Dulu kita dikenalkan di pelajaran tentang bumi memanas. Tapi cukup sampai situ aja. Dampak dari bumi memanas itu sendiri nggak dijelasin. Awareness bahwa pemanasan global ini masalah besar dan berbahaya buat kita itu belum ada. Itu awalnya kenapa cukup sulit menjelaskan tentang (dampak) perubahan iklim.
Syaharani, aktivis lingkungan Jeda untuk Iklim.
Diskusi tentang Dampak Perubahan Iklim
Syaharani adalah mahasiswa Universitas Indonesia semester akhir. Kurikulum sekolah yang dia terima kayaknya lebih kekinian daripada kurikulum sekolah saya sekitar 15 tahun. Tapi ternyata bahasan tentang perubahan iklim yang dia terima masih 11-12 doang sama bahasan yang saya terima di sekolah.
Saya jadi getek. Apakah guru-guru se-Indonesia ini belum memperbaharui materi pelajarannya, atau memang dampak perubahan iklim itu nggak dianggap sebagai prioritas untuk diketahui anak sekolah?
Saya mendengarkan Syaharani pada pekan lalu, dalam sebuah talk show tentang perubahan iklim. Panitia show-nya adalah organisasi aktivis lingkungan bernama Golongan Hutan, yang lagi kolaborasi dengan komunitas Blogger Perempuan. Organisasi Golongan Hutan-nya sendiri juga mengirim aktivis mereka yang bernama Edo Rakhman, untuk bicara tentang fungsi hutan yang menyalurkan daya dukung lingkungan bagi banyak orang. Ada juga bintang tamu bernama Anindya Putri, seorang aktris yang juga pecinta alam.
Selama sekitaran 15 menit, Syaharani cerita tentang perubahan iklim krisis iklim dan dampak krisis yang nggak diketahui banyak orang ini.
Syaharani nerangin, bahwa sebetulnya bumi kita itu dingin banget. Tapi bumi kita jadi anget lantaran sistem bumi kita punya atmosfer.
Di atmosfer ini, ada gas yang terjadi secara alamiah, yaitu gas rumah kaca. Gas rumah kaca ini memerangkap sinar matahari yang menyinari kita setiap hari. Alhasil, buminya jadi tetep anget deh.
Tapi sayangnya, manusia melakukan macam-macam teknologi dalam kehidupannya, yang ternyata punya efek samping meningkatkan gas rumah kaca dalam atmosfer. Dampaknya, gas rumah kaca jadi memerangkap banyak panas sampai berlebihan.
Sebagai akibat kebanyakan panas ini, suhu rata-rata bumi jadi meningkat. Efeknya, terjadi perubahan musim, dan ujung-ujungnya adalah perubahan iklim.
Apa aja sih hal-hal yang dikerjain manusia ini, kok sampai-sampai gas rumah kaca jadi kebanyakan panas begini? Macam-macam lho ternyata, seperti merusak hutan, dan kelakuan industri yang bikin limbah dan polusi.
Malah salah satu aktivitas lainnya yang memperberat gas rumah kaca ini, menurut Syaharani adalah, pembakaran menggunakan bahan bakar fosil.
Dampak Pembakaran Bahan Bakar dan Cara Mengatasinya
Kita memang umumnya menggunakan bahan bakar fosil untuk aktivitasnya sehari-hari. Contohnya nih, kalau kita memakai kendaraan yang bahan bakarnya masih dari minyak, sebetulnya kita juga masih termasuk menghasilkan gas rumah kaca yang memerangkap kelebihan panas.
Terus, selain bahan bakar minyak, ternyata pakai listrik itu juga termasuk kegiatan pembakaran bahan bakar berbasis fosil lho.
Kata Syaharani, “Kalau kita kebanyakan buang-buang listrik, kita juga menambah gas rumah kaca yang cukup banyak, karena listrik kita masih menggunakan energi batubara.”
