Lebaran buat saya hanyalah satu lagi tanggal merah yang lain.
Lebaran yang Sama Setiap Tahun
Bukannya saya nggak cukup religius. Tapi bagi saya pribadi, lebaran hanya terasa value-nya ketika sedang sholat Ied berjamaah bareng keluarga. Keislaman saya untuk nilai hari raya ini cuman saya hayati sampai imam sholat Ied mengucap salam, tetapi dalam sisa hari itu, aktivitas Lebaran di keluarga saya didominasi makan pagi dan makan siang bareng.
Dan mungkin sedikit wefie-wefie-an pakai baju bekas sholat Ied.
Kenapa wefie-wefie-an? Karena alasan yang sama seperti judul album pertamanya The Cranberries, “Everybody Else Did It, So Why Didn’t We?”
Maksudnya di lapangan itu sepertinya semua keluarga sibuk wefie-wefie-an, jadi saya pingin aja ikut-ikutan mainstream.
Plus lagi sekali-kali ajalah kami foto-fotoan pakai baju bekas sholat Ied. Perempuan di keluarga saya nggak pakai hijab dalam mode normal. Kami pakai kerudung itu pun hanya dalam dua situasi: pergi sholat Ied, atau pergi melayat.
Dan begitu sholat Ied dan wefie berakhir, saya pun merasa Lebaran itu kelar sudah. Saya tidak merasa momen Lebaran itu momen keluarga, karena saya nggak merasa ada keintiman di sisa hari itu. Sebabnya..
..kami merayakan lebaran di rumah nenek saya. Nenek saya penderita dementia kronik, jadi nggak bisa lagi mengurus rumah. Orang tua saya adalah anak bungsu di antara sesaudaranya, jadi ayah ibu saya sibuk berjibaku mengurus rumah, mengurus nenek saya yang sudah tua, dan meladeni kakak-kakaknya yang juga sudah tua.
Saya sendiri sudah sibuk mengurus anak saya Fidel. Pada akhirnya kami makan bersama di ruang makan itu, dan saya lebih banyak mendengarkan pakde-bude saya mengoceh ketimbang menyimak ayah-ibu saya bercerita. Sebetulnya saya ingin mendengarkan orang tua saya sendiri bicara, tetapi yang lebih tua selalu harus mendominasi.
Belum tuntas keluarga kami sendiri berkonsolidasi di sarapan Lebaran itu, tahu-tahu rumah sudah harus open house karena sepupu-sepupu orang tua saya berdatangan. Memang kebetulan nenek saya itu anak sulung di antara keluarganya, jadi praktis rumahnya dijadikan prioritas utama saudara-saudara yang lain untuk datang berlebaran. Open house selalu berulang adegannya dari tahun ke tahun, tamu-tamuan, basa-basi, update kabar-kabari, dan tiba-tiba topik pembicaraan sudah berpindah ke tema “Ini libur panjang, bagaimana kalau kita piknik bersama?”
Dan hari 1 Syawal itu berakhir dengan mendadak semua orang sibuk packing karena besoknya mau jalan-jalan keluar kota. Tiba-tiba setiap orang jadi sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Memang judulnya mau piknik bersama, tapi entah apakah nanti pada prakteknya itu berjalan bersama atau berjalan sendiri-sendiri dalam rombongan kendaraan yang sama.
Padahal Yang Saya Inginkan..
Bukannya saya nggak suka piknik massal dan segala rutinitas open house keluarga besar ini, tetapi sebetulnya saya cuman kepingin berlebaran bersama ayah dan ibu saya sendiri.
Saya tinggal terpisah dari ibu saya di Bandung semenjak saya pindah ke Surabaya, sehingga saya jarang banget ngobrol sama ibu saya lagi. Saya pindah ke Surabaya untuk bersekolah, dan ketika studi saya berakhir, saya menikah dengan pemuda lokal dan tidak pulang ke Bandung. Saban kali saya mudik ke rumah ibu saya, obrolan saya dengan ibu saya didominasi urusan-urusan belajar saya dan pekerjaan saya, yang semuanya berbau stress. Saya nggak punya waktu lama-lama untuk mudik, sehingga kalau saya sedang mudik pun saya jarang bersenang-senang dengan orang tua saya. Padahal saya kepingin lho duduk santai minum teh sembari ngemil bakpao bareng ibu saya sambil cerita-cerita yang lucu-lucu.
