Suatu ketika, kakak saya yang kebetulan seorang dosen pariwisata, mengeluh kepada saya setelah melihat foto segerombolan vlogger yang lagi motret-motret biksu. Para biksu ini sedang beribadah di puncak Borobudur, dan para vlogger ini malah sibuk motret dengan blitz berkeliaran di sana-sini. Kakak saya mengeluh, “Apakah harga tiket masuk Candi Borobudur kudu dinaikkan supaya yang datang cukup turis-turis yang tahu tata krama aja, sehingga biksu-biksu itu bisa sembahyang dengan tenang?”
Waktu itu saya heran mendengarnya. Ngapain sih orang naik ke puncak Borobudur? Apa nggak capek naik tangga 10 tingkat?
Saya sudah lama tidak ke Borobudur dalam 10 tahun terakhir, dan pengalaman saya ke Borobudur kurang menarik: kepanasan, kecapekan, saya masih kucel dan cupu, plus saya tidak sampai naik ke puncak Borobudur, jadi saya tidak mendapat kesan yang baik. Mungkin itu terjadi karena saya ke Borobudur ketika masih nebeng ortu dan belum bisa bikin itinerary yang nyaman. Jadi saya ingin mencoba ke Borobudur lagi, berharap naik ke puncaknya, kali ini dengan rencana yang saya bikin sendiri, dan saya berharap semoga saya bisa menghargai (puncak) Borobudur lebih baik.
Ketika anak saya sudah berumur 2 tahun dan menunjukkan rasa senang jalan-jalan tanpa stroller, saya mutusin bahwa ini saatnya saya boleh mengajaknya ke Borobudur. Saya googling membaca-baca blog teman tentang Borobudur, lalu menyimpulkan bahwa Borobudur itu selalu rame di musim liburan sekolah. Sebetulnya Borobudur itu paling bagus dilihat subuh-subuh, karena matahari sedang cantik-cantiknya, dan kemungkinan foto bocor sangat kecil lantaran belum banyak pengunjung, tapi option itu terpaksa saya hapus karena Fidel belum bisa diajak berpetualang sebelum sarapan dan tidak mungkin sarapan di stupa Borobudur hanya demi ngejar sunrise.
Jadi saya mencoba cari hotel yang dekat Borobudur supaya bisa menjangkau Borobudur sepagi mungkin. Tadinya saya kepingin nginep di Magelang aja, biar deket Borobudur langsung, tapi ternyata saya malah termakan bujuk rayu promo hotel di Jogja yang saya lihat di internet. Akhirnya kami memutuskan nginep di Hotel Alana aja di Jogja, dengan syarat kami finis sarapan sepagi mungkin. Suami saya bagian ngukur Google Maps, dan dia janji akan menyetir mobilnya secepat mungkin ke Borobudur. Memang kami bawa mobil sendiri dari Surabaya ke Jogja.
Jam 9 pagi, akhirnya kami tiba di Borobudur. Melihat candi itu dari kejauhan, dengan puncak stupanya yang kelihatannya kecil, membuat saya menahan napas. Oh boy.
Deskripsi Candi Borobudur
Candi Borobudur ini persis seperti candi ikonik yang biasa kita lihat di buku pelajaran IPS kita di bangku SD dulu: Suatu candi besar yang terdiri atas undak-undakan teras dan puncaknya berisi stupa-stupa.
Well, singkatnya sih memang demikian, tapi ternyata ada yang lebih unik. Dinding dari tiap undak-undakan teras ini dihiasi relief yang berbeda. Di tiap sudut undakan teras, terdapat patung Buddha. Semua patung ini mungkin mirip-mirip, tapi jangan salah, tiap tangannya menunjukkan sikap berbeda yang ternyata tergantung arah mata angin tempatnya (dimaksudkan untuk) diletakkan.
Teras teratas dari candi ini adalah lokasi patung Buddha terbesar, dan dikelilingi puluhan stupa yang ditanam dalam formasi mirip lingkaran.
Pertanyaan: Bagaimana caranya orang-orang pada abad ke-8 membangun candi ini dengan hitungan yang presisinya akurat, padahal dulu belum ada meteran apalagi jangka?
Menikmati Relief Candi Borobudur
Relief Karmawibhangga di Kamadhatu
Pertama tiba di depan Borobudur, saya mengelilingi tembok kaki candi itu (Kamadhatu) dan mencoba mengamati relief pada dinding. Saya pernah baca di suatu tempat bahwa dinding Kamadhatu ini berisi relief-relief tentang kelakuan manusia yang masih terikat hawa nafsu. Memang saya lihat ada beberapa pahatan aneh sih, misalnya relief tentang beberapa orang yang sedang berkumpul (mungkinkah mereka sedang berjudi?)) atau relief tentang wanita yang bersama pria, namun ada pria lain (mungkin perselingkuhan).
