Pelacur: Boikot atau Bina?


Saritem. Gang Dolly. Taman Lawang. Pasar Kembang. Red Line. Itu adalah tempatnya lokalisasi pelacuran. Nggak usahlah gw sebutin di mana lokasinya. Gw malah yakin Anda lebih apal jalan ke sana ketimbang gw.

Gw bahkan bisa dengar Anda udah jawab pilihan pertama dengan pertanyaan di atas. Boikot pelacuran, tanpa ba-bi-bu. Kata suami-suami yang takut dosa, pelacuran dilarang oleh Pak Kyai, dilarang Bapa Pendeta, dan dilarang istri. Kata tukang pajak, pelacuran harus dibasmi karena nggak bayar pajak. Kata pengusaha properti, daripada jadi tempat pelacuran, mending digusur, terus jadi hotel bintang lima. Profitnya lebih tinggi.

Barangkali yang melarang lokalisasi pelacuran digusur justru para dokter. Lhoo?

Saat ini, dokter dibikin pusing karena kejadian infeksi menular seksual meningkat cepat. Obat yang ada makin nggak mempan. Sudah banyak yang tewas lantaran kena raja singa, tapi pasien nampaknya belum kapok juga.

Biasanya kalo suami kena, istri juga kena. Para pria yang udah kena kencing nanah sudah disuruh bawa bininya buat diobatin juga, tapi mereka nggak manut. Soalnya mereka takut dihajar istrinya kalo mereka bilang bahwa mereka pernah tidur dengan perempuan lain.

Bayangkan Anda di posisi gw. Gimana kita bisa stop penyebaran penyakit menular seksual kalo orang-orang yang ketularan ini nggak diobati? Kita tau orang yang biasanya ketularan penyakit ini adalah:
1. para pelacur
2. para pria yang make jasa pelacur
3. para wanita yang kekasihnya make jasa pelacur
Jelas kan, kalo mau penyakit menular seksual dibasmi, berarti yang mesti diobatin pertama-tama adalah golongan nomer 1 dulu.

Masalahnya, gimana ngobatin pelacur? Dokter nggak bisa ngobatin kalo orang yang diobatinnya aja nggak ketemu. Pelacur susah ditemukan coz:

MASALAH AGAMA. Doktrinasi agama nggak berhasil dengan efektif, coz belum apa-apa pelacur sudah disinisin kalo masuk musola atau kapel. Gimana mereka mau tobat?

MASALAH EKONOMI
Pelacur susah dapet kerjaan, jadi mereka nggak punya mata pencaharian lain. Di pihak lain, pelacur bisa eksis coz permintaan terhadap pelacur selalu aja ada. Sampai ada gurauan, nyari minyak tanah aja susahnya bukan main, tapi mau nyari pelacur lebih gampang.

MASALAH GEOGRAFI. Pelacur yang nyebar di mana-mana akan susah dikumpulin. Mereka nggak terdata, akibatnya susah dibina dan susah diobatin. Apa mereka harus punya KTP alias Kartu Tanda Pelacur supaya gampang didatanya?

Oleh karena itu, apakah bijaksana kalo kita membubarkan Saritem, Gang Dolly, Pasar Kembang, Taman Lawang, dan Red Line? Kenapa kita nggak mikirin sisi positif dari lokalisasi pelacuran? Kalo pelacur-pelacur itu dikumpulin di satu tempat, akan gampang buat kasih mereka pelatihan ini-itu supaya mereka bisa cari pekerjaan lain. Lebih gampang kasih mereka pelajaran agama supaya mereka mau tobat. Dan lebih gampang lagi nyuntikin kuinolon ke badan mereka satu per satu supaya mereka nggak nularin sakit kencing nanah ke konsumen mereka.

Perkara lokalisasi hanya akan melegalisasi akses untuk bikin dosa? Itu harus dibalikin ke konsumen yang make jasa pelacur. Ingat hukum ekonomi. Jasa nggak akan tercipta kalo nggak ada yang butuh. Orang nggak butuh kalo nggak ada alasan. Kenapa orang sampai merasa butuh main sama pelacur? Itu yang harus dipecahkan.

Kita nggak butuh Perda macem-macem buat melarang pelacuran. Itu nggak efektif! Kita cuman butuh sekolah yang memadai supaya penduduk negara kita ini nggak pada nganggur.

Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah pelacuran kudu diboikot, atau lebih baik dibina?

