Sudah nonton film pendek Tilik yang bikin gempar gegara Bu Tejo? Saya terpicu buat nonton ini gegara seseorang di Twitter melintas di timeline saya sambil tanya, “Kalau kamu, siapa ibu di film ini yang kira-kira merepresentasikan diri kamu?”
Ada yang bilang, “Yu Ning adalah gw..”
Ada juga yang jawab, “Gw adalah Gotrek, supir truk yang sial disuruh ngangkut gerombolannya Bu Tejo..”
Malah ada juga yang bilang, “Gw kayaknya cocok jadi Yu Nah, soalnya gw sering muntah-muntah kalo disuruh naik truk..” :))
Demi jawab pertanyaam itu, akhirnya saya memutuskan untuk menghabiskan pagi tidak produktif di hari tanggal merah ini buat nonton film itu, yang konon durasinya cuma setengah jam. Untungnya nih film pendek Tilik bisa diakses gratis di YouTube.
Sengaja saya nonton setelah sarapan. Soalnya denger-denger bocoran dari temen, tokoh Bu Tejo di film ini mbencekno tenan, mulutnya itu jenis mulut yang mintak digampar gitu karena suka nyebar-nyebarin kejelekan orang lain. Pokoknya jenis orang yang saya nggak suka banget, jadi daripada saya ngamuk nonton emak satu ini dalam keadaan saya sendiri lagi laper, makanya saya makan dulu sebelum nonton, hahaha..
Sesuai dugaan karena ini film indie, jadi shooting-nya sederhana banget, adegan-adegannya nggak terlalu banyak, paling cuma 3-4 adegan, mungkin shooting-nya bisa diselesaikan dalam 1-2 hari.
Film ini sebetulnya simpel aja, berkisah tentang segerombolan ibu-ibu desa yang pergi untuk menjenguk teman mereka yang sakit. Khas banget masyarakat desa yang sering datang berombongan, mereka pergi naik truk meskipun itu cukup membahayakan keselamatan. Cuman yang ngeselin, sepanjang naik truk ini, seisi truk terpaksa bergosip ngomongin kejelekan seorang gadis di desa mereka, sebuah tindakan yang sebetulnya nggak layak dilakukan orang-orang yang (berpakaian) religius.
Dan..ketua pemandu sorak dari urusan ghibah-mengghibah ini adalah Bu Tejo, istri dari bakal calon lurah yang akan nyalon pada pillurah periode depan.
(Salut buat Siti Fauziah yang sukses banget memerankan Bu Tejo ini. Siti Fauziah kabarnya pernah main juga di film kesukaan saya yang lain, Bumi Manusia. Cocok tenan).
Sepanjang nonton, saya kasihan sama ibu-ibu di truk itu. Pertama, kasihan sama Yu Ning, karena dia menghabiskan sepanjang perjalanan untuk mengkonfrontasi Bu Tejo yang lambenya minta ditapuk. Lha pegimana nggak pingin mengkonfrontasi, Bu Tejo mendedikasikan sepanjang perjalanan untuk ngejelek-jelekin orang melulu. Sebagai orang baik-baik, Yu Ning kayaknya kesel dan kepingin menasehati Bu Tejo supaya nggak percaya kabar burung apalagi kalo burungnya bukan burung Pak Tejo.
Kedua, saya juga kasihan dan sekaligus ketawa ngelihat buebu yang muntah-muntah di truk, wkwkwkw.. Aduh siapa yang nggak mual sih kalo berdiri di bak truk yang menuruni jalanan pegunungan Bantul sembari dipaksa dengerin gegosipan fitnahnya Bu Tejo? Mana ekspresi mblengernya dapet banget :)) Ya mblenger karena nyimak omongan Bu Tejo, ya mblenger karena dehidrasi habis muntah :))
Ketiga? Saya jelas kasihan sama buebu yang berdiri di sebelah buebu yang muntah-muntah itu, hahahaa.. Itu mesti waktu buebu muntah itu mengeksekusi muntahnya, dia panik berusaha supaya muntahan itu nggak kena roknya. Hoalah apes nian hidup ini, sudah kemampuannya baru bisa numpang truk panas-panas, suruh berdiri di sebelah buebu yang muntah pula..
Tapi saya paling kasihan sama buebu yang lainnya. Yang mungkin berdiri paling pojokan. Yang mungkin nggak ikutan nyorakin waktu Bu Tejo bilang, “Betul nggak, Ibu-ibu?” Yang mungkin mengharap semoga hari ini cepat berlalu supaya nggak usah dengerin gegosipan Bu Tejo. Yang mungkin mikir “What da hell am I doing here, I am supposed to stay by doing something useful such as showering my goats/nemenin anak gw sekolah online/bercocok tanam anggrek/anything instead dengerin lambe turah Bu Tejo?”