Semula saya mau berjalan mengelilingi Kamadhatu ini untuk mengamati tiap reliefnya, tetapi kemudian saya nyadar bahwa tiap sisi Borobudur ini panjang sekali dan Fidel bukan sedang dalam kondisi siap untuk jadi arkeolog dadakan. Relief-relief ini banyak sekali, ya ampun, konon kalau dikelilingi bisa jadi sepanjang 2 km.
Akhirnya, saya mengalah saja dan naik ke lantai di atasnya, Rupadhatu.
Relief Lalitavistara di Rupadhatu
Saya ingin sekali Fidel bisa mengucapkan nama Borobudur meskipun dia baru berumur 2 tahun. Jadi begitu kami menginjak Rupadhatu, saya ajak dia jalan keliling teras sambil memperkenalkannya kepada relief-relief pada dinding itu.
Fidel mulai paham bahwa ternyata pahatan pada dinding itu, ada yang berbentuk orang, pohon, bunga, dan lain sebagainya. Dia kelihatan senang ketika mengenali pahatan relief yang berbentuk binatang, misalnya gajah atau kuda. Dia bahkan menemukan relief Buddha sedang naik kuda sambil diantar banyak punggawanya, jadi anak saya bertanya, “Ini orangnya mau naik kuda ke mana..?” Sebetulnya saya mau ceritakan bahwa saat itu Pangeran Buddha meninggalkan istana untuk bertapa di hutan, makanya punggawa istana berduyun-duyun mengantarnya, tapi saya belum mampu menjelaskan kepada anak saya kenapa orang mesti bertapa, wkwk..
Semula saya sangka Rupadhatu ini paling-paling cuma 2-3 lantai gitu, tapi ternyata orang-orang itu telah membangun candi ini sampai 10 lantai demi Rupadhatu sendiri. Alamak!
Dan setiap relief dari dinding candi ini dipahat untuk menceritakan kisah Buddha dan manusia yang tertera dalam kitab mereka. Ada beberapa macam relief, antara lain relief Jataka, relief Awadana, relief Gandawyuha, tapi yang mungkin paling saya pahami adalah relief Lalitavistara.
Kisah pahatannya adalah tentang perjalanan calon Buddha semenjak turun dari surga nirwana unik menjadi manusia, hingga diangkat menjadi Buddha yang menerima dharma (mungkin sebetulnya dharma ini wahyu ya, dalam pemahaman saya yang bukan beragama Buddha).
Sepertinya dulu dimaksudkan supaya orang yang mau bersembahyang di Borobudur ini kudu jalan keliling lantai Kamadhatu dulu sambil memikirkan kelakuan-kelakuan duniawinya yang tergambarkan pada relief Karmawibhangga. Setelah itu, baru naik ke atasnya (Rupadhatu) untuk melihat kisah Buddha pada relief Lalitavistara dan relief-relief lainnya. Dengan begitu, pada akhirnya dia menjadi orang yang bijak ketika sudah menyelesaikan relief-relief tersebut dan ketika tiba di Arupadhatu, pikirannya sudah lebih bersih dan tenang.
Arupadhatu, Tempat Stupa Candi Borobudur
Saya sangka kami nggak akan sanggup naik ke Arupadhatu, tapi ternyata kami bisa mencapai puncak Borobudur itu dalam kurun waktu kurang dari sejam. Memang bener, di teras puncak ini tak ada relief-relief lagi, melainkan cuma ada stupa-stupa berisi patung Buddha. Banyak banget orang di sini ingin berfoto berlatar stupa, jadi saya berusaha di segala sudut untuk cari foto yang nggak bocor, dan ternyata gagal. Elap keringat
Suami saya malah bisa melihat gunung di kejauhan, cuman kami nggak tahu gunung apa itu, mungkin antara Merapi, Merbabu, Sindoro, atau Sumbing, soalnya tahu-tahu kompas di HP kami error..
Sejarah Berdirinya Candi Borobudur
Menurut sejarahnya, semula umat Buddha ingin membangun candi yang bisa diletakkan patung besar di atasnya, dan mereka memilih bukit di desa Budur sebagai lokasinya lantaran sepi dan tenang.
