Bocah yang global di sini bukanlah bocah yang pinter ngukur diameter globe di meja belajarnya. Tetapi maksud saya, bocah yang global adalah individu yang bisa supel bergaul dengan bangsa apa saja. Tanpa celingus, tanpa sok pintar, tanpa intoleran, tanpa harus kehilangan jatidirinya sendiri. Dan ternyata, bocah yang begini bisa dibangun dari semenjak masa kanak-kanak.
Pada kawan-kawan yang sudah kerja di luar negeri (dalam posisi kerah putih lho ya, bukan cuman jadi kerah biru alias jadi jongos), saya sering tanya apa yang jadi kesulitan orang Indonesia untuk jadi boss di perusahaan-perusahaan multinasional. Karena semenjak Obama ke Bali dan Jogja beberapa minggu lalu, timeline saya full dengan diskusi-diskusi tentang sepak terjang diaspora Indonesia di luar negeri (iya, timeline saya nggak full dengan pembicaraan tentang terorisme panci kayak timeline Anda, wkwkwkwk..)
Meskipun lumayan banyak orang Indonesia yang berhasil jadi di luar negeri, misalnya menjadi dosen, atau posisi supervisor di perusahaan, atau bahkan jadi direktur World Bank, tetapi masih lebih banyak yang cuman mentok di posisi yang itu-itu aja. Karier mereka akhirnya cuman berhenti di situ, dan pada akhirnya mereka pensiun dan memilih pulang ke Indonesia karena ingin mati di Indonesia aja.
Lalu saya bertanya-tanya apa problem orang Indonesia di luar negeri sampai-sampai susah dapat promosi jabatan di level-level tertentu. Atau lebih tepatnya, apa yang bikin sebagian kecil orang Indonesia berhasil menjadi pemimpin dari bangsa-bangsa lain, dan kelebihan apa yang nggak dimiliki oleh sesama sodaranya yang cuman mentok di situ-situ aja.
Ternyata jawabannya adalah, mereka yang berhasil naik pangkat adalah mereka yang bisa berkomunikasi. Komunikasi ini bukan cuman sekedar menguasai bahasa Inggris atau bahkan jadi poliglot. Tetapi yang lebih penting lagi adalah, mereka supel.
Supel ini ditandai mereka luwes bergaul dengan sopan karena memahami kultur budaya lain (artinya sopan menurut budaya lain, bukan cuma sopan menurut budaya orang Indonesia doang). Supel ini juga ditandai mereka bisa mengekspresikan pikiran mereka (alias bersikap informatif) kepada orang-orang dari bangsa lain, sehingga ucapan mereka itu bisa memperoleh tanggapan yang relevan dari lawan bicara mereka yang berasal dari bangsa lain juga.
Problem kebanyakan orang Indonesia bukanlah nggak bisa berbahasa Inggris (in fact, bahasa Inggrisnya orang Indonesia termasuk bagus untuk ukuran non-English native speaker). Tetapi problem orang Indonesia adalah masih sering gagap kalau sudah bergaul dengan orang yang lain budaya.
(Soal itu saya masih ketawa sendiri. Kita akan selalu gagap kalau baru kenalan masih aja ada yang berbasa-basi tanya, “Situ orang mana?”)
Dan problem kegagapan bergaul ini sebetulnya bisa dibereskan. Itu sebabnya pusat-pusat kultur itu didirikan di kota-kota besar, salah satunya adalah English First alias EF. Meskipun EF lebih sering dikenal orang awam sebagai tempat les bahasa Inggris, tetapi sebetulnya sebagian besar kurikulum yang diajarin di sini lebih menyangkut tentang belajar budaya dari bangsa lain. Tujuan akhirnya, muridnya akan lebih luwes bergaul di dunia internasional.
Mulai Kapan Belajar tentang Budaya (Negeri) Lain?
Lantaran logikanya orang bahkan sudah bisa belajar semenjak dia masih berada di dalam kandungan, maka sebetulnya ajaran tentang budaya negeri lain itu sudah bisa diajarin semenjak masih janin juga. Paling mudah, belajar melalui bahasa.
