Api memercik. Batang-batang pohon bertumbangan. Asap membubung tinggi. Dalam hitungan hari, hutan mulai gundul. Manusia datang, membawa buldozer, meratakan tanah, mengganti pemandangan. Tapi pada saat yang bersamaan, tidak jauh dari sana, penduduk mulai digigiti nyamuk. Tak ada yang menduga, malaria merebak, menyusul penggundulan hutan yang makin massif.
Penggundulan Hutan dan Malaria, Takdir Negara Tropis?
Kita sudah akrab dengan penggundulan hutan semenjak kabut asap dari kebakaran hutan dijadikan bencana nasional pada beberapa tahun lalu. Penggundulan hutan, sekilas hanya menyebabkan bangsa kita kehilangan hutan secara berlebihan, yang dibanggakan oleh kita sebagai bangsa negara tropis. Tapi sebetulnya, sektor yang cukup tersenggol dampak penggundulan hutan adalah kalangan praktisi kesehatan di Indonesia.
Karena gara-gara hutan ditebangi, malaria pun jadi momok.
Malaria adalah penyakit demam, yang disebabkan kuman Plasmodium. Di Indonesia, patogen yang saat ini paling sering menyebabkan malaria pada manusia adalah kuman Plasmodium malcifarum dan Plasmodium vivax.
Kita juga tahu bahwa malaria sudah menjadi penyakit yang di semua negara tropis. Karena memang konsekuensi dari posisi negara yang dilalui garis khatulistiwa, adalah berlimpahan sinar matahari. Dan sinar matahari yang massif ini pasti mengundang nyamuk-nyamuk untuk datang dan mengoleh-olehi penyakit.
Dulu, malaria itu merata di seluruh kabupaten di Indonesia. Kini Indonesia sudah lumayan, malaria cuma ditemukan sedikit-sedikit saja di seluruh Indonesia. Namun, khusus di provinsi tertentu macam Papua dan Papua Barat, malaria masih jadi penyakit langganan. Bahkan seiring dengan makin cepatnya deforestasi di Papua, malaria juga kian banyak.
Kemesraan Penggundulan Hutan dengan Malaria
Sudah jamak riset yang membuktikan, bahwa semakin lebar lahan hutan yang ditebangi, ternyata malaria pun menjadi-jadi. Di Brazil, contohnya. Brazil ini negara tropis juga kayak kita, dan hutan negara itu lebih luas daripada hutan Indonesia. Di sana, malaria juga sudah lazim. Tapi, dulu malaria hanya biasa dijumpai di pemukiman penduduk yang paling dekat dengan hutan, dan itu pun sedikit penduduk yang terserang malaria.
Namun, dalam 20 tahun terakhir, hutan di sana juga jadi incaran banyak orang untuk ditebangi, karena tuntutan untuk membuat pemukiman baru atau untuk pertambangan (ini juga sama kayak kita, kan?). Dan, terungkap bahwa ketika hutan berkurang, ternyata malaria ikut bertambah banyak.
Negara tetangga kita, Malaysia, juga sama tropisnya kayak kita, dan hutannya lebat pula. Malaria juga ada dong di sana, meskipun dulu nggak banyak-banyak amat. Kemudian, hutan tropis mereka juga digunduli dalam puluhan tahun terakhir, terutama karena hutannya mau disulap jadi kebun sawit. Semenjak itu juga, kian jamak penduduk dekat hutan yang kena malaria.
Tapi anehnya, kuman penyebab malaria yang ditemukan pada manusia di Malaysia justru merupakan patogen yang lebih sering ditemukan pada monyet hutan. Sepertinya, nyamuk yang menularkan kuman malaria ini sebelumnya telah menggigit monyet. Dan monyet-monyet ini berkeliaran di sekitar perumahan manusia lantaran mereka kehilangan rumahnya di hutan.
Di Indonesia, deforestasi sudah terekam pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan semenjak tahun 1990. Rata-rata kini, Indonesia kehilangan hutan seluas sekitar 0,5 juta hektar per tahun.