Iya, saya terlalu sibuk. Usia gini lagi hot-hot-nya saya mengejar passion saya, sehingga praktis berbicara santai dengan orang tua saya sendiri pun jadi prioritas belakangan. Iya, jaman sekarang sudah ada telepon, messenger, video call, dan entah apa lagi, tetapi sekedar menelepon untuk menanyakan “Hari ini Mama masak apa?” pun saya tidak sempat.
Lagian, kecanggungan ibu saya terhadap teknologi tinggi (atau dalam bahasa singkatnya: Ibu saya gaptek) sering banget bikin saya jengkel. Sering kalau saya kirimin Whatsapp itu, ibu saya tidak jawab. Kalau saya telepon sendiri, teleponnya tidak diangkat. Giliran saya konfrontasi, ternyata ibu saya bilang kalau HP saya di-silent. Saya bilang ngapain silent-silent segala, lalu ibu saya bilang bahwa beberapa kawannya kadang-kadang paging via Whatsapp, ngeyel minta langsung dibalas padahal ibu saya sedang bobok siang. Pas ibu saya sudah bangun dari tidur siang, lupa kalau HP-nya di-silent. Alhasil saya nelfon pun nggak akan kedengeran oleh ibu saya sampai ibu saya teringat buat setel HP-nya lagi ke mode normal.
Saya bilang ibu saya jangan silent-silent HP. Kalau kawannya mengganggu, udah di-block aja. Mau saya ajarin ngeblokir nomor, tapi ibu saya takut salah pencet dan bisa-bisa seluruh kontak HP-nya terblokir semua. Cape deeh..
Beberapa kali saya mujur karena ketika saya menelpon, HP ibu saya tidak sedang dalam mode silent. Sebetulnya kalau saya menelepon itu artinya saya sedang kangen dengan ibu saya, dan saya mencoba menghibur diri dengan menelepon. Saya ingin bicara hal-hal santai, tetapi entah kenapa pembicaraan ibu saya menjurus untuk mengkritik saya dan mendadak saya merasa seperti sedang bicara dengan polisi.
Coba bayangin, seperti apa perasaan saya kalau ditanyai begini, “Itu Mama lihat di Facebook rambutmu lepek, rontokkah? Baru ganti sampo ya?”, atau “Fidel berat badannya sekarang berapa?”, atau “Kok bajumu di Facebook itu kelihatan melur, bajunya koen cuci pake mesin ya?”
Padahal saya sebel ditanyai begitu, sebab: 1) Rambut saya rontok karena saya capek. Saya capek karena nyusuin Fidel sepanjang hari. 2) Fidel nggak doyan makan, makanya berat badannya nggak naik-naik. 3) Saya nggak suka nyuci pakai tangan karena makan waktu. Padahal saya harus nyusui Fidel. Kalau saya nyuci baju pakai tangan, Fidel ngeyel kepingin nyuci baju juga dan acara laundry akan berubah jadi acara kecipak-kecipak air di ember yang dipimpin oleh seorang anak berumur dua tahun.
Dengan pembicaraan penuh kritik itu, makanya saya jadi males nelfon ibu saya.
Lagu Kasih Ibu
Sampai kemudian saya lagi browsing dan nemu lagu Kasih Ibu oleh Andien dan Anggun Sasmi di channel YouTube-nya Pantene dan Downy. Anda mungkin sudah lihat juga videonya di tivi-tivi.
Siapa sih yang nggak tahu lagu ini? Guru-guru kita di TK sudah ngajarin lagu ini jauh berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Videonya biasa (oke, gaunnya Anggun keren sekali di situ), tapi saya iseng menyanyikan lagu itu untuk mengeloni Fidel sebelum tidur. Lumayan biar rada variatif, karena saya biasa menyanyikannya Cicak atau Pamanku Datang.
“Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa,
Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia..”
(Saya berhenti sebentar ketika mengetik ini. Entah kenapa tenggorokan saya tercekat dan mata saya berkaca-kaca.)
Dulu, lagu ini cuman sekedar jenis lagu lain yang rutin diajarin oleh guru TK saya.
Tetapi sekarang, lagu itu seperti memberi tahu saya bahwa lirik lagu itu benar semua. Dalam setiap liriknya, ada bayangan ibu saya tentang bagaimana ia menanggapi setiap event dalam hidup saya.
Saya ingat ketika saya memilih berhenti sekolah spesialisasi karena studi itu sukses merusak kepribadian saya. Waktu itu yang paling saya takutkan adalah ibu saya akan kena serangan jantung et causa stress kalau anaknya tidak jadi dokter spesialis. Tetapi yang nyatanya terjadi, ibu saya malah memegang bahu saya dan bilang, “Vicky, Mama lebih bahagia punya anak yang biasa aja tapi kelakuannya baik, daripada punya anak yang jadi dokter spesialis tapi menyakiti orang lain..” (Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa..)
