Ada obat-obatan yang nggak pernah boleh absen dari kotak P3K saya di rumah, yaitu oralit dan obat anti diare. Sebab sekalinya saya punya pengalaman diare, badan langsung mogok dan nggak bisa ngapa-ngapain. Satu-satunya yang bisa dilakukan cuman bisa teriak minta tolong, itu juga kalau masih ada sisa suaranya.
Pengalaman saya dengan diare lumayan ngeselin. Maksud saya diare lho ya, bukan mencret.
Lha emangnya beda ya diare dengan mencret? Ya beda dong ah, diare itu pupnya cair sampai lebih dari tiga kali per hari. Mencret itu pup cair juga, tapi nggak sampai tiga kali per hari. Kenapa mesti diitung sampai tiga kali? Nanti saya kasih tahu sebabnya.
Tumbang Setelah Chicago
Seperti warga Indonesia umumnya yang konon masih berkembang ini, saya lumayan akrab sama mencret. Biasanya cuman karena habis makan di warung. Atau habis kelamaan nongkrong di restoran Padang (baca: kebanyakan makan makanan bersantan). Itu juga mencretnya nggak banyak-banyak. Paling 1-2 kali doang, abis itu ya sembuh.
Tapi saya nggak lupa ketika saya diare di tahun 2003. Saya inget tuh sore hari, baru kelar dari nonton Chicago-nya Richard Gere bareng teman. Mata saya memerah kegatelan dan perut saya mules. Setelah sekali mencret di toilet bioskop, saya curiga kalau-kalau ini alergi makanan. Memang sebelum nonton, kami sempat makan siang dulu di rumahnya.
“Nda,” kata saya sambil ngelus-ngelus perut yang mules. “Tadi yang kita makan di rumah kamu itu apaan sih?”
Kata teman saya, “Fuyunghai. Telor isi udang.”
Mantep, kepala saya langsung kayak disamber geledek. Saya langsung panik. “Gw..alergi..udang..”
Teman saya terperanjat ngeri dan langsung nyuruh saya pulang naik angkot.
Sepanjang jalan saya sibuk wirid. Please ya Allah, jangan sampai kecirit.. Saya nggak tahu caranya bersihin angkot..
Sampai rumah, saya langsung menerjang masuk kamar mandi dan memonopoli tempat itu lama sekali. Ayah saya menggedor-gedor pintu, waswas karena sebentar lagi mau berangkat kerja, padahal belum mandi.
Teriak saya sambil nangis kesakitan, “Siik! Masih be’ool..!”
Ayah saya bales teriak, “Papa mau praktek!”
Jerit saya, “Siiiiiiikk!” lalu terdengarlah suara seperti bom meledak di toilet.
Selesai mencret itu, saya berjalan tertatih-tatih ke kamar ayah saya. Ayah nampak gusar karena takut terlambat kerja.
Ibu saya mengernyit. “Habis makan apa?”
Saya menunduk. “Kayaknya udang.”
Ayah saya menggerutu karena saya begitu bloon. Ia membuka laci ajaibnya dan mengeluarkan sebuah pil. Tapi hampir saya mau menyambar pil itu, tiba-tiba perut saya bunyi kerucuk-kerucuk lagi. Saya langsung lari kembali ke toilet.
Ayah saya menggedor-gedor pintu. “Vicky! Vicky! Papa kapan mandinya…?”
Pingsan di Rumah Bersalin
Sore itu, saya ngeyel ikut ayah saya pergi bekerja praktek di apotek.
Feeling saya nggak enak banget dengan perut saya ini. Saya ini sudah minum loperamid, kok masih mules aja tiada henti.
Jalanan macet sepanjang Gegerkalong hingga Cibabat sungguh menyiksa. Saya menjerit-jerit nggak waras di bangku belakang mobil karena rasanya bokong saya mau meledak. Akhirnya ayah saya memutuskan untuk menurunkan saya di sebuah rumah bersalin!
(Bukan, bukan karena rumah bersalin itu tempat perempuan menjerit-jerit. Karena ayah saya memang kadang-kadang bekerja di sana untuk meladeni beberapa bayi, jadi ia sudah familiar dengan orang-orang di sana.)