Buebu jenis terakhir ini adalah saya.
Saya mikir aja, kalo saja saya ini sekampung sama Bu Tejo, terus nggak mau ikutan nengokin Bu Lurah bersama-sama, apakah saya akan menderita karena dianggap tidak mau solider? Padahal alesan saya nggak mau nengokin Bu Lurah adalah karena saya curiga Bu Lurah sakit sesuatu yang belum memungkinkan untuk dijenguk, misalnya infeksi? (Dan bener kan, ternyata di akhir cerita Bu Lurah lagi di ICU, sehingga nggak boleh dijenguk)
Itu bisa jadi alesan saya pura-pura untuk menunda menjenguk Bu Lurah. Tapi sesungguhnya alesan saya nggak mau ikut pergi dengan rombongan itu adalah karena.. saya nggak mau deket-deket Bu Tejo.
Saya tersiksa deket-deket orang yang suka ngrasani orang. Seumur hidup, saya cukup lama bergumul dengan orang yang mulutnya kayak gini: guru SD saya, guru SMA saya, adeknya kakek saya, kakak kelas saya, paramedis di rumah sakit tempat saya pernah bekerja. Dan saya yakin hidup saya jauh lebih bahagia kalau nggak terpaksa dengerin makhluk kayak gini.
Tapi seringkali kita terpaksa berada dalam situasi untuk berada bersama mereka. Contoh: Saya pernah dibilang sama ibu saya begini, “Vicky, kalau kamu nggak mau cium tangan ke Eyang XXXX di arisan keluarga, nanti Mama lho yang dimarahi..”
Atau saya lagi duduk di kelas geografi di SMA, siap mendengarkan guru saya bicara tentang geopolitik Eropa Timur, tapi gurunya lalu bicara, “Saya senang mengajar di kelas ini, tidak seperti di kelas XX, murid-muridnya nakal dengan potongan rambut seperti sarang burung..”
Atau saya lagi nyiapin resep buat pasien, dan tak sengaja denger rumpian bidan-bidan, “Mosok ya, aku ketemu Bu X yang tugas di bangsal YZ itu, kemaren aku liat di ITC sambil pakek gelang emas buanyak. Padahal suaminya ya cuma PNS biasa, mosok bisa dia beli gelang sampek segitu..”
Kalau saya tidak mau ketemu eyang lambe turah di arisan keluarga, ibu saya dimarahi orangtuanya. Kalau saya tidak mau menghadiri kelasnya bu guru lambe turah, nanti saya tidak naik kelas. Kalau saya tidak mau bekerja dengan paramedis tukang gosip, nanti saya dipecat. Dan lain sebagainya, pokoknya kita terpaksa berada bersama para lambe turah ini karena kepepet.
Itu sebabnya kalo ditanya, “Dari sekian tokoh di film Tilik ini, mana yang paling related sama kamu?”
Saya jelas akan menjawab,
Ban truknya.
Ban truk nggak salah apa-apa, tapi dipaksa dengerin Bu Tejo. Kalau saya nggak mau ngangkut Bu Tejo dan menyabotase diri sendiri, saya akan dibuang oleh Gotrek dan menjadi sampah yang teronggok di pojok hutan Bantul.
Film pendek Tilik ini memang menjengkelkan. Karena ternyata akhirnya, Bu Tejo memang menang. Mulut kotor lambe turah memang akan menang. Ironis memang.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Kayaknya ban truknya gak konsen dengar celotehan Bu Tejo Mbak Vicky … karena banyaknya suara2 di sekelilingnya. Ada suara – deru mesin mobil, suara kendaraan lain juga hihi.
Benar sih, sering kali – eh itu saya, berada di situasi seperti itu dan tidak enak karena entah kenapa itu HARUS dilalui dan dirasakan. Pulangnya capeknya berlipat karena menahan geram hehe.
BTW saya juga sampe nonton di YouTube. Keren aktingnya si mbak Siti ini. Untungnya ada subtitle jadinya saya bisa ngerti apa yang dibicarakan.
Saya ngakak bayangin orang Makassar harus baca subtitle supaya bisa ngerti filmnya :))
Hahaha. Aku langsung ngakak ketika baca tulisan di dalam box berwarna merah di atas. Jadi ban truk! In-predictable answer yang bikin ngakak, Mba Vicky! Lol.
