Perjalanan Inovasi Batik Indonesia untuk Mempertahankan Tradisi

Ketika salah satu teman saya sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Los Angeles, tanpa sengaja dia menemukan sebuah toko yang memajang baju dengan tulisan batik pada etalase depan tokonya. Dia memotret etalase baju itu, lalu membagikannya di timeline Facebook miliknya, dan memasang status “Lalu orang-orang ini sebut itu batik.”

Saya membaca statusnya dan langsung tergelak.

Kami tahu persis apa yang kami tertawakan. Sejumlah orang Amerika telah kulakan beberapa kodi pakaian, entah dari mana, lalu menjualnya di toko mereka dan seenaknya saja memasang tulisan bahwa itu adalah produk batik. Padahal yang mereka jual hanyalah kain-kain pantai bergambar burung hong berwarna jingga yang diikat-ikat membentuk sarung.

Tapi saya tidak menyalahkan orang-orang Amerika ini. Kenyataannya, banyak orang di seluruh dunia terserang misedukasi tentang apa itu batik.

Permasalahan Seni Batik Indonesia

Produk batik sudah dikenal sebagai salah satu produk tradisi bangsa Indonesia. Saking asli Indonesia banget, batik Indonesia sampai didaulat oleh Unesco sebagai Heritage of the World dari Indonesia yang mesti dilestarikan.

Persoalannya, banyak media internasional telah menyiarkan bahwa seni batik bukan cuma bisa dihasilkan di Indonesia. Produk batik dihasilkan juga di Malaysia, di Nigeria, bahkan di Ukraina. Dan memang ada buktinya, bangsa Nigeria membuat kain yang mirip batik dengan menggambarinya menggunakan tinta dari getah singkong. Malah lebih parah lagi, bangsa Cina daratan bahkan telah membuat kain yang mirip batik sejak pemerintahan Dinasti Qin pada abad ke-2 Sebelum Masehi.

Fakta ini yang kemudian dijual oleh banyak negara, sehingga mereka mengklaim kain-kain bikinan mereka sebagai produk batik. Dengan nama batik itu, mereka menjadikannya komoditas, mengekspornya ke mana-mana, dan meraup devisa bagi negara mereka sendiri. Pada akhirnya, Indonesia mungkin akan tetap paling populer sebagai negara penghasil batik, tetapi tidak semua pembeli batik akan memberikan kredit penghargaan kepada proses membuat batik seperti yang dilakukan bangsa Indonesia.

Bagian yang merepotkannya lagi, produk batik masih baru populer hanya sebagai pakaian atau bahkan sebagai kain. Membandingkan batik Indonesia dengan batik KW asal non-Indonesia, tidak bisa lepas dari faktor kualitas kain tersebut. Jika pakaian batik asal Indonesia kalah bersaing dengan pakaian batik KW asal negara lain yang kualitasnya mungkin lebih bagus, tinggal masalah waktu sampai batik asal Indonesia menjadi kalah populer. Pada akhirnya pasar internasional hanya akan berpihak kepada baju bergambar flora fauna yang dilukis dengan lilin seperti yang dibikin bangsa-bangsa lain itu, bukan berselera kepada kain yang dilukis dengan penuh filosofi nilai-nilai luhur.

Sejarah Batik Indonesia

Kenapa saya ngeyel menyebut kain-kain asal luar Indonesia di atas sebagai kain yang mirip batik, atau lebih parah lagi, batik KW? Karena saya merujuk bahwa istilah batik sendiri memang berasal dari Indonesia.

Sultan Hamengku Buwono asal Yogyakarta mencetuskan kata batik, yang berasal dari kata amba (Indonesia: menulis) dan batik (Indonesia: tinta). Sultan mengajari cara membuat batik yang dimulai dengan menggambari kain menggunakan tinta panas yang dibikin dari lilin, yang mana proses menggambari itu menggunakan teknik menggambar titik-titik hingga menjadi garis. Dari garis kemudian menjadi gambar. Dan gambar-gambar itulah yang menjadi suatu corak pada kain, sehingga kain itu dinamai batik.

Gambar-gambar yang diajarkan untuk menjadi jenis motif batik itu sendiri juga mengandung makna filosofis.

Gambar batik berupa deretan persegi berisi kupu-kupu dalam motif sidomulyo, berarti kemuliaan hidup yang terus-menerus, dan batik bermotif ini diberikan sebagai seserahan pengantin untuk makna bahwa calon suami akan selalu memuliakan kehidupan calon mempelainya (kadang-kadang gambar persegi ini tidak hanya diisi dengan gambar kupu-kupu, tapi juga bisa diisi dengan gambar pohon, gambar burung garuda, atau gambar bangunan. Tapi tetap intinya adalah mengisi kehidupan rumah tangga mereka supaya mulia.)

Gambar batik bermotif bintang truntum, artinya menuntun, dan ini yang membuat kain bercorak bintang ini hanya digunakan oleh orang tua pengantin dalam adat pernikahan (karena memang maksudnya pertanda bahwa orangtua akan menuntun anaknya yang menjadi pengantin itu dalam kehidupan rumah tangga mereka. Coba bayangkan kalau orang tua pengantin ini mengenakan kain batik bergambar parang yang sebetulnya bermakna kekuasaan.)