Memang, belum ada penelitian kesehatan di Indonesia yang mengaitkan kasus malaria dengan laju kerusakan hutan, karena perilaku penduduk terhadap kesehatan membuat malaria cenderung berkurang di negeri kita. Tetapi, khusus di Papua, malaria cenderung tetap ada dan cenderung sulit dikendalikan. Dan saat ini, penebangan hutan justru makin sering santer di pulau sebelah timur Indonesia itu.
Terpicunya Nyamuk Malaria oleh Penggundulan Hutan
Bagaimana kita mau mengharapkan negeri kita bebas nyamuk malaria? Padahal hutan, terutama di kawasan tropis, punya sifat alami menjadi tempat tinggal bagi nyamuk-nyamuk, termasuk nyamuk Anopheles.
Nyamuk Anopheles ini unik karena kelenjar liurnya mengandung kuman Plasmodium. Apabila kuman Plasmodium ini masuk ke tubuh manusia, maka menimbulkan penyakit malaria.
Ketika hutan digunduli, maka lahan yang tertinggal akan lebih berlimpahan sinar matahari. Sinar matahari menyebabkan suhu yang lebih hangat pada lahan gundul ini, dan suhu hangat ini sangat disukai oleh larva (anakan) nyamuk Anopheles untuk berkembang biak.
Ketika musim hujan datang, kubangan-kubangan yang tertinggal pada lahan bekas hutan yang gundul ini akan mampat. Maka dalam kubangan ini tumbuh ganggang dan lumut, yang kemudian menjadi makanan bagi larva nyamuk Anopheles. Itu sebabnya kenapa nyamuk-nyamuk tumbuh makin besar ketika musim hujan.
Ketika hujan sudah berlalu, nyamuk-nyamuk Anopheles yang sudah kian bejibun akan berebutan sumber makanan, karena tidak cukup mangsa tersedia bagi seluruh warga nyamuk di lahan kering ini. Maka nyamuk-nyamuk akan terbang ke tempat lain untuk mencari makan. Dan tempat terdekat untuk berburu makan adalah.. pemukiman penduduk yang terdekat dengan (bekas) hutan.
Padahal sebelumnya, populasi nyamuk Anopheles itu juga tidak deras-deras amat. Karena, sebetulnya hutan sudah diskenariokan Tuhan untuk menjadi tempat keanekaragaman hayati. Dalam konsep keanekaragaman hayati, tiap makhluk pasti punya pemangsa alias predator, yang fungsinya untuk menjaga supaya jumlah makhluk tersebut tidak sampai terlalu berlebihan.
Termasuk nyamuk itu juga ada predatornya, misalnya ikan dan katak. Makanya kenapa setelah penggundulan hutan itu nyamuk semakin berlebihan? Sebab penggundulan hutan juga menghilangkan lingkungan air, artinya mengusir ikan-ikan dan katak-katak yang semestinya hadir untuk menyantap nyamuk Anopheles.
Terus, karena tak ada yang memangsa nyamuk, maka kaburlah nyamuk Anopheles ke pemukiman dekat hutan untuk mencari makanan. Dan mulailah mereka menggigiti manusia. Padahal ketika mereka menggigit itu, mereka juga menularkan kuman Plasmodium yang sudah mereka bawa dalam kelenjar ludah mereka. Alhasil, manusia yang ketularan patogen itu pun jadi kena malaria.
Akibat Ulah Nyamuk Malaria
Malaria ini penyakit yang cukup rese. Gejalanya nggak jelas, antara demam, sakit kepala, dan pegel-pegel. Kadang-kadang sulit dibedakan dari demam Dengue.
Tapi yang jadi masalah, kalau malaria ini menyerang orang-orang tertentu yang rentan, sebut saja bayi dan anak-anak balita. Anak-anak yang terserang malaria, umumnya badannya kecil-kecil dan lemes-lemes. Ini karena Plasmodium memakan sel darah merah di tubuh mereka, bikin mereka jadi kurang gizi.