27 comments

  1. Nunggu sektor agpoleksosbudhankam bekerja terpadu dengan serempak sama aja kayak nunggu kejatuhan bulan, Pak. Mungkin kita harus mulai dari evaluasi cara pandang kita terhadap pelacuran dulu. Apa yang bisa kita lakukan terhadap lokalisasi pelacuran? Kalo nggak ada, apa yang sebaiknya jangan kita lakukan?

  2. lokalisasi solusinya bukan ditutup atau tidak, karena selama demand and supply masih ada, ya sesuatu yg mustahil…..
    jadi akar masalahnya itu banyak dan saling berkaitan, maka solusinyapun harus menyeluruh lintas sektoral, bersama-sama,terpadu, dan konsisten.
    jangan biarkan mereka (para WTS) jadi komoditi poleksosbudhankam dan agama oleh orang2 munafik dan sok moralis.

  3. hade says:

    Tempat kerjaku punya asset yang dipakai jadi lokalisasi. Ketika kita datangin agar mereka pindah, katanya : Kita sedang ngumpulin duit untuk beli asset anda.
    Saya kaget…., omset mereka ternyata dapat membeli asset kita yang cukup mahal ini….

  4. Huahauhaha! Kesiyan sama rakyat yang rumahnya deket Saritem, Taman Lawang, Pasar Kembang, Gang Dolly.. Nggak bisa bedain antara tetangga sendiri dengan ‘komoditas’..

    Bu, kok ya panjenengan nggak pasang peneng di leher, “Maaf, tidak dijual”..? Hahaha!

  5. Dyah says:

    Ini cerita pengalammu Vick, rumahku dekat Komplek WTS, kurang lebih 100 m, sejak umur 11 th komplek itu ada, setiap sore bermain Volly Ball dengan mereka, peserta cewek-cewek komplek dan warga sekitar. Aku amati pada tahun 1970 ada pembina dari Dinas kesehatan dan dari kecamatan. Dan mereka silih berganti datang dan pergi, yang datang lebih banyak dari pada yang pergi, ada yang kembali kemasyarakat dan ada yang malah ….. Ada cerita yang lucu pada waktu aku pulang kuliah pada waktu itu sudah agak sore aku naik becak, aku ditawar oleh pengendara motor, setelah saya tersenyum pengendedara motor langsung tancap gas ternyata tetangga dhewe ……. pak Juni langganan becakku tertawa terbahak22 dia kecele itu suka duka rumah dekat Komplek WTS.

  6. Arif BE says:

    Sebenarnya mereka sangat memerlukan uluran tangan orang lain untuk keluar dari dunia hitam. Tugas pemerintah dan masyarakat luas untuk terus membinanya. Itu memang tugas berat yang hanya orang pilihan mampu melakukannya. Mereka harus tetap disadarkan bahwa selalu ada pintu taubat sebelum ajal menjemput. Astaghfirullah…

  7. Waduh Vick, kalau di Arab sana sih emang nggak ada pelacuran, tapi kalau hareem ada khan (itu sampai ada sinetronnya di Indonesia). Mnrt gw sami mawon, cuma di bungkus dalam bentuk lain. Masalah syahwat ujung-ujungnya kok 🙂

    Sebetulnya ada ide gila nih. Kalau mau membina pelacur secara efektif masyarakat harus terlibat secara aktif. Gimana caranya?

    Bisa ditiru tuh pola orang tua asuh, yaitu dengan mengangkat satu pelacur menjadi anak asuhnya, dikasih pembinaan, ketrampilan dan diberikan pekerjaan yang layak bagi kemanusian. Nggak cuma dikasih ketrampilan setelah itu dilepas ke dunia rimba yang kejam ini. Nah sekarang kamu mau nggak nyontohin jadi orang tua asuh mereka ?

    WahJoe

  8. Saya biasanya ndak setuju sama orang yang ndak jelas namanya, tapi untuk RCO itu pengecualian, hehehe.. Lihat Arab, di sana ndak ada pelacuran, coz agama mengendalikan moral bejatnya rakyat. Di negara-negara ekonomi maju, pelacuran berkembang juga, tapi perkembangannya tidak sepesat negara-negara yang kurang maju. Jadi nampaknya butuh sinergi antara ekonomi dan agama. Akar dari penyelesaian masalah ini tetaplah pendidikan.

    Saya udah bolak-balik utak-atik HTML, tapi read-more-nya belum manjur juga. Padahal saya udah coba manual guide dari Blogger.com sendiri. What’s my fault?!

