Seorang teman saya ketika kuliah, pada hari pertama Ospek, berterus terang kepada senior kami bahwa dia punya “alergi susu”. Itu jadi merepotkan, karena kemudian senior kami harus menyiapkan snack pengganti khusus untuk dia seorang diri, padahal sudah ditetapkan bahwa hari itu kami semua yang di-Ospek akan mendapat coklat.
Sepupu saya, panik karena bayinya yang baru berumur belum setahun sudah sering mengalami bercak merah pada kulitnya. Merasa bersalah karena ia tidak memberi anaknya ASI eksklusif, ia menyalahkan susu formula dan sampai hari ini ia belum mengijinkan anaknya itu makan wafer, coklat, dan snack lainnya. Ponakan saya itu kini berumur tiga tahun dan ia cuma melongo kalau melihat teman-temannya makan snack sepuasnya. Ia takut ikutan makan cokelat karena takut gatal pada kulit wajahnya.
Begitulah alergi susu dalam pandangan masyarakat, seolah-olah alergi adalah penyakit kejam yang membuat penderitanya tidak bisa makan yang enak-enak.
Masyarakat kita masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan alergi, terutama alergi pada anak. Akibatnya, mereka sembarangan mengecap diri mereka atau anak mereka sebagai penderita alergi. Efeknya, mereka mengadakan pantang terhadap hal-hal yang mereka takutkan dapat menimbulkan alergi itu, tidak dalam batas waktu yang jelas, bahkan kalau perlu mereka pantang terhadap “tersangka penyebab” alergi itu seumur hidup. Susahnya, mereka jadi sulit menikmati hidup karena terkurung oleh pantangan makanan yang mereka bikin sendiri, hanya karena mereka menyangka bahwa mereka mempunyai alergi.
Alergi itu apa? Orang sering kali mendefinisikan alergi sebagai “penyakit bercak merah pada kulit yang terasa gatal, dan biasanya terjadi karena habis makan sesuatu”. Ini tidak salah, tapi juga tidak selalu benar.
Sebetulnya, alergi adalah reaksi yang menyimpang dari normal, terhadap suatu rangsangan dari luar tubuh. Rangsangan atau penyebab alergi ini bisa berupa macam-macam, meskipun alergi yang paling sering terjadi di Indonesia ialah alergi makanan pada anak. Dan makanan penjahat yang paling seringnya ialah protein susu sapi.
Dalam sebuah talk show NutriTalk oleh Sari Husada yang saya tonton beberapa hari yang lalu, diceritakan bahwa banyak sekali anak di negeri kita yang jadi korban karena alergi protein susu sapi.
Anang Endaryanto, pakar alergi pada anak, bilang, “Di Indonesia, satu dari 25 orang anak ternyata menderita alergi protein susu sapi.” Artinya, kalau ada 100 anak Indonesia disuruh berdiri berjejer, kita akan bisa menemukan ada empat anak di antaranya yang akan kesakitan bila sampai makan makanan yang mengandung protein susu sapi.
Bagaimana mengetahui apakah diri kita menderita alergi protein susu sapi? (Publik sendiri masih lebih sering menyebutnya langsung sebagai alergi susu sapi.) Seseorang yang sungguh menderita alergi protein susu sapi, seharusnya sudah nampak semenjak ia minum susu pertamanya, yaitu ketika ia masih kanak-kanak (bahkan sejak bayi, jika ia minum susu formula). Gejala alergi pertamanya adalah alergi kulit yang ditandai bercak merah pada kulit mukanya, alias eksim (orang Indonesia sering menyebutnya “korengan”).
Karena kulitnya terluka, zat-zat polutan dari luar akan masuk ke tubuhnya melalui luka alergi kulit ini. Selanjutnya, tubuh akan bereaksi terhadap zat-zat polutan ini dalam bermacam-macam bentuk. Reaksi yang timbul bisa berupa pilek (disebut juga rhinitis allergica), gatal pada kulit badan (disebut juga dermatitis atopik), sampai sesak nafas plus mengi (disebut juga asma).
Banyak sekali dampak yang harus ditanggung anak penderita alergi protein susu sapi bila alergi pada anak ini tidak didiagnosis dengan baik. Terutama dimulai dari orangtuanya yang sering kali tidak tahu bahwa anaknya menderita alergi protein susu sapi. Mereka mencurigai macam-macam makanan sebagai penyebab penyakit kulit pada anak mereka, sehingga anaknya dilarang makan ini dan makan itu. Akibatnya pertumbuhan si anak pun terhambat, ditandai lambannya pertambahan berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepalanya (padahal pertambahan lingkar kepala mencerminkan pertumbuhan otak).
Sementara orangtuanya tidak tahu bahwa protein susu sapi menjadi penyebab alergi pada anak tersebut, gejala alergi akan terjadi semakin masif. Si anak semakin sering pilek, sering gatal pada kulit, dan langganan mengi setiap malam. Orangtuanya sering harus memboyong si anak ke dokter, dan mereka menjalani gaya hidup yang overprotektif; si anak jarang main karena orangtuanya takut si anak cepat jatuh sakit.
Terlalu sibuk mengobati pilek dan gatal alergi membuat orang tua lupa mengajari anaknya belajar bermain, sehingga perkembangan motorik anak terhambat, anak jadi lamban bicara, dan anak pun rewel karena stres menghadapi orangtuanya yang khawatir.
Ketika ini berlangsung sampai anak masuk umur sekolah, anak ini menjadi anak yang rendah diri karena ia lamban terhadap segala hal, bisa menjadi emosional karena self-esteem-nya juga rendah, dan bisa sering di-bully karena diejek teman-temannya sebagai pemilik bintik merah pada kulit mukanya: “Hey..korengan..korengan..”
Orang tua yang mendapati anaknya sering pilek, sering mengalami bercak merah pada kulit yang terasa gatal, atau sering mengi, boleh curiga bila mungkin penyebab gatal pada kulit anak itu ialah alergi protein susu sapi. Orang tua yang curiga semestinya memastikan kecurigaan mereka akan gejala alergi ini kepada dokter yang punya keahlian akan alergi pada anak, supaya mendapatkan penanganan yang terarah.
Penanganan untuk anak yang alergi protein susu sapi akan meliputi saran tentang
1) makanan apa yang dipantang oleh anak dan apa yang masih boleh dimakan, dan berapa lama pantangan berlangsung,
2) apa yang harus dilakukan jika anak sampai mengalami gejala alergi seperti bintik atau bercak merah pada kulit, kena pilek, gatal pada kulit, atau bahkan sesak nafas,
3) bagaimana menjaga supaya anak tetap tumbuh normal, berkembang cerdas, dan bebas dari stress, meskipun harus pantang ini-itu.
Dokter yang mempunyai keahlian akan alergi pada anak akan memeriksa menu makanan anak sehari-hari dan membantu memberi saran bagaimana makanan yang harus diberikan, supaya makanan tersebut tetap membuat anak mampu tumbuh dan berkembang tanpa menimbulkan penyakit alergi pada sang anak. Dokternya yang akan memberi pandangan kapan anak harus mendapat ASI saja, kapan anak diperbolehkan ditambahi susu formula, dan bahkan susu formula jenis apa yang cocok untuk anak yang alergi protein susu sapi.
Bahkan dokter ahli alergi juga akan memberi tahu kapan acara pantang-pantang makanan dan minum susu formula khusus ini harus dihentikan, dan kapan sebaiknya anak mulai belajar kembali untuk mencoba minum susu sapi biasa seperti anak-anak normal. Karena ada saatnya alergi protein susu sapi bisa hilang dari tubuh sang anak. Dan anak tidak perlu kehilangan momen-momen usia pentingnya untuk tumbuh dan berkembang, hanya gara-gara sibuk menghindari reaksi alergi.
Saya rasa, anak yang punya alergi protein susu sapi itu juga sama seperti anak-anak lainnya. Mereka ingin tumbuh lebih besar, lebih terampil dalam segala hal. Alergi yang mereka miliki tidak seharusnya menghalangi keinginan mereka itu. Sehingga, adalah tugas orangtuanya untuk mengajarinya berkawan dengan alergi makanan pada anak itu dan mendampingi mereka dengan gizi yang tepat. Agar selama anak menjalani pantang terhadap penyebab alerginya, nutrisi mereka tetap terjaga, sehingga mereka bisa tetap tumbuh dan berkembang seperti anak-anak yang normal.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
kalo aku beda lagi, alergi sih enggak, kalo cuma makan es krim dikit, atau coklat dikit, keju dikit juga gak gitu ngefek, tapi kalo kebanyakan eskrim, susu, yoghurt gak lama langsung mules2, besok paginya kayak diare. Makanya dari kecil gak suka susu, makanya pendek hahahahahhh
Gak nyambung..
bener banget, kadang alergi susu sapi bikin orang (terutama anak2 repot) karena agak sulit memilih makanan/minuman, padahal sebenarnya sulit krn blm terbiasa aja…
makasih artikelnya ya mba…
Nggak ada orang yang akan terbiasa pada alergi :))
Tapi pengetahuan tentang cara memilih menu yang tepat akan bisa membuat penderitanya dapat menghadapi alerginya dengan baik 🙂
bener ya, orangtua yang konsen hanya mengobati alergi anak, cenderung protektif dan seringnya malah lupa bahwa anak itu butuh dieksplore tubuh dan otaknya.
Kalau saya alergi nyamuk Mbak, jadi ya kena nyamuk udaaah dech bentol bentol gak ketulungan, panas dan membekas gitu.
Wah, kalau saya sih alergi sinyal internet jelek. Kalau operator internet saya lagi kumat mogoknya, saya langsung gatal-gatal. Serius!