Patung besarnya ditaruh di bukit, makanya tercipta lantai Arupadhatu ini. Tetapi ternyata, tanah bukit tempat Borobudur ini bukanlah tanah yang stabil, kadang-kadang bergeser, terutama karena posisinya yang dikepung gunung-gunung berapi aktif. Kuatir patung ini terguling saking besarnya, mereka kemudian membangun sebuah stupa besar, sambil dikelilingi stupa-stupa yang lebih kecil setinggi sekitar 1,5 meteran, dan patung Buddha pun diletakkan di dalam stupa-stupa itu.
Selanjutnya, di sekeliling Arupadhatu, dibangun teras berundak-undak yang kemudian menjadi Rupadhatu. Teras ini dibangun sebagai konstruksi untuk menopang lantai Arupadhatu supaya bisa kokoh di atas tanah yang labil itu. Keseluruhannya ada 10 undakan teras alias 10 tingkat, karena menurut ajaran agama Buddha, perlu 10 tahap untuk mencapai kesempurnaan memahami ajaran Buddha yang benar. Pada dinding teras-teras Rupadhatu ini dipasangi relief Lalitavistara dan relief-relief lainnya. Lalu, di bawah Rupadhatu, dibangun lantai Kamadhatu yang dindingnya dipasangi relief Karmawibhangga.
Harga Tiket Masuk Candi Borobudur
Tiket masuk Candi Borobudur saat ini Rp 40k per orang.
Tiket ini bahkan sudah termasuk tiket masuk ke dalam museum-museum yang ada di sini.
Dibundel dengan Candi Prambanan, kita bisa menikmati kedua candi ini selama dua hari dengan harga Rp 75k saja.
Eh ya, saya biasanya cek agen travel online kalau mau harga tiket masuk Candi Borobudur yang lebih murah.
Jujur aja, saya setuju banget harga tiket Candi Borobudur dinaikkan. Tapi dengan syarat, jumlah pengunjungnya dibatasi. Soalnya, saat ini pengunjung terlalu rame, tapi kebanyakan di dalam ini mereka cuma selfie-selfie nggak jelas tanpa paham tentang value Borobudur sebagai ikon Wonderful Indonesia itu sendiri. Mungkin lebih baik kalau pengunjung Borobudur itu dijatah saja waktu kunjungannya, supaya mereka bisa berjalan kaki dengan efektif di dalam Candi dan bukannya piknik klesotan di bawah relief Jataka (tentu saja ide saya ini bukan untuk mereka yang datang demi beribadah ya.) Nah, bagaimana dengan kamu sendiri, apa yang bikin kamu senang tapi juga resah akan Borobudur?
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Terakhir ke candi Borobudur ini udah lama banget euy.. ampe lupa tahunnya. Ingatnya cuma saking asiknya menelusuri reliefnya, saya sampai diteloponin bolak-balik sama beberapa anggota keluarga karena kelamaan.. hahaha..
Meski sendirian dan gak bersama guide yang bs bercerita soal reliefnya, saya tetap senang mengamati lama-lama sambil mikir orang zaman dulu itu pinter2 yaa.. bisa bikin cerita sebanyak itu dengan pahatan yang rumit dan hingga jadi candi sebesar itu.. Idenya dari mana ya?? luar biasa deh pokoke.
Saking patuhnya terhadap ajaran kitab agama Buddha, maka seniman-seniman ini bisa menerjemahkan ajaran kitab itu ke dalam bentuk relief. Begitulah jeniusnya orang-orang Mataram, Ndah..
Terakhir ke Candi Borobudur jamannya sekolah SMA, itupun aku gak ngeh berapa tiket masuknya karena pergi rombongan sama teman2 sekolah.
Hahahaa.. itu adalah masa ketika kita cuman tahu beres ya, Mbak.. :))
Kalau mau lihat sunrise dari Borobudur harga tiketnya beda mba, sekitar 200 ribuan. Mending ke puthuk setumbu, bisa liat sunrise sekaligus candi borobudurnya 🙂
Masalahnya, Mbak, di Punthuk Setumbu itu nggak bisa foto di depan stupanya :))
Aku terakhir main2 ke Candi Borobudur tuh Faebruari 2019 lalu hahahah 🙂 Bersama rombongan anak2 sekolahan anakku kan aku korlasnya jd boleh ikut ya alhamdulillaah hihihi. Emang deh puanaaasss..cupu2 gitu keringetan wow deh. Tapi puas karena nanjak sampai atas dan pepotoan. Asik juga naik kereta2an bus gitu keliling2 bentar. Kayaknya kalo ke Jogja ga berkunjung ke Borobudur tuh ibarat makan tanpa nasi apa yah? wakakakak.