Teman-teman, kayaknya cara mengatasinya memang harus dengan membatasi aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil, ya? Saya rasa sih bisa dengan mengevaluasi izin operasional dari para perusahaan yang menghasilkan emisi gas sampai berlebihan. Selain itu, kita juga perlu mengganti penggunaan bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang terbarukan.
Nah, ada beberapa dampak dari krisis iklim yang kita mesti tahu, antara lain cuaca yang ekstrim, mencairnya es di kutub, bencana alam, dan konflik sosial.
Cuaca yang Ekstrim
Cuaca ekstrim adalah cuaca yang unsur/intensitasnya terlampau tinggi atau rendah. Misalnya, kalau lagi musim kemarau, panasnya itu terasa membakar berlebihan. Sedangkan, kalau lagi musim hujan, kayak awal Januari kemaren, di Jakarta tuh, hujannya cuman beberapa jam doang, tapi udah sukses bikin banjir.
Penyebab cuaca yang ekstrim ini sebetulnya adalah panas yang berakumulasi berlebihan di atmosfer bumi. Orang menyebutnya sebagai pemanasan global.
Repotnya, cuaca ekstrim ini juga nggak bisa diprediksi. Anindya, bintang tamu acara ini, sempat curhat bagaimana dia seharusnya melakukan perjalanan dari Nusa Penida menuju Pulau Bali tepat waktu, tetapi ia terpaksa berangkat lebih awal karena tanda-tanda hujan datang lebih cepat daripada perkiraannya. Hujan dapat membahayakan perjalanan para turis.
Dan menurut saya sih, pada akhirnya hujan lebat yang sulit diprediksi bisa membahayakan pariwisata.
Dampak Pemanasan Global bagi Kesehatan Manusia
Di Indonesia jarang orang meninggal karena pemanasan global, sebab iklim kita masih tropis alias sedang-sedang saja kalau ada perubahan iklim. Tetapi yang terasa sebetulnya pada populasi hewan.
Beberapa hewan cenderung mati bila iklim berubah menjadi lebih panas, sebut saja contohnya, sapi ternak. Repot kan kalo sapi ternak mati, kita mau makan daging sapi dari mana? Ada lagi hewan yang justru malah meledak populasinya jika iklimnya menjadi lebih panas, contohnya nyamuk. Padahal nyamuk itu penyebar penyakit, kan? Nggak heran, infeksi yang disebarkan nyamuk, kayak sebut aja malaria dan demam berdarah Dengue, cenderung lebih santer ketika musim kemarau datang.
Mencairnya Es di Kutub
Gegara es di kutub mencair, permukaan air laut sedunia ini menjadi naik. Yang kena dampaknya jelas manusia-manusia yang tempat tinggalnya di pesisir, karena mau nggak mau air laut yang naik akan menyapu lahan pesisir ini.
Isinya pesisir itu bukan cuman pantai wisata doang, tapi juga ada tempat tinggal dan lahan tambak yang menjadi sumber penghidupan buat penduduknya. Kalau pesisirnya tersapu oleh air laut, mau nggak mau penduduk harus pindah.
“Setiap kali dia kena banjir rob, desanya langsung ilang,” kata Syaharani.
Bencana Alam
Yang dimaksud bencana alam, misalnya banjir. Meskipun banjir terjadi karena intensitas hujan yang terlalu tinggi pada suatu hari, tapi sebetulnya banjir ini bisa dicegah seandainya saja ada hutan yang cukup luas untuk menyerap hujan. Tapi skenario ini batal lantaran ekosistem hutan yang rusak.
Kerusakan Ekosistem Akibat Ulah Manusia di Hutan
Normalnya, ekosistem hutan terdiri dari flora dan fauna yang saling mendukung. Tapi, banyak sekali ulah manusia yang merusak hutan (deforestasi). Misalnya, dengan melakukan pembakaran hutan (sebagian bahkan sampai bablas menjadi kabut asap), penebangan (baik liar maupun terorganisir). Ulah manusia ini menghilangkan banyak flora di hutan, sehingga fauna yang berlindung pada hutan merasa kehilangan tempat tinggal. Sebagian punah, sebagian lagi terpaksa eksodus ke tempat lain (dan repotnya, mereka melarikan diri ke tempat pemukiman manusia).