Saya ingat pernikahan saya seringkali mengalami kesulitan keuangan. Ibu saya bilang bahwa ibu saya mau pinjamkan uang biarpun saya nggak tahu bagaimana mengembalikannya (siapa sih yang bisa menjamin gaji seorang freelancer?) Kenyataannya, saya kenal sendiri orang lain yang ibunya diam-diam saja melihat perusahaan anaknya bangkrut karena asetnya dirampok ibunya sendiri. (Hanya memberi, tak harap kembali..)
Tapi semalas-malasnya saya menelepon ibu saya karena saya ogah dikritik, saya tetap mau buka grup Whatapp keluarga besar hanya untuk mencari-cari pesan timbrungan dari ibu saya. Membacanya berasa seperti mendengarkannya bicara dengan kuping saya sendiri, dan entah bagaimana rasanya saya jadi terhibur dari malarindu. Benar seperti lagu itu.. Bagai sang surya menyinari dunia.
Ibu Yang Membuat Saya Seperti Ini
Saya yang sedang menulis artikel ini, bisa menjadi diri saya yang begini karena saya punya ibu yang membentuk saya seperti ini.
Saya keras kepala, ngeyelan apalagi kalau urusannya sudah membela orang. Saya yang bersikukuh kalau sedang menasehati pasien saya yang bandel tidak mau menuruti saran dokter. Saya yang ngeyelan kalau sedang berhadapan dengan klien yang tidak mau bayar fee-nya anak-anak buah endorser saya sesuai perjanjian awal. Saya mungkin seharusnya jadi pengacara, dengan kapasitas saya yang vokal dan tegas, tapi kemudian malah kesasar jadi dokter dan sekarang public relation media, itu bisa terjadi karena saya dibesarkan oleh ibu yang kuat membela kemauannya.
Saya tidak yakin saya bisa sekuat ibu saya dalam membentuk anak. Ibu saya mungkin memberlakukan zero tolerance kalau saya lembek, tapi saya masih bisa lumer terhadap anak saya sendiri. Saya masih gampang menyerah kalau Fidel rewel nggak mau makan. Saya masih diam saja kalau lihat Fidel kabur dari playland lantaran di-bully anak yang badannya lebih besar. Saya bahkan nggak memaksa dia untuk menghilangkan ketakutannya pada mainan kuda-kudaan di Timezone yang kalau dimasukin koin bisa goyang-goyang sendiri.
Dengan segala kelumeran saya itu, saya seringkali diam-diam takut jika besok-besok dia tidak dipandang orang lain karena dia sendiri kurang stand out.
Padahal saya sendiri bisa seperti sekarang, karena dulu ibu saya mengajari saya untuk tidak gampang lembek.
Dan saya merasakan bedanya diri saya dengan perempuan lain. Banyak kawan saya yang penurut, pasrahan, nggak berdaya di lingkungannya, ternyata setelah saya mempelajari ibunya, mereka dibesarkan oleh ibu yang klemak-klemek.
Ingin Pulang
Mengingat ibu saya, adalah hal yang membuat saya rindu rumah. Banyak hal yang saya rindukan dari rumah, dan sulit saya dapatkan penggantinya di tempat lain. Tentang kamar tidur saya yang ditata sendiri oleh ibu saya, dengan hawanya yang sejuk tanpa AC, selimutnya yang tersetrika halus dan wanginya harum, wangi Downy yang tak pernah berubah semenjak saya masih kecil.
Tapi saya tak ingin pulang hanya 3-4 hari hanya untuk dikritik. Saya ingin pulang sampai berminggu-minggu, dimasakin semur lidah oleh ibu saya, sembari bercerita tentang hal-hal santai yang bisa bikin ketawa.
Saya ingin menyelinap ke kamar ibu saya tempat ibu saya sedang bobok siang, lalu saya naik ke punggungnya dan menginjak-injak sekujur badannya sembari menceritakan isi buku cerita yang baru saya baca, membuat ibu saya merasa seperti sedang dipijat shiatsu oleh anak berumur 5 tahun yang tergila-gila pada serial Caroline.
Saya ingin cepat Lebaran lagi. Saya ingin bilang maaf kepada ibu saya, karena semakin dewasa ternyata saya makin susah memaklumi kegaptekan ibu saya yang tidak mau berhenti memasang HP-nya dalam mode silent. Saya ingin mohon maaf karena kesulitan saya menjadi anak yang pengertian itu telah memberi kontribusi akan kemalasan saya untuk menelepon ibu saya.