Saya melompat turun dan menyerbu masuk. Lalu saya melambaikan tangan ke bidan yang jaga di situ. “Toilet.. toilet..”
Bidannya langsung mengenali saya sebagai putrinya Pak Dokter, lalu menunjukkan saya pintu di pojok. “Sebelah sana, Teh..”
Saya pun langsung menyeruak masuk, pup, dan lemas.
Ketika saya berusaha berdiri, tiba-tiba saya merasa kesemutan. Sontak saya ingat pelajaran kuliah saya tentang efek ketidakseimbangan elektrolit akibat diare. “Aduh, mati aku!” gumam saya panik.
Saya buru-buru sekuat tenaga bersihkan sisa ampas saya di kamar mandi itu, memakai pakaian dalam saya dengan sekujur badan seperti kesetrum. Ya Allah!
Saya membuka pintu dengan sempoyongan. Tiba-tiba kaki tangan saya klojotan!
Saya berteriak (yang sepertinya untuk terakhir kalinya), “Papaaaah..!” Mendadak semuanya gelap.
Saya berusaha melihat jelas, tapi sulit. Saya merasa beberapa tangan berusaha menggotong saya, lalu saya mendarat di sebuah kasur.
“Infus,” saya dengar suara ayah saya.
Ada yang meraba pergelangan tangan saya. Seseorang mengikat lengan saya dengan sabuk, lalu saya merasa lengan saya itu diperas-peras, kemudian dia berkata, “80/60..”
Tangan saya satunya digenggam erat-erat, lalu punggung tangan saya itu diraba-raba. Seseorang berbisik, terdengar cemas, “Nadinya kecil banget..”
Saya bingung. Ini mana kaki saya? Kok nggak kerasa?
Juss! “Aaaah!” jerit saya. Ada yang berusaha nusuk tangan saya dan gagal.
“Masuk nggak?”
“Enggak. Nadinya kecil..!” keluh seorang bidan.
Saya melirik tangan saya dan mengenali jarum infus yang nampak berdarah. Ya ampun, infusnya nggak masuk..
“Dok, ini adrenalin!” saya dengar bidan berseru.
Samar-samar saya melihat ayah saya kasak-kusuk, lalu ia menatap saya dan berkata, “Suntik ya?”
Saya yang napasnya tinggal satu-satu dan badan luar biasa kaku, bertanya lirih, “Intravena.. apa subkutan?”
“Subkutan!” jawab bidannya tegas.
Saya mengangguk lemah. Sak karepmu wis, pokoknya saya nyerah kalo harus ditusuk jarum intravena lagi.
Lalu saya lihat ayah saya memegang lengan saya. Kemudian ditusuknya lengan saya. Persis setelah itu, semut-semut yang menyetrum badan saya berangsur-angsur menghilang. Napas saya tak lagi tersengal-sengal. Lalu, saya pingsan..
Terselamatkan Cairan
Saya terbangun dan menyadari bantal selimut saya basah karena keringat. Saya mencoba menggerakkan tangan, tapi..aww. Oh ternyata sudah ada infus di tangan saya.
Di pojok ruangan, ibu saya duduk sambil baca al-Qur’an. Ia tersadar kalau saya sudah bangun, lalu membetulkan selimut saya.
Saya lihat keluar jendela. Langit sudah gelap. “What time?” gumam saya.
“Jam 8,” jawabnya.
Saya mengeluh.
“Nggak pa-pa. Nanti sholat Magribnya dijama’ aja,” hiburnya, melihat saya sedih karena nggak sholat Maghrib. Ia mengambil HP-nya, lalu menelepon. “Halo..? Wis tangi arek’e.. Iyo, wis keringetan gobyos.. Oke.. Oke..”
Saya yang masih linglung, berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Oh iya. Mencret. Sakit perut. Udang. Kejang.
Kejang.
Saya bergidik ngeri. Ya Allah, ternyata begitu rasanya kejang ya. Saya kirain kejang itu pasti nggak sadar. Bisa-bisanya saya nyadar bahwa saya kejang. Dan saya masih sempat menjerit ketika kejang.
