Postingan ini dipicu dari pembicaraan saya dengan Agung Sandi di Facebook Group. Waktu itu Agung tanya sama saya, mestinya rate blogger itu berapa.
Sebenarnya, saya ini nggak tahu persis seharusnya rate blogger itu berapa ya. Soalnya, blogger itu bukan jenis jabatan yang sudah ditentuin berapa tarifnya, macam gajinya pegawai negeri sipil atau tentara gitu. Pun ditentuin Upah Minimum Regional-nya juga enggak. Blogger itu jenis pekerjaan yang bisa nentuin tarifnya seenaknya sendiri, yang penting ngerjainnya seneng gitu. Pemakai jasanya (kliennya) suka nggak suka, ya tinggal take it or leave it, gitu aja.
Tapi karena sekarang jumlah blogger makin banyak, tentu antara blogger-blogger sendiri ada keraguan tentang berapa rate yang mestinya dia pasang. Ada yang ragu pasang rate segini karena kuatir kemurahan. Ada juga yang ragu pasang rate segitu karena kuatir kemahalan. Sebaliknya, juga ada yang nggak berani pasang rate karena pasrah aja sama yang kasih kerjaan. Ada juga yang sudah keukeuh sureukeuh mau pasang rate segitu, kalo calon pemberi kerjanya nggak setuju yo wis ben.
Saya sendiri sering diamanahi dari para pemilik perusahaan, minta dicariin blogger untuk promoin usaha mereka dan saya pun semangat mau bantuin jadi jembatan. Tetapi persoalan yang paling saya sering temuin adalah blogger yang mau saya tembakin kerjaan itu bingung mau pasang rate berapa. Di sisi lain, banyak blogger yang ngedempet-dempet saya (kayak conjoined twins aja) buat minta dipromosiin ke orang-orang untuk di-endorse. Tapi giliran saya tanyain rate-nya berapa, bloggernya bingung juga mau pasang tarif berapa. Kalo kayak gini, kan namanya jadi bingung berjamaah, ye kan?
Bikin Penelitian Ratecard Blogger
Makanya, saya pun mutusin coba-coba menghimpun data teman-teman saya yang sesama blogger akan rate mereka. Hasil penelitiannya, kira-kira bisa kelihatan dari gambar grafik di bawah ini. Can you figure it out?
Ternyata, rata-rata rate para blogger yang pageview-nya masih dikit banget itu sudah dimulai dengan harga Rp 350.000,- 😊
Saya bilang dimulai lho ya. Lebih lanjut lagi, harga ini naik terus seiring dengan prestasinya para blogger. Baca terus ya..
Kok Bisa Dapet Harga Segini?
Saya ceritain aja ya gimana saya bikin penelitian ini.
Pertama-tama, saya klasifikasikan blogger per niche atau genrenya, lalu saya observasi juga prestasinya. Saya setuju dengan pembicaraan saya bareng @deteksi, genre blogger itu nggak bisa disamaratakan. Itu sebabnya saya nggak bandingkan rate blogger travel dengan rate blogger parenting, misalnya. Karena berat usahanya juga beda kan?
Prestasi para blogger yang jadi sampel ini diobservasi dari pageview. Pageviewnya saya ambil aja dari situs pengecek pageview di internet. Sebetulnya Agung kepingin saya itu kasih pendapat tentang rate berdasarkan domain authority (DA). Tapi setelah saya nanyain DA orang-orang, ternyata blogger yang pageviewnya puluhan ribu per bulan dengan blogger yang pageviewnya ribuan doang per bulan itu DA-nya sama aja, wkwkwkwkw.. Mosok saya mau sama ratain ratenya blogger yang pageview-nya 70 ribu dengan pageview-nya 5 ribu doang meskipun DA-nya sama-sama 28? Padahal dampak perbedaan pageview itu kan signifikan banget.
(Mau tahu dampak pageview terhadap keberhasilan tulisan di blog? Baca terus, jangan skip.)
Kesulitan Mengklasifikasi Niche
Lalu tentang klasifikasi genre itu sendiri, saya memberlakukan seleksi ketat buat para sampelnya. Gampanglah kalau nemu blog yang nichenya jelas, misalnya blognya berisi artikel travel aja, atau berisi artikel tekno aja. Sing repot itu kalau blognya mesti diteliti dulu nichenya, dan ini yang paling jamak ditemuin. Banyak tuh blog yang isi artikelnya hari ini tentang travel, besoknya nulis tentang tekno, besoknya lagi tentang otomotif, besoknya lagi tentang makanan.
Lalu saya amatin lebih jelas, dan ternyata tipe blog gado-gado ini ada dua macam:
Macam pertama adalah gado-gado yang benang merahnya sama, mengerucut ke satu tema. Misalnya dalam 10 posting terakhir dia nulis pengalaman pake power bank ketika jalan-jalan, suka duka bawa anak ketika naik kereta, makanan yang dia sukai ketika pelesiran, sampai cara berhubungan pasutri di kamar hotel tanpa gangguin anak mereka yang lagi tidur. Kelihatan nggak? Meskipun temanya sekilas tentang tekno, parenting, kulinter, dan marriage life, tapi sebetulnya ini temanya sama: menikmati travelling. Dan yang kayak gini ini saya masukin niche travelling, bukan niche gado-gado.
Macam kedua adalah yang murni gado-gado, sampai gak jelas sebetulnya blogger ini senangnya nulis tentang apa. Hari ini nulis tentang cara ngediemin anak tantrum, besoknya tentang cara memasak karedok, besoknya lagi pengalaman main layang-layang, lusa tentang tipe-tipe lipstick. Dan ternyata bloggernya cowok. Udah jelaslah ini nggak masuk niche mana-mana. Dan ternyata kontennya itu konten pesanan alias sponsored post yang ngejar top keyword semua, hahahaha..
Menentukan Paramater Prestasi Blogger
Setelah saya klasifikasiin nichenya, baru saya cari pageview-nya per bulan sebagai parameter prestasi. Prinsip kesuksesan blog itu sederhana aja, makin berkualitas blognya, makin sering tulisannya dibaca orang (berarti akan meningkatkan jumlah visitor). Makin berkualitas isi artikelnya, orang yang sama akan buka artikel itu berkali-kali (berarti meningkatkan jumlah pageview). Jadi kesimpulannya, makin bagus isi blognya, berarti pageview-nya makin tinggi.
Kok bukan domain atau page authority (DA/PA) sebagai parameter prestasi?
Saya setuju sebetulnya bahwa DA itu juga bentuk prestasi, karena DA yang tinggi ditentukan dari banyaknya backlink dari website lain yang masuk ke dalam blog ini (artinya banyak website lain yang mempercayai isi blog ini). Dan PA juga bentuk prestasi, karena PA yang tinggi ditentukan dari kecenderungan isi tulisan ini menjadi website pertama yang ditemukan dalam pencarian jawaban suatu pertanyaan di Google Search (artinya banyak orang menganggap isi blog ini bisa menyelesaikan masalah orang lain).
Tapi, tujuan dari penelitian rate blogger ini bukan mengetahui berapa tarif blogger yang paling ngetop di Google Search. Saya bikin penelitian rate ini untuk cari tahu berapa tarif blogger yang bisa diterima oleh pemberi kerja (maksudnya klien yang berupa brand atau agensi periklanan). Jadi gimana?
