Menyederhanakan Sistem Informasi Kesehatan

Bahkan kata “sistem” saja sudah terdengar rumit. Bagaimana kita mau menyederhanakannya?

Saya dulu bekerja sebagai dokter di sebuah rumah sakit tersier di Surabaya. Saya meladeni pasien-pasien yang dirujuk dari rumah-rumah sakit kecil, yang diminta datang ke rumah sakit tempat saya bekerja karena alasan rumah sakit asalnya itu tidak mampu membantu menyembuhkan para pasien itu.

(Perlu saya ceritakan dulu, dalam dunia manajemen kesehatan memang ada tiga macam tempat pelayanan kesehatan untuk orang sakit. Tempat pertama disebut tempat pelayanan primer, biasanya berupa klinik, dokter yang praktek sendiri, atau berupa puskesmas.
Tempat kedua adalah tempat pelayanan sekunder, biasanya sudah berupa rumah sakit. Disebut sekunder karena merupakan tempat tujuan dari para tempat layanan primer jika layanan primer ini tidak mampu menangani masalah pasiennya sampai tuntas.
Tempat ketiga adalah tempat layanan tersier, berupa rumah sakit juga. Perbedaannya dari rumah sakit sekunder adalah sarana rumah sakit tersier lebih lengkap daripada rumah sakit sekunder.)

Karena rumah sakit tersier adalah tempat terakhir yang diharapkan bisa membereskan masalah para pasien sakit ini, praktis kebanyakan pasien yang datang ke rumah sakit tersier pun sudah dalam keadaan “kelelahan”. Mereka sudah mondar-mandir dari dokter di klinik primer, dioper ke dokter di rumah sakit sekunder, lalu terdampar di rumah sakit tersier. Dan di tempat terakhir ini, mereka berharap mendapatkan solusi.

Saya sering mendapatkan pasien-pasien kelelahan seperti ini. Pernah di tempat kerja itu saya didatangi pasien seorang perempuan tua yang membawa surat rujukan dari sebuah rumah sakit di Kabupaten Nganjuk. Dari surat keterangan itu saya mendapat kecurigaan bahwa mungkin perempuan ini mengidap kanker leher rahim. Ketika saya bertanya kepada ibu ini, apa yang dia rasakan, dia hanya menjawab bahwa dia sangat capek. Dia mengadu bahwa semula dia hanya datang ke Puskesmas di desanya karena bingung mengapa dia terus-menerus keputihan dan berbau. Ternyata percobaannya mengadu ke Puskesmas malah membuatnya harus menempuh perjalanan tiga jam dengan oplet dari Nganjuk menuju Surabaya.

Sebetulnya bukan jaraknya yang jauh itu yang membuatnya kecapekan. Tapi lebih tepatnya, dia jenuh. Dia sudah berhadapan dengan mininal dua dokter untuk urusan keputihan bau ini, dan saya adalah dokter ketiga yang dia temui. Bagian yang membuatnya resah adalah setiap dokter menanyakan hal yang sama (“Keluhannya apa, Bu?”), dan dia harus menceritakan keputihannya itu berulang-ulang. Berhadapan dengan saya ini membuatnya bosan kalau dia harus mendongeng tentang keputihannya itu lagi, dan dia sangat berharap dia bisa pulang ke rumahnya di Nganjuk dengan membawa secercah jawaban.

Kasus seperti ibu asal Nganjuk ini bukan kasus jarang, malah hampir setiap hari rumah sakit tempat kerja saya dijejali oleh pasien-pasien seperti ini. Mereka semua dikirim dari klinik kecil menuju rumah sakit yang kecil juga, dan pada akhirnya mendarat di rumah sakit besar.

Memang begitulah konsekuensi dari sistem rujukan. Alasan kenapa ada tempat layanan kesehatan primer, tempat layanan sekunder, dan tempat layanan tersier, adalah karena kemampuan setiap tempat layanan itu memang berbeda-beda. Puskesmas atau rumah sakit kecil jelas tidak bisa mengobati ibu yang bolak-balik keputihan karena kanker leher rahim. Sebab memang pengobatan untuk kanker leher rahim ialah angkat rahim, kemoterapi, atau radioterapi. Dan ketiga solusi ini cuma bisa dikerjakan di rumah sakit tersier.

Dan hal seperti ini tidak cuma menimpa pasien kanker leher rahim, tapi juga pasien-pasien dengan penyakit berat lainnya.

Tiga Kali Pemeriksaan, Tiga Kali Evaluasi Melelahkan

Pasien yang datang ke tempat saya bekerja, penampakannya sering mengingatkan saya pada orang-orang yang mau melamar pekerjaan. Mereka membawa map berisi berlembar-lembar kertas dokumen. Saya tanya kepada pasien saya, apa isi map itu? Jawabnya selalu sama, “Menurut dokter di rumah sakit sebelumnya, saya harus bawa ini semua kalau mau berobat ke sini.”