Hilangnya flora di hutan, artinya hilangnya pepohonan yang berfungsi sebagai penyerap air hujan. Ketika pepohonan hutan tidak ada, maka air hujan pun mengalir sembarangan, sehingga menimbulkan banjir pada lingkungan di luar hutan.
Pepohonan yang tidak eksis juga menyebabkan tanah yang lemah, lantaran tak ada akar yang mencengkeram tanah. Akibatnya rawan terjadi hutan longsor, dan longsor ini bisa menghancurkan pemukiman di bawahnya.
Konflik Sosial
Krisis iklim ternyata tidak cuman membuat manusia makin gerah sampai jadi demen tawuran. Tapi dampak perubahan iklim, ternyata rawan menimbulkan masalah kependudukan.
Masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Tadi kan udah saya kasih tau, bahwa salah satu dampak perubahan iklim adalah cuaca ekstrim. Nah, ternyata..
Dampak jangka panjangnya tentu bisa terjadi kelangkaan pangan. Manusia akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri yang paling dasar, yaitu makanan, karena makanannya nggak bisa diproduksi dalam jumlah yang cukup.
Wabah Penyakit
Wabah yang terjadi sebagai dampak perubahan iklim antara lain wabah malaria, wabah demam berdarah Dengue, dan wabah mosquito–vector borne disease lainnya. Wabah ini terasa berat karena memang terjadi ledakan populasi nyamuk.
Ledakan nyamuk ini memang sebagai akibat suhu bumi yang makin panas tadi. Panas yang terlalu tinggi bikin nyamuk pesta-pora beranak-pinak, alhasil malaria dan Dengue pun makin massif di mana-mana. Tragisnya, penyebab perubahan iklim itu manusia juga.
Banyak ya ternyata dampak perubahan iklim itu? Dan cepat atau lambat, manusia pasti akan terkena dampak ini. Dan tragisnya, penyebab perubahan iklim itu ya manusia-manusia juga.
Tapi, meskipun manusia cuman makhluk kecil, Anindya dan Syaharani sama-sama ngomong, bahwa gerakan manusia pasti bisa memperbaiki lingkungan alam, sekecil apapun gerakan itu.
Bagaimana Sebaiknya Memperlakukan Lingkungan?
Alam sudah memberikan kita segalanya: udara, pemandangan yang indah, sumber air bersih, makanan, tumbuhan, oksigen yang kita.
Kita hanyalah sebagian kecil dari dunia ini. Untuk itu, kita harus jaga alam kita.”
Anindya Putri, eks Putri Indonesia.
Salah satu yang diceritakan Anindya, suatu hari Anindya naik gunung Rinjani. Di gunung itu, dia sempat mampir di suatu air terjun. Ada beberapa hiker lain di sana, beberapa adalah hiker warga negara Indonesia dan lainnya adalah hiker dari mancanegara.
Salah satu hiker mencanegara kecewa lihat hiker lokal mandi di air terjun itu dengan sabun. Karena menurutnya, sabun itu mengandung bahan kimia yang bisa mencemari air terjun itu, padahal air di air terjun situ kan masih asli.
Lain lagi ungkapan Syaharani. “Dalam konteks perubahan iklim, sebagian besar (perubahan iklim) memang di-trigger oleh manusia,” katanya. “Namun, perlu dilihat lagi bahwa, manusia dalam konteks ini adalah sistem yang memang mendorong eksploitasi sumber daya alam besar-besaran dan tidak adanya responsibility untuk konservasi lingkungan di tengah pertumbuhan ekonomi.”
Akibat sumber daya lingkungan dieksploitasi berlebihan ini, maka alam, termasuk hutan, jadi rusak. Padahal lingkungan seharusnya dijaga betul-betul, jangan sampai rusak oleh karena kepentingan pembangunan. Dalam konteks hutan, misalnya, para pelaku pembangunan harus melindungi fungsi hutan supaya tetap punya daya dukung terhadap lingkungan.