Dan lepas dari urusan anak perempuan berusia 34 tahun yang sangat tidak pengertian ini, saya masih ingin merepotkannya lagi, merampok waktunya lagi supaya beliau mau mendengarkan keluh-kesah saya tentang dunia.
Karena di seluruh dunia ini, tidak ada yang lebih sudi menyimak kata-kata saya dengan seksama, melebihi perhatian yang diberikan ibu saya…

Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
sering kita bentrok krn ortu dalam hal ini mama gak paham apa yg kita inginkan. tp kitanya jg suka gak sabar memberi penjelasan. Suka nyesel kl inget dan bersyukur masih diberi kesempatan minta maaf dan semoga bisa lebih membahagiakannya nanti
Karena kesabaran tiap manusia berbatas, tergantung temperamen dan pengalamannya menghadapi hidup.
Begitupun kemampuan lansia untuk memahami hal-hal pun sudah semakin terbatas.
Mudah-mudahan bukan ini penyebab terbanyak pertengkaran anak dengan orangtuanya di usia dewasa.
Huwaaaa mbak aku mewek baca tulisannya
Padahal tadi siang baru aja ngobrol panjanh lebar sama ibu via telp dan sekarang aku udah kangen lagi hiks
Semoga ibu2 kita diberi kesehatan ya dan kita bisa kumpul dalam suasana bahagia selalu
Amien..sehat itu yang penting.
Nenek saya masih hidup, tapi kurang sehat jiwanya. Sering menggerutu, sehingga suasana berkumpul keluarga jadi kurang enak. Kasihan aku kepada bapakku yang ingin kumpul dengan ibunya, mendapat suasana yang tidak seindah keinginannya.
Mbak Vicky aku kok ikut berkaca-kaca baca ini ya 🙁 duh kadang gitu ya kalau lebaran didominasi sama orang2 tua sampai mama papa kita tdk diberi kesempatan bicara. Aku jg penginnya kita lebaran sama ortu
Semangat ya mb Vicky sekarang aku jg tahu makna kasih ibu kepada beta
Faktor budaya lingkungan membuat bonding kita dengna orang tua kita sendiri menjadi terabaikan. Sekarang adalah bagaimana membuat quality time kita yang sempit ini memberi value setinggi-tingginya untuk mengakrabkan kembali hubungan kita dengan orang tua.
Dan itu sulit.
Biasanya saya paling malas baca postingan panjang, tapi tulisanmu bikin saya baca sampai habis. Baru semalam saya nangis termehek mehek sendiri tengah malam buta gegara nonton sinetron religi ttg bagaimana ibu bekerja keras untuk anaknya dan saya merasa ditempeleng karena sampai sebesar ini rasanya blm bisa memberi kebahagian dan berbuat banyak sama mama. Terlalu sibuk dgn pekerjaan dan sepakat bahwa kita orng yg sama dgnnkemalasan tlp kerumah.
Thank you vicky sudah mengingatkan buat luwangin waktu sekedar tlp ke orang tua.
*dan kembali nyesek karena kangen sama mama for sure. Pengen mudik buru buru
Hai Fei, lama banget nggak mampir ke sini?
Jadinya Fei mudik ke mana? 🙂
Huwaaaaa kangen ibuku di Sby, lebaran ini aku tak mudik, tapi insyaAllah setelah lebaran ibuku yg akan ke jkt
Tengkyu tulisannya mabk Vicky
suka gaya ngeyelmu terutama buat anak buah endorsermu hehe
Sampai hari ini aku masih nggak ngerti kenapa April nggak pulang ke Surabaya.
Adakah yang menahan dirimu dan suamimu di Depok sampai nggak mudik minggu ini?
Super mbak..hanya ada bbrapa paragraf yg kurang suka. Maaf ibu, tak angkat telponmu…hiks..aku jadi mewek juga mbak..
Selamat mewek..
Saya suka tulisan Mbak Vicky: lugas dan apa adanya.
Baca tulisan Mbak Vicky jadi reminder buat saya untuk menjalin kedekatan yang lebih intim dengan ibu. Seringkali urusan pekerjaan dan keluarga menyita waktu kita sehingga tak sempat lagi menengok Ibu.
Ibu sampeyan di Blitar, ya Mas? Deket itu dari rumah sampeyan.
