Anak itu kulitnya hitam. Dia berjalan menuju sekolah sambil terus-terusan di-bully teman-temannya lantaran kulitnya. Uangnya bahkan dipalak. Dia berusaha melawan dengan mengadu ke guru BK, tetapi guru itu tidak cukup melindunginya dari teman-teman yang mem-bully-nya.
Sandiwara itu sebetulnya mengharukan, tetapi drama bullying di panggung itu dibawakan dengan lucu dan spontan. Sampai-sampai saya ketawa terbahak-bahak di kursi penonton paling depan. Seluruh ballroom bahkan nggak bisa menahan tawa yang meledak menonton drama dadakan itu. Anak-anak aktor amatiran itu menyelesaikan drama mereka, turun dari panggung dengan gemuruh tepuk tangan dari seluruh penjuru.
Inklusi Berkumpul
Itu sepenggal adegan yang saya sukai waktu menghadiri acara Hari Anak Nasional 2018 di Surabaya tadi siang. Saya begitu excited berkumpul bareng 165 bocah ini.. kumpulan bocah unik dengan berbagai latar belakang. Ada yang penderita sindroma Down. Ada anak yang binaan lembaga pemasyarakatan. Ada yang tunarungu. Tapi semuanya kelihatannya sama (oke, yang pakai kursi roda itu tentu saja nampak berbeda, tapi selain itu, tak masalah), kelihatan akrab berbaur satu sama lain, dan mereka nampak seperti sudah saling kenal bertahun-tahun.
“Nggak, kita baru kenal waktu di sini aja,” kata Ardita dengan riang. Ardita adalah salah satu peserta acara itu, yang saya ajak ngobrol di backstage. Dia baru berumur 17 tahun, datang dengan ketiga kawannya dari Lampung, dalam rangka memenuhi undangan The Asia Foundation Indonesia.
Untuk merayakan Hari Anak Nasional tahun ini, yayasan itu menghelat workshop bertitel Temu Anak Peduli Pusparagam Anak Indonesia, dan mereka mengundang 165 anak dari seluruh Indonesia untuk mengikuti workshop-nya. Istimewanya, anak-anak ini dipilih bukan secara sembarangan. Sebagian berasal dari komunitas Forum Anak bentukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di kabupaten masing-masing, sedangkan sebagian lagi merupakan anak-anak dari komunitas masyarakat yang sering terpinggirkan sehari-harinya. Golongan yang terakhir ini merupakan anak-anak dari binaan Program Peduli, suatu proyek gelaran The Asia Foundation yang punya misi kepingin membantu mewujudkan nilai inklusi sosial dalam masyarakat di Indonesia.
Adalah tidak gampang membuat anak-anak dari komunitas yang sering termarjinalkan ini untuk bisa berbaur dengan masyarakat. Contohnya aja, seorang bocah dari Lombok Timur curhat di pentas bahwa ia sebelumnya belum pernah naik pesawat terbang. Suatu hari orang-orang dari Program Peduli mengajaknya pergi ke Surabaya dengan naik pesawat dan menginapkannya di hotel (sebetulnya sih apartemen). Selama tiga malam ia menginap, ia dikumpulkan dengan anak-anak lainnya di Indonesia, diajak bermain sambil belajar. Tim apartemen menjamunya dengan macam-macam makanan khas layanan hotel, dan ia merasa disambut seperti orang kaya..
Banyak anak bercerita dengan antusias tentang apa yang mereka kerjakan selama tiga malam di apartemen itu. Panitia Program Peduli membagi-bagi mereka ke dalam bermacam-macam workshop, dan tiap workshop pun punya tema yang menarik dan menyediakan pembimbing untuk menghidupkan motivasi di antara anak-anak yang mayoritas sebetulnya pemalu itu.
Salah satu workshop mengajari anak-anak itu tentang nilai entrepreneurship, dan mengajak anak-anak itu bermimpi tentang apa yang sebaiknya mereka bangun supaya ketika dewasa mereka nanti mereka tidak hanya menggantungkan diri untuk mencari pekerjaan pada orang lain.
“Saya ingin jadi perancang busana,” kata seorang anak dengan antusias. “Kalau sudah besar nanti, saya mau bikin gaun pengantin untuk semua anak Indonesia yang ingin menikah!”