Saya menghela nafas. Lama-lama saya menangkap arahnya ini. Dampak perubahan iklim cuma bisa diminimalisir jika masyarakat maupun Pemerintah sama-sama punya sikap peduli lingkungan.
Realisasi Sikap Peduli Lingkungan
Peduli lingkungan itu macem-macem perilakunya.
Peduli Lingkungan dari Individu
Anindya kasih contoh, “Kalau teman-teman naik gunung, jangan lupa bawa tempat sampah sendiri. Sampahnya dibawa lagi turun, jangan ditimbun atau berserakan gitu aja.”
Termasuk juga mengingatkan para pelancong yang suka rekreasi di laut, “Teman-teman yang main di laut, jangan buang sampah sembarangan. Laut bukan sampah.”
Peduli Lingkungan secara Kolektif
Syaharani bilang bahwa dia menerapkan belajar, bergerak, dan bawel dalam urusan peduli lingkungan ini. Ternyata gampang lho. Pertama adalah belajar, artinya kita perlu belajar tentang dampak perubahan iklim dan belajar bagaimana mencegahnya.
Bergerak, artinya kita perlu beraksi untuk mempraktekkan apa yang sudah kita ketahui dengan perubahan iklim ini. Dos-q sendiri bergerak dengan melakukan aksi peduli lingkungan melalui komunitas Jeda untuk Iklim. Kita-kita juga bisa lho bergerak dengan mengkampanyekan peduli lingkungan melalui social media. Contohnya kayak saya menulis tentang artikel dampak perubahan iklim di blog ini, juga termasuk kampanye tentang peduli lingkungan.
Bawel, artinya kita perlu mempengaruhi orang-orang supaya mau peduli terhadap lingkungan. Salah satu caranya, selalu mengkritisi penggunaan plastik. Ketika orang lain melihat kita mengkritisi penggunaan plastik berlebihan, lama-lama mereka akan penasaran kenapa kita selalu bawel. Kalau mereka penasaran, lama-lama mereka akan belajar bahwa plastik menyebabkan limbah, limbah menyebabkan efek rumah kaca, efek rumah kaca menyebabkan perubahan iklim, dan dampak perubahan iklim ternyata menyulitkan kehidupan manusia. Sehingga orang-orang akan belajar untuk peduli lingkungan, dan pada akhirnya akan ikut beraksi untuk menanggulangi dampak perubahan iklim.
Kehidupan Bernegara Juga Perlu Peduli Lingkungan
Edo, terus-menerus menyiratkan bahwa kunci dari penanggulangan dampak perubahan iklim sebetulnya adalah Pemerintah. Syaharani sudah memberitahukan bahwa penyebab terbesar dari perubahan iklim adalah penggunaan bahan bakar fosil, maka Pemerintah seharusnya bertindak membatasi operasional para perusahaan.
Operasional yang dibatasi ini adalah: 1) aktivitas yang memakai bahan bakar minyak dan batubara sampai berlebihan, 2) aktivitas mengeksploitasi sumber daya hutan dalam luas yang melebihi konsesi (izin yang diberikan), dan 3) aktivitas pembuangan limbah plastik, dan aktivitas-aktivitas lainnya yang memperparah pemanasan global.
Kuncinya memang harus memilih pemimpin pemerintahan yang adil.
Mengapa Seorang Pemimpin Harus Bersikap Adil?
“Adil dalam artian, bukan hanya adil pada generasi hari ini, tapi juga adil untuk generasi yang akan datang,” kata Edo.
Lanjut Edo, “Kalau kemudian kebijakan hari ini kita dudukkan dalam konteks pertumbuhan ekonomi semata, itu kita tidak adil namanya, tidak memikirkan jangka panjang. Karena kalau kita memikirkan generasi yang akan datang, pasti kita akan mempertimbangkan sebaik mungkin. Bahwa sumber daya alam yang ada hari ini juga harus dirasakan, harus dinikmati oleh generasi yang akan datang.”