Dan jangan kira malaria akan selalu langsung nongol setelah digigiti nyamuk Anopheles. Beberapa patogen Plasmodium yang masih anakan, bisa masuk ke tubuh manusia pada segala usia, lalu tumbuh di liver manusia sampai 4 tahun, tanpa bikin gejala demam sama sekali. Maka kalau kita yang di kota-kota besar ini sampai tertimpa malaria, padahal rasanya piknik ke daerah endemis malarianya sudah jauh berbulan-bulan yang lalu, waspadalah.. itu sebetulnya malaria yang sudah “ditabung” dan baru nongol sekarang. Dan itu sebabnya kenapa malaria masih bisa ditemukan di kota besar, meskipun mungkin kota itu tak ada nyamuk Anopheles-nya.
Penggundulan Hutan Tak Mampu Mengkompensasi Obat Malaria
Dulu, waktu zaman kolonial, malaria tinggal diobatin pakai pil kina. Tapi ternyata, sekarang kuman Plasmodium makin pintar. Dicekokin pil kina, kumannya nggak mati-mati. Maka menurut program kesehatan di Indonesia sekarang, orang yang positif kena malaria diobatin pakai obat ACT (artemisinin-based combination therapy) dulu. Memang WHO menganjurkan begitu. Dan sejauh ini, ACT masih terbukti lumayan manjur buat orang Indonesia.
Tapi kenyataannya nggak segampang itu juga. “Obat-obatan malaria di sini sering kurang lengkap,” keluh kolega saya, seorang dokter spesialis penyakit dalam di daerah endemik malaria, ketika saya wawancarai. Yang sering kehabisan itu terutama adalah obat-obatan untuk ACT.
Pengobatan ACT ini paling krusial dibutuhkan ketika penderita harus berhadapan dengan malaria serebral. Malaria serebral ini jenis malaria yang paling fatal lantaran kuman Plasmodium-nya menyerang otak dan bikin kejang. Seperempat dari penderita malaria di Indonesia itu meninggal lho lantaran malaria serebral ini. Dan baru ACT yang manjur mengatasi malaria serebral ini, yang repotnya justru obatnya sering tidak ada ketika dibutuhkan.
Mungkin, tatkala kita membiarkan hutan-hutan bertumbangan, kita lupa menyediakan stok obat ACT untuk menghalau malaria dari nyamuk-nyamuk hutan itu. Padahal kita kejar-kejaran dengan waktu. Kuman Plasmodium makin bejibun, karena populasi sarana tumbuh mereka, yaitu nyamuk Anopheles dan tubuh manusia juga kian banyak.
Bisa jadi daerah yang merasakan tuah dari penggundulan hutan hanya daerah endemik malaria. Apakah daerah yang tak mengalami penggundulan hutan, karena memang tak ada hutannya, tidak akan kena malaria? Belum tentu. Malaria adalah penyakit yang gampang jalan-jalan, itu sebabnya malaria masih jadi problem kesehatan di Indonesia.
Sebab, banyak daerah endemik malaria yang telah dikunjungi berombongan untuk keperluan pariwisata, tetapi tidak bikin turis minum obat pencegah malaria sebelum bertandang ke sana. Sebagai akibatnya, kadang-kadang sepulang dari sana, turis-turis tersebut jatuh sakit karena ketularan malaria. Sebagian lagi pulang dan masih merasa sehat-sehat saja, tapi diam-diam sudah menabung kuman Plasmodium di dalam livernya, dan baru mengalami dampak malaria tersebut 2-3 tahun kemudian.
Stop Penyakit Malaria demi Kesehatan di Indonesia
Maka untuk memberantas malaria, pilihan kita cuma dua, 1) bikin produksi obat yang melimpah untuk ACT, atau 2) mengembalikan nyamuk Anopheles dari rumah-rumah penduduk ke hutan. Kira-kira, lebih murah yang mana?