Lha saya lho, kalau mau nengok ibu saya aja harus naik pesawat dulu 😐
Mbak, tulisan yang bagus. Saya rasa saya sama seperti Mbak. Sebal sekali kalau mama sudah mulai mengoceh tidak jelas. Tapi saya tau persis mama sayang sama saya, bahkan rela melakukan apa saja.
Berdoa untuk kesehatan orang tua kita yaa 🙂
Terima kasih ya sudah mampir, Lia 🙂
Memang doa saya akhir-akhir ini cuma minta orang tua yang tetap sehat. Meskipun kalau sudah ketemu langsung pun hati rasanya jadi sebal lagi 🙂
Setelah menjadi ibu, sayang sama ibu terasa banget yah. Huhuhu.
Iya, betul..
Sampai segede ini aku masih suka curi2 waktu masuk kamar ibu pas anak2 sedang mai . Trus nostalgia masa lalu. Ah indahnyaa
Oh ya? Apa yang dicari, Mbak? 🙂
Saya meninggalkan rumah sejak SMP dan hanya pulang 2x kerumah setelahnya…dan bukan waktu lebaran..jadi saya gak punya kenangan foto lebaran bareng ortu..
Tapi nelpon tiap hari kok..
Pasti menyenangkan bisa telponan setiap hari. Biarpun yang diomongin cuma hal itu-itu aja..
Semoga lebaran tahun ini bisa bersua dan berquality time dengan ibu, ya mbak
Tentu ada momen-momen berkesan dengan ibu yang beraneka ragam ceritanya, hhee
Mudah-mudahan bisa. Ini belum apa-apa jadwal lebaran kami sufsh terganggu lantaran kehabisan tiket early bird.
Maaf ibu, tak angkat telponmu..huhuhu..pgn peluk ibu..
Peluk atuh..
Mengobrol bersama ibu memang momen yg sangat dinanti ya mbak, saya ajah yg sering mudik setidak ya 2 Minggu sekali rasanya ngga bosan2 curhat dan mendengarkan celoteh Ibuk saya, semoga segera bisa berkumpul dengan mamanya ya mbak Vicky.
Woo..enaknya ketemu ibu 2 minggu sekali. Saya ketemu ibu saya belum tentu 2 bulan sekali.
Kalau aku tumbuh dlm bentuk didikan bapak. Secara sejak sd ditinggal ibu bekerja ke luar negeri.
Cuma yang sy dptkan dri ibu, semangat bekerja dn hidup mandiri
Alhamdulillah. Nggak semua ibu bisa ngajarin mandiri ke anaknya.
Apik mba
Suwun
Lagu Kasih Ibu itu timeless banget ya. Simple tapi ngena banget. Jadi kangen Mamah juga 🙁
Iya, benar..
memang cinta ibu itu absurd.. ada awal tapi gak ada akhirnya..
Ya betul..
hiks, sedih. Jadi inget juga sama alm. ibuku, Mba.
Seru yah kalau lagi sama ibu, rame banget apa aja diobrolin. Dan perhatian-perhatian kecilnya itu lho…
Ibumu sudah meninggal ya? Ikut bela sungkawa ya..
Perhatian kecilnya itu memang tidak bisa digantikan orang lain..
Sekarang jadi tahu karakter mbak Vicky nurun dari siapa..
Bisa kok jadi pengacara, pengacaranya blogger. Contohnya Lembaga bantuan hukum untuk blogger, harusnya profesi blogger & influencer seiring dengan berkembangnya zaman juga bisa lebih dilindungi di mata hukum ya..
Hahahaha.. kayak yang ada aja jurusan ilmu kayak gitu. Coba itu UU ITE dibenerin dulu..
membaca ini,mengenal lebih jauh sosok mbak vicky. membaca ini jadi kangen ibuk. ibuk yang sudah 2 lebaran ini memilih di sebrang pulau. hikz jadi pengen mewek.
Ibunya di pulau mana, Mbak?
Dulu suka sebel karena Ibu cerewet dan bawel banget. Semua-semuanya dikritik, ditanyai, dikomentari. Sekarang, malah sering kangen suaranya Ibu 🙁
Ya, begitulah, sepertinya semua ibu tukang kritik, tukang komentar. Tapi tak ada yang jamin bahwa sampai tua nanti kita tidak akan seperti itu juga..
begitulah ibu pasti cerewet padaku walu aku sdh punya anak dewasa
ya begitulah ibuku juga amsih suak nyerewetin aku padahal aku sdh punya anak dewasa. tapi aku justru kangen dg kecerewetannya
Sepertinya cerewet itu sudah jadi trademark para ibu. Sampai seumur hidup akan tetap begitu.