Ayah saya nongol beberapa menit kemudian dan menjemput kami pulang.
Sebetulnya aturannya, sebagai mantan kejang, saya mesti dirawat di situ minimal 24 jam. Tapi ayah saya memulangkan saya supaya nggak usah visite saya karena bisa merawat saya di rumah.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya mikir ulang dan mulai bisa menyatukan kejadian-kejadian sepanjang sore yang sial itu seperti potongan-potongan puzzle. Seharusnya ayah saya bekerja praktek seperti biasa. Tapi karena saya kena serangan syok hipovolemik campur anafilaktik, saya terpaksa diresusitasi. Ayah saya terpaksa menolong saya dulu dengan obat injeksi, sementara bidan-bidannya berusaha menolong saya dengan memberi cairan infus. Setelah saya tenang karena obat injeksi itu, baru mereka berhasil menginfus saya.
Ayah saya pun tetap pergi bekerja, sementara bidan-bidan itu mengobservasi saya selama diinfus. Cairan infus itu rupanya berhasil membuat badan saya stabil lagi setelah kejang itu, sehingga saya langsung membaik.
Saya memandangi langit malam Bandung di luar jendela mobil sambil mengusap-usap kepala. Astaghfirullah, saya nyaris berurusan dengan sakaratul maut. Cuman mencret aja kok bisa sampai jadi begini. Coba kalau tadi saya tidak langsung pulang setelah nonton bioskop. Coba kalau tadi saya tidak ngeyel ingin ikut ayah saya dan memilih bermencret-mencret di rumah.
Sebetulnya, sudah bolak-balik badan saya bereaksi nggak enak saban kali maem udang. Tapi paling banter ya gatel-gatel doang. Bukan mencret begini.
Dan saya nggak pernah mencret masif berkali-kali sampai pingsan begini. Mencret itu ya dua-tiga kali doang, setelah itu selesai. Dan mungkin, itu sebabnya kami nggak pernah sedia oralit di rumah. Dan kayaknya itu jadi kesalahan besar saya.
Kenapa Diare Mesti Ditolong dengan Oralit
Ketika orang mengalami diare, ususnya mengeluarkan lebih banyak cairan daripada ampas feses. Padahal cairan itu nggak cuman berisi air; ada banyak mineral-mineral elektrolit yang sebetulnya mestinya ada dalam tubuh, tetapi malah ikutan keluar melalui mencret.
Konsekuensinya, tubuh nggak dapat elektrolit itu. Padahal, tubuh butuh elektrolit yang seimbang untuk menjaga supaya badannya tetap bisa bekerja. Contoh kecil aja, supaya badannya bisa berdiri dengan tegak tanpa limbung. Atau supaya otaknya bisa konsentrasi mikir. Atau supaya dia bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Dan lain sebagainya.
Sewaktu saya diare sepanjang sore itu, serangan mencret itu menguras cairan tubuh saya, termasuk elektrolit-elektrolit itu nyaris keluar semua. Itu sebabnya badan saya jadi lemas dan sempoyongan. Itu juga sebabnya kenapa saya cenderung meracau sepanjang sore dan cuma bisa mikirin toilet. Dan itu juga sebabnya kenapa di saat-saat “terakhir” itu, saya mati rasa. Saraf saya pun jadi kacau karena nggak cukup cairan di dalamnya, dan itulah sebabnya saya jadi kejang.
Dalam situasi jelek kayak gitu, jelas cairan yang terkuras harus diganti dengan cairan lagi. Sebetulnya bukan sembarang air minum sih, tapi lebih tepatnya air yang mengandung banyak elektrolit untuk tubuh. Dan cairan spesial begini bisa diperoleh di oralit atau di cairan infus.
Itu sebabnya, pertolongan terbaik untuk orang diare adalah oralit atau infus.