Jadi, belajar bahasa asing sebetulnya sudah bisa semenjak masih bayi, bahkan semenjak masih janin. Contoh paling gampangnya, ketika saya hamil Fidel, saya sering mengaji. Lalu ketika Fidel sudah lahir, sering saya kelonin sambil nyanyi-nyanyi. Apakah ada jemaah blog saya yang sering nyanyiin bayinya dengan lagu Twinkle Twinkle Little Star? Saat ini, ketika saya lagi ngetik artikel ini, Fidel yang sudah berumur dua tahun duduk di sebelah saya sembari nonton film Thomas and Friends.
Fidel belum bisa ngoceh cas-cis-cus tentu saja, tapi dia bisa ngerti beberapa patah kata dalam bahasa Inggris. Dia paham kalau saya bilang, “Quit!” (ini saya ucapkan, kalau dia baru saja numpahin seember penuh air pel ke seluruh lantai dapur, sembari melotot).
Kalau lagi nonton film edukasi tentang warna, dia bisa nunjuk warna yang pas kalau instruktur di tivinya bilang “black” atau “red” (meskipun anehnya, kalau saya tanya, “Warna apa itu, Del?”, dia selalu jawab “Ijo!” Lalu saya koreksi, “Enggak, Del..itu warna hitam/merah..” tapi dia selalu menggeleng dan ngeyel, “Ijo!” khas bocah umur dua tahun yang menunjukkan tanda-tanda negativisme)
Yang repot adalah kalau saya paksa dia makan sayur, dia selalu menggeleng sambil bilang, “No no no no no!” membuat saya percaya bahwa bocah ini memang sangat profisien dalam urusan bahasa Inggris.
Anak-anak balita sebetulnya sudah bisa merekam semua kata yang diucapkan orang dewasa kepada mereka, bahkan meskipun orang dewasa bicara macam-macam bahasa sekaligus. Roslina Verauli, psikolog yang sering wara-wiri di tivi itu, bahkan cerita bahwa meskipun anaknya sendiri jarang bicara di rumah, tetapi ketika diajarin membaca al-Fatihah di TK-nya, bocah ini langsung lancar membaca tujuh ayat itu tanpa menghafal. Tentu saja, karena orangtuanya sering memperdengarkan al-Fatihah waktu sholat di rumah ketika bocah ini masih balita. Siapa bilang anak balita itu nggak bisa bahasa asing tanpa sengaja diajari?
Ketika bocah balita sudah terbiasa dengan bahasa yang bukan diucapkan oleh ibunya sehari-hari, dia akan lebih mudah belajar tentang budaya asing. Dan itu membuat dirinya beradaptasi lebih cepat untuk jadi bocah yang global. Bocah yang global akan cenderung lebih gampang menjadi individu yang global juga. Individu yang global ini, yang punya daya saing lebih bagus di lapangan kerja ketimbang pekerja-pekerja dari bangsa lain.
Merangsang si Kecil untuk Belajar Bahasa Asing
Ada banyak stimulasi yang sering saya kerjakan buat merangsang anak saya untuk bisa bahasa asing:
- Mengajak ngobrol anak saya dengan bahasa asing. “No no no no!” (ketika dia numpahin air seember ke seluruh lantai rumah), “Une! Deux! Trois! Quatre! Cinc!” (ketika kami menuruni tangga waktu jalan-jalan di taman), “Bismillahi rohmanir rohiim..” (ketika mau makan ayam goreng)
- Nonton siaran film bikinan negara lain. Anak saya paling doyan Thomas and Friends, dan Upin Ipin. Film yang terakhir itu asli kacau banget, karena segala bahasa ada di situ: bahasa Melayu, bahasa Inggris, sampai keluhan dalam bahasa Cina. Yang jelas jarang saya putar adalah Marsha and the Bear, karena tokoh-tokoh di sana jarang bicara.
- Nyanyi-nyanyi pakai bahasa Inggris. Anak saya sangat suka video klip The Wheels on the Bus. Ini bonusnya dobel buat saya, selain ngajarin dia tentang konsep benda dalam bahasa Inggris, juga ngajarin dia tentang konsep kendaraan umum, sekaligus merangsang kecerdasan musikal di otaknya. Anak saya juga suka lagu Pamanku Datang (mungkin karena saya sering menyanyikan lagu ini semenjak bayi).