Kalau saya jadi pemimpin yang punya kewenangan, maka menyebarkan obat untuk ACT ke seluruh layanan kesehatan di Indonesia bisa jadi adalah pilihan yang ideal. Dan saat ini memang program WHO memang begitu. Tapi sistem teknologi informasi kita terbatas, terutama perlu pembaharuan ide dari para ahli yang lebih muda, supaya laporan kehabisan bahan untuk pengobatan ACT di daerah-daerah itu lebih cepat diakses oleh pusat penyaluran obat.
Bahkan ketika obat sudah ada pun, penduduknya sendiri masih jadi kendala. Masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari layanan Puskesmas, sampai masyarakat yang masih memilih mengobati demamnya secara tradisional, akan sulit menjangkau obat ACT untuk mengobati malaria mereka. Kenapa pasien malaria banyak yang meninggal? Karena mereka kena malaria serebral, dan jarak yang jauh menyulitkan mereka untuk dapat pertolongan dengan cepat.
Sampai kapan mereka harus terus-menerus membentengi tempat tidur mereka dengan kelambu supaya tidak digigiti nyamuk malaria? Mungkin anak muda perlu dilibatkan untuk memasang jaringan kelambu dan jasa di rumah-rumah marga mereka, atau bahkan mungkin membangun kolam-kolam ikan predator untuk memangsa nyamuk malaria.
Lawan Penggundulan Hutan, Nyamuk Malaria Dipulangkan
Yang paling mendesak, dan biayanya paling efisien, jika saya adalah pemimpin yang berwenang, saya ingin menghentikan perusahaan-perusahaan yang telah membabati hutan dan membiarkannya terbengkalai. Menunggu waktu sampai lahan itu menjadi produktif kembali, tidak bisa menggantikan usia produktif para manusia yang hilang akibat malaria.
Karena penggundulan hutan telah menyebabkan lahan jadi mangkrak dan menjadi sarang baru bagi larva nyamuk malaria. Hutan harus segera direboisasi, untuk mengembalikan keanekaragaman hayati yang lengkap dengan predatornya, supaya nyamuk kembali tinggal ke habitatnya dalam populasi yang proporsional.
Saya juga ingin menyebarkan pendidikan kewirausahaan kepada para pemuda. Karena menciptakan lapangan pekerjaan sendiri itu adalah peran generasi muda yang besar sekali dampaknya. Mindset mandiri harus timbul di kepala mereka, bahwa sumber penghasilan terbaik tidak harus berasal dari perusahaan-perusahaan yang ingin menghapus fungsi hutan menjadi lahan fungsi non-hutan.
Karena meskipun perubahan fungsi lahan bisa memberikan tambahan penghasilan kapital, tapi penghasilan uang tidak bisa menggantikan keanekaragaman hayati yang hilang akibat penebangan hutan yang semena-mena. Padahal keanekaragaman hayati ini, yang mungkin akan membentengi kita dari penyakit zoonosis macam malaria.
Demi keselamatan keanekaragaman hayati yang menjaga kesehatan di Indonesia, kita harus hentikan penggundulan hutan. Singkirkan gergaji dari hutan, jangan biarkan api menyala. Taburkan benih baru, biarkan hutan kembali basah. Pulangkan nyamuk ke rumah mereka. Maka, kawan-kawan kita di seluruh Indonesia tidak perlu lagi meregang nyawa karena malaria.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Ngeri banget memang deforestasi dunia, Mbak Vic. Di Amazon konono penggundulan hutan meningkat nyaris mencapai 10 persen dari angka sebelumnya. Enggak heran kalau anke penyakit, termasuk malaria, berpindah ke permukiman warga dan menyerang warganya. Aku setuju, seperti keuntungan sawit yang tak sepadan dengan dampak lingkungan-kesehatan, maka jalan paling efektif untuk menghilangkan malaria adalah dengan memulangkan mereka ke habitatnya. Kalau hutan basah, pohon-pohon tumbuh lagi, malaria bakalan ogah jalan-jalan ke rumah warga. Kecuali kalau kita lebih suka bertindak sebaliknya ya….