Eksploitasi resource itu seharusnya dibatasi, supaya tidak sampai mengurangi daya dukung lingkungan yang semestinya diberikan resource tersebut. Dengan kata lain, kalau suatu hutan itu dieksploitasi, mbok ya dibikin supaya hutan itu jangan sampai dihabisi sampai-sampai hutan tidak bisa dipakai lagi buat mencegah banjir dan longsor.
Dampak Perubahan Iklim di Mata Anak Muda
89% anak muda sangat khawatir dengan dampak krisis iklim yang terjadi hari ini. Ini adalah tanda yang harus diperhatikan oleh para pemegang kebijakan. Menurut saya, ketika orang menjadi pemimpin dan harus bersikap adil, saya kira suara anak-anak muda ini yang harus diakomodir.
Edo Rakhman, mengomentari survey dari Golongan Hutan tentang kepedulian anak muda.
Anak muda menjadi ⅓ dari populasi penduduk Indonesia. Anak muda adalah pengambil keputusan (baca: golongan pemilih untuk Pemilu) yang akan jadi pemegang kebijakan untuk mempengaruhi orang banyak. Sudah waktunya anak muda memilih pemimpin yang peduli lingkungan, dan bergerak dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelamatkan alam dari dampak perubahan iklim.
Saya menulis artikel ini di sebuah kafe yang menyajikan kopinya dalam cangkir keramik. Bukan menyajikan kopi dalam gelas plastik. Ini langkah kecil saya buat menanggulangi dampak perubahan iklim. Bagaimana kamu sendiri? Apa yang kamu kerjakan untuk mengantisipasi pemanasan global ini?
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Memang butuh kerja bareng di tiap lapisan masyarakat ya untuk menanggulangi perubahan iklim ini. Kalau diabaikan begitu saja, lama kelamaan bisa jadi ekstrim perubahan iklimnya. Mulai dari diri sendiri, dari pola perilaku peduli lingkungan terkecil sekalipun, contohnya dengan meminimalisir penggunaan plastik maupun hemat listrik.
PR yang cukup panjang bagi kita semua mengingat masih adanya sebagian besar masyarakat yang punya tabiat ‘pengeyelan’, yang menganggap usia bumi ini hanya sepanjang hidupnya dia aja, ga mikirin anak cucunya kelak. 🙁
Kejadian banjir yang parah di Kalimantan itu harus jadi pelajaran bahwa hutan harus dijaga. Meski ada pihak yang berkepentingan secara komersial tapi pemerintah memang harus ada kebijakan tentang hal ini. Dan setuju banget mba, suara anak muda wajib didengarkan dan dilaksanakan
Ya, memang kalau mau dicermati, mempedulikan dampak perubahan iklim berarti tanda bahwa kita masih punya empati kepada anak dan cucu di masa datang.
Mengajari anak sendiri tentang hemat listrik dan mengurangi plastik itu sudah merupakan langkah untuk menanggulangi dampak perubahan iklim.
Waktu terjadi banjir bandang di Kalimantan itu, saya menunjukkan beritanya kepada anak saya dan anak saya langsung kritis menanyai saya tentang berapa jumlah hutan di Kalimantan sekarang. Saya nggak bisa jawab, tapi saya tunjukin peta yang menunjukkan trend deforestasi, dan dia langsung marah menyadari hutannya berkurang.
pertama kali aku familiar sama climate change itu di tahun 2009 karena kerja di kantor hukum, eh ternyata sekarang makin parah dan sedih banget, trus sekarang terasa banget akibatnya ya
Ternyata ada hikmahnya ya jadi pegawai biro hukum, jadi lebih sensitif untuk urusan climate change 🙂
menjadikan anak itu cinta lingkungan memang kudu sejak dini. biar nanti anak-anak cucu bisa ngerasain indahnya lingkungan alami asri. buat dari mereka juga sudah mulai menjaganya. kebayang es di sono cair, kitanya kelelep dwong
Iya, Cha, bener banget.