Gambar taman dalam motif taman arum sunyiaragi, artinya sikap peduli untuk menjaga kelestarian alam, supaya pemakai kainnya selalu ingat pada ciptaan Tuhan dan tidak selalu memikirkan urusan duniawi.

Bahkan warna yang tercurah pada kain batik pun punya makna. Warna hitam, berarti identik dengan jiwa lawwamah yang merendahkan hati seperti bumi. Warna kuning adalah pertanda baik budi, sedangkan warna putih menunjukkan jiwa yang tenang. Warna-warni ini sama seperti karakteristik orang Jawa (Tengah) pada umumnya yang cenderung kalem dan low profile.

Memang ketika Jawa (atau pada masanya itu, kerajaan Mataram) mulai berakulturasi dengan pedagang-pedagang asal Cina yang tinggal di kawasan pesisir, seni batik ikut berubah, atau lebih tepatnya, berkembang. Gambar batik yang semula didominasi oleh pohon, bintang, dan bangunan istana, pun lebih variatif karena para pengrajin batik mulai menggambari kain dengan satwa-satwa dongeng Cina seperti burung hong, merak, dan naga yang bahkan tidak hidup di Jawa (kita bisa melihat ini pada beraneka jenis motif batik khas pesisir seperti pada corak batik Pekalongan, Cirebon, Lasem, atau Probolinggo). Dan itu lumrah karena meskipun coraknya lebih kontemporer, tetapi proses pembuatan batik itu sendiri masih tidak meninggalkan pakem proses membuat batik yang diajarkan Sultan.

menciptakan batik tulis untuk batik Indonesia
Dengan menggunakan canting berisi lilin cair panas, pengrajin ini mewarnai (ngisen-isen) kain mori kosongan untuk menciptakan batik tulis.
Gambar diambil dari sini.

Pakem untuk menggambar pada batik itu sendiri juga sarat akan nilai luhur. Selain menggambarnya adalah dengan teknik menggabungkan titik-titik menjadi garis dan pada akhirnya menjadi suatu corak, membuat tinta untuk batik juga ada caranya sendiri. Tinta dibikin dari lilin yang dibakar dalam sebuah kompor yang panas, lalu diseduh dengan menggunakan canting. Akibatnya, dalam mempraktekkan teknik membatik, menggambar dengan tinta ini harus dengan luar biasa sabar. Karena kalau tidak telaten, tinta yang berlepotan pada canting dapat menetes-netes sembarangan pada kain, sehingga malah merusak gambar yang sudah capek-capek dibikin. Saking mesti sabarnya menggambar batik ini, para pembatik ogah membatik kalau mood sedang tidak beres. Di sinilah seni batik bukan sekedar menggambari kain, tetapi juga mengajari tentang ketekunan, keindahan, kesabaran, dan pengetahuan akan makhluk-makhluk sekitar (yang mana tentu saja nilai-nilai ini hanya tercermin pada proses membuat batik tulis, dan tidak akan dijumpai pada batik yang dibikin dengan cara dicap).

Efek Ribetnya Batik Tulis

Tidak ayal lagi, saking ribetnya proses membuat batik tulis seperti yang saya tulis di atas, membuat produksi selembar kain batik saja bisa makan waktu lama. Tidak cocok dengan tuntutan konsumen kekinian yang ingin barang dalam jumlah banyak, dan dibikin dalam jumlah cepat, dan dibikin dengan biaya seirit mungkin.

Ini yang membuat produk batik tulis sulit bersaing dengan batik cap. Karena batik cap, yang industrinya dibikin oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad 19, hanya dibikin dengan cara yang jauh lebih praktis. Teknik membatik pada batik cap itu sangat efisien, hanya dengan mencetakkan cap pada selembar kain. Tinggal capnya saja yang didesain dengan jenis motif batik tipikal seperti gambar kawung, parang, kembang, awan, dan sebagainya. Kini proses membuat batik cap ini bisa dibikin di negara mana saja, tidak harus di Indonesia.

Dan batik cap ini yang membuat Indonesia terengah-engah. Indonesia mungkin punya gambar cap, tapi Indonesia kesulitan kalau harus berurusan dengan mesin cap yang bisa menggambari kain dalam jumlah banyak dengan kualitas cetak yang tetap bagus. Belum lagi kalau bicara produksi kain. Selama jumlah produksi pabrik kain di Indonesia belum bisa mengatasi jumlah permintaan internasional akan kain batik, Cina dan Malaysia akan terus membayangi negara kita karena kemampuan produksi kain mereka memang lebih baik.

Inovasi Batik

Orang-orang Indonesia memang sudah melihat kesulitan ini dan sudah menciptakan beberapa solusi. Antara lain dengan mempertahankan dokumentasi akan motif batik Indonesia dalam aplikasi Maps of Batik (bisa diunduh di Android), supaya rekaman akan motif batik bikinan Indonesia itu bisa dilestarikan sampai kapanpun.