Iya sih ya. Padahal mah, Borobudur itu kan bukan wilayah Jogja, tapi wilayahnya Jawa Tengah, hahaha..
Wahh kangen Borobudur nih. Udah lama gak kesini…
Penasaran apa yang baru ya sekarang disana?
Sekarang di Borobudur nggak boleh bawa kantong plastik, Mas. DIgantiin kantong khusus yang lebih ramah lingkungan. 🙂
Sudah lama ga ke borobudur, jadi kangen pengen ke sana!!
Ayo Clara, balik ke sana lagi yuk 🙂
Jadi ingin kembali ke Candi Borobudur lagi deh dan menikmati setiap reliefnya, ah bagus – bagus memang reliefnya. Saya ga habis pikir, orang2 dulu itu pinter2 yah sampe bikin relief dan candi sekeren ini.
Bener, Tian. Memang kalo ke sana harus menikmati reliefnya banget 🙂
Aku nih termasuk penikmat sejarah, Mba. Jadi kadang kalau muter2 sendiri gitu malah bingung harus menerjemahkan relief-relief yang disajikan di sekeliling dinding candi gini ya. Kayaknya harus sewa pemandu atau gimana ya?
Aku keliling Lawang Sewu dan Sam Po Koong aja sewa pemandu, Mba hehehee… asyik ndengerin cerita mereka yang dikemas dengan apik dan punya style masing-masing (udah pernah bbrp kali keliling Lawang Sewu dan dapetnya pemandu beda-beda).
Kayaknya mending sewa pemandu yang betul-betul ngerti Borobudur, kalau memang ingin riset Borobudur semaksimalnya.
Sudah beberapa kali ke Borobudur dan selalu melihat banyak perubahan di sini terakhir ke Borobudur tahun 2016 karena sudah lama sekali pasti sudah banyak berubah ya
Kalau terakhir kali kemari tahun 2016, kurasa tak banyak perubahan. Entahlah kalau 8-10 tahun lagi.
Mungkin sebelum masuk ke candinya itu sendiri perlu masuk ke museum yang cerita tentang sejarah borobudur. Trus diinfo juga tentang etika. Aku juga udah luamaaa ga ke borobudur.
Iya, aku setuju. Tapi terakhir kali ke sana, aku bahkan nggak bisa mengenali yang mana itu museumnya. Rasanya museumnya kurang terpromosikan, gitu.
Bahkan para idol Kpop juga main-main saja ke Borobudur, kak Vick..
Jadi memang harus ada guide yang menjelaskan agar ke Borobudur bisa lebih sopan, paling tidak…gak berbuat hal yang gak baik di tempat ibadah agama Budha.
Memang daya tarik guide ini sebetulnya masih kurang bagi pengunjung-pengunjung tertentu, terutama karena mereka merasa tarif guide itu terlalu mahal.
Udah lama juga nggak ke sana nih mba. Kayaknya terakhir waktu masih kecil deh haha. Kangen juga, pengen lihat perubahannya sekarang gimana. Tiketnya menurutku masih terjangkau. Tapi aku setuju sih kalau buat vlogger-vlogger harganya dinaikin biar ga seenaknya
Mana ada vlogger ngaku kalau tahu tiketnya dinaikin? Hahahaa..
Banyak berubah sih sekarang, Nes. Pedagang asongan nggak berkeliaran lagi, karena mereka sudah dilokalisir di pasar seni dekat tempat parkir.
Sekarang ada kereta kelincinya. Bisa naik kuda keliling taman.
Saya belum pernah ke candi Borobudur mbak, tapi pernah ke candi Prambanan. Kalau ada paket begitu malah enak ya, candi Borobudur dan Prambanan, waktu itu kita ditawarin ke candi Boko juga sih, tapi waktu itu hujan, jadi cukup eksplore ini di candi Prambanan dulu aja.
Semoga lain kali bisa ke candi Borobudur.
Ya, Mbak Tuti, cobain deh ke Candi Borobudur lain kali 🙂
Resahnya, khawatir klo candi borobudur itu rusak akibat ulah pengunjung yg tdk bertanggungjawab. Kasian, anak cucu yg masih belom menikmati. Senang, klo candi borobudur makin disenangi bnyk orang utk berkunjung.
Ya, saya rasa juga begitu. Candi ini pasti suatu saat nanti akan rusak, minimal karena dimakan usia dan cuaca. Tapi jangan sampai rusaknya karena vandalisme.