Ketika ia mengucapkan keinginannya itu di pentas, sontak seluruh anak bertepuk tangan sampai bergemuruh. Dan saya garuk-garuk kepala sambil ketawa.
Tak semua anak mampu mengikuti workshop dengan bebas. Beberapa anak rupanya tunarungu, dan Program Peduli dengan sigap menyediakan penerjemah bahasa isyarat sepanjang acara tiga malam itu. Bahkan ketika semua anak didaulat untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, seorang remaja ikut naik menemani dirigennya, dan remaja ini rupanya penerjemah bahasa isyarat. Sepanjang anak-anak ini menyanyi di bawah dirigen, sang penerjemah menggerak-gerakkan tangannya menerjemahkan lirik lagu sakral itu, matanya menatap lurus kepada segerombolan anak yang ternyata tunarungu dan juga ingin ikut bernyanyi.
Saya menyuting adegan itu dengan kamera saya sambil menahan air mata di tenggorokan lantaran terharu.
Bocah tunarungu itu juga ikutan presentasi tentang kelas entrepreneurship yang diikutinya. Ia tidak bisa mengeluarkan suara, dan sang penerjemah pun duduk di antara penonton membacakan isyarat-isyarat dari sang tunarungu.
Dan teman-temannya di seluruh ballroom, yang inderanya rerata normal semua, pun bertepuk tangan keras memberi semangat pada sang remaja tunarungu itu.
“Apakah kamu tahu bahwa sebagian dari teman-teman kamu ini ada yang berbeda?” tanya saya kepada Ardita. “Sebagian dari teman-teman kamu ini ada yang keluaran lapas, ada yang disable, bukan anak-anak biasa seperti yang biasa kamu temuin.”
“Tahu,” kata Ardita. Ketika saya tanya gimana perasaannya berkumpul bersama anak-anak yang unik ini, ia spontan menjawab, “Senang!”
Ardita tidak mengada-ada. Semua anak di sana begitu gembira, nampak dalam suasana acara yang saya rekam dalam video 2 menit ini.
Bocah-bocah ini sepertinya tidak menghiraukan bahwa mereka berasal dari latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Mereka lebih antusias dengan kenyataan bahwa di acara itu mereka bermain di acara yang sama, punya masalah sehari-hari khas kanak-kanak yang sama, dan belajar banyak tentang kebudayaan satu sama lain. Mereka bahkan saling tuker-tukeran nomer WhatsApp dan account Instagram supaya bisa saling follow.
Karena anak-anak yang hadir itu dari seluruh Indonesia, maka perbedaan pembawaan karakter khas daerah masing-masing pun tak terelakkan jadi bahan guyonan. “Seru banget dengerin cara ngomong mereka. Kita jadi pingin ikut niruin (logat) mereka,” kata Ardita. Ia sendiri yang berasal dari Sumatra sendiri tentu excited dengan teman-temannya yang berasal dari belahan Indonesia yang lain.
Beberapa anak dari kawasan Lombok dan Bulukumba, sering banget dibecandain kawan-kawannya lantaran dialek mereka ketika mengucapkan huruf e. Seorang anak ditegor temannya di panggung karena mengucapkan huruf e pada kata empat seperti mengucapkan e pada kata tempe. Tetapi perbedaan logat itu cuman sampai ke batas guyon, tidak sampai jadi bahan bullying.
Bicara soal bullying, bahkan Program Peduli juga mengadakan workshop bertema anti kekerasan dan bullying. Sebagai akhir dari workshop, mereka bikin drama kecil tentang seorang anak asal Indonesia Timur yang diejek kawan-kawannya lantaran kulitnya hitam. Ia mencoba mengadu kepada ibunya, tetapi ibunya tidak menyuruhnya membela diri. Ia mencoba mengadu kepada guru BK, tetapi guru BK itu tidak berhasil membuktikan bahwa kawan-kawannya yang pem-bully itu sungguhan mem-bully. Betul-betul cerita khas anak-anak Indonesia banget deh.
Sampai kemudian, si anak kulit hitam ini dipukuli teman-temannya karena hitam. Adegan ini malah bikin seluruh anak yang menonton sandiwara jadi ketawa-tawa menyemangati para aktor dadakan ini. Termasuk saya sendiri juga malah jadi ketawa ngakak di bangku penonton. Apa pasal? Si aktor yang mestinya kelihatan berekspresi sedih lantaran jadi korban bully, malah ikutan ketawa-tawa dipukuli karena adegan perkelahian yang bahkan lebih mirip tawuran kampung itu.
