facebook haram. Lupakan The Master haram. Lupakan Playboy haram. Kita punya masalah yang lebih besar. Mungkin vaksin meningitis itu haram.
Gw dari dulu nggak pernah setuju Facebook dibilang haram. Memangnya Facebook mengandung babi? The Master dan Playboy juga nggak mengandung babi, kenapa kudu dibilang haram? Justru kita kudu naruh ekstra perhatian kepada vaksin meningitis. Soalnya proses bikin vaksin meningitis itu melibatkan unsur babi. Nah, kalo gitu, vaksin meningitis itu haram, nggak?
Seperti yang kita tau sendiri, bahwa pemerintah Arab Saudi mendaulat semua warga yang mau naik haji, kudu disuntik dulu pake vaksin meningitis. Memang ini wajar, coz kadang-kadang seseorang dari luar suatu negara, bawa bibit penyakit yang potensial nular ke dalam negara itu. Salah satu penyakit yang potensial nular itu bernama meningitis oleh bakteri Haemophilus influenzae. Jadi supaya orang-orang nggak ketularan kuman giling ini pas lagi berjejalan wukuf di padang Arafah, mereka kudu disuntik vaksin meningitis dulu. Semua jemaah wajib, termasuk jemaah dari Indonesia.
Lalu datanglah masalah baru. Ternyata vaksin meningitis ini, produksinya melibatkan unsur babi.
Jelasnya, vaksin ini dibikin melalui suatu proses kimiawi yang cukup rumit. Proses ini melibatkan katalisator, suatu enzim yang tugasnya memicu proses tersebut supaya menghasilkan vaksin yang diinginkan. Nah, katalisator yang dipake ini berupa enzim tripsin, dan enzim ini dihasilkan dari babi. Tapi pada akhirnya, setelah vaksinnya udah jadi, hasil vaksin tersebut sama sekali tidak mengandung unsur babi. Jadi yang dimaksud keterlibatan babi di sini hanyalah sebagai katalisator kimiawinya, bukan berupa hasil yang terkandung dalam vaksin itu.
Apakah ini halal buat muslim? Semua orang juga tau bahwa muslim sama sekali nggak boleh nyekokin apapun yang mengandung unsur babi ke dalam mulutnya, apalagi disuntikin ke bodinya. Sialnya, produk vaksin meningitis, yang kudu dipake di Indonesia, juga kudu dipake oleh seluruh orang di dunia, termasuk orang-orang yang naik haji ke Mekkah, hanya diproduksi di Jerman. Artinya, nggak ada lagi pabrik vaksin di dunia ini yang bikin vaksin meningitis selain yang ada di Jerman itu. Dan orang-orang Jerman itu emang nggak mikirin apakah produk mereka memperhatikan konsumennya atau enggak. Buat mereka, yang penting vaksin mereka bisa melindungi dari penyakit. Urusan itu ada babinya apa enggak, mereka nggak mikirin.
Departemen Kesehatan sampai dibikin pusing tujuh keliling gara-gara ini. Kalo sampai muslim Indonesia menolak disuntikin vaksin meningitis ini, maka mereka dipastikan nggak boleh masuk Arab buat naik haji. Tapi kalo disuntikin, maukah mereka terima kenyataan bahwa zat yang disuntikin ke dalam tubuh mereka itu dibuat dengan melibatkan unsur babi?
Para ulama, yang akhir-akhir ini demen ngeluarin fatwa haram buat yang belum tentu haram, perlu bikin urusan ini jelas supaya nggak jadi polemik yang bikin panik para jemaah haji. Dari dulu juga kita belajar bahwa apa yang haram kadang-kadang bisa jadi boleh kalo urusannya udah kepepet. Misalnya kalo kita lagi nyasar di gurun es, nggak punya makanan, dan satu-satunya yang kita temuin buat dimakan adalah bangkai ular, maka mau nggak mau bolehlah kita makan bangkai ular itu. Soalnya kalo nggak makan, bisa-bisa kita mati kelaparan?
*Vic, emangnya di kutub ada ular ya?*
(Tau ah, gw lagi buntu, perut gw laper..)
Lha ini juga kita udah termasuk kategori kepepet. Lebih berbahaya kalo jemaah satu tenda kena wabah meningitis gara-gara nggak divaksin, ketimbang batal naik haji cuman gara-gara takut sama vaksin yang belum valid kadar keharamannya. Harap diketahui bahwa sekali orang kena meningitis, hasilnya adalah demam, setep, koma, dan bahkan ngitung hari sampai meninggal.