  9. A N D Y says:

    Menurut saya perlu adanya pembinaan yang rutin, kalo perlu di didik di panti khusus sampe mereka insyaf. perasaan di teve juga ada acara begituan, nginsyafin orang-orang yang masuk kedalam lembah hitam..apa udah kagak ada ya..
    Btw kok read more nya ga berhasil?dicoba lagi..jangan menyerah..jangan cari kode yang sama persis tetapi yang rada-rada nyrempet gitu..semoga berhasil..

  10. rco says:

    Intinya pada perekonomian. Jika perekonomian bangsa ini tidak bermasalah, dengan sendirinya prostitusi berkurang. Kalau perekonomian sudah bagus masih jual tubuh juga-moralnya perlu dipertanyakan.
    Gimana?

    Saya kira, untuk melepas mereka dari dunia gelap tentu kita harus memberinya terang. Kalau mereka bekerja sperti itu karena kesulitan ekonomi, ya mari kita bantu mereka untuk memiliki penghasilan tetap yang memadai untuk hidup.

    Salam kenal

  11. Ya betul. Kalo para pelacur udah tobat semua, bisa-bisa kaum rohaniawan jadi nggak ada kerjaan..:p

    *Wahai, bloggers! Berhentilah ngomong ngaco. Insyaflah kalian sebelum terlambat..*

  12. Fanda says:

    Aku setuju tuk dibina aja. Karena biar diboikot, ditutup, dilarang dsb, toh akan tumbuh lainnya dgn lebih subur. Pelacuran memang dosa, tapi bukankah dgn begitu para kyai dan pendeta jd punya kesibukan tuk mentobatkan mereka? hehehe…

  13. Saya melakukan riset kecil-kecilan dan cari tau pihak mana yang paling dirugikan secara finansial oleh pelacuran. Kaum medis tidak rugi, coz ada bayaran buat tiap pengobatan sifilis. Kaum rohaniawan tidak rugi, coz degradasi moral tidak pernah mempengaruhi penghasilan mereka. Kesimpulannya, yang paling dirugikan adalah tukang pajak. Coz pelacuran adalah satu-satunya aktivitas ekonomi yang nggak bayar pajak.

    Pembinaan pelacur ke arah yang lebih baik bisa mengurangi pelacuran itu sendiri. Asalkan ada komitmen penuh dari penyedia lapangan pekerjaan, sekolah, dan kemauan warga untuk patuh sama Tuhan, saya yakin, pelacuran bisa dihentikan.

    *ciehh..tumben gw ngomongnya lurus*

  14. mastein says:

    heh! sampeyan kok bawa-bawa tukang pajak?! cuma tinggal menunggu waktu saja sampe saya nyisir tempat-tempat yang sampeyan sebutkan tadi buat narikin pajeknya. hehe

    jangan maen boikot gitu dunk mbak, kasian saya, eh maksudnya kasihan mereka, gini lho, niru iklan di tipi, boikot itu seperti nangani diare dengan obat biar langsung mampet, bakterinya malah ndak bisa keluar. ini kan soal perut, penanganan gak bisa model fogging aja, cuma matiin nyamuk gede, harus dengan 3M! halah ngawur lagi saya, maksudnya penanganan harus terpadu, dari kampung asalnya sana sampe ke kampung penampungnya harus ada sinergi, ada tindakan yang berkesinambungan.

    duh ruwet lama-lama…

  15. Well, saya sendiri tidak setuju sama kegiatan melacur. Tapi kalo memang pelacurnya nggak diterima kerja di mana-mana, apa boleh buat? Makanya penutupan rumah bordil nggak boleh semena-mena, kudu ada kompensasi lapangan kerja yang halal buat para pelacur. Kalo nggak ada lapangan kerja, ya minimal pelacurnya kudu disekolahin gitu..

  16. genial says:

    @ Vicky : yah itu dia yg dulu pernah diusahain sama pemerintah waktu zamannya… sapa ya, lupa… hehehehe… lokalisasi di salah satu pulau seribu…

    hmmm… artinya, si tuan rumahnya setuju sama pelacuran kan???

  17. itikkecil says:

    dari pengalaman saya di project pencegahan, dulu pada saat masih ada lokalisasi resmi di sini, jumlah daerah merah bisa dihitung dengan jari… tapi begitu lokalisasi resmi itu ditutup, daerah merah menyebar di mana-mana…. walaupun ditutup prostitusi tetap ada… malah repot karena pihak dinkes terutama tidak bisa memantau psk yang ada…… IMHO, sebaiknya dibina..

Tinggalkan komentar