Bokis Turunan

“Vicky, sini!”

Seruan Bu Guru membuat Little Vicky Laurentina lemas. Saya tahu dia akan marah. Dia akan menghajar saya, kasih nilai merah di rapor, dan pada pembagian rapor minggu depan dia akan menjungkal saya dari ranking satu yang selama ini saya dapet di kelas.

Tapi saya menarik napas panjang dan berjalan dengan gagah berani ke meja Bu Guru. Di hadapan sekitar 64 pasang mata murid lainnya di kelas 3, saya menghadap Bu Guru. “Ya, Bu?”

“Vicky, mana prakaryanya? Kenapa belum mengumpulkan?” tanya wanita berumur sekitar 45 tahun itu.

“Saya belum kerjakan, Bu,” jawab Little Laurent tenang.

Bu Guru terheran-heran. “Kenapa?”

Saya menelan ludah. Tidak berani menatap matanya. Saya melihat ke kancing atas jas Korpri Bu Guru, lalu mengucap dua kalimat sakti itu. “Saya sibuk.”

Dia menatap saya nanar. Little Laurent menunggu-nunggu sampai dia ngamuk seperti burung-burung manyar, lima detik, 10 detik, tapi dia tidak kunjung bergerak.

Lalu apa yang dia lakukan? Dia mengambil bolpennya, lalu menulis di buku nilainya, di samping nama saya, angka 6.

Saya mundur pelan-pelan dan kembali ke bangku saya, hati setengah gelisah tapi pasrah.

Tentu saja saya bohong. Mana ada anak umur 8 tahun terlalu sibuk sampek-sampek nggak ngerjain PR prakaryanya? Saya di rumah, tidur-tiduran, main monopoli, baca novel Lima Sekawan, tapi nggak tertarik sedikit pun ngerjain PR prakarya itu.

Saya nggak suka banget pekerjaan kerajinan tangan. Entah kenapa, mungkin waktu TK saya memang sebetulnya nggak lulus pelajaran motorik halus. Nyokap saya sebaliknya, dos-q penjahit yang hebat, tangannya telaten kerjain prentilan-prentilan rumit itu. Membuat saya terintimidasi, karena nampaknya nyokap saya itu cewek banget, sedangkan saya merasa seperti pria homo yang kebetulan aja punya vagina. Waktu SD saya benci pelajaran PKK, karena saya nggak bisa jahit. Semua PR PKK saya dikerjain nyokap saya..

Saya banyak berbohong waktu kecil. Bawa kerjaan prakarya saya dan mengakui itu bikinan saya padahal itu bikinan nyokap. Bilang buku PR ketinggalan di rumah padahal saya panik karena saya nggak tahu Bu Guru nyuruh kerjain sampek 20 soal sedangkan saya sangka yang disuruh cuman 10 soal thok. Bilang orang tua saya lagi ke luar kota sehingga nggak bisa kasih saya uang untuk beli tas yang diwajibkan sekolah, padahal memang aslinya saya nggak mau aja beli tas seragam itu, karena menurut saya tampangnya nggak modis..

Anehnya Bu Guru selalu percaya saya. Atau minimal, dos-q nggak pernah somasi saya, “Kamu anak pembohong!”

Mungkin karena nilai-nilai matematik dan ilmu alam dan ilmu sosial saya selalu bagus. Atau mungkin karena muka saya polos nggak bertanduk. Atau, karena saya selalu dapet nilai bagus di pelajaran mengarang, entah karena tulisan tangan saya yang terbaca atau saya mengatur ide saya dengan baik. Buat saya, pelajaran mengarang itu sebelas dua belas dengan pelajaran nge-bullsh*t.

Sampai kemudian saya tahu bagaimana saya bisa dapet sifat dusta itu.

***

Suatu hari di bulan Februari 2004, saya bawa Grandma saya ke Bali. Untuk menghiburnya, karena beberapa bulan sebelumnya, Grandpa meninggal. Kami muter-muter di Bali sampek bosen selama lima hari dengan mobil sewaan.

Akhirnya liburan itu selesai. Tiba malam ketika kami harus pulang. Saat mau masuk ruang boarding di bandara Ngurah Rai, saya melenggang kangkung masuk tanpa kesulitan. Tapi langkah saya terhenti saat dengar seorang petugas berkata di punggung saya, “Sebentar, Bu! Jangan masuk dulu!”

Saya berbalik. Bukan saya yang ditahan. Grandma saya kena sensor!

Saya lihat mereka memanggil petugas berseragam entah itu satpam atau Satpol PP atau polisi bandara, dan mereka membuka tas Grandma saya. Lalu mereka mengeluarkan…
..pisau??!

Saya nyaris pingsan melihat barang tajam yang matanya sepanjang 20 cm itu. 20 cm itu matanya doang, belum handle-nya!

Petugas sensornya nanya ke Grandma, “Ini milik Ibu?”

Dan Grandma menjawab, “Bukan..”

“Lho tapi pisau ini ada di dalam tas Ibu. Ini milik Ibu atau bukan?”

Grandma tetap bersikukuh, “Bukan..”
Saya menatap air muka Grandma dan langsung tahu itu memang pisau Grandma. Air muka Grandma persis muka saya waktu saya berbohong ke Bu Guru, bilang saya sibuk sampek nggak sempat bikin prakarya!

Nyokap saya melerai, dan bertanya ke Grandma saya, “Bu, bawa pisau ini dari (rumah kita di) Jakarta tah?”

Akhirnya Grandma saya berkata, “Itu pisau punya Bapak. Dibeli waktu Bapak dulu ke Mekkah. Nggak pernah keluar-keluar dari tasku..”

Saya nepok jidat. Grandpa dan Grandma naik haji 12 tahun yang lalu. Artinya pisau itu sudah di tas Grandma selama 12 tahun. Dan sekarang kami ditangkap pulisi bandara Bali cuman gara-gara pisau brengsek souvenir dari Pasar Seng.

“Bu, kalau mau naik pesawat, aturannya nggak boleh bawa pisau..” Si Mbak petugas sensor menerangkan dengan sabar pada wanita renta yang kebetulan adalah Grandma saya itu.

Lalu Grandma memasang muka sedih, “Ini pisau punya suami saya. Suami saya meninggal 3 bulan lalu karena sakit jantung. Sakit jantungnya sudah lama, orangnya selalu sesak.. menjelang meninggal itu nggak mau makan, selalu diam duduk di kursi, nggak bergerak, lalu..”

Oh well, sebentar lagi semua orang security ini akan mendengar dongeng tentang keluarga saya dan tentang Grandpa saya lagi, saya tepok jidat.

Kami pulang ke Jakarta malam itu. Pisaunya ikut ke Jakarta. Tapi sepanjang terbang pisaunya harus dipegangi pramugari. Kami boleh mengambilnya di kantor sesuatu di bandara Cengkareng. Pisaunya dibungkus rapi dalam amplop, ada segelnya.

 

Sekarang kalau ingat-ingat kejadian itu lagi, saya ketawa sebel. Baru kali itu saya ditangkap pulisi. Atau satpam. Atau apalah, intinya nyaris nggak boleh naik pesawat. Cuman gara-gara bawa pisau. Yang sebetulnya dibawa Grandma saya. Dan sebetulnya pisaunya punya Grandpa saya. Yang sudah meninggal dan jelas nggak butuh pisau lagi.

Tapi bukan ditangkapnya yang bikin saya sebel. Yang bikin saya ketawa, ternyata tampang saya kalau lagi bohong, persis banget sama tampang Grandma saya waktu bohong.

***

Grandma saya meninggal tiga hari yang lalu. Setelah sakit-sakitan lama. Selama bertahun-tahun ini Grandma selalu memohon-mohon kepingin mati. Bukan diabetesnya yang membuatnya kepingin mati, tapi rindunya yang tidak berujung kepada Grandpa yang membuatnya kehilangan gairah hidup.

Katanya terus-menerus, “Aku kepingin ketemu Bapak..”

Sodara-sodara saya menguburkannya di atas makam Grandpa. Sekarang permintaan Grandma sudah terkabul. Grandma sudah bersama Grandpa lagi. Grandma tidak butuh pisau lagi, untuk membuatnya tetap dekat bersama Grandpa.

33 comments

  1. imam says:

    Memperoleh apa yang diimpikan bertahun-tahun pasti luar biasa menyenangkan. Semoga itu pula yang diperoleh oleh Grand Ma. Turut berduka cita ya, Mbak…
    Salam kenal dari silent reader yang akhirnya gatal menulis comment.

  2. Ami says:

    Semoga amal kebaikan diterima di sisi Allah.

    OOT. Mbak Vick tau fotonya dicatut di sabun pemutih dot com? atau aku baru ngeh gara-gara lagi mempelajari kosmetik di dumay

  3. Mila Said says:

    Turut berduka ya, vicky. Semoga grandma mu sdh ketemu grandpa disana 🙂

    Btw, gw juga dulu wkt sd prakarya gw dibikinin nyokap, tp psssst rahasia kita ajah hahahaaaa

    1. Iya, nggak pa-pa. Ini memang bukan cerita sedih. Ini cerita memori yang bikin saya ketawa. Ketawa miris karena ingat bahwa Grandma nggak akan bersama kami lagi dan membohongi satpam bandara lagi..

  4. ditter says:

    Mbak, turut berduka cita, ya…. Semoga almarhumah diterima di sisi-Nya. Insya Allah amal baiknya selama hidup diberi balasan yg setimpal oleh-Nya. Amin….

  5. Innalillahi wainnalilahi rajiun..

    Semoga almarhumah dipertemukan dgn alm..
    Smoga diampuni sgala dosa2nya,,dimasukkan dalam golongan org mukmin..
    Daan keluarga yg ditinggalkan diberikesabaran..

  6. Brillie says:

    Secara tdk langsung menjelaskan judul postingan ini ya mbak…
    tapi,, apa yg dilakukan grandma masa bs dibilang bokis?
    bokis sm mengarang indah sama aja kah?

  7. innalillahi wa inna ilaihi rojiun
    turut berduka cita ya mbak dokter
    saya kok jadi mbayangin
    satu hari nanti akan mengunjungi 1 makam yang isinya mamak + bapa
    karena memang bapa maunya seperti itu …
    ahhh …

Tinggalkan komentar