Betul. Situasi hutan Indonesia sebetulnya tidak beda-beda jauh dengan hutan Amazon, paling-paling cuman hutan di sana lebih luas aja, tapi sama-sama akan memperparah kejadian malaria jika hutannya dibabat.
Reboisasi untuk memulangkan nyamuk malaria mungkin akan memerlukan waktu, tapi reboisasi masih jauh lebih efektif untuk mengurangi nyamuk malaria daripada menunggu jatah obat-obatan cukup untuk bisa melindungi warga.
Waduh aku bacanya sambil membayangkan berapa ngertinya efek dari deforestasi ini Mba. Terutama bagia di mana orang-orang menabung bibit penyakit malaria dan berpotensi terkena penyakit ini bertahun-tahun kemudian. Tahuun gitu loh itungannya. Huhuhu..
Semoga ke depan makin banyak pemimpin yang punya pemikiran seperti Mba Vicky. Sayang banget kalau Kita terkena dampak buruk dari kelalaian manusia itu sendiri.
Ya, malaria itu bukan penyakit yang pasti akan langsung selalu menyusahkan (bergejala) begitu digigit nyamuk. Kadang-kadang malaria bisa timbul pada orang yang digigit nyamuk 3-4 tahun lalu, dan saat itu mereka sudah lupa bahwa mereka pernah digigit nyamuk. Maka pengobatannya cukup memakan biaya, suatu hal yang sebetulnya tidak efisien karena biayanya bisa dialihkan kepada keperluan lain yang lebih produktif.
Dan penghentian deforestasi bisa mengurangi kejadian malaria ini, dan itu sudah terbukti di kota-kota lain..
Pelik ya masalah deforestasi ini..disatu sisi pemangku kebijakan ingin mengelola sumber daya alam dengan harapan bisa memberikan penghidupan pada rakyatnya ..disatu sisi cara pembabatan hutan cenderung tidak memperhatikan keseimbangan alam . Disisi lain ada lagi timbul penyakit malaria akibat hutan tropis kita emang tempat yang nyaman untuk si nyamuk jadi serba salah hehehe apapun itu semoga dapat dicari jalan keluar terbaik buat kita semua.
Sumber daya alam dari hutan sebetulnya sudah bisa memberikan penghidupan tanpa harus diolah. Karena keberadaan hutan sendiri sudah memberikan jasa penyerapan karbon, sehingga hawa bumi menjadi tidak terlalu panas. Hutan juga menjaga penyerapan air hujan, sehingga mencegah banjir. Hutan menjaga keanekaragaman hayati, sehingga tiap spesies tetap berada di tempatnya (termasuk nyamuk malaria) tanpa perlu menyerang spesies lain.
Itu value yang sebetulnya tidak bisa ditandingi dengan nilai ekonomis produk olahan hutan.
wah keren ni infonya ahahhahah
Terima kasih.
Waktu tinggal di Papua malaria sudah jadi penyakit sehari-hari, kalau capek pasti kambuh ya..sedih…
Harusnya jangan dibiarkan terus malaria di Papua itu. Nanti penduduknya nggak maju-maju..
Hutan juga jd sumber kehidupan dan punya habitatnya sendiri, kalau dirusak pasti habitatnya akan merusak perusaknya jg ya 🙁 sedih banget kalo sampai terjadi terus menerus, pasti akan semakin mengancam kehidupan lainnya
Iya, benar.
Banyak dampak negatif dari penebangan hutan. Berkurangnya ekosistem, habitat tempat tinggal hewan-hewan yang mendiami jadi terganggu…
Secara langsung atau tidak, kita sebagai manusia juga merasakan akibatnya… Penyakit malaria salah satunya…
Ya, betul.