Oh ya, drama ini berakhir setelah seorang karakter anak tiba-tiba mengaku kepada guru BK bahwa ia menjadi saksi mata adegan sang anak bandel mem-bully sang anak kulit hitam. Ooh..ternyata hikmah of the story itu, kalau ada teman kita yang di-bully, kita mesti berani bersaksi kepada yang berwenang bahwa teman kita itu beneran di-bully..
Workshop yang Kilat
The Asia Foundation Indonesia, yang disponsorin juga oleh Kedutaan Besar Australia, serius banget menggarap acara Program Peduli untuk anak-anak ini. Nggak cuman memberdayakan anak-anak inklusi di kelas entrepreneurship dan kelas anti bullying, mereka juga menggelar kelas bertema toleransi, literasi, kepemimpinan, dan gotong-royong.
Di kelas toleransi misalnya, anak-anaknya mempresentasikan nilai toleransi mereka dalam bentuk poster. Posternya dibikin di karton manila dan digambar dengan krayon. Mereka menggambar kincir angin, dan di tiap-tiap ujung kincir angin adalah rumah ibadah dari masing-masing agama di Indonesia. “Toleransi itu seperti kincir angin,” kata anak yang mempresentasikannya. “Kalau seluruh ujung kincir angin bisa saling bekerja sama, maka kincir ini akan bisa membuat air untuk mengairi kebun. Demikian juga toleransi dari tiap pemeluk agama. Kalau setiap pemeluk agama mau saling bekerja sama, kita bisa membuat bangsa dan negara kita menjadi lebih maju,” jelasnya sambil diiringi applaus meriah oleh teman-temannya.
Teman-temannya dari kelas literasi pun punya visi yang juga sama indahnya. “Saya ingin jadi menteri kesehatan,” kata seorang anak membacakan cita-citanya. “Idola saya Dokter Nila Junita Moeloek. Kalau suatu hari nanti saya menjadi menteri kesehatan, saya ingin bagi-bagi kartu kesehatan gratis untuk semua anak di Indonesia!”
Tentu saja tidak gampang membuat setiap anak mau bicara tentang pikiran mereka. Ardita sendiri, yang merupakan penduduk kelas bertema gotong-royong, berkisah kepada saya bahwa di kelasnya ada sekitar 28 orang anak. Tapi ia sendiri tidak bisa mengingat semua nama anak di kelas itu. Selain karena faktor bahwa mereka baru saling kenal 3 hari, juga karena ia cuman bisa mengingat segelintir teman-temannya yang memang paling luwes ngomong.
Ardita sendiri kelihatan termasuk paling luwes bicaranya, sehingga panitia mempercayai dia untuk jadi MC di acara penutupan event itu.
Kelas gotong-royong ini belajar dengan istimewa karena tutornya mengajari mereka tentang memecahkan masalah secara bersama-sama. Salah satu anak diminta untuk membawa barang yang berat, dan ternyata nggak sanggup. Disuruhlah anak itu minta tolong salah seorang temannya untuk ikut membawa barang berat itu, dan ternyata barang itu terasa sedikit lebih ringan meskipun masih belum bisa terangkat. Ketika akhirnya mereka memanggil semua temannya yang belum mereka kenal itu, baru mereka paham bahwa barang yang berat itu akan bisa diangkat ringan ketika semua orang mau bekerja sama mengangkatnya.
Puncaknya, ketika tutornya menyuruh mereka bikin maket taman bermain impian dari stik es krim, dan maket itu akan dipamerkan di hadapan seluruh teman pada waktu acara penutupan. Mereka akhirnya membuat prakarya maket itu dengan penuh ketelatenan, dan itu makan waktu sampai sehari semalam. Bahkan sampai beberapa jam sebelum acara penutupan, mereka masih telaten bekerja, cerita Ardita kepada saya. Ketika di acara pentas akhirnya maket itu dibopong dengan bangga ke panggung, semua anak bersorak memuji maket itu dan mereka nampak lega.