Dan tentu saja mereka tidak tahu isi map itu. Ketika saya meminjam mapnya untuk tahu isinya, map itu ternyata dijejali dokumen-dokumen yang tidak efisien: Hasil laboratorium berkali-kali (ngapain orang ini mesti diambil darah sampai tiga-empat kali hanya untuk akhirnya dirujuk?), bon tagihan pembayaran laboratorium, karcis berobat ke Puskesmas, surat keterangan tidak mampu dari Pak RT (plus fotokopi kartu keluarga, fotokopi KTP berlembar-lembar), dan kadang-kadang formulir asuransi dari perusahaan asuransi sejuta umat.

Padahal sebetulnya saya paling cuma butuh dua dokumen saja: Surat rujukan dari dokter sebelumnya (dan biasanya dokternya menulis “ada benjolan di lokasi X sebelah dekstra sebesar Y cm”), dan surat dari laboratorium tentang hasil biopsi (dan seharusnya ini sudah bisa disediakan dari rumah sakit sebelumnya). Jadi saya mestinya tidak perlu membuang waktu untuk membaca dokumen tentang trombosit, atau rekam jantung, atau bahkan surat keterangan tidak mampu, hanya untuk memastikan apakah pasien ini sungguh-sungguh kena penyakit kanker leher rahim atau tidak.

Padahal lainnya, di tiap spot pelayanan si pasien ini menghabiskan sekitar tiga-empat jam untuk berobat mencari solusi. Bayangkan dia datang ke Puskesmas yang antreannya seabrek sehingga dia harus mengantre 1-2 jam. Berhadapan dengan dokter paling-paling cuma 10-15 menit. Dokternya akan bilang, “Anda harus dirujuk ke Rumah Sakit X. Bawa surat ini ke dokternya di sana ya. Ini saya berikan obat dulu supaya tidak terasa nyeri.” Lalu pasiennya mengantre sekitar satu jam hanya untuk membeli obat yang cuma menghilangkan gejala tapi sebetulnya tidak menyelesaikan masalah itu. Tiga jam itu akan diulanginya lagi ketika berobat cari solusi di rumah sakit. Mungkin sedikit tambah satu jam untuk biopsi. Dan menunggu selama seminggu untuk mendapatkan hasil biopsi. Dan ketika hasil biopsi sudah keluar, jawaban yang diperolehnya adalah “Anda mesti dirujuk ke rumah sakit lain yang lebih besar. Bawa surat ini ya.”

Tidak heran, ketika sampai di rumah sakit tertinggi, dia sudah kelelahan menunggu selama berhari-hari. Sambil bawa map.

Dan ketika sampai di depan dokternya (yang didoakannya semoga ini adalah dokter terakhir yang mesti dia temui), dia hanya menyodorkan map tebal itu. Dan dokternya terjebak dalam teka-teki ada-apa-di-dalam-map.

Menyederhanakan Solusi

Saya merasa tenaga pasien terkuras habis karena rujuk-merujuk ini. Dokternya juga kelelahan karena berusaha mengorek informasi dari pasien, padahal pasiennya sudah bercerita berulang-ulang kepada banyak orang yang berbeda.

Padahal akan jauh lebih baik kalau kita bisa memanfaatkan peranan teknologi informasi dalam bidang kesehatan seoptimal mungkin. Ide saya, mestinya setiap tempat pelayanan kesehatan menyimpan catatan kesehatan setiap pasiennya pada sebuah database sistem informasi yang terpadu. Misalnya seorang pasien datang ke Puskesmas dan mengeluhkan sakitnya, lalu dokter mencatat keluhan dan hasil pemeriksaannya pada sebuah sistem. Kalau ia harus mengirim pasien itu ke rumah sakit untuk sarana yang lebih lengkap, ia cukup mengirim surat rujukan berisi nomor dokumen si pasien pada sistem itu tadi. Dokter di rumah sakit hanya perlu membuka sistem informasi yang sama di komputer ruangannya sendiri, mengakses nomor dokumen si pasien, lalu menambahkan hasil pemeriksaannya sendiri yang tentu sudah lebih lengkap. Kalaupun ia masih harus mengirim sang pasien ke rumah sakit lain yang fasilitasnya lebih komplit lagi, lagi-lagi ia hanya menuliskan surat rujukan berisi nomor dokumen si pasien pada sistem tadi. Sehingga dokter di rumah sakit yang lebih tinggi pun cukup membaca nomor dokumen si pasien dan langsung memutuskan solusi untuk si pasien. Sehingga dokter yang terakhir ini tidak perlu direpotkan dengan menggali-gali data lagi dari si pasien, karena ia sudah mendapat kolaborasi data yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan sistem kesehatan yang dipakai oleh semua tempat layanan.