Btw, sama denganmu, Mba, aku sampai menyediakan waktu utk nonton film ini saking penasaran ttg Bu Tejo ini. Untungnya sblm nonton aku udah protect myself utk tidak terpengaruh oleh Bu Tejo yang mengundang untuk digampar ini, Mba. Haha.
Etapi, ironisnya, at the end of the story, gossipnya itu bener! Ku terhenyak, dan tidur nyenyak. (Krn udh niat ga akan terpengaruh oleh story apapun yg ada di dlm film ini). Haha.
Tapi pemeran Bu Tejo emng ahli banget ya memerankan tokoh ini. Kece!
Abis gimana ya.. memang ku sering banget berada dalam posisi sebagai ban truknya itu. Nggak kepingin ngegosipin orang lain, tapi dipaksa ikutan nyimak, huhuhuu…
Berada dalam posisi Bu Tedjo memang nggak asyik banget. Sama sekali bukan saya. Menjadi Yu Ning bukan saya juga. Saya nggak sekuat itu mentalnya menghadapi mulut usil macam Bu Tedjo. Yakin saya nggak akan sesabar itu. Mendingan pergi, deh.
Tapi sungguh, kehadiran ‘Tilik’ sangat menghibur di tengah kegersangan hati di rumah yang bingung mau ngapain lagi dan males banget nonton film berbayar yang episodenya buat saya kelamaan, hahaha ..
Tapi Memang pada kenyataan Ada orang spt bu Tejo di dunia ni.. intinya Kita jangan ikut terpancing omongannya klau Saya pribadi lbih baik menghindar dn bicara sepetlunya
Saya juga maunya menghindar kayak Mbak Utie. Cuman kadang-kadang kita nggak punya pilihan lain, karena kita kadang punya kepentingan tertentu, isalnya ingin menjenguk teman, tapi tak punya sumber daya selain numpang truk bareng-bareng Bu Tejo.
Eh iya, Mbak Melina, saya udah lama nih nggak nonton film berbayar. Seringnya nonton film yang gratis aja melalui aplikasi siaran on demand. Itu juga bukan saya yang nonton filmnya, seringnya malah filmnya yang nonton saya :))
Semua karakter orang yg ada di film tilik memang sering ada keseharian kita. Betul kata mbk Vicky kadang ga bisa dihindari. Tapi kl saya pribadi seru2 saja jika berada di situasi spt itu atau menghadapi orang spt bu Tejo, soalnya saya suka bergaul sama segala sifat, meski banyak diam dan hanya mengamati. Kadang orang2 spt bu Tejo kita butuhkan unt update kejadian dan situasi disekitar kita hihi ✌️
Hebat ya, Mas Sani, tahan berjam-jam bergaul sama Bu Tejo. Mungkin tahan juga kalau diajakin tinggal serumah sama Bu Tejo :))
Di anatar pro dan kontra, film Tilik menurut aku sih sebuah tontonan yang menghibur sekaligus mendidik. Ini kayak hal sepele tapi efeknya beribu2 pele hahahaha 🙂 Seru, jadi tau deh kebanyakan mulut ibu2 ketemu ibu2 lain suka ngerumpi. Ntar giliran kitanya ga ada di situ, giliran kita yang dirumpiin wkwkwkwkwk 😀
Bicara soal rumpi-rumpian, aku hampir selalu merasa risih masuk ke lingkungan ibu-ibu yang suka ngerumpiin orang lain. Kuatirnya ya seperti yang dibilang Teh Nurul itu, kalo pas aku lagi nggak di dalem situ, aku yang dirumpiin..
Itu sebabnya aku lebih seneng masuk lingkungan cowok. Karena cowok jarang ngerumpiin orang lain. Mereka itu baru ngerumpiin orang lain kalo orang itu udah dalam tahap mengganggu.
ada saja orang yang meributkan bahwa film ini justru menjustifikasi hoax dan mengeksploitasi perempuan bla bla bla..
ah, kalo ngga viral dan ngga ribut, mana menarik..
soal kualitas, memang mungkin banyak juga film-film sejenis yang ngga viral, karena ngga punya tim marketing..
harus diakui tim marketing Tilik ini oke sekali..
Iya, aku sampai menyelidiki nih kok film biasa aja tapi bisa viral gitu. Ternyata marketing-nya yang rajin, dia promosi ke sana kemari, nggak ngejar festival doang, tapi juga sengaja naruh di YouTube dan ngehubungin banyak orang buat nonton dan mendiskusikannya di sosmed 🙂
Seru film pendeknya. Banyak pesan moral yg tersirat dan tersembunyi di balik sederetan gibah ibu².