Kangen banget bisa main ke candi borobudur lagi, soalnya memang seru, tapi capek naik turun tangganya itu haha.. Btw keren2 hasil fotonya 🙂
Oh iya, memang undak-undakan itu agak ngajak olahraga, hahaha.. mana curam pula.
Terima kasih, itu foto-fotonya bikinan suami saya
Jd keinget klo udah lama bgt terakhir kli ke borobudur haha, dulu jg pngnnya nginep dkt borobudur, eh tergoda buat nginep di melia purosani yg dkt malioboro . Dulu ak kesana jg cm muter2 , ga pngn dan ga bisa poto2 krna terlalu bnyk pngunjung
Kalau ke sananya pas lagi weekday di bulan anak sekolah, mungkin Borobudur-nya agak sepi. Kubilang “agak”.
Di sana tuh panasnya ampuun.. terakhir aku ke sana sama suami berdua, itu juga udah agak ngos2an naik tangganya, Mbak. Tanda2 kurang olahraga inii
Kalau datangnya subuh-subuh, mungkin nggak akan panas.
Terakhir ke sini waktu zaman kuliah pas lagi kunjungan adik asuh di desa panggang. Jadi nostalgia pas baca tulisanmu hehehe. Waktu itu aku jg sampai puncak tapi ga keliling relief yang paling bawah.
Ya, memang melihat puncak Arupa itu lebih menarik. Makanya orang seringkali melewatkan relief Rupadhatu karena sudah kebelet ingin naik ke Arupa. 🙂
tahun lalu saya sekeluarga ke sini mbak, dan betul sekali, pengunjungnya padat luar biasa, boro2 mau menikmati relief di dinding candi, ga kesenggol turis lain aja syukur 🙁
Pasti datengnya pas lagi hari libur yaa..?
aku kadang suka mikir, jaman dulu orang nempel batu di candi tuh pake apa sih, apa pake semen kayak jaman now? terus ngukirnya bisa bagus banget gitu, keren banget deh candi-candi di Indonesia
Kamu pernah lihat mainan brick anak-anak yang merknya Lego atau Duplo, nggak? Sistemnya, tiap brick itu ada cantol-cantolannya gitu. Nah, cara bikin candi Borobudur ini mirip lah, tiap batu itu ada cantol-cantolannya, jadi nggak akan geser. (Tapi hanya Tuhan yang tahu berapa usia kekuatan batu candi ini..)
Soal ngukirnya bagus-bagus, yaa begitulah kekuatan seniman kriya jaman Mataram dulu. Segitu cintanya terhadap isi kitab Buddha, lalu mereka terjemahkan dalam bentuk seni pahatan.
Aku juga sepuluh tahun yang lalu, engga naik tangga juga, cuma jalan-jalan aja, kesannya sih aku diteror sama tukang penyewa payung 🙁 cuaca emang panas waktu itu
Wah, sekarang udah nggak ada lagi ojek payung di sana 🙂
BUlan Agustus aku ke Borobudur dan memang udah hampir 10 tahun nggak kesana. Dan itu pertama kali juga aku bisa naik loh mba ke atas. Hhehe. Senangnya datag bersama keluarga 🙂
Wah, naik ke Arupadhatu ya, Lid? Seneng yaa punya banyak energi 🙂
Eh sampe mana ya kmrn. hahaa. Soalnya aku rame rame ama suami, anak, keponakam dan ipar jadi nggak berasa capeknya. Hehhe
Wkekwkwk.. kayaknya nggak terasa sampai puncak nih
Rencana pingin ke Borobudur akhir tahun ini. Terakhir ke sini waktu SMP kelas 1 umur 11 tahun. Wah udah lama banget. Jadi galau, enaknya nyari hotel di Magelang dekat candi atau enggak ya?
Kalau sudah nginep di Hotel Manohara, nggak perlu datang ke Borobudur subuh-subuh untuk menikmati matahari terbit.
Tapi kalau nggak kuat bayar Manohara, terpaksa nginep di hotel lain yang agak jauh dari candi, tapi ke Borobudur sini subuh-subuh untuk dapat sunrise.
Tapi kalau memang nggak berniat ngejar matahari terbit, yaa cari hotel ya g agak jauh dari candi pun tak apa-apa.
ngomongin soal Borobudur, kesini sudah 5-6 kali kalau gak salah..
tapi belum pernah nulis borobudur di Blog hehehe..
bikin video itupun buat tugas..
skg malah gak tau itu video dimana…
Yaah. Ditulis dong, Nang.. Kan nggak keren kita jika belum pernah pose di Borobudur..