Nancy Margried, Yun Hariadi dan Muhamad Lukman bahkan memberikan sumbangsihnya kepada seni batik di Indonesia dengan membuat software desain batik. Diawali dari pemahaman sarjana-sarjana asal Institut Teknologi Bandung ini bahwa hampir semua motif batik tulis buatan Jogja itu sebetulnya diciptakan dengan prinsip mengulang gambar yang sama. Prinsip itu, yang ternyata adalah prinsip matematika fraktal, mendorong mereka menciptakan software untuk mendesain motif batik. Dari suatu gambar sederhana, bisa dibuat menjadi ribuan desain motif yang berbeda. Software ini kemudian dijual dengan merk software jBatik, yang hingga saat ini menjadi software desain batik yang paling sering diunduh.

inovasi batik Indonesia
Batik Indonesia menjadi aksen untuk cover tas kulit.
Gambar diambil dari sini.

Motif batik itu sendiri kemudian tidak cuma digambar pada kain pakaian. Label Kalyana menjadikan batik sebagai cover dari tas. Sementara desainer lainnya membiarkan batik menghiasi cover pada koper, bahkan menggrafir batik pada dompet paspor. Batik juga menghiasi cushion sofa dan diukir pada guci keramik guci. Batik bahkan menjadi motif edible untuk kue tart.

Mempertahankan Tradisi Batik di Masa Kini

Membuat inovasi pada batik Indonesia merupakan upaya yang mesti dipadukan dengan unsur-unsur lain untuk melestarikan batik. Saya rasa, melestarikan batik bukan hanya dengan membeli barang yang digambari batik. Tetapi yang lebih penting adalah melestarikan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam proses membuat batik tadi.

Contohnya dengan melibatkan para pelaku pariwisata dalam mempopulerkan proses produksi batik tulis. Wisatawan, baik dalam maupun luar negeri, bisa diajak untuk mengunjungi bengkel-bengkel batik yang tersebar di Yogyakarta. Di bengkel itu mereka bisa diajak untuk meluangkan waktu beberapa jam untuk melakukan produksi batik, mulai dari merancang motif batik, memasak lilin dan menyeduhnya dalam canting, menggambar motif batik pada kain dengan menggunakan canting, bahkan sampai menjemurnya pada gawangan. Atraksi teknik membatik yang dilakukan sendiri oleh wisatawan ini akan membuat siapapun mengerti bahwa menggambar batik memang tidak mudah, dan proses ini sebetulnya tidak bisa digantikan oleh mesin.

Kegiatan do-it-yourself untuk turis mungkin sedikit menyedot biaya operasional, tetapi penelitian selalu menunjukkan bahwa kegiatan semacam ini selalu mengundang banyak konsumen dan pada akhirnya menciptakan devisa bagi negara yang melakukannya. Dan yang paling penting, nilai filosofi tradisional batik tulis ini tetap terjaga, dan akan sulit disaingi oleh negara lain.

Karena bagian utama dari menjaga tradisi bukanlah menerjemahkannya ke dalam bisnis, tetapi mempertahankan nilai-nilai luhur yang telah dianut secara turun-temurun.

10 comments

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Hai Wadiyo, sampai hari ini batik Pekalongan masih jauh lebih sering dicari ketimbang batik Solo, menurut Google Keyword. Sedangkan batik Bali maupun batik Sunda masih jarang dicari.

      Salam kenal juga.

  1. Keven says:

    Memang sulit, apalagi kebanyakan orang Barat tuh menyangka bahwa Batik itu berasal dari Malaysia. Aku tiap kali ngadain acara pementasan budaya waktu di China dulu, selalu koar-koar mengingatkan mereka. Batik itu asalnya dari Indonesia! Baju barong itu asalnya dari Bali, dan Bali itu letaknya di Indonesia, bukan di Maldives! Begitu pula juga dengan Indomie. Wong jelas-jelas nama depannya udah ada “Indo”nya, kok masih ada bule Nigeria yg berani bilang bahwa Indomie itu adalah buatan Nigeria. Sakid…

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Sakit banget temen-temenmu di China itu, Kev, hahahahahah..

      Ya, memang sebetulnya kenapa orang Barat sering mispersepsi bahwa batik berasal dari Malaysia, itu lebih disebabkan karena jumlah batik KW asal Malaysia yang berhasil terjual di pasar negara Barat memang lebih banyak daripada jumlah batik asal Indonesia.

      Kalau kita iseng buka situs Amazon atau eBay, coba ketikkan kata “batik”. Nanti akan muncul segala produk batik dalam bentuk pakaian dari seluruh dunia, lalu lihat berapa banyak vendor asal Indonesia yang mendominasi. Dan bandingkan jumlahnya dengan vendor asal negara lain yang juga sama-sama mengaku jualan produk batik.

      Solusinya memang ada pada kita sendiri. Kita yang mestinya mengkampanyekan filosofi batik ke dunia internasional, bukan sekedar menjual baju batik.

Tinggalkan komentar