Sewaktu saya roboh di depan kamar mandi sore itu, sebetulnya bidan-bidan itu berusaha menolong saya dengan menginfus saya. Tapi mereka kesulitan menemukan pembuluh nadi di lengan saya. Memang dalam keadaan tubuh sudah kekurangan cairan, pembuluh nadi akan kolaps sehingga sulit diidentifikasi, akibatnya menyulitkan orang untuk menemukan jalur penting itu. Apalagi saya alergi, kulit saya jadi bengkak dan semakin mempersulit infus.
Makanya, kalau mau nolong orang diare, jangan tunggu orangnya sampai kehilangan terlalu banyak cairan karena repot nginfusnya. Sebetulnya meminumkan oralit masih lebih gampang kepada orang diare, asalkan dia masih dalam keadaan sadar waktu minum itu.
Adrenalin yang disuntikkan ayah saya meredakan bengkak itu dengan cepat. Mereka akhirnya berhasil menginfus saya, sehingga cairan saya yang hilang pun berhasil tergantikan. Keringetan yang saya alami ketika saya bangun, pertanda bahwa status cairan di tubuh saya mulai memadai.
Di Mana Fungsi Obat Antidiare?
Orang sering nyetok obat antidiare di rumahnya, dan sebetulnya itu tindakan yang bijak. Sebab ketika diare, usus sudah mengeluarkan cairan tubuh secara serampangan, dan obat antidiare ini bisa menenangkan usus yang “mengamuk” ini.
Ada macam-macam obat antidiare yang bisa membereskan diare, antara lain:
- Selective anti-secretion, misalnya radecadotril.
- Opiat, misalnya kodein fosfat dan loperamid.
- Absorben, misalnya attapulgit atau kaolin-pektin.
Obat-obatan absorben gampang banget dibeli di toko-toko obat tanpa resep. Makanya banyak sekali orang yang nyetok obat ini dalam berbagai merk di rumah mereka.
Sedangkan obat radecadotril dan opiate memang sebaiknya pakai resep dokter. Karena obat-obat ini kurang cocok untuk orang-orang dengan kontraindikasi tertentu (dan kadang-kadang penderitanya tidak tahu bahwa ia punya kontraindikasi yang tidak cocok dengan obat-obatan jenis ini).
Tapi, selain ditolong dengan obat antidiare, semestinya tubuh yang diare juga ditolong dengan kompensasi cairan untuk mengganti cairan yang banyak keluar tadi. Di sinilah gunanya oralit (atau infus).
Itu sebabnya orang yang diare mestinya minum oralit dulu, karena oralit berisi elektrolit untuk membantu tubuh supaya tetap bekerja dengan waras. Setidaknya, tubuh nggak akan sempoyongan, otak masih bisa berpikir jernih, sehingga manusianya masih bisa mencari pertolongan yang efektif.
Pentingkah Cari Penyebab Diare?
Tergantung juga seberapa lama diare itu sudah terjadi. Kebanyakan diare baru terjadi akut, kejadiannya mendadak, atau paling beberapa hari doang.
Sebabnya terutama infeksi kuman, terutama Rotavirus. Dan ini yang biasanya terjadi pada orang-orang yang mencret lantaran masuk angin. Simpel, karena dia kecapekan. Kebanyakan bisa sembuh sendiri selama dia bisa minum oralit sendiri. Meskipun mungkin, dia perlu obat antidiare untuk membuat ususnya terasa lebih nyaman.
Masih lebih sedikit orang yang diare karena memang keracunan makanan, lantaran makanannya tercemar bakteri. Orang-orang yang diare karena bakteri begini biasanya nggak cuman mencret, tapi badannya juga panas dan dia terus-terusan muntah. Mereka nggak cuman butuh oralit/infus dan obat antidiare, tapi kadang-kadang perlu antibiotik juga.
Kasus saya, diare lantaran serangan alergi, sebetulnya jarang terjadi. Alaminya, pada orang yang nggak tahan terhadap makanan tertentu (biasanya karena memang aslinya pengidap alergi), tubuhnya akan bereaksi menolak makanan itu. Dan salah satu reaksi yang mungkin terjadi adalah diare.
Memang ada juga orang yang diare sampai berminggu-minggu, contohnya pada orang yang mengidap infeksi HIV atau aslinya memang mengidap kanker pada ususnya. Mereka mencret lebih dari lima kali per hari, dan mencretnya bisa sampai dua minggu lebih.