Mba Vicky, apakah manjur kalau kita akan ke daerah endemik malaria minum pil kina agar terhindar dari malaria?
Sayangnya pil kina saat ini tidak selalu manjur lagi, Mas Taumy. Sebab banyak kuman malaria yang sudah kebal terhadap pil kina. Lebih baik minum obat anti malaria yang lain, jika hendak mengunjungi daerah endemik malaria 🙂
Ngomongin malaria jadi ingat sewaktu ke NTT. Budeku yang orang kesehatan nyuruh suntik anti malaria dulu. Jujur aku minim ilmu banget soal itu. Alhamdulillah udah 6 tahun peristiwa it dan semoga memang ngga ada kuman malaria yang tertabung dala tubuhku.
Budemu cerdas sekali! Seandainya aku disuruh ke NTT, aku juga akan mengonsumsi obat malaria dulu. 🙂
Nyamuk diciptakan pasti ada perannya, begitu keseimbang alam dirusak maka ada yang akan rusak. Hutan dirusak, predator nyamuk hilang, malaria merajarela. Jika Mbak Vicky jadi pemimpin..aku dukung semua gagasannya mbak. aku penasran ACT itu kaya ya mba?
Obat ACT itu seperti obat pil aja kok, dikonsumsi dengan cara diminum. 🙂
Dulu saya pernah praktik di daerah endemis malaria. Bahkan di sela-sela tanaman pun bisa dijadikan tempat berkembang biak nyamuk.
Memang tidak bisa dihindari malaria tersebut. Tapi setidaknya perlu edukasi untuk pencegahan malaria
Betul.
Jadi serba salah yaa masalah deforestasi ini sisi lain begini, dan begitu.Ah semoga saja ada jalan terbaik, soalnya deforestasi sangat mengganggu warga sekitar hutan.
Eh,btw tentang malaria lama ga mendengarnya, ternyata masih ada yaa. Semoga ga banyak orang yang terkena malaria, apalagi sampe meregang nyawa.
Wajar kalau Teh Nchie sudah lama nggak mendengar malaria, karena Teteh tinggal di Bandung yang memang sudah tidak ada malaria. Tapi Papua masih banyak mengalami malaria sekarang, jadi kita perlu membuat gerakan (meskipun mungkin gerakannya kecil) supaya deforestasi di sana tidak makin luas.
Selama ini aku malah berpikir nyamuk penyebab malaria subur di hutan. Ternyata malah deforestasi yang membuat keberadaan nyamuk malaria semakin parah, ya.
Aku setuju dengan solusi Kak Vicky walau pada realitanya pasti sulit diterapkan karena banyak kepentingan di hutan papua
Sebetulnya deforestasi di Papua bisa dikendalikan kok. Caranya, hutan yang sudah kadung mengalami deforestasi harus segera direboisasi.
Sedangkan, hutan yang masih utuh tidak boleh dideforestasi.
Dan masyarakat lokal mesti diberdayakan melalui pendidikan supaya punya banyak keahlian, sehingga tidak perlu menggantungkan satu-satunya nafkah kepada pembalak hutan.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus serius menangani masalah ini, jangan biarkan hutan yang merupakan anugerah Tuhan untuk Indonesia, jadi hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.
Ya, betul
Sudah lama ga dengar tentang malaria karena udah lama banget, ternyata masih menyerang penduduk sekitar hutan ya?
Dan jika deforestasi dibiarkan akan meluas ke perkotaan
Ngga hanya krisis air, pangan dan oksigen, ancaman kesehatan yang lebih parah akan mengintai
Wajar kalau Teh Maria nggak mendengar tentang malaria lama sekali, karena memang malaria saat ini tinggal di Papua dan Nusa Tenggara Timur. 🙂 Propinsi-propinsi seIndonesia yang tidak ada malarianya hanyalah Jakarta, Jawa Timur, dan Bali. Lain-lainnya masih ada malaria sedikit-sedikit, tapi umumnya hanya beberapa kasus di desa-desa, sehingga memang malaria ini jarang terdengar.