Yg pasti ada 1 kalimat akhir dari Bu Tejo yg bikin saya ngakak “Mbok yo dadi wong seng solutip ngono loh yo” Hahaha
Saya juga ngakak denger itu.. Bu Tejo sinis banget :))
Belum nontoon. Baru baca² komentar² yg viral ttg film ini. Oalah begitu ya ceritanya? Sepanjang jalan dengerin si bu Tejo nggosip. Kl saya mungkin yang sibuk mabok darat naik di bak truk itu deh.
Hahahaa.. maksudnya buebu yang muntah-muntah itu ya :))
Endingnya aku ngakak. Ampun deh mba Vicky mau jadi ban truknya. Wkwkwk. Nggak sanggup aku ngebayanginnya. Kukira jadi pak polisi udah lebih ngenes. Eternyata masih ada peran ban truknya.
Pak Polisi kalo ketahuan disogok pake jeruk, paling banter dipecat doang, Cha. Dia bisa hidup bahagia meskipun nggak jadi polisi.
Tapi kalo ban truk, kalo dipecat akan jadi ban sampah yang nggak ada gunanya :))
Ada banyak yang seperti bu Tejo nih jaman sekarang, tapi sebenarnya sejak dulu pun ada tipe yang suka menyebarkan kejelekan orang,hanya saja sekarang ini makin banyak yang begini. Saat awal kemunculan tentang film ini di timeline media sosial,saya pun langsung tertarik melihat ke youtube. Ada kocaknya melihat film ini tapi ada kesel juga lihat bibir bu Tejo ini,hehhehe
Benerrr.. ada masalah apa sih dengan bibirnya Bu Tejo ini? Make up artist-nya juga pinter, sengaja kasih shade lipstik yang bikin bibirnya makin tebel dan nampak nyinyir, wkwkkwkw
yampuuun, jelas auto mabok deh kalau pergi bareng Bu Tejo iki. Tapi relate sih emang di kehidupan nyata masih aja banyak orang yang kayak gini yang dari lubuk hati yang paling dalam ingin lakban mulutnya ajah, wkkwkwk
saya baru nonton lho Mbak, dari Kamis di timeline Twit berseliweran tapi dianggurin aja hihihih.
Bwahahaaa.. pengen dilakban? Kalo saya sih, pengen saya lem pake lem tembak :))
Dari kemaren-kemaren baca nama bu tedjo, sekarang baru paham kenapa jadi viral. Haha ketinggalan banget. Jadi penasaran pengen ikut nonton, hohoho.
Ayo nonton aja.. Itu link buat filmnya sudah kuselipin di atas :))
Dikau gercep banget, Mbaaaak. Wahaha….aku baru mau nulis tentang ini, Mbaaak. Dan kebetulan kalimat terakhirmu adalah poin yang mau kubahas 😀
Ironis memang :))
Aku greget banget sama Bu Tejo ini. Males emang dengerin orang yang suka cari kesalahan orang lain, jatuhnya kalau enggak bener kan fitnah, sayang omongannya bener, jadi tetep aja ghibah. Cuman film ini mewakili banget keadaan di masyarakat. Ada loh, sosok Bu Tejo yang nyinyir, tukang cari kesalahan orang, duh … saya kalau ketemu yang begini mending menjauh. Cuman aktingnya bagus, natural banget, banyak adegan lucu, bikin ngakak, plus twist ending.
Siti Fauziah bagus sekali. Aku sampai tepuk tangan.. :))
Auto nonton deh saya, lewat yutub
Hahaha, ciri khas Indonesia banget ya?
Naik truk karena transportasi pedesaan jarang banget malah Di banyak lokasi sering ga ada
Sosok yang saya pilih?
Ga ada
Potret pedesaan dengan sumber daya minim ya, Teh 🙂
Akhirnya saya nonton juga film pendek ini, dan… ya ampun gemesnya sama Bu Tejo. Thread starter banget dah orangnya. Ckckck. Kebayang gimana yang gak suka ngegosip, terus mesti satu truk dalam perjalanan yang jauh dan waktu yang cukup lama bareng Bu Tejo itu, pasti gak nyaman rasanya. Hahahah
Ada dulu, saya pernah terpaksa seperjalanan sama orang yang mirip Bu Tejo. Ya Allah, nyiksa banget perjalanan itu. Saya nyesel karena waktu itu nggak bawa sumbat kuping :))
Jadi ban.