Kalau mau sistematis mengajari kultur budaya asing, sebetulnya kita bisa memberi anak-anak kita stimulasi dengan kirim anak untuk belajar di EF. Di EF, nggak cuman diajarin bahasa Inggris, tetapi yang lebih penting lagi adalah mereka juga belajar tentang kultur. Anak-anak di sana belajar bergantian dengan guru asal Amerika Serikat, Inggris, atau Australia, yang masing-masing akan membawa ajaran akan kultur budayanya sendiri, sehingga pengalaman anak yang belajar pun akan lebih banyak daripada kalau dia belajar hanya dengan diajari orangtuanya di rumah.
Apakah balita Anda sudah mulai belajar bahasa Inggris? Apa kesulitan balita Anda untuk bicara bahasa Inggris?

Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Saya jebolan anak2 yg dulunya getol dilesin inggris dari kelas 2 sd. Baru berani ngomong pake bahasa inggris pas kelas 4 sd gitu tapi patah2 belepotan ga jelas. Cukup fasih berbahasa inggris skrg akibat kebanyakan nonton film bahasa inggris ga pake text bahasa di dvd pada saat diluar negeri selama setaonan. Secara hiburan paling murah ya dvd palsu.
Anak2 saya dari kandungan udah tiga bahasa. Mamanya ga jelas inggrisan kadang indonesiaan, neneknya mandarinan, pengasuhnya indonesiaan. Alhasil anakku yg pertama fasih 3 bahasa di usia 8. Dan anakku yang lainnya speech delay wkwkwk. Tapi tetep konsisten pake 3 bahasa biarpun artikel bersliweran nyuruh kita pake 1 bahasa aja biar ga bingung. Soalnya udah koleksi dvd barney lengkap. Masak ga disetel. Trus pengasuhnya ga bisa inggris, masak dipecat. Sekarang, anak2ku yang speech delay ketika mereka dua tahun, pas usia 5 skrg ini ngomongnya campur aduk. Inggris dengan grammar indonesia. Mama, later if i am fall how?
Paula, I am so delighted to read your comment.. *big hug*
Pengalamanmu nunjukin kalau banyak-banyak practice mendengarkan itu memang sarana yang paling nampol supaya pinter menguasai bahasa. Saya terkesan banget lihat si Kimi di video-videonya, dia kelihatan pandai sekali; kalau bener dia memang fasih tiga bahasa, maka itu berbanding lurus dengan kepinterannya. Saya nggak kuatir kalau si kembarmu sampai jadi speech delay, beberapa psikolog bilang bahwa ngomong campur-campur bahasa di usia awal itu cuma sementara , dan itu hanya bagian dari proses untuk membentuk kecerdasan.
Apakah dirimu pernah kuatir atau ditakut-takutin tetangga kalau anak kembarmu nanti jadi language delay, Paul?
Pernah sih kuatir, apalagi pas masa2nya trial playgroup. Anak lain sudah lumayan pinter ngomong, ken sama kay limited kosakatanya. Aku sampe ngitung berapa banyak standard kosakata yg diketahui mereka, dan apakah stoknya cukup untuk dibilang normal dan bukan speech delay?
Akhirnya, sekolah yg bikin mereka jadi bisa ngomong lbh banyak. Jadi kalo ada yg kuatir anaknya speech delay, aku sarankan disekolahin aja. Kan keliatan benernya ini speech delay karena ga ada yg ajak omong atau krn faktor yg lbh serius.
Dan iya kalo mau lbh dari satu bahasa, harus via conversation sehari2 dan ga bole putus asa.
Thanks for the compliment buat kimmy yaaa
mbak vicky, sebelum anakku 2 tahun niatku ngajarin bahasa enggres nanti aja sekitar umur 5 tahun lah ya klo udah fasih sama lagu2 indonesia dan kosakatanya bagus … dan biar gak njomplang juga klo lagi ngomong sama akung dan simbahnya yg cuma bisa ngomong bahasa indo
ndilalah, umur 2,5 anakku mulai kenalan sama yutup dan itu cepeeeeet banget dia tetiba bisa lagu baby fingers, twinkle2 little star dll … sekarang umurnya 3 taun, hafal lagu2 nasional dan nursery rhymes … bisa menghitung one two three endebrah endebreh … yauwes lah sekalian nyemplung
di ef untuk program toddler ada ?