Tetapi deforestasi juga hanya terasa dampaknya di desa-desa, bukan di kawasan perkotaan yang memang sudah bebas dari malaria. Maka kita yang tinggal di kota dan punya akses lebih cepat terhadap teknologi informasi, perlu menyebarkan kesadaran akan bahaya deforestasi dan malaria supaya saudara-saudara kita di daerah yang rentan deforestasi (dan juga rentan malaria) bisa tertolong.
Deforestasi tak bisa dihindari karena ketamakan dari pemda setempat yang bekerja sama dengan para investor yang ingin membabat hutan. Mengerikan akibat deforestasi dengan adanya penyakit malaria. Jadi pemimpin yang aware lingkungan memang sangat dibutuhkan bukan sekedar kepentingan kekuasaan.
Benar. Pemda sebetulnya punya peran penting untuk supaya hutan tetap berfungsi menjaga keseimbangan alam. Investor seharusnya diawasi supaya segera melakukan reboisasi pasca membabat hutan.
Tetapi pada prakteknya, Pemda seringkali tidak mengawasi para perusahaan pembabat hutan ini. Sehingga hutan yang sudah kadung gundul pun telanjur terbengkalai, sehingga tidak bisa menjadi tempat tinggal bagi predator nyamuk malaria.
Miris banget mbak sekarang populasi hutan hanya cuman beberapa sebagian aja. Nyamuk malaria biasanya hidup di perhutanan gitu sih dan kadang saya susah membedain nya mana nyamuk biasa, nyamuk DBD, atau nyamuk malaria gitu, hehehe.
Di luar rumah emang banyak nyamuk di banding di dalam rumah. Kita pun juga nggak gak bisa bedain mana yang nyamuk biasa dan mana juga nyamuk malaria, pokoknya jangan anggap sepele lah kalau kena gigitan nyamuk tuh udah biasa banget bagi kita, mungkin saja nyamuk-nyamuk itu pembawa penyakit melaria, akkhh jadi serem :((
Saya juga nggak bisa membedakan mana nyamuk malaria, nyamuk DBD dan nyamuk yang tidak membawa penyakit. 🙂 Yang bisa kita kerjakan sekarang adalah jauh-jauh dari nyamuk, dan mengendalikan populasi nyamuk. Mengendalikan populasi nyamuk ini lebih baik dengan bantuan predator, tapi kita harus menciptakan hutan lagi sebagai tempat tinggal para predator tersebut 🙂
Terkait penebangan hutan itu sebenarnya orang-orangnya ada di dekat kita, tapi sepertinya kita gak punya nyali untuk bilang ke pihak yang berwenang terkait memberikan informasi pelaku yang melakukan penebangan hutan secara ilegal tersebut.
Disisi lain mau bilang nanti malah keluarga ‘dia’ gak ada kerjaan, ditambah lagi banyak dari keluarga lain yang ikut kerja sama dia juga gak punya kerjaan lalu gak bisa nafkahin anak-anaknya yang banyak itu. Cari kerja sekarang dah susah banget, apalagi kalau gak punya keahlian tertentu atau punya sertifikasi disuatu bidang. Yah mau gak mau kerjaan seperti itu jadi pilihan, selain ada akses untuk bisa masuk kesana ya mungkin dimanfaatkan olehnya.
Tapi disisi lain juga kalau gak bilang banyak efek-efek yang ditimbulkan seperti salah satunya malaria ini yah.. Sampai detik ini sudah banyak orang yang meninggal dunia akibat masalah ini, dan dan kita pun sebagai korban penggigitan oleh nyamuk gak bisa milih mau digigit nyamuk yang mana. Boro-boro milih, pas digigit aja gak tau itu nyamuk jenis apa dan berasal dari mana. Dan apakah nyamuk itu adalah kepada keluarga dari anak-anaknya yang butuh darah manusia sebagai sumber makanan mereka, belum kalau nyamuk itu mati duluan kena tabok dari manusia yakan? Kasian emaknya pergi terus tidak pernah kembali lagi untuk selama-lamanya, kadang pernah dimutilasi sama manusia setelah insiden penabokan itu terjadi (hmh pengalaman).