Untunglah gw sebagai dokter belum pernah ditugasin nyuntikin vaksin meningitis. Kalo gw terpaksa kudu nyuntikin seorang jemaah haji dengan vaksin meningitis, terus terang aja, gw dengan berat hati akan memperingatkan sang pasien bahwa vaksin itu dibikin dengan melibatkan babi. Karena gw kudu menghormati agama orang yang gw suntikin. Tapi gw juga kudu bilang kepada mereka bahwa mereka nggak boleh masuk Arab kalo nggak disuntik vaksin itu dulu. Selanjutnya, biar aja jemaahnya yang mikir sendiri, dia mau disuntik apa enggak. Memang itu akan menyeret para jemaah dalam kebimbangan yang besar.
Staf-staf kantor kesehatan pelabuian tempat gw kerja, yang tugasnya langsung melakukan penyuntikan vaksin selama bertahun-tahun terhadap jemaah haji asal Kalimantan Tengah, malah udah kena perang batin. Di satu sisi, kita kudu nurutin perintah boss kita, yaitu Direktorat Jenderal Pencegahan Penyakit Menular atas nama Negara, untuk melindungi warga Indonesia yang mau naik haji dengan nyuntikin mereka vaksin meningitis. Tapi di sisi lain, kita punya boss yang lebih tinggi, yaitu Tuhan, yang melarang kita mengonsumsi apapun yang ngandung unsur babi. Jadi, mau nurutin boss yang mana?

Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Saya nggak tau persis kenapa perusahaan ini make tripsin dari babi. Padahal yang produksi tripsin nggak cuman babi doang. Mudah-mudahan para ilmuwan farmasi kita punya ide lain untuk bikin vaksin tanpa harus memperalat tripsin babi, dan mudah-mudahan pemerintah kita mau membiayai riset untuk itu.
untuk menentukan halal ato haram ada kaidah-kaidah fiqih alias hukum islam yang dipake mbak, jadi ndak asal njeplak saja main bilang halal ato haram.
yang sampeyan sebutkan soal gurun es dan bangkai ular itu pun ada kaidahnya, "ad dhorrurotu tubihhul mahdhurot" dalam keadaan darurat semua yang dilarang itu diperbolehkan. itu kalo say agak salah inget.
menarik sekali komentar sampeyan yang bilang bahwa bukan hanya babi yang punya enzim tripsin, kenapa ndak ada yang nyoba bikin dengan alternatif non babi.
Sesungguhnya manusia itu tidak dapat hidup dengan 2 boss,hanya ada satu Boss yg menjadi Boss dari para Boss yaitu Tuhan.
Ohh..I was there. Pusing antara harus nyembah Tuhan dengan harus patuh kepada kolonel.
dualisme yah?!?!? jika ini terjadi di kemiliteran.. maka akan hancur berantakan negeri ini 🙁
Sejauh ini, karena kantorku sendiri yang berkepentingan dengan penyuntikan vaksin ini, telah menegaskan bahwa vaksin meningitis tidak mengandung babi.
Adapun hukum spiritual dari agama yang bersangkutan, tidak pernah menyebut apakah haram memasukkan suatu barang yang diolah menggunakan unsur babi, ke dalam tubuh kita. Karena kalo dipikir-pikir, semua obat juga bisa dibilang haram karena tidak semuanya dibikin dalam proses yang pelakunya menyebut nama Tuhan.
Pukul rata itu tidak baik.
Yang pertama, betul gak beritanya (bahwa vaksin itu mengandung unsur babi). Vaksin yang dipakai itu (tetravalent ACWY), barangnya ada. Tinggal di analisis. Katanya sudah.Tapi nyatanya masyarakat masih ragu. Jadi jika belum mungkin BPOM dapat menganalisis dan mengumumkan kepada masyarakat.
Yang kedua, jika sudah diumumkan, bagaimana hasil analisisnya. Mungkin : 1.tidak ada unsur binatang.2. ada unsur binatang, sapi. 3. ada unsur binatang, babi, di proses awal dan dihilangkan sebelum produk vaksin siap dipakai. 4 ada unsur binatang, babi, tetap ada pada produk jadi.