Sebetulnya seingatku di EF itu ada program toddler. Sebab keponakanku udah les di sana semenjak umur 3 tahun.
Tapi keponakanku itu tinggal di Bogor. Sedangkan EF yang aku fotoin ini adalah EF cabang Surabaya, dan cabang ini nggak punya program untuk toddler.
Untung ya anaknya Mbak Soraya sekarang udah bisa nyanyi-nyanyi lagu Inggris. Yah itu akung dan simbahnya suruh belajar nyanyi Daddy Finger sekalian dong, supaya nyambung kalau diajak ngomong.. wkwkwkwk..
Bikin Bocah yang Global…
Judulnya membuat saya tertarik untuk membaca tulisan mbak.
Kemudian, menemukan satu fakta yang sangat penting.
Bahwa keberhasilan atau kesuksesan (terutama secara finansial dan sosial) sangat tergantung dengan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi.
Seperti halnya jika kita tidak tahu bagimana menguasai percakapan, baik secara tertulis atau lisan, maka orang-orang tidak akan menanggapi kita secara serius.
Kepercayaan diri dan kemampuan berkomunikasi sangat penting untuk dilatih sejak bocah.
Terima kasih untuk sharingnya, mbak.
Hai Mas Ivan, lama ya nggak ke blog ini 🙂
Saya ingat, ada banyak orang yang terlahir dengan aset berkecukupan, tetapi mati dalam keadaan asetnya rusak dimakan waktu. Sebab mereka tidak tahu bagaimana merawat asetnya, karena mereka tidak tahu harus bertanya kepada siapa, itu karena mereka kesulitan berkomunikasi. Maka yang semula lahir kaya, ketika mati pun tidak sekaya ketika lahir.
Ada juga orang-orang yang lahir dari keluarga yang banyak disegani orang lain. Tetapi karena ia tidak supel bergaul dengan orang lain, maka ia menjadi terisolir dan hidupnya jadi tidak bernilai tambah bagi dirinya. Itu juga karena dia tidak terampil berkomunikasi.
Memang itulah inti postingan saya di sini 🙂
Komunikasi anak, kalau saya lihat dimulai dari lingkungan keluarga inti, yaitu ayah dan ibunya. Anak saya berumur 5 tahun udah bisa banget tuh cas cis cus dalam bahasa sunda dengan teman-temannya. Sementara seorang sepupunya berusia 5 tahun sudah berbahasa Inggris, ya iya ayah ibunya emang menggunakan dua bahasa di rumah. Anak akan belajar bahasa dengan baik dari kedua orang tuanya. Ya kalo orang tuanya ndak bisa, kan ada lembaga bahasa atau les bahasa. Menurut bisa banget juga membantu anak mengenal bahasa luar. Ngomong-ngomong saya pernah belajar bahasa di EF. Asik tuh para pengajarnya, pengajar dan murid belajar dalam dua arah.
Berapa tahun belajar di EF-nya, Mas Phadli? Ambil kelas general atau kelas business?
Ooh gitu ya mbak biar jadi bocah yang global. ntar lw saya punya anak mau tak ajarin tips2 seperti si mbak heheee
Iya
emm, gitu ya mbak. pantas kebanyakan angkatan saya. agak gugup kalau uda bicara dengan bahasa luar negeri. -_-
pengen kembali lagi ke masa kecil, biar belajar bahasa luarnya lancar
Kalau menurut saya sih, nggak perlu muter balik waktu ya. Sebab apa yang terjadi pada jaman kita kecil mungkin belum tentu jadi tantangan buat kita untuk belajar bahasa Inggris. Orang tua yang harus memberi prioritas lain selain mengirim kita les Inggris. Atau tempat kursus yang menyenangkan itu belum ada. Atau orientasi pendidikan kita yang masih bertujuan untuk bisa menang kompetisi kerja, bukan untuk jadi warga global.
Mending sekarang dilatih lagi bahasa Inggrisnya. Karena kegagapan kita akan bahasa asing hanyalah semata-mata karena kurang latihan.