AHHHHHHHHH INGIN KUTERIAAAKKKK!!! Yah gitulah kak, untuk mencegah ini semua sebenarnya adalah dengan menjaga hutan dengan baik, agar segala mahluk hidup yang tinggal disana gak migrasi ke dunia manusia, seperti contohnya nyamuk malaria ini. Kalau hutannya gak ada ya dia cari hutan lain untuk mencari makan.. Kadang kalau ada pelakuyang sebenarnya kita tau siapa, jadi enggan untuk bilang… Kira-kira diposisi kk sendiri gimana kalau semisal kk tau pelakunya siapa, tapi pelaku tersebut adalah orang yang baik sama kita atau deket sama kita atau malah itu saudara kita sendiri?
Apalagi kalau semisal dia tau yang laporin adalah kita, pasti bakal …… *sensor*
Dear Kak Andrie, itu sebabnya kenapa saya bilang bahwa peran generasi muda penting untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Orang yang menciptakan lapangan pekerjaan, secara perlahan akan mengembangkan mindset bagi lingkungannya bahwa sumber nafkah terbaik itu tidak harus dengan menebang hutan. Ketika orang menciptakan lapangan pekerjaan, maka dia akan memberi edukasi kepada masyarakat sekitarnya, sehingga banyak orang yang diedukasi itu akan memiliki tambahan keahlian. Ketika orang memiliki tambahan keahlian, maka dia tidak akan bergantung kepada penebangan hutan sebagai satu-satunya sumber nafkah. Dia bahkan mungkin tidak akan takut digencet kalau sampai-sampai melaporkan penyelewengan perlindungan hutan karena dia sendiri sudah dinafkahi oleh keahliannya sendiri.
Jadi, kalau ingin tetap berani mencegah penebangan hutan yang sewenang-wenang, kita sendiri harus punya sumber nafkah sendiri dan punya pendidikan yang cukup :).
pendapatan naik tp deforestasi meningkat, rakyat menderita, yg pejabat dan pengusaha hepi. Sehabis ditebang lalu dilakukan reboisasi pun tumbuhnya tdk akan cepat jg yaa.
Ttg nyamuk ini saya justru baru tau mba vicky. Makasih atas penjelasannya. Semua makhluk hidup sudah punya habitatnya masing2 yaaa. Keserakahan kita yg membuat hal2 buruk itu terjadi. Wahh ternyata nyamuk anthelope ini bisa sampai 2-3 mengendp d tubuh manusia yaaa, ngeri jg.
Hai Mbak Ghina, sebetulnya yang mengendap di tubuh manusia sampai 2-3 tahun itu bukan nyamuknya ya, tetapi kuman Plasmodium penyebab malarianya. Dan kuman itu bisa sampai ke tubuh manusia jika kuman tersebut dibawa oleh nyamuk yang menggigit manusia tersebut. 🙂
Pas lihat fito Rich Carey, sedih banget euy rasanya. Segitunya ya, hutan digunduli demi satu kepentingan. Dampaknya kembali ke manusia lagi, gara2 deforestrasi nyamuk malaria datang dan menghisap tubuh manusia. Efeknya bisa sampai kematian :(.
Jadi inget, Waktu suami pindah ke Papua, aku nggak ikut mbk, ya gara2 disana terkenal penyakit malaria jadi aku sama anakku nggak ikut kesana.
Aku ikut prihatin keluarga kalian sempat berpisah, tapi aku bisa memahami ketakutanmu yang takut tertular malaria. Semoga suamimu baik-baik saja dan mudah-mudahan deforestasi bisa dihentikan supaya malaria di Papua tidak semakin banyak. 🙂