Orang begini tentu nggak bisa ditolong dengan oralit dan antidiare doang, sebab masalah utamanya memang bukan diarenya, tetapi karena penyakit lain yang lebih berat (dan diare hanya akibat dari penyakit yang memberatkannya itu).
Sepulang dari Sore yang Naas Itu
Malam itu, sepulang dari rumah bersalin, tiba di rumah pun tubuh saya sudah segar dan saya bisa berjalan tegak lagi. Saya makan malam dengan lahap tanpa sakit perut. Saya masih sempat belajar sedikit untuk praktikum di kampus besok paginya, sambil nonton Academy Awards. Film Chicago menang jadi film terbaik tahun itu, dan saya bangga lantaran saya sudah nonton filmnya.
Meskipun setelah saya pikir-pikir, saya nggak begitu konsen nonton Chicago sore itu di bioskop. Karena udang itu sudah mulai merasuki saya, sehingga saya gatel-gatel dan sibuk menggaruk-garuk badan sepanjang nonton. Begonya, sore itu saya kirain gatelnya karena bangku bioskopnya yang debuan, wkwkwkwk..
Semenjak itu, saya akhirnya selalu nyetok oralit dan obat antidiare di kotak P3K rumah. Saya bahkan nyelipin satu strip obat antidiare di dompet saya untuk saya bawa ke mana-mana, terutama kalau lagi piknik. Anak saya, akhirnya saya kasih imunisasi Rotavirus ketika bayi.
Saya nyadar bahwa diare bisa terjadi pada saya dan keluarga kapan saja, karena gaya hidup kami memang bikin kami gampang kecapekan. Saya nggak pingin ambil risiko bahwa diri saya atau keluarga saya bisa knocked out lagi cuman gegara diare. Pengalaman buruk saya dengan diare 15 tahun yang lalu, sudah cukup untuk mengajari saya untuk atasi diare dengan tepat dan benar. 🙂
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
aku belum pernah kena diare sampe berhari hari gitu.
perut termasuk sudah kebal dengan macem kuman, soalnya dulu pernah kejadian (pengalaman waktu kecil) ada makhluk lain di perut karena makan makanan yang busuk.
dari tulisan mba vicky ini aku jadi tahu oralit itu bisa dibuat sendiri
Masuknya (invasi) bakteri ke dalam usus anak yang masih kecil, kadang-kadang menimbulkan kekebalan alami yang memungkinkan anak ini kebal terhadap macam-macam kuman hingga dewasa. Meskipun aku tidak mengharapkan kejadian ini terulang pada anak-anak yang lain.
Senang bisa kasih tahu kamu bahwa oralit itu bisa dibikin sendiri. 🙂
fiuh, ngga nyangka ya diare sampai bisa bikin kejang. kupikir itu karena demam, tapi ternyata lebih karena kekurangan elektrolitnya itu ya. mantap lah solusinya. terimakasih sudah berbagi, dok 🙂
Memang kejang itu bisa karena demam, Mbak Farida. Tetapi situasi kekurangan cairan sendiri juga bisa menimbulkan kejang tanpa harus dibarengi demam
Beruntung banget papanya bisa diandalkan. Saya pernah bbrp kali diare. Tengah malam lagi. Buang air sampe ngga ada yg tersisa kecuali buih aja sampai dubur panas
Bener yg vicky cerita, saraf jadi gringgingen mata berkunang kunang. Untung diminumin air garam dan gula ngga sampai dimuntahin.
Tinggal dikit lagi ke UGD deh.
Yes, duburnya panas. Seperti angin itu sudah tertekan luamaaa di situ karena diare. Kacau banget ya kalo mencretnya udah berkali-kali begitu. Untung ya kita masih hidup..
Lengkap sekali disertai dengan tips-tips…
Terima kasih sudah share pengalaman ini.