Klien pemberi kerja umumnya ingin blogger bisa menjual produk mereka melalui tulisan di blog, baik dengan ngiklan secara halus maupun ngiklan terang-terangan. Kalaupun ada backlink titipan dari klien, blogger harus bisa bikin pengunjung websitenya mengklik backlink itu, bukan sekedar baca selewat doang. Pengunjung yang cenderung membeli setelah diiklanin oleh blogger umumnya adalah pengunjung yang memang percaya sama blogger bersangkutan, lantaran sudah sering baca blog ini berulang-ulang. Dan faktor itu bisa ditentukan dari parameter pageview (dan visitor), bukan DA. Jadi, kalau mau cari blogger yang bisa menciptakan sales akan produk yang dia sebutkan, carilah blogger yang pageview-nya tinggi.
DA dan PA yang tinggi belum tentu bisa bikin sales. Ambil contoh, Wikipedia.com itu jelas DA/PA-nya tinggi, banyak produk yang sudah ditulis di sana. Tapi nggak ada nilai pengalaman dari pengguna produknya, sehingga belum tentu pembaca mau langsung ambil tindakan pembelian setelah membaca tulisan itu. Kalau tulisannya tidak menghasilkan action, lantas buat apa penulisnya dikasih job?
Skip ya soal DA dan PA yaa..
Berapa Pageview yang Dianggap Tinggi?
Sebetulnya jumlah pageview yang tinggi itu relatif untuk tiap niche, tergantung jumlah blogger yang mendalami niche tersebut. Untuk niche travelling aja, suatu blog bisa dibilang pageview-nya gede kalau sudah 10 ribu per bulan, karena banyak sekali blogger yang mengaku travel blogger tapi pageview-nya di bawah itu. Tapi untuk niche yang lebih spesifik (misalnya niche industri kelapa sawit), pelakunya tentu sangat sedikit, jadi pageview 5.000 per bulan aja sudah dianggap tinggi.
Kemudian, supaya saya bisa dapet sampel yang representatif, setelah blogger-blogger sampel penelitian ini saya cariin pageview-nya, saya ambil aja blogger-blogger yang prestasi pageview-nya paling gede sesuai nichenya. Lalu saya catetin ratecard-nya, kemudian saya bikinkan grafiknya.
Hasilnya seperti di bawah ini:
(Cara membaca grafik: Setiap noktah mempresentasikan seorang blogger. Absis horizontal menunjukkan pageview bulanan. Ordinat vertical menunjukkan rate per artikel. Garis miring dari kiri ke kanan atas mencerminkan bahwa semakin naik pageview-nya, mereka cenderung pasang rate semakin tinggi.)
Untuk blog yang pageview-nya bahkan hampir nol (mungkin karena baru berdiri), asalkan bloggernya memang konsisten nulis tentang travel, ternyata mereka bisa dapat job dengan rate mulai dari angka Rp 300.000,-.
Kita lihat di grafik ini, ketika pageview bulanan mereka sudah mencapai 10.000, mereka mulai berani pasang harga di atas Rp 600.000,-. Ketika pageview-nya sudah lebih dari 30.000 per bulan, harganya menginjak Rp 1 juta lebih. Ya iyalah, kan sudah lebih banyak orang yang baca tulisan ngiklan mereka.
Food bloggers sebetulnya nggak cuman nulis tentang makanan doang. Dalam kelompok ini, saya juga masukin blogger yang suka nge-review bir, yang suka nongkrong di restoran (tanpa beli makanan), atau yang suka masak di rumah. Pokoknya blogger yang memikirkan urusan kesejahteraan perut. Dan ternyata mereka sudah terbiasa dapet penghasilan dari artikelnya mulai dari angka Rp 300.000,-. Mereka yang pageview-nya baru 5.000 per bulan pun, sudah berani pasang tarif Rp 500.000,-.
Di Hongkong, terlihat bahwa kelompok food bloggers ini, jika digunakan secara efisien dan cermat, punya andil dalam meningkatkan kunjungan ke restoran.
Tarif awalnya beauty bloggers juga nggak jauh-jauh amat dari sejawat-sejawatnya di atas. Kira-kira start-nya mulai dari Rp 350.000,- lah.
Menurut saya, industri beauty termasuk industry yang cukup keras kompetisinya dan berani menggelontorkan banyak dana untuk bayarin beauty blogger (asalkan blogger-nya konsisten sungguhan menulis tentang beauty). Kelihatan dari blogger-nya yang pageview-nya baru 5.000 per bulan pun sudah merasa aman kalau pasang tarif Rp 500.000,-.
Parenting bloggers agak sedikit lebih rendah keberanian pasang rate-nya, mulai dari Rp 200.000,- aja. Rata-rata nunggu sampai pageview bulanannya 7.000 dulu, baru mau pasang angka Rp 500.000,-.
Oh iya, rate yang saya sebut di gambar-gambar itu adalah rate a la carte. Alias rate untuk pasang artikel di blog aja. Belum termasuk harga untuk sharing ke sosmed masing-masing blogger.
Kelemahan Penelitian Ini
Survey ini lemah, lemah banget, menurut saya, soalnya saya tahu agensi-agensi periklanan pasti punya data ratecard yang lebih banyak, sehingga hasil penelitiannya juga lebih akurat. Sayang saya cuman bisa mengumpulkan data sampel segini aja. Tapi saya kebelet kepingin segera menyelesaikan artikel ini, karena sudah sebulan lebih topik ini bikin saya penisirin. (Dan itu juga lantaran banyak pembaca blog ini ngejapri saya dari seluruh Indonesia karena tanya-tanya “Harusnya gw pasang ratecard berapa supaya dapet job?”)
Saya juga baru bisa ngumpulin sampel dari niche-niche yang saya gambarin grafiknya di atas lantaran jumlah orangnya yang saya dapet itu cukup lumayan. Sebetulnya saya kepingin bikin grafik ratecard untuk techno blogger, finance blogger, movie blogger, business blogger, dan entah apa lagi, cuman jumlah sampelnya masih terlalu dikit yang saya dapetin.
Mestinya paramater prestasi yang saya tentukan itu bukan pageview blog ya. Tapi lebih akurat lagi kalau paramater prestasinya berupa pageview artikel rerata. Cuman setelah saya survey kecil-kecilan, ternyata prestasi pageview dari artikel baru yang disumbangkan kepada pageview keseluruhan blog itu sama aja, kira-kira 2-3% dari pageview blog dalam tempo 30 hari. Jadi nggak beda-beda jauh antara dampak dari memeriksa pageview blog dengan pageview artikel.
Apa sih makna dari rate terhadap keberhasilan artikel blog?
Gampangnya begini, kalau saya mau merujuk ke penelitian sederhana saya di atas, seorang blogger parenting yang berani pasang harga Rp 500.000,- karena pageview blognya 7.000. Berarti kira-kira sekali posting artikelnya dibaca oleh sekitar 140-210 orang pembaca penggemar topik parenting dalam 30 hari pertama. Jadi, kliennya membayar Rp 500.000 supaya tulisan itu dibaca oleh 140-210 orang calon pembeli potensial dalam 30 hari pertama.