Malah kasihan lho mbak, karena ngangkutin orang2 yg dari atas gunung sampai turun gunung, ngrasani ga mari2. Sampai sengaja dibuat mogok ben mandeg olehe ngrasani :)))
Ya itulah kasihannya ban, terpaksa ikut dalam rombongan atau tersingkir dari dunia. Ironis. :))
Diambil hikmahnya aja. Hehehe
Dunia gak akan ramai kalau ga ada yg berperan julid begitu.
Semoga saja niat baik dari hati masing-masing ya..
Ramai tapi nyakitin hati, Teteh.. :))
Sama Teh, aku kurang streg ama endingnya Teh. Seolah2 bergosip itu dibenarkan. Khawatir orang salah tangkap ini hahaha . Ntar mereka nangkepnya bergosip dan mendengarkan gosip itu gapapa2, karena gosip itu adalah fakta yang tertunda . Kan bsa salah tangkep jadinya
Soalnya kan ga semua orang punya pola pikir yang positif, ga smua orang juga sama ilmunya. Takutnya nangkepnya langsung bulat2 gitu. Bahwa bergosip di bolehkan belajar dr lingkungan film itu juga . Eh ini pendapat aku ya Teh. Jdi aku setuju ama Teteh klo endingnya bikin kesel hahaha
Mungkin baiknya nih film diputer aja di lingkungan terbatas. Supaya orang-orang yang pro bergosip nggak makin setuju bahwa memfitnah orang itu dibenarkan. 🙂
sungguh Bu Tejo bikin aku hepi di siang yang panas, karena Bu Tejo itu nyata, ada di kehidupan kita sehari-hari. Asik banget nulis kisah film pendek ini mbak, aku padamu 🙂 jadi ban truk wkwk
Dan kayaknya dulu, ada berapa kali seminggu aku terpaksa mendengarkan Bu Tejo ini di HPku, sampai pingin kubekap HPku pakek bantal biar nggak perlu dengerin notifikasi darinya :))
Pantesan kmrn mb Vic nanya stiker ban truk
Iya, soalnya aku merasa ban truk itu sangat mewakili diriku :))
Akupun menyayangkan endingnya yang plot twist dan memenangkan Bu Tejo. Kesan yang kudapat jadi gini “Ghibah ora popo kalo akhirnya jadi kejadian”.
Makanya aku pilih diem aja, ga ikut share-in ini film, takut disosor sama yang pro Bu Tejo Mba >.<
Wah, aku nggak seneng kalo ada yang pro Bu Tejo, hahaha.. Kelakuannya itu nggak sopan :))
Saya juga paling males bergaul atau ketemu orang yang model lambe turah kayak Bu Tejo gini, ga nyaman aja rasanya. Membayangkan kalau yg dia gosipkan habis-habisan itu adalah kita, duh ga kebayang. Pengen tak pites lambene
Pingin ta’ pites juga, Mbak Maya. Pakek ulekan. :))
Wkwkwkwk, kocaaakk khanmaen
Aku personally juga ga demen kalo ketemu Bu Tedjo wannabe di dunia nyata
Tapiii entahlah, lihat pilem ini, kok aku super duper terhibur buangeettt yha
Ku udah nonton tiga kali lhooo! Ngalah2i candu CLoY kayaknya wkwkwkwk
Ya ampun, sampai 3x :)) Tahan ya dirimu, Nur, nonton lambe Bu Tejo yang turah-turah itu :))
“Dadi wong iku sing solutif ngono”
Samaan kita nontonnya pas abis sarapan.. ehh saya mah sembari sarapan burjo sih.. hehehe..
Asli denger omongannya bu Tejo rasanya pengen ku toyorin kepalanya pake ban truknya.. biasanya kalau menghadapi orang seperti itu saya cenderung menjauh sih.. Jadi kalau di film ini, saya adalah Dian yang selalu kena gosip dan berharap punya pacar Julian McMahon tentunyaa. Hahahahaha…
Aku nontonnya habis makmal. Suamik engga ikut nonton, tp denger dialognya aja. Trus aku nyambung nonton “Anak Lanang” –>Komennya:”Ituuu anaknya bu Tejo?”…
Haha…Kalo mb Vicky ban truk, aku ban truk satu lagi deh. Kan ada 6…
Hahaaa.. aku sama Ceu Hani mah emang seringnya jadi ban truk.. :)) Kasihan deh kita sering terpaksa dengerin kaum-kaum Bu Tejo beginian..
Eh Endah, Dian itu nggak bakalan dapet Julian McMahon, soalnya Julian itu nggak akan pernah jadi lurah di Bantul, paling mentoknya ya jadi agen FBI atau jadi iblis sekalian :))