Serem banget bacanya tentang alergi itu, saya tidak ada alergi sih (kayaknya), tapi biasa kalau makan seafood besoknya langsung muncul jerawat beberapa biji, bisa ada 5 lebih, walau kecil2 tapi kan malu. wkwkwk. Alergi itu beda-beda ya ? Ada teman saya yang alergi dengan udang juga, tapi hanya membuat kulitnya merah mateng seperti habis berjemur 2jam, tapi tidak diare atau pusing gitu.
Btw saya pernah diare parah (cepirit) sampai seminggu, itu paling parah seumur hidup, biasa cuma 2hari doang.
Waktu udah tepat 7hari, saya googling, dan yang muncul di halaman pertama itu, tentang kanker usus, langsung panik, yang tadinya benci banget ke dokter, akhirnya saya pergi ke RS.
Ini dokter umum langganan dari saya kecil dan udah kenal deket, karena dulu sering asma, dan sering ke dokter ini, dia punya asma juga soalnya, jadi kadang dia suka curhat juga tentang kondisinya, akhirnya jadi deket. wkwkwk
Waktu jalan dari pintu masuk RS ke resepsionis dan ke ruangan dokter, hampir semua orang yang duduk menatap heran, mungkin karena saya nampak segar bugar (atau karena mereka emang ngga ada hal lain untuk dilihat). wkwkwk
Waktu masuk keruangan dokter itu, perawatnya masuk kedalam entah ngapain, dan saya lupa tutup pintunya, tepat didepan pintu ada cewek duduk mengantri. Setelah saya menyapa, si dokter itu langsung bilang “Kenapa lu seger gini cengengesan dateng ke gw, kena sakit kelamin lu ya ?”. Terus saya cerita lah kalau cepirit udah seminggu, dia malah becanda. Terus saya kan disuruh rebahan di ranjang periksa itu, baju ditarik keatas perut di periksa stetoskop, waktu saya balik dari arah ranjang ke kursi, si cewek itu ternyata lagi nonton dong. Malu banget ngga tuh ? wkwkwk
Saya bilang ke dokter, dok yang bener aja masa pintu melongo ngga bilang-bilang, kan saya malu ini. Dokternya malah ngakak, kacau banget ini dokter kocak parah.
Ternyata saya cuma cepirit biasa, katanya karena saya makan ngga bener, padahal saya makan masakan rumah terus setiap hari, entah ada bahan apa yang salah dimasakan itu, ada yang kadaluarsa kali ya. wkwkwk.
Obatnya manjur banget, besoknya cepirit udah berkurang, lusanya udah ngga cepirit sama sekali.
Tapi cepirit ngga terlalu bikin ngeri. Sudah seminggu ini saya ngga bisa BAB, sampai lupa juga terakhir BAB kapan, perut sampai sesak dan bikin parno, takut usus robek. Akhirnya saya tadi malam beli bubur deket rumah, bubur yang ini rasanya benar2 ngga enak, dan anehnya setiap makan bubur itu selalu mencret. Dan benar aja tadi jam 12 malam bangun langsung mencret 3x… langsung lega. wkwkwk…
Sesudahnya search di google pengen baca pengalaman orang lain, sampai lah saya di blog ini.
Maaf kepanjangan komennya, mengikuti arus aja ngetiknya. wkwkwk
Btw, dari gerlong ke cibabat ampun dah macet di cimindi-nya, kalau naik mobil masih mending, kalau naik motor, waktu di rel kereta kan jalannya bumpy tuh, bisa keluar semua itu…
Saya nggak lewat Cimindi kalau jalan sari Gerlong menuju Cibabat. Saya lewatnya Ciwaruga. Jalan dari Ciwaruga menuju Cibabat itulah yang masih gronjalan waktu itu dan bikin saya waswas.
Naha diare sampai 7 hari masih bisa cengengesan euy? Saya mungkin udah lemes banget dan nggak mau lagi pakai underwear..da basah.
Saya dulu juga pernah diare gara-gara keracunan makanan di kampus. Begitu sampe rumah, langsung pingsan di depan tangga. Untungnya segera ditolongin sama orang rumah, fiuhhhh.
Untung di rumah ada orangnya ya. Coba kalo di rumah lagi nggak ada orang, kan repot..