Bumi beneran sudah makin tua ya mba. Selalu semuanya sehat sehat dan membaik yaa. Aamiinn
Amien, Ma.
iya juga ya, sebenarnya yang bisa mengendalikan perubahan iklim secara komprehensif itu ada ditangan pemerintah. tapi aku terpikir kan kak Vik, masalah iklim ini udah lama banget dibahas dan digadang-gadangkan. tapi kenyataan dilapangan tetap aja sama.
Ya, soalnya Pemerintah masih gamang antara memberi prioritas pada penyelamatan lingkungan atau memprioritaskan pertumbuhan ekonomi.
Aku sepakat, pembahasan tentang lingkungan dan perubahan iklim di sekolah sekarang dan 20 tahun lalu rasanya nggak berubah banyak. Tampak sekali kalau isu ini masih tidak dianggap penting oleh masyarakat, pemerintah, termasuk juga institusi pendidikan.
Mungkin kuncinya sebetulnya dari pendidikan dulu. Dari pendidikan dini, sebaiknya diajari tentang lingkungan dan perubahan iklim.
Yang punya peran strategis memasukkan pendidikan tentang lingkungan dan perubahan iklim ini tentu saja institusi pendidikan. Untungnya sekarang pemegang kebijakan tertinggi institusi pendidikan di negara kita, orangnya masih muda. Jadi orangnya bisa lebih mudah untuk berubah, sehingga orang-orang bawahannya juga lebih gampang untuk berubah.
Memang harus bertahap ya, Wid. 🙂
kalo ngomongin perubahan iklim tuh rasanya emang udah horor banget deh mba Vicky.. huhu. Tapi tetp kita nggak boleh abai sama masalah iniyaaa.. Mesti ikut andil juga dalam pencegahannya yaaa.. Gerakan sekecil apapun tetep berarti buat nyelamatin bumi ini yaa
Iya, bener. Gerakan kecil menyebarkan pemahaman pun sebetulnya sangat berarti lho..
Sekarang kalau mau naik gunung, para pendaki diperiksa terlebih dahulu oleh ranger sebelum naik gunung. Berapa banyak bekal yang terbungkus plastik atau berapa banyak rokok yang dibawa pendaki. Nanti setelah turun gunung, barang-barang itu akan diperiksa kembali dan harus sesuai dengan jumlah sampahnya ketika dibawa naik ke gunung.
Seketat itu sekarang pengawasan di gunung, supaya gak ada lagi sampah di gunung. Baguslah.
Wow! Aku baru ngeh pengawasan di pos pendaki gunung sampai ketat kayak gitu. Yang suka bawa carrier berisi banyak barang jadi ribet dong, nata-nata lagi kalau habis diperiksa petugas?
Iya ya, Mba peru ahan iklim ini bisa membuat bencana. Salah satu penyebabnya tidak menjaga hutan dan di iarkan terbabat habis begitu aja.
Ya, betul, Mbak Ade.
Masalah pemanasan global ini memang serius banget ya…
Saya sendiri ngerasa bersalah banget, karena biasanya kalau belanja bawa tas sendiri kan, tapi selama pandemi ini jadi belanja online dan terpaksa harus mengoleksi plastik 🙁
Oh iya, saya juga merasa pandemi ini bikin sampah plastik jadi meningkat 🙁
Makanya persebaran vaksinasi Corona kudu dipercepat supaya pandemi segera selesai.
Wah,..jauh banget kayanya aku, kak Vick..
Niat untuk memperbaiki sikap dengan lingkungan, tapi kenyataannya, aku masih buang sampah di plastik. Aku mulai resah kalau di rumah gak ada plastik sama sekali.
Hiiks~
Kalau pembakaran sampah, uda gak pernah lagi siih..
Ini perlu banget diperbaiki dari lingkungan terkecil.