Inklusi Sosial di Antara Anak-anak
Nilai inklusi sosial kelihatan kentara sekali di perayaan Hari Anak Nasional ini. Meskipun saya melihat bahwa anak-anak yang jadi pesertanya punya rentang usia yang cukup jauh, antara 8-17 tahun, tapi saya tidak melihat mereka dipisah-pisahkan menurut karakter usia. Bocah-bocah yang kira-kira masih SD kelihatan senang main dengan kakak-kakaknya yang sudah mulai ABG, demikian juga remaja-remaja itu kelihatan sabar ngemong kepada anak yang masih kecil-kecil. Anak-anak yang tuna rungu kelihatan akrab mengobrol dengan anak-anak yang bisa mendengar dengan normal, nampak ketika mereka loncat-loncat dengan gaya belagak main gitar bagaikan Boedjana di adegan flash mob.
Ketika mereka berada di bangku penonton, dan pembawa acaranya mencoba mengabsen anak-anak berdasarkan asal daerah masing-masing, saya mengharap ada segerombolan anak mengacungkan tangan yang duduk di barisan tertentu bagaikan kontingen. Tapi ternyata anak-anak yang mengacungkan tangan malah menyebar ke seluruh ruangan secara merata, sehingga saya kesulitan memotret mereka.
Pesta ini sukses membuat mereka semua berbaur.
Memang harusnya begitu kan? Masyarakat mestinya jangan dibeda-bedakan. Mestinya marginalisasi itu tidak perlu diada-adakan, karena tiap orang sebetulnya sama dengan keunikan yang dimiliki masing-masing. Menjadi disable itu sebetulnya unik, menjadi warga binaan lapas itu unik, sama uniknya dengan setiap logat yang keluar dari mulut masing-masing orang. Itulah yang namanya inklusi sosial.
Puncak dari Hari Anak Nasional sejatinya akan diadakan besok. Tahun ini, Presiden Jokowi akan menghadiri acara perayaan Hari Anak Nasional di Kebun Raya Purwodadi bersama ribuan anak besok pagi. Dan ke-165 anak yang hadir di acara Temu Anak Peduli-nya Program Peduli ini akan memimpin flash mob di Purwodadi sana.
Siang ini, saya sungguh menikmati acara bareng anak-anak dari seluruh Indonesia ini. Dan saya berharap umur saya bisa 20 tahun lebih muda supaya saya bisa jingkrak-jingkrak di panggung bareng mereka.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Aku aja termasuk yg pernah dibully pas Sd dulu. Krn dulu kulitku gelap, jauh lbh gelap dari yg sekarang. Sampe2 ktn itu, aku lbh milih pake seragam yg lengan panjang drpd pendek… Ngadu ama guru, boro2.. Yg ada diketawain. Makanya skr ini, kalo dgr ada anak yg suka membully, miris rasanya. Kok ya tega, sbnrnya pendidikan di rumahnya seperti apa. Apalagi kalo yg dibully anak anak berkebutuhan spesial gini.. Ato anak yg berasal dr kota yg jauh…
Kadang jd serem sendiri sih Vic. Anakku kalo udh masuk sd nanti, bakal di bully ga yaaa.. Dia sendiri udh berkali2 aku tekanin, aku ksh liat video, gmn rasanya kalo dibully. Jd jangan prnh membully teman2nya. Baguuus ya acara hati anaknya… Jd pengen liat juga yg drama anak2 di atas :D. Sampe bisa ketawa ngakak gitu.
Aku pernah diberi tahu bahwa anak-anak terbiasa mem-bully karena jiwa mereka belum terbiasa melihat orang lain yang berbeda dari mereka. Jadi kalau tidak ingin anak kita mem-bully anak lain, sebaiknya kita membiasakan mendidik anak kita untuk hidup dalam perbedaan.
Memang yang jadi problem adalah kalau anak kita yang berbeda, sehingga anak kita jadi korban bullying. Aku juga masih punya PR besar tentang itu, karena aku sendiri juga anak yang berbeda. Sejauh ini aku cuma lebih senang mengisolasi diri dalam lingkungan yang bhinneka dan cenderung menjauhi lingkungan yang homogen.
Aku senang kalau bisa meliput acara ini lagi, meskipun diadakan kota lain. Yang memesonaku adalah, aku betul-betul melihat anak-anak dari seluruh Indonesia. 🙂