Sampai di situ, apa yang belum dimengerti?
Beberapa Cerita tentang Bikin Penelitian Ini
Saya ketat banget dalam menjaring sampel selama penelitian ini. Blogger yang ngakunya blogger tapi nggak pernah update artikel dalam 1 bulan terakhir, saya keluarkan dari radar penelitian. Sebab, ujung-ujungnya tujuan penelitian ini adalah mencari tahu berapa rate yang sebetulnya disetujui para pemberi kerja yang kepingin produknya laku. Dan tidaklah masuk akal kalau pemberi kerja itu menyetujui rate untuk blogger yang nggak nerbitin posting apapun dalam 1 bulan. “Elu sebetulnya masih seneng nulis atau cuman mau parkir domain doang?”
Tidak semua blogger yang saya jaring itu saya tampilkan dalam grafik di atas. Ada beberapa blogger yang pageview-nya sudah jauh melebihi kawan-kawan sejawatnya (memang prestasinya bagus banget, kayak XXXXXXX.com misalnya, yang pageview bulanannya sudah ratusan ribu per bulan hanya dengan posting curcol-curcol doang. Dan ada juga blogger yang rate-nya sudah jauh melebihi blogger-blogger lainnya di niche serupa). Kalau saya masukkan blogger-blogger ekstrim ini ke grafik di atas, bisa-bisa grafik ini nggak akan terbaca karena fokus gambar akan pindah ke blogger yang rate-nya super ini (padahal populasi mereka dikit banget), dan pembaca akan kesulitan mengidentifikasi berapa rerata rate blogger yang masih dalam tahap berjuang.
Blogger-blogger yang kasih tahu saya rate-nya, ujung-ujungnya selalu pasang disclaimer bahwa rate mereka selalu bisa dinegosiasikan. Beberapa blogger yang saya temuin pasang rate jutaan, ternyata ngaku bersedia kasih diskon hampir 90% atas rate-nya kalau:
- Mereka suka sama produk kliennya. Penggemar berat dari brand tertentu, dan mereka senang endorse gratis untuk itu.
- Artikelnya untuk tujuan charity. Kalau mereka pikir dengan membaca artikel itu, orang jadi tertarik untuk sedekah, mereka akan kerjakan brief-nya tanpa syarat.
- Rate uang tunainya diganti dengan barang yang bernilai serupa. Misalnya, rate Rp 2 juta diganti pesawat jet, mau banget tuh.
- brief-nya adalah datang ke suatu event, dan di event itu banyak teman-temannya. Jadi dia ke sana itu sebetulnya bukan memprioritaskan untuk siaran, tapi buat haha-hihi sama handai taulan.
- dan alasan lainnya
Kok Rate Gw Nggak Segitu?
Jika Anda yang membaca artikel ini adalah blogger yang sedang cari job dan kebetulan rate-nya nggak segitu, mungkin Anda akan bertanya-tanya, apa bener Anda bakalan dapet job kalau pasang rate segini? Saya sendiri jawab, “Belum tentu.”
Sebab klien yang mau kasih blogger kerjaan juga lihat-lihat bloggernya, nggak semata-mata pageview doang, tergantung prioritas kliennya sendiri.
Klien yang cuman peduli “yang penting website gw dikasih backlink sama bloggernya, nggak usah diklik juga nggak pa-pa”, pasti cari blogger yang pasang rate semurah-murahnya. Dan klien yang begini ini, biasanya cuma cari DA yang tinggi, tapi rate-nya rendah.
Klien yang mengharap bloggernya memeriahkan event offline mereka, pasti sungkan nyewa blogger yang terkenal suka datang telat dan pergi sebelum acara bubaran. Klien ini lebih sering percaya riwayat attitude dari blogger yang dia incar daripada pencitraan yang dipancarkan sang blogger di internet.
Ada juga klien sebetulnya nggak butuh blogger, tapi butuhnya Instagrammer, cuman dia kepinginnya Instagrammer yang kebetulan punya blog (meskipun mungkin nggak ada manusia yang baca blognya selain mungkin ibundanya si blogger sendiri). Klien kayak gini biasanya lebih memprioritaskan blogger yang follower Instagramnya banyak, dan kemampuan menulis soft-selling bloggernya kurang diprioritaskan.
Klien yang lagi gelar event dalam bulan tertentu, lalu terlalu lambat mengundang blogger, akibatnya blogger incaran sudah kadung direbut kompetitor, akan memaksakan diri menyewa blogger alternatif lapisan bawah. Di sinilah peran blogger bangku cadangan untuk memainkan harga. Persis pasar komoditas!
Bisa juga Anda adalah blogger, dan kebetulan rate Anda di atas grafik di atas. Berarti saya belum nyurvey Anda. Mohon kontak saya supaya saya bisa masukin Anda ke data. Siapa tahu, kalau Anda nyumbangin data, garis-garis di atas bisa berubah.
Apakah Blogger Harus Selalu Patuh pada Rate di Artikel Ini?
Tidaaaak..saya bukan menteri tenaga kerja khusus blogger, wkwkwkwk..
Anda mau pasang rate di atas rerata, silakan. Anda mau pasang rate di bawah rerata, monggo wae.
Kalau menurut saya sih ya..saya nulis blog itu ya bukan untuk mencerdaskan Bang Saku, tapi ya sungguhan untuk “mencerdaskan bangsa”. Kalau posting saya nggak kasih manfaat, nggak meninggalkan inspirasi buat pembacanya, nggak bikin orang lain jadi bertindak, apalagi sampai menciptakan pembelian dan bikin klien saya balik modal, lha terus buat apa saya pasang rate tinggi-tinggi?
Dan saya lihat-lihat blogger tetangga sebelah juga. Kalau saya lihat blogger tetangga itu nichenya sama dengan saya, terus pageviewnya lebih banyak, dampak pembaca yang terinspirasi itu lebih banyak, kira-kira demi balik modal itu calon kliennya mau pilih bayarin dia atau bayarin saya? Kalau saya pasang harga lebih murah dengan dampak artikel yang lebih rendah juga, apakah itu jadi jaminan saya bakalan digaet klien juga?
Terus pertanyaan lain yang sering saya dapatkan: Satu artikel itu mestinya seberapa panjang? Fotonya berapa? Backlink-nya maksimal berapa? Hadeeeuuhh..pertanyaanmu teoritis banget deh.
Wis, saya ganti aja pertanyaannya. Kalo Anda baca artikel orang lain, mau nggak Anda terinspirasi untuk membeli jika postingnya cuman sependek katalog? Mau nggak Anda bergerak untuk membeli kalau fotonya cuma satu, miring, burem pula? Mau nggak Anda bergerak untuk membeli di online shop setelah baca artikel tentang online shop, tapi backlinknya nggak menarik untuk dipencet karena penulis artikelnya salah posisi menaruh anchor text?
(Oh ya, kalau nggak tahu arti kata anchor text, jangan buru-buru pasang ratecard ya. Nanti diketawain agensi :p)
Apakah Rate Selalu Begini?
Survey ini nggak sampai di sini doang. Saya masih ingin nambah sampel survey lagi supaya datanya lebih kuat. Saya juga ingin nyurvey blogger-blogger dari niche-niche lain untuk dapat informasi lebih banyak untuk menjawab berapa rate blogger-blogger yang ngetrend sekarang. Hasil penelitian ini bisa berubah terus, seiring dengan makin banyaknya data yang saya dapatkan.
Jangan tanya-tanya saya siapa nama blogger paling mahal dan siapa yang paling murah ya. Lahaciak! Hahahahahaha!
Oh iya, apakah blogger-blogger sekarang sudah terampil bikin ratecard? *wink wink*
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
saya baru mau bikin rate blog, eh ga taunya nyari di google ketemu blognya mbak, heheh…
well, tetiba saya dikontak sama seseorang mau dikasih job review. ketika tanya rate saya bingung harus jawab berapa.
Pertama, karena belum saya masih baru, belum genap setahun,
kedua, saya ga punya refrensi, takut kemahalan or kemurahan mbak,
ketiga, blog saya niche khusus finansial.
kalau dari Google analtic, bulan juli 2018 pageview saya di angka 29000++, sementara itu jumlah usernya 19000++
Memang kalau berdasarkan DA or PA aja ga adil mbak, kalau saya malah cenderung berdasarkan jumlah pageviewnya.
But, tulisan ini paling ga udah ngasih gambaran untuk saya,
Blogsabda.com itu memang pageviewnya besar sekali untuk ukuran blog finansial, jadi memang nggak layak untuk diukur berdasarkan DA/PA. Dan jumlah blog finansial yang sungguhan konsisten di Indonesia nggak sampai 10, menurut saya sih. Tadi siang aja saya ditanyain mana aja blog yang jagoan ngomong tentang keuangan, dan saya nggak bisa sebut sampai 10 biji.
Senang bisa kasih sedikit bantuan buatmu, Sabda. Semoga rejeki bersama kamu ya 🙂
Thx for the survey and writing mbak.
Walau gak sempurna (spt katamu), setidaknya memang ini jadi nambah insight juga utk para blogger yang sudah monetasi. Jadi tahu seperti apakah sebenarnya kondisi di luar sana.
Prinsip soal niche sama nih penerapannya. Saya selalu blg: segado-gadonya blog, harus ada topik utamanya. Di situ penting banget dan efeknya memang berasa kl dikaitkan dg rate ini.
Betul. Niche menentukan tingginya pageview. Tingginya pageview menentukan tingginya rate. Sangat signifikan perbedaan rate antara blogger berniche dengan blogger gado-gado.
Thank you sudah menulis ini mba. Meski iseng-iseng, at least jadi nambah insight kita. Apakah mungkin ditambahkan juga faktor lainnya seperti cost. Let say biaya internet, domain, server (hosting). At least itu jadi cost minimum yang harus diperhitungkan, baru masuk ke hal-hal lainnya seperti DA, pageviews, dan faktor lainnya.
Hai Mas Bobby, terima kasih ya udah mampir kemari. Memang sengaja di penelitian ini saya tidak mencantumkan biaya operasional. Sebab pada para sampel yang saya tanyain, rerata di antara mereka mengatakan bahwa biaya operasional bukan biaya yang menentukan rate mereka. Sebagian besar mengaku bahwa biaya penyewaan hosting dan domain sudah balik modal setelah penerbitan 1-2 artikel saja. Dengan asumsi mereka mendapatkan proyek sponsored post minimal sekali per bulan, maka biaya operasional sepanjang tahun sebetulnya sudah tertutupi.
Tapi sarannya boleh juga, Mas. Mungkin kapan-kapan saya mau nulis bagaimana biaya operasional pembuatan artikel bisa menjadi hal yang cukup berpengaruh bagi para blogger
Kalo costnya dihitung bulanan, let say private server sendiri yang bayar bulanan, penggunaan tools2 premium dan lain-lain karena pasti ada juga kan ya. Nganu, pengalaman pribadi soalnya. Tapi memang kembali ke masing2 sih yaaa.
Nah, itu baru wawasan menarik. Kayaknya saya mesti nemu dulu blogger yang pakai server pribadi atau pakai tools premium. Terima kasih yaa udah dikasih ide baru
Mba vicky, halooooo
ya ampun aku nemu tulisan ini pas lagi nyari definisi lifestyle blogger di mediumnya kak febriyan lukito. Both of you, nendang banget tulisannya. speechless saya. saya yang lagi butek harus niche apa untuk blog pengganti nengipit tetiba terinspirasi dan ooohhh, gue tau nih salah gue dimana, harus kaya gimana dan bla-bla-bla. evaluasi nya banyak dan eksekusinya juga. Saya yang baru aktif 3 tahun gak sebanding lah ilmunya sama mba yang ternyata udah sepaham ini soal dunia blogging. tahun 2018, saya masih orok mba, hahahaha.
ntah mba inget atau hanya baca sekilas di twitter, saya pernah share pengen bikin blog yang isinya ilmu yang didapat waktu kuliah dulu, which is pertanian. tapi, kalo mikir soal cari cuan, topik beginian tawarannya jarang banget nongol. tapi kalo passion, gimana ya? saya pengen banget punya blog khusus membahas ini. ntah kalo rezekinya ntar tetiba ada tukang pupuk pengen di iklanin produknya di blog saya, atau pestisida atau apalah yang ada kaitannya dengan pertanian.
saya jadi kepikiran apa harus ternak blog dan bikin lifestyle blog baru agar bisa dapat cuan dari topik yang gado-gado? apa saya mampu mengatur waktu? apa secara tenaga saya mampu? ini evaluasi banget mba.
sementara blog utama sekarang, harus saya balikin ke sebagaimana mestinya. blog niche art-desain-motherhood. udah itu aja. sementara CP yang mba vicky bilang gak cocok buat personal blog, itu kerasa banget mba, dan aku kaya tersadar gitu.
jadi curhat bo’ hahahaha. anyway, aku pengen bilang, makasih banyak udah hadir ditengah-tengah blogger ababil macam saya dan bagi saya mba udah lah sekelas mentri tenaga khusus blogger, hihihihi.
btw, dibawah aku pasang url blog artjoka kok, jangan hapus komen ya, hihihi
Wah terima kasih telah mmberikan bacaan yang lengkap dengan rinciannya mengenai rate card, saya sendiri masih pusing dan sangat tercerahkan dengan artikel ini mengenai rate card.
Baik, Mbak, semoga ada gunanya yaa..
Apakah blog gado2 kyak punya saya berpotensi menghasilkan juga mbak aku masih belajar nulis penasaran juga penghasilan para bloger
Kalau saya sendiri tidak pernah fokus pada nice, jadi asal nulis saja….hehehe
Oh ya, oke 🙂
Setuju mbaak, DA-ku terbilang kecil, tapi pageview boleh lah diadu :D. Dan biasanya, yang nanya pageview malah ngasih harga penawaran yang lebih tinggi karena mereka memang mementingkan “iklan”nya dibaca banyak orang.
Dan sempet ngintip beberapa rate card travel blogger ngetop, dan mereka ga ada yang mencantumkan DA dan PA sama sekali.
Btw, thanks banget infonya soal rate card ini. Membantu banget
Saya segan lihat pageviewnya Mbak Rahma. Gede pasti! Pantes sebetulnya pasang rate tinggi. (Tapi kalo memang mintanya cuma pasang backlink doang tanpa experienced-content, jangan pasang rate gede, karena DA tadi.) Semoga kita berkembang terus ya, Mbak 🙂
Allah … Akhirnya nemu post yg bener2 lugas, jelas, dan gk bertele2thanks mbak ….
Sama-sama, Mbak Maitra.
Waaa apa cuma aku yg baru baca artikelmu ini di tahun 2019, ekekek
Mau menyesuaikan rate card lagi semenjak DA PA anjlog, huhu
Thanks sharingnya mbak Vicky
Hahahahhaa.. Sama-sama..
Saya kemarin dapet job mba dan suruh nentuin rate card untungnya saya baca postingan ini, sangat sangat membantu
Alhamdulillah, senang kalau bisa membantu 🙂
Pengalaman saya mbak, dari beberapa kali menerima artikel review itu rate-nya langsung mereka yang tentukan, yaitu 300rb. Nggak pernah ditanyain minta brp dan saya pun nggak nego minta lebih. Apa mereka sdh riset sendiri ya? 😀
Btw, artikel ini membuka wawasan saya. Ternyata ada juga ya istilah rate blogger 😀
Mas Darin, umumnya pemberi kerja itu sudah mengevaluasi blog Mas Darin sehingga memutuskan untuk valuasi halaman blog Mas seharga Rp 300.000.
Tetapi jika Mas Darin merasa rate blogger Mas lebih dari itu, sebetulnya boleh-boleh saja menawar, dan pemberi kerja akan setuju apabila mereka sepakat dengan argumen Mas.
Iya mbak, baru saja ada email ajuan blogger tamu, tapi setelah saya baca artikelnya itu menuju ke brand tertentu. Dan atas anjuran mbak vicky di atas saya sudah berani nego.
Trims atas masukannya mbak.
Selamat, Mas Darin. Selamat karena sudah berani nego. (Saya nggak tanya negonya diterima atau enggak.)
Ada lho blogger di Surabaya yang pageviewnya selangit tapi sampai sekarang feenya tetep aja Rp. 50k karena nggak berani-berani nego 😀
wah jadi begitu ya soal DA PA dan pageviews trims mba infonya.. ga pernah fokus kalau saya mah, mudah-mudahn bisa fokus setelah baca2 kalau fokus itu menghasilkan 😀 😀
Iya sih, Unggul dari dulu kan selalu ambil semua niche, sampai saya sendiri bingung sebenarnya Unggul ini senangnya tema apa, hahahaha..
Baeklah, Unggul, terima kasih ya sudah dateng kembali ke blog saya. Lama banget nih Unggul nggak pernah kemari
Mbak, cara buat ngefollow blog ini gmn ya? Sudah coba dari aplikasi mobile wordpress kok situs tidak ditemukan
Hai Ima, kalau kamu punya aplikasi reader (misalnya Feedly), kamu bisa masukkan link blog http://vickyfahmi.com ke reader-nya. Maka blog ini akan langsung masuk ke dalam reader-mu saban kali update. 🙂
Halooo….
Wah tulisan yang menarik. Saya juga udah beberapa kerjasama sama pihak Pengiklan untuk Article placement/ Sponsored post/ artikelnya saya buat sendiri. Alhamdulillah lumayan bisa buat ngisi kulkas sama beli minyak goreng buat dapur emak-emak kayak saya.hihihihi…
Oh iya, kalau blog saya, dari sudut pandang Mba Vicky….cucok-nya dapet rate card berapa ya? Karena sempet mikir rate card yang saya kasih setahun terakhir ini masih tergolong standard.
Mohon pencerahannya.hehehehe… Dan salam kenal 🙂
Hai Mbak Lana, terima kasih sudah mau datang.
Mohon maaf ya, saya belum bisa menentukan persis rate card Mbak Lana, karena saya juga nggak tahu persisnya berapa jumlah pageview blog Mbak Lana.
Paling-paling saya cuma bisa memperkirakan, apabila Mbak Lana mau konsentrasi di niche travel, dan jika pageview blog Mbak Lana sekitar 4.000 per bulan, Mbak Lana bisa mulai dengan rate Rp 400.000,- per artikel. Akan beda lagi angkanya apabila Mbak Lana mau berkonsentrasi di niche lain, atau pageview Mbak Lana lebih tinggi/rendah daripada itu.
Selamat berjuang lagi ya 🙂
Oh jadi gitu ya mba, makasih ilmunya ya
Oiya..terima kasih kembali..
Mbak Vicky luar biasa, bisaan bikin penelitianya, gak kebayang deh ngumpulin datanya, pemilahan data, analisis, sampai jadi kesimpulan, makasih banyak mbak, say termasuk yang again bingung soal rate card hehe, kadang pede kadang gak pede pas ditanyain berapa rate cardnya, selalu lihat patokan DA PA blog, pv blog ku juga gak seberapa soalnya tema blognya kurang umum
Nggak, Mbak Ev, ini sih belum banyak sampelnya. Masih penelitian yang kasar banget. 🙂
Mbak Ev sebetulnya bagus banget kalau lagi nulis tentang pertanian dan sebangsanya, makanya ratecard Mbak Ev cocok untuk klien-klien yang mau kasih sponsored post terkait agraria-agrariaan. Memang karena nulisnya dalem, ceruk pasarnya jadi dikit, tapi PV-nya bisa tinggi sekali kalau mau konsisten dan rate-nya bisa dibikin tinggi juga, Mbak.
Wow…Halo mbak Vicky.. Aku baca ini pelan2 trus mikir hhmm..hmm…hmm… terakhir PV aku hampir 12rb tapi lagi turun apalagi pas bulan puasa wkwkwkkwk… sekarang mulai naik lagi ni dikit2. Yang penting nulisnya bahagia dan temanya juga hehehe. Lagi mau nerusin niche jalan2 aku nih oleh2 liburan lebaran dll, meskipun emang masih gado2 xixixixi. Makasih ya survey dan penelitiannya. Ada pencerahan lah buatku. Sip!
Ehehehee..kayaknya Mbak Murul lagi berusaha keluar dari zona nyaman setelah kemaren seringnya nulis tentang makanan melulu.. Sing sukses ya Mbak 🙂
bookmark dulu,, perlu membaca diwaktu luas lagi ini 😀
Aku baca berulang-ulang supaya paham dengan istilah rate card ini. Ternyata seperti ini. Kadang aku suka bingung klau ditawari harga sponspored post hihi.
Sekarang Mbak Ade masih bingung, nggak?
Boleh, silakan
sudah dibaca tapi belum mudeng 😀
Tak usah dibaca. Memang membingungkan kok 🙂
Dalam industri kreatif lain yang saya jalani ” person behind the desk” memiliki andil yang cukup signifikan dalam penentuan rate. Artinya, data-data statistik tidak selalu menjadi acuan.
Jadi “siapa” berbicara “apa”, juga memainkan peran.
Saya jadi penasaran, apakah hal ini juga berkorelasi kaitannya dengan penentuan rate card blogger, terlebih di era electronic word of mouth marketing seperti saat ini?
Oiya, terima kasih sudah berbagi hasil surveynya mbak.
Salam kenal.
Sara ngemeng epe sih, salam kenal salam kenal segala :))
Seperti yang saya tulis di atas, ratecard nggak semata-mata dibangun dari data statistik pageview, domain authority, dan sebagainya.
Jika pemilik ratecard menganggap dia kompeten dalam bidang tertentu, misalnya dia adalah seorang ahli nutrisi pertumbuhan, tentu dia merasa berhak untuk pasang rate tinggi bagi promosi suatu produk susu pertumbuhan. Tapi pada saat yang bersamaan, dia akan pasang ratecard rendah kalau diminta promosi asesoris fashion, karena kebetulan dia merasa tidak punya selera mode yang bagus. Dan tidak jadi masalah kalau dia mark up rate-nya di niche kesehatan dan parenting, meskipun pageview dia tak seberapa.
Persoalan prioritasnya, apakah blog yang sudah ditulisnya itu bisa memancing kepercayaan atau tidak. Karena kepercayaan itulah yang akan mengarahkan pembaca untuk bertindak membeli produk yang dipromosikan dalam blog. Jika dia merasa dengan kompetensinya bisa memancing kepercayaan pembaca untuk bertindak (call to action), dia berhak menentukan rate tinggi. Tapi kalau bloggernya belum bisa menimbulkan kepercayaan bagi pembacanya, jangan pasang rate tinggi dulu.
Wow! Mba Vicky, saya baca tulisan ini tengah malem. Tapi gak mau brenti sampe ndlosorr hehehe.. thks for sharing ya! Kemarin saya baru mengenal Mba Vicky di IG, pas baca blog ini ternyata mantab sangat. Bravo! Keep inspiring ..
Terima kasih sudah mampir kemari ya, Mbak Bety 🙂 Senang denger ada yang mau baca tulisan saya yang sangat panjang ini 🙂
Duh nampol banget. Blog gado-gado punyaku dibuat bukan karena sponsored post tadinya tapi karena aku suka nulis banyak hal. Mo dikerucutin uda terlanjur basah ya udah mandi sekalian. Dan emang pageviewnya jg gado-gado
Kalau Qtoy senang dengan hasil ngeblognya, ya diteruskan saja kegado-gadoannya, Toy 🙂
Mbak,,, artikel ini mencerahkan banget.
Selama ini aku nge-blog cuma murni buat seneng-seneng dan dokumentasi pribadi. Ternyata,, bisa menghasilkan. Tapi untuk menghasilkan dari blog yang harus profesional.
Makasih sharingnya ya mbak. Gonna note this blogpost for sure.
Salam kenal 🙂
Sama-sama, Din. Selamat memperbaiki blogmu ya 🙂
Aku PV banyak tapi minim interaksi mbak
Saran dong….
Lha kamu inginnya gimana?
Jadi pengen punya tema yang konsisten untuk blog hehehe
Mba Vic, aku jadi dapet pembelajaran nih dari post ratecard. Memang kadang saya bingung nentuin ratecard. Tp saya juga ga setuju kalo blogger dibayar murce, tp seorang blogger juga wajib memiliki kualitas dalam tulisan. Ah saya banyak harus memperbaiki lagi nih. Makasih banyak mba Vic.
Nyi sebetulnya bagus kalau mau bikin blog khusus niche film. Atau blog khusus niche seputar Pekalongan. Ratenya akan meningkat dari situ. 😉
Waah niat banget mbak bikin survey-nya. Tapi terima kasih banyak, jadi dapat banyak pencerahan. 😀
Sama-sama, Reisha
Wah, info dan survei yang keren banget, Mbak Vicky.
Menurutku, emang rate card blogger itu relatif.
Dan sekarang banyak juga blogger yang mau dibayar Rp 50.000 aja.
Karena memang persaingan di dunia blogger udah semakin ketat.
Yang ternak blog pun udah banyak. Aku harus bagaimana…
*uhuk-uhuk
Hai, Melisa :). Perjuanganmu masih panjang. Kamu sebaiknya mengumpulkan massa pembaca setia dulu untuk membuat blogmu jadi lahan penghasilan. Selamat belajar lagi ya 🙂
kalau saya pribadi kena blog saya gado2 g jelas, untuk rate seikhlasnya saja / ikut rate yg nawarin job sj, Insya Allah sll siap..
Lha, blog sudah tekno gitu masih mau dibilang blog nggak jelas?
Sesungguhnya aku tu termasuk yang gak tau mbak harus kasih rate card berapa. T.T
Soalnya baru serius monetize blog setahun terakhir ini aja. Tapi dari tulisan ini aku jadi nambah insight baru, sih. Berfaedah sekali lho. Terima kasih, mbak 🙂
Wah, sayang agak terlambat ya, Nidy. Nggak pa-pa, sekarang dibikin aja ratecardnya yang bener. Blogmu bagus lho
dan selama saya dapat job, nilainya jauh di bawah yang mbak utarakan. perlunya komunitas untuk bisa menstandarkan harga sebuah artikel di blog. Good Point mbak
Well..komunitas blogger kadang-kadang tidak punya misi sampai situ.
Ada komunitas yang mematok semua anggotanya dipukul rata ratecard-nya, tanpa memperhatikan kinerja postingan blognya.
Ada komunitas yang ratecard-nya tidak merata, yang kinerjanya sudah bagus tetap dibiarkan ratecard-nya rendah selama bloggernya tidak minta naik, sementara yang teriak-teriak minta naik rate tidak diajari apa yang mesti dilakukan untuk menghargai dirinya dengan pantas.
Blogger mestinya gabung dengan banyak komunitas, supaya memperbanyak wawasan dan pengalaman dari blogger lain.
Aku termasuk yang gak pedean kalau mau ngajukan rate juga buat nego … setelah baca ini, kayaknya kudu berani nego kalo ada tawaran…
Ya harus berani nego lah. Kalau merasa punya kelebihan, kenapa gak ditawarkan..?
Bener kak. DA blogku yg satu sdh di atas 25 meskipun page viewnya hanya 85 perharinya. Sedangkan blogku yg 800 pv peehari malah nangkring di angka 14 DA nya.
Tapi PV jg sbenarnya tdk akurat utk ngitung rate, karena PV besae bisa jadi bukan karena pengunjung bukan baca tulisan terbarunya tapi baca tulisan lama yg bisa jadi sdh lebh dari 5 tahun yg lalu. Sedangkan tulisan baru paling dapet 80 PV doang..
Terus kala menurut kakak, blogku pantas dihargain berapa ya utk contenplacemen atau riveiew?
Rate itu tidak bisa ditentukan hanya berdasarkam pageview saja. Rate itu sangat customized, mesti menyesuaikan dengan kebutuhan kliennya.
Pageview blog yang besar + returning visitor yang stabil cocok untuk klien yang ingin pasang sponsored post tentang produk dan ingin produknya viral.
Pageview blog yang besar + returning visitor yang minim cocok untuk klien yang ingin pasang sponsored banner.
Pageview blog yang kecil + returning visitor yang banyak cocok untuk klien yang ingin pasang sponsored article tentang produk untuk segmen tertentu.
Saya nggak tahu berapa pantasnya ratecard untuk Mas Heri. Sebab blognya Mas Heri ini blog tekno, dan saya belum meneliti ratecard untuk blog tekno.
Ternyata ada yg mengakui kui sbg nlog tekno.. Saya sendiri jg bingung dg nice sy yg gado gado..
Terimakasih atas komentar pencerahannya..
makasih telah berbagi mbak, pengingat diri, untuk kembali fokus dan upgrade diri
Sama-sama, Sandi.
Saya pribadi ngambil rate brp ya mbak ? Kalo ngitung secara DA brp ya mbak ? DA 28. Hihihi ..
Rate-mu lebih baik tergantung niche dan pageviewmu, Dek. Banyak kok blogger lain yang DA-nya sudah 38 tapi rate-nya masih Rp 50.000,-.
Waw! Faedah banget informasinya.. Yang begini ini jarang diulas karena biasanya yang ditanya juga bingung.. Tapi ini informatif banget.. Salam kenal mbak.. Saya blogger Tekno.. Gado-gado Tekno.. Hahahaha..
Salam kenal balik. Senang saya ketemu blogger tekno kece kayak Mas Eko 🙂
Tulisanmu panjang tp membius mbak, aku scrol aja gitu sampe abis, trus dg kesimpulan belajar anchor text. Blogger gado-gado kek aku walo cuma sekali 2 kali dapat tawaran content placement tp aku berani naikin harga hehe, ya walopun masih rendah juga, tp seperti katamu cukup buat operasional blog setahun
Sebetulnya itu model bisnis yang bagus ya. Bloggernya boleh aja bersikap idealis cuma mau nulis artikelnya sendiri dengan harga yang ditentukan sendiri. Kalau merasa tawaran job-nya kurang untuk mengimbangi biaya operasional blog, boleh aja terima content placement. Nggak usah banyak-banyak terima pesanan content placement-nya, yang penting cukup untuk bayar biaya operasional blog.
Selamat belajar anchor text ya. Anchor text itu gampang-gampang susah. Kalau pilihan kata untuk teksnya salah, linknya nggak akan dipencet. Kalau lokasi naruh anchor textnya juga salah, linknya nggak akan dipencet. Hahaha..
Kayak kena tabok baca postingannya. Tapi ada benarnya. Page view oh page view. Sekarang sudah mulai dilirik juga
Yaiyyy..udah dari dulu lho isu tentang pageview ini. Jauh sebelum saya kenal DA/PA, saya kalau mau dikasih job hampir selalu ditanya..”Yang mbaca blogmu ada berapa orang?” 😀
Apalah blog saya ini yang isinya ga jelas arahnya, makasih sharenya mbak, saya pun tak tau kalu ditanya harga saat ditawari oleh advertiser. Dan minim saya biasa jawab 300K, kebanyakan deal. mungkin bisa lebih kali ya…. wkwkwk
Coba harganya dinaikin sedikit, Adi. Kayaknya masih bisa deal deh. Hihihihi..
noted Mbak, Vicky… PR banget buat aku soal pageview 🙂
Semoga setelah ini, pageviewnya segera naik ya, Witri 🙂
Ntap!
di antar panjang x lebar satu kata itu yang terucap.
Soal CP emang bener lebih tepat untuk blog yang lebih hardsell, kemungkinan mereka pun udah punya standar sendiri. Berbeda kalau blog yang sifatnya personal.
Cuma semua rate itu balik lagi ke personal, urusan perut orang kita tak tahu seberapa mereka merasa cukup kan.
Nah, blog personal kan memang sebetulnya nggak cocok kalau dipasangin CP ya, Koh. Kalau kliennya maksa mau pasang CP, ya kudu rela artikelnya diedit berdasarkan gaya bahasa bloggernya. Maka jatuhnya bukan CP lagi itu sih, jadinya ya bloggernya nulis sendiri.
Tapi aku juga sedih kalau blog sudah bagus-bagus dengan gaya khas pemiliknya, lalu dikotor-kotorin CP yang harganya nggak seberapa cuma gara-gara pemiliknya butuh ngepulin asap dapur.
Mbak, mengerucutkan niche itu dilihat dari mananya sih? Label/kategori gitu ya?
Terus, kalau saya mau mengerucutkan niche blog saya, perlukah artikel-artikel lama yang ga bersesuaian saya hapus aja?
Terima kasih.
Halo Mbak Diah. Tiap agensi blogger biasanya punya cara sendiri untuk mengerucutkan niche bloggernya ya. Kalau cara saya sih simpel aja, saya lihat dalam 10 posting terakhir ini bloggernya konsisten nulis di niche apa, maka itu niche yang saya pilih.
Menurut saya, artikel-artikel lama itu nggak perlu dihapus, Mbak. Kalau masih dirasa bermanfaat untuk orang lain, ya dipertahankan saja.
Tapi kalau Mbak Diah ingin branding niche untuk blog Mbak sendiri, lebih baik Mbak memperbanyak artikel baru dengan niche pilihan Mbak, sehingga niche itu akan mendominasi blog Mbak. 🙂
Aku te komen opo yo? Nyepam oleh gak?
#diantemlumpia
Blogku gado-gado gak jelas, koyok wonge sing mulai fokus nang penerbitan. Wkwkw
Memang sulit jadi profesional kalau blognya saja tidak tahu mau dibawa ke arah mana, Nis.
Yeaay akhirnya jadi juga artikelnya.
Dulu awal mula monetize blog aku juga bingung nentuin rate, trus setelah sering gaul ama sesama blogger dan sharing plus buka-bukaan rate card jadi bisa mengukur diri sendiri berapa sih pantasnya blogku itu dibayar. Tsaaah bahasaku sok profesyenel ya Mbak.
Pernah juga aku kerjasama dengan brand besar dan dapat honor yang lumayan juga trus tergoda untuk jadiin nilai honor dari brand besar itu untuk standart rate card blogku namun akhirnya aku sadar kalau brand ada kelas-kelasnya 😀
Makasih Mbak sharingnya, sedikit jadi cambuk buatku untuk lebih aktif ngeblog lagi. Tahu sendiri kan aku sekarang lagi demen-demennya Yutuban 😀
Ooh rate itu nggak selamanya melekat pada diri blogger kok. Kalau bloggernya punya attitude amatiran, menulis kayak amatiran, rate-nya juga jatuh sendiri meskipun blogger itu pernah disewa brand besar dengan rate tinggi 🙂
Wah ngebantu banget buat pemula kaya saya mba, ketika kmren ditanyain fee buat review product saya serahkan ke klien buat nentuin, haha, masih ga pede ngasih rate krn masih pemula. Tapi dg baca ini jadi ada panduannya.. Thank a lot mba
Terima kasih kembali, Mbak Fika. Selamat nentuin rate sendiri ya
Hai mba Vicky, tulisannya mencerahkan blogger yang galau kalau ditanya rate card. Jujur ada rasa khawatir ketika aku pasang rate sekian trus orangnya kabur. But, mungkin belum jodoh sama kerjaan. PR banget buat melejitkan PV.
Ya, ada banyak macam alasan kenapa seorang blogger belum berjodoh dengan suatu kerjaan yang ditawarkan, antara lain:
1. Niche bloggernya nggak cocok dengan niche kerjaannya
2. Kerjaannya itu tidak memberikan hasil yang sesuai targetnya apabila dikerjakan oleh blogger tersebut
3. Bloggernya belum kelihatan bisa dipercaya untuk bekerja sesuai instruksi
4. Dikhawatirkan blogger akan bekerja di bawah standar jika dipaksakan bekerja sesuai budget kliennya
5. Dan lain sebagainya
Selamat belajar lagi ya, Nur
Aseeek jadi juga tulisannya.. mbak page view ku perbulan d atas 20k.. cuman kok sampai segitu ya? Hahhaa.. pernah lebih juga sih.. cuma klien seringnya tanya DA/PA
Mungkin karena klien lebih percaya PA/DA-mu ketimbang pageview yang kamu klaim 🙂
Info yang sangat bermanfaat bagi blogger newbie seperti aku. Menurut aku untuk blogger-blogger pemula yang punya blog dengan niche dan gaya penulisan yang cukup menjual bisa memasang rate card yang tinggi juga karena impact dari tulisan kita itu bisa berkelanjutan. Terima kasih sharingnya mb Vicky*
Iya, Achmad, betul banget. Kayak contohnya dirimu, kamu nulis resensi film itu sebetulnya bagus. Kalau mau ditekuni blognya di niche film aja, kamu bisa diterima dengan ratecard tinggi meskipun mungkin karier ngeblogmu baru jalan sebentar aja.
Tulisan yang bagus mbak, intinya ujung-ujungnya kembali ke blogger itu sendiri, karena tarif memang bisa sangat fleksibel dan naik turun kayak yoyo. Btw aku termasuk orang yang malas lihat blogger abal-abal. Apalagi ada pernah lihat teman baru mulai ngeblog dan nulis di profil blognya dia ngeblog karena mau nyari uang tambahan. WTF
Ahahahaa..yaa aku juga sebel banget lihat blogger yang membuka blog hanya karena kepingin nyari uang. Pingin aku sikat, tapi bingung gimana caranya menyikat dengan elegan.. Wkwkwkwwk..
Mampir sini eh ternyata lumayan banyak manfaat didapat. Jadi tahu hal-hal yang selama ini saya nggak tahu. Hehe. TFS
Sama-sama ya Mbak Lina, terima kasih sudah mampir kemari 🙂
Suangat bermanfaat ini Mbak’e
Sama-sama, Kang Ali 🙂
Saya salah satu blogger yang ragu masang rate card dan belum bisa buat. Makasih atas penelitiannya yang keren banget. Jadi banyak belajar. Sayajgnya fotonya ga kebuka. Jadi masih kepo aja nih heuheu nice artikel mbak. Salam kenal mbak Vicky 🙂
Ehh..foto yang mana yang nggak bisa kebuka? Foto saya lagi ngetik di komputer itu? Nggak usah dibuka, itu foto nggak penting :))
Pertanyaan yang susah-susah gampang dijawab kalo ada pertanyaan soal rate. hahahaha
Iya, betul, betul, Arie..
Hmm nambah wawasan banget, makasii mbak
Sama-sama, Reffi, terima kasih sudah datang 🙂
Thanks sharing nya mbak…. kalau aku sih sering bingung untuk nentuin rate blog ku sendiri.
Kenapa ya? Apakah kamu nggak tahu niche apa yang kamu sukai?
Banyak dapet ilmu baca tulisan ini. Selain itu, walau tulisannya panjang, enak banget dibaca. Jago Mbak Vicky menuliskannya 🙂 Terima kasih udah berbagi.
Ooh saya yang berterima kasih sama Mas Yayan. Gegara ngobrol sama Mas, saya jadi bisa dapet data untuk grafik travel blogger di atas 🙂
Aku sungguh merasa tercerahkan banget baca tulisan Mbak Vicky. Ya meski blogku gado-gado nggak jelas, nggak banyak dilirik juga, tapi aku senang karena tulisan ini menambah wawasanku di dunia blogging. Terima banyak, Mbak Vicky!
Sama-sama ya Kimi. Senang bisa kasih tahu kamu sedikit hal 🙂
Keinget dulu pertama kali dapat job. Definisi rate card aja aku googling dulu, Mbaa. Apalagi nentuin fee, nanya sana-sini karena benar-benar nggak tau apa-apa. Terimakasih sudah sharing ya Mama Fidel. Sangat bermanfaat dan membuat bersemangat 😀
Sama-sama, Leha. Semoga sekarang kinerja ngeblognya sudah lebih meningkat ya 🙂
Thaaanks infonya Kak. Selama ini klien selalu nanya DA, jarang yg pageview. Semoga selain mencerahkan para blogger, tulisan ini juga mencerahkan para klien ya.
Terima kasih, Rahma, sudah mampir lagi kemari. Rahma sering ditanyain DA ya? Kalau saya sih lebih sering ditanyain pageview, hahahaa.. Saya sering kasihan lihat klien sudah capek-capek bayarin blogger yang DA-nya tinggi, tapi tulisan itu nggak dibaca banyak orang. Lha apa gunanya..?
Semakin bingung buat blogger daerah macam saya yang sama sekali gak pernah ikut acara brand karena emang di tempat tinggal saya mengundang blogger masih belum umum.
Akhirnya kembali ke niat kalau ngeblog itu karena suka nulis dan sukur2 bermanfaat buat yang main meski sekedar nulis curhatan doang. Mentoknya ke kalimat keramat: kalau sudah rezeki tidak akan kemana. Hahaha… Meski rate nya amburadul dan untung2an. Kadang beruntung dapat job fee lumayan, kadang dapat job dengan fee asal-asalan, asal dibayar (produk atau sekadar ucapan terimakasih pun) jadilah…
Menurut saya sih, event itu bukan satu-satunya cara bagi blogger untuk mendapatkan penghasilan ya.
Teh Okti tinggal di Cianjur. Itu di wilayah Indonesia. Padahal, banyak banget blogger di dunia ini yang dapat penghasilan dari klien dari luar negara tempat ia tinggal. Blogger-blogger ini hanya menulis di mejanya masing-masing tanpa harus keluar rumah, dan dengan begitu dia tetap dibayar. Jadi sebetulnya hanya tugas Teh Okti untuk membuat blog Teteh nampak di halaman satu hasil Google Search.
Saya rasa sih, tak usah menunggu kita mendapat job. Biarlah job yang mendapatkan kita. Nggak perlu tanya kapan job akan mendapatkan kita, tapi kita yang harus membuat job untuk mendapatkan kita.
Oh ya, apakah klien juga mempertimbangkan achievement yang sudah pernah dicapai oleh bloger yang sering ikutan lomba blog??
Sepanjang yang saya alami selama jadi perpanjangan tangan klien untuk merekrut blogger, klien-klien saya nggak pernah perhatikan blogger-blogger mana yang sudah sering jadi juara lomba blog. Mereka lebih peduli blogger mana yang kira-kira tulisannya bisa menciptakan pembelian produk mereka 🙂
Kira-kira rate card blog saya berapa ya?? Setelah baca panjang x lebar, masih aja abu-abu menentukan rate untuk klien…. Makasih pencerahannya mba Vicky
Hai Mas Hendra, saya nggak tahu ratecard-nya Mas Hendra. Blognya Mas ini blog tekno ya? Nah, kalau niche tekno, saya belum meneliti pasaran ratenya berapa. Nanti kalau saya sudah tahu