Memang kita masih suka buang sampah di plastik karena berasa lebih higienis bagi kita ya. Aku juga begitu. Tapi aku berusaha keras mengurangi pemakaian plastik pada tindakan lain. Minimal kalau belanja ya bawa kantong belanja sendiri gitu.
89% anak muda sangat khawatir dengan dampak krisis iklim … angka yang bagus ya sebenarnya ini. Pengen tahu anak muda yang dimaksud sample atau bagaimana ya … jika dari keseluruhan anak muda Indonesia, angka ini cukup menggembirakan, kita bisa berharap pada generasi penerus bangsa mengenai perbaikan lingkungan.
Anak muda di penelitian yang diselenggarakan LSM Lingkungan ini masih berupa sample, Kak Niar. Karena responden surveynya belum merata di seluruh Indonesia, masih baru didominasi kota-kota di Jawa dulu. )
Tahun 2010 an ketika aku mulai keliling beberapa sekolah di Bondowoso untuk kampanye ttg perubahan iklim ini, rasanya kaya jadi tukang bohong. Orang gak percaya karena merasa belum lihat faktanya. Padahal itu hanya perasaan mereka aja. Di daerah sini udah sering terjadi cuaca ekstrem, tapi ya orang gak percaya kalo dibilangin. Sekarang ini, dengan makin banyak kejadaian di depan mata, semoga orang menjadi lebih percaya dan aware.
Kan tidak mungkin kita kudu nunggu Bondowoso kebanjiran dulu supaya paham bahwa perubahan iklim itu nyata di depan mata.
udah mandi di air terjun pakai sabun, keramas pakai shampo pula… duh om bule pasti getek banget liatnya.
sudah waktunya kita peduli agar pemanasan global tidak meluas, khususnya untuk generasi muda penerus bangsa agar bumi kita tetap lestari dalam waktu yang lama.
Iya, betul, karena anak muda itu sepertiga penduduk bangsa, mereka yang punya posisi strategis menentukan kebijakan supaya pemanasan global tidak makin parah.
Baru beberapa hari lalu nonton di National Geographic TV tentang mencairnya es di kutub. Duh ngeri banget dampaknya, wilayah pesisir banyak yang sudah hilang. Gak kebayang gimana Venesia jika es terus saja mencair. Sekarang saja sudah hampir sepinggang di bawah permukaan laut…Emang kayaknya mereka tinggal nunggu tenggelam secara utuh..Makanya tempat itu sekarang hanya sebagai tujuan wisata. Penduduk dan industri mereka sudah lama pindah
Sayang ya? Padahal dulu aku bercita-cita kepingin ke Venesia, melihat penduduk di sana ngejemur pakaian di balkon rumah sementara aku melihat dari gondola..
Kita yg tinggal di daerah yg ada udah dipenuhin sama alam, dapet air yg melimpah, panas tinggal nyalain AC, sampah ada yg ngurus itu suka taken for granted ya Mak sama apa yg dikasih alam ke kita, di rumah aku baru bisa kontribusi dgn nanem pohon sesuai jumlah anak, tapi itu juga baru bikin adem rumahku, blm berkontribusi untuk skala besar
Ooh gak apa-apa, Mbak Nia, yang Mbak Nia tanam itu sudah bagus banget untuk mencegah dampak perubahan iklim. Kalau anak-anak Mbak belajar menanam juga, mereka akan bisa mengajari anak-anak mereka nanti untuk menanam pula. Setiap daun yang timbul pada tanaman itu mengurangi emisi karbon, setiap batang akar pada tanaman itu mencengkeram air hujan dan mencegah banjir. Jika itu semua dikalkulasikan, maka kontribusinya positif lho untuk mengurangi dampak perubahan iklim.
Minimal tuh kita peduli dengan lingkungan sekitar kita dulu ya, karena bermula dari sini kebiasaan itu akan menular dan berdampak juga untuk lingkungan alam kita ya mbak. Sedih sebenarnya lihat dampak perubahan iklim, karena memang perubahan itu sendiri ada campur tangan kita juga.