Untuk mewujudkan database sistem informasi kesehatan yang terpadu begini, memang butuh investasi yang tidak sedikit. Banyak komponen teknologi informasi yang mesti disiapkan. Membuat sistem informasi berbasis cloud. Mendirikan server yang tidak gampang diretas. Mengajari dokter supaya mau mempekerjakan sekretaris untuk mengetikkan data-data pasien. Dan bayangkan kalau sistem ini akan dipakai oleh seluruh tempat kesehatan di seluruh Indonesia. Begitu besar peranan teknologi informasi dalam bidang kesehatan untuk negara ini.

Awal-awal membangun sistem teknologi informasi kesehatan akan membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Memasukkan sedemikian banyak data ke dalam sistem informasi pasti butuh waktu yang tidak sedikit. Menginvestasikan tenaga untuk mengajari sumber-sumber daya yang terkait (termasuk mengajari dokter supaya mau menulis secara lengkap) juga butuh perjuangan.

Tetapi efek peranan teknologi informask dalam bidang kesehatan akan terasa ketika sudah bertahun-tahun kemudian. Data pasien yang sistematis ialah aset untuk menentukan kebijakan apa yang mau diambil oleh para pengguna sistem. Data pasien ini bisa menjadi alat evaluasi, apakah semenjak pasien merasa sakit, kini masalahnya sudah tersesaikan. Penyakit apa yang paling sering melanda masyarakat, dan seberapa efektif Puskesmas dan klinik di lini pertama bisa memberikan solusi kepada masyarakat. Penyakit mana yang paling menghabiskan dana, dan bagaimana anggaran manajemen kesehatan bisa dikonsentrasikan untuk memberantas pemyakit itu supaya tidak lagi merongrong rakyat di masa depan. Dan sebagainya.

Akan butuh perencanaan yang teliti dalma membuat suatu sistem informasi kesehatan yang terpadu bagi seluruh tempat layanan kesehatan di Indonesia. Merekrut sumber daya manusia yang efisien adalah prioritas utama dalam sistem ini, kemudian baru membangun infrastruktur yang memadai. Jika semua pihak berkomitmen penuh, mendapatkan sistem informasi kesehatan yang memadai pun bukan sekedar angan-angan.

Peranan teknologi informasi dalam bidang kesehatan mestinya dieksploitasi sebesar mungkin. Karena sistem informasi berdampak pada manajemen. Dan manajemen kesehatan masyarakat adalah tonggak sekaligus tulang punggung bagi pembangunan rakyat. Dan Indonesia, memerlukan rakyat yang sehat untuk membangun bangsanya agar menjadi lebih bermartabat.

6 comments

  1. Mungkin bisa langsung berkolaborasi dengan suami yang pakar IT mbak? Di beberapa rumah sakit besar di Jakarta, saya melihat sistemnya sudah bagus, medical record tercatat di sistem informasi yang rapi. Di RSPI Pondok Indah malah dokter menulis resep langsung di sistem yang terkirim ke apoteknya. Jadi pas datang ke apotek tinggal bayar dan ambil.

    1. Vicky Laurentina ( User Karma: 0 ) says:

      Begini ya Galih.
      Persoalannya, rumah sakit besar tidak selalu bisa melayani dengan efisien.

      Di Jakarta, Galih akan bisa melihat rumah sakit besar seperti RSPI punya sistem teknologi informasi yang terpadu. Sistem ini membuat dokter di divisi poliklinik bisa berkordinasi langsung dengan divisi apotik untuk melayani obat, sehingga pasien hanya perlu meluangkan waktu beberapa jam saja untuk berobat.

      Tetapi di Jakarta pula, beberapa rumah sakit besar lainnya tidak bisa seefektif RSPI. Mereka kesulitan menginstalasi sistem teknologi informasi yang terpadu karena mereka sungkan untuk berinvestasi pada sistem itu. Penyebab umumnya, karena rumah sakit ini dirancang sejak awal dengan mendirikan divisi satu per satu. Akibatnya tiap divisi berdiri sendiri-sendiri dan tidak saling berkolaborasi.

      Tetapi lagi, artikel ini bukan membahas sistem informasi di dalam rumah sakit. Artikel ini membahas sistem yang lebih besar, yaitu sistem informasi rujukan. Dalam sistem ini, pihak yang terlibat bukan cuma rumah sakit, tapi sudah melibatkan tempat-tempat pelayanan kesehatan yang merujuk pasien ke rumah sakit itu. Makanya saya bolak-balik menyebutkan kata Puskesmas dan klinik, karena mereka yang merujuk pasien ke rumah sakit, tetapi tanpa berkolaborasi dengan rumah sakit rujukan untuk memberikan data pasien yang mereka rujuk.

      Dan sistem informasi kesehatan yang terpadu, sebetulnya bisa menolong untuk mengkolaborasikan data pasien rujukan ini. Manfaatnya, waktu yang harus diluangkan pasien (atau masyarakat yang sakit) akan lebih efisien, sehingga masyarakat bisa memprioritaskan energinya untuk berkarya tanpa terforsir untuk mengurusi administrasi berobatnya di rumah sakit.

Tinggalkan komentar