Yang ketiga, sesudah tahu hasil analisisnya, bisa ditindaklanjuti mana yang sesuai, mana yang tidak. Di sini yang bilang sesuai dihormati, yang bilang tidak sesuai juga dihormati.
Betul Vic, memang dikembalikan kepada masing-masing. Yang berikut, tetap terus diusahakan terobosan dalam produksi vaksin.
BTW, semua sepertinya berpangkal dari aturan ataupun syarat yang dikeluarkan oleh negara. Aturan dari Saudi Arabia ini juga ada di situsnya WHO.
Sementara dari kacamata ilpeng, selalu ada peluang berhasil-tidak (untuk efikasi vaksin ini 94%. Belum lagi bakteri penyebab, di sini hanya vaksin terhadap 4 serogrup. Ini disesuaikan dengan epidemiologi di situ. Yang serogrup B kan gak masuk vaksin itu, padahal ini termasuk kasus paling banyak, cuma di tempat lain (Eropa dan Amerika). Pergeseran pola tetap bisa. Nanti kalau outbreak lain lagi, misal meningitis sudah lewat, ganti hepatitis misalnya..?
Mungkin ini salah satu babak pendewasaan bangsa dalam menyikapi permasalahan spiritual.
huaaaaaa.. akhirnya mba' vicky bsa masuk juga ke postingan gw.. senengnyaaaaaaa!!! makasih iia… hmm.. itu emang uda cita2 dari dulu mba'…
anjrut gw malah OOT abis2n gni nii mba'.. maaf dehh saking senengnya ketamuan mba' vick…
saiia bobo duluan iia.. ciaooo!!!
Itu bagus, Mbak. Sedikit melegakan.
Setahu gw, haram itu mulai dari proses sampai hasil akhir ya, Vic.
But, karena gw juga bukan pakar urusan ini, gw gak berani berkomentar panjang drpd nanti kena hujat (pengalaman gitu loh..).
Gw wkt umroh 3thn lalu, gak ada vaksin macam2 sih, mgkn di paspornya aja yg "dikerjain" sama petugas biar keliatannya udah vaksin.
Mungkin "juru fatwa haram"-nya takut kalo vaksinnya dibilang haram, nanti malah bikin orang-orang jadi takut naik haji.. Repot juga tuh!
setelah ada kasus vaksisn itu kemana para "pembuat fatwa haram itu " bersembunyi yah? kok gak koar2? apa karena si vaksin kurang populer jadi tidak bisa mendongrak kepopuleran mereka juga yha? harusnya ini yang diharamkan. bukan???
peace, cuma berkomntar dan bersaran takut di penjara euy kalau salah2 komentar, hihihihihihihihiiii
Tapi gak semua budidaya lele dikasih makan bangkai ayam..
Sampah septictank?? Itu dah umum n gak cuma ikan patin aja, ikan lele termasuk juga..
Proteinnya banyak,hehehee..
Ehmmm..Apakah sekarang sudah kehilangan selera makan lele n ikan patin gara2 itu???
Perlu penelitian lebih lanjut neh soal tripsin.
Aku tunggu laporan penelitian bu dokter soal tripsin. Mungkin malah bisa menemukan alternatif laen selain dari babi..
Laksanakan perintah !!
heheheheheheee…
Saya jadi terusik, apa uniknya tripsinnya babi sampai perlu jadi katalisatornya vaksin. Makhluk yang punya tripsin itu nggak cuman babi, manusia juga punya.
Enzim yang diproduksi Piggy itu kan ndak hanya Tripsin aja kan? Mungkin masih banyak enzim-enzim lain dan mungkin beberapa diantaranya serupa dengan yg dihasilkan manusia. Itu mbak dokter yg lebih paham.
Kalau buat saya sih, urusan sudah menyangkut senyawa kimia yang bentuk fisiknya udah sulit terlihat, itu ndak masalah. Kan jadi haram untuk mengkonsumsi daging babi. Setau saya juga ada syarat-syarat yang haram bisa jadi halal, salah satunya kalau kepepet asalkan ndak berlebihan.
Katalisator menurut saya ndak berlebihan. Wong hanya mempercepat laju reaksi kan? Tapi apa ya bakal secepat laju mobil F1? duh…
Terima kasih, Ireng. Aku malah baru tau kalo ikan lele dikasih makan berupa bangkai ayam. Pernah denger nggak ikan patin dikasih makan berupa sampah septitank?
Mudah-mudahan masyarakat men-googling masalah vaksin meningitis ini dengan benar. Supaya nggak ada salah pengertian yang bisa memicu penolakan terhadap vaksin meningitis.
Aku pernah baca soal unsur babi pas kasus Ajinomoto. Kalo itu cuma sebagai katalisator, aku pikir, halal. Seperti yang mas Farid katakan, tidak ikut bereaksi.
Gak perlu jauh2 sampai ke babi yang udah jelas2 haram.
Ikan lele sendiri gimana??
Kadang para peternak ikan lele (orang yang budidaya lele disebut peternak bukan ya??) memberi makan lele2nya dengan bangkai ayam padahal kita tau, yg namanya bangkai itu adalah haram.
Untungnya aku sendiri gak suka makan ikan lele. Di goreng, di bakar ato dimasak, tekstur dagingnya gimana gitu lohh.. dah bikin gak nafsu..
Ikan yg laen mah nafsu,halah…
Nice post 🙂
Logika yang bagus, Mbak.
Saat ini Departemen Kesehatan sebagai pemangku kepentingan tertinggi yang ngurusin kesehatan warga Indonesia, sudah menyetujui penggunaan vaksin ini.
Yang tidak menerima adalah calon jemaah haji yang masih ragu-ragu apakah vaksin ini halal jika disuntikin ke bodinya.
Polemik akan timbul kalo instansi-instansi yang berwenang (Depkes dan MUI) gagal meyakinkan calon jemaah tersebut untuk menggunakan vaksin ini.
Komentar saya (sebagai non muslim yang bingung..)
Kalau Arab saja sudah mengharuskan pemakaian vaksin itu kalau ingin masuk ke negaranya, apa ini bukan berarti mereka sudah menerima pemakaian vaksin itu?
Kalau mereka sudah menerima, terus, kenapa Indonesia tidak?
Cheers, Vic
*Geli mbayangin nanya ke juragan ayam apakah ayamnya disembelih sambil baca bismillah..*
Topiknya bagus mbak. Kalo dihadapkan kpd hal smcm itu, aku pilih yg ilmu "kepepet" aja. Mnrtku kita gak usah terlalu njlimet mikirnya, apalagi ilustrasinya sdh ada pada jaman Nabi dulu. Coba kalo "sgl suatu yg menunjang peri kehidupan (muslim)" ini, kita cermati asal-usul dan proses pembuatannya, jadi susah kan, dan nggak mungkin bisa konsisten dlm ngejalaninya. (contoh kecil, mis: Bu, beli nasi ama ayam dibungkus satu. Tp maaf Bu, ayamnya kmrn beli di pasar ato punya sndr Bu, trs nyembelihnya pake Bismillah ngga ya Bu.. dst.)
Hmmm.. rumit juga ya masalahnya.. tapi kan hasil akhirnya si unsur babi udh ilang.. kya na sih udh ga masalah he..he..
Investasi penelitian tentang produksi vaksin dengan menggunakan katalisator berupa enzim selain tripsin babi, pasti prospeknya bagus banget. Sayangnya kita tau sendiri, dana penelitian apapun di Indonesia selalu dianaktirikan dalam anggaran nasional. Padahal kalo vaksinnya jadi, ini akan menolong kita semua untuk tetap sehat tanpa harus berhubungan dengan yang haram. Kan ilmu pengetahuan dan agama mestinya tetap sejalan kan?
Maaf, hari ini saya mengecewakan dengan tidak membahas Playboy-nya..:p
Setahu saya dulu waktu belajar kimia di SMA, yang namanya katalisator itu hanya berfungsi untuk mempercepat reaksi, tapi tidak ikut bereaksi, sehingga produk akhir reaksi tidak mengandung zat katalisator. Jadi menurut saya sih aman-aman saja, gak haram.
Tapi ini juga menjadi peluang untuk Biofarma di Bandung untuk bisa memproduksi vaksin meningitis yang proses produksinya tidak harus menggunakan tripsin sebagai katalisator, siapa tahu bisa pakai "vitsin" aja hehehehe.
Kalau bisa kan bagus tuh, bayangkan demand nya setiap tahun sudah pasti sekian juta calon jemaah haji.
BIG Boss yang "satu" itu ngga sepicik bos "dunia" kok
btw vik, gw kira tadi lo mau crta ttg playboynya
😀