Bener sekali, Mbak Chichie. Kalau kita mulai membiasakan diri untuk peduli lingkungan, sebetulnya dampak perubahan iklim ini bisa kita tanggulangi.
lengkap banget penjelasannya, dan sambil pokus dengan step2nya, takut salah mencernanya. Setuju banget kalo emang perubahan iklim, kebanyakan karena triggernya ulah manusia itu sendiri.
Hmm, aku suka naik gunung juga, kadang sambil mungutin sampah yang berserakan sama mentemen dan tidak meninggalkan jejak selalin motret2 ato cap bokong karena jatuh, hihii.
Yuk ahh, sama2 menjaga lingkungan dan besinergi agar terwujud lingkungan yang baik
Perubahan iklim yg terjadi akibat ulah manusia, dampaknya nanti yg terkena juga manusia sendiri ya. Memang harus sadar dan peduli lingkungan, dimulai dari diri sendiri.
Sering nih kalau ke pantai, banyak sampah yg berserakan di sana, mengotori lingkungan, duh sedihnya.
Manusia memang perusak no satu bagi dirinya sendiri dan oranglain plus seluruh semesta karena nafsu. Nafsu merasakan enak sendiri, buang sampah ke sungai karena gak mau repot mengolah sampah. Menggunakan tenaga listri berlebihan karena untuk memenuhi kebutuhan sendiri yang penting bisa bayar, menebang hutan buat dapat uang, meraup ikan disungai dengan seenaknya yang penting mudah dapat banyak dll.
Bencana alam, kerusakan ekosistem, wabah penyakit efek dari semua itu. Siapa akhirnya yang kena? Yang bersalah dan tidak bersalah ikut menanggungnya, hiks. Baca artikel ini emosiku pada manusia yang serakah jadi bergejolak
Iya, kita memang jadi terpaksa menanggung akibat dari perbuatan orang lain (dan perbuatan kita juga). Makanya perlunya memahami tentang dampak perubahan iklim itu ya supaya dampaknya tidak makin meluas, dan supaya kita bisa bergerak untuk mencegah kerusakannya. Minimal seperti yang dibilang Teh Nchie dan Mbak Lianny, mulai dari diri sendiri dengan meminimalisir sampah lingkungan.
Lihat foto botol plastik kemasan air mineral, aku langsung ingat Bali. Beberapa waktu lalu kan sempat heboh ya sampah2 di Pantai Kuta dll. Itu kebanyakan sampah plastik loh. Ngeri amat, manusiaanya itu seperti ga punya hati nurani. Belum lagi persoalan banjir dan longsor di Kalimantan, Puncak dan di mana2 buanyaaak. Ulah manusia ini jangan menyalahkan alam. Termasuk ketika pemukiman warna yg tinggal di dekat sungai pada ambruk rumahnya. Kan emmang ada aturan minimal jarak hunian berap meter gitu.
Bener juga.. Kalau daerah serapan air itu tidak dialihfungsikan menjadi lahan bangunan, mungkin tidak akan banjir. Pemerintah mestinya tegas mempertahankan aturan supaya ruang terbuka hijau tidak dijadikan lahan pemukiman.
Itulah mengapa pandemi ini kayak blessing in disguise untuk alam, ya.
Karena himbauan pemerintah agar rakyat #diRumahAja, PSBB dan semacamya, polusi udara yg ditimbulkan kendaraan bermotor relatif berkurang.
Kelihatan kok dari cuaca yg makin dingin/mbediding kalo kata orang Jawa.
Trus langit sering kelihatan lebih indah 😀
Tapi, Mbak, cuaca yang makin dingin ini kan memang lantaran sekarang lagi musim ujan, Mbak..?
Pembahasannya cukup komprehensif nih, mulai dari pengertian dasar, dampaknya pada lingkungan hingga juga dampak pada masalah sosial.
Keren, bahasanya populer bisa jadi rujukan anak2 milenial
Terima kasih, Bang Day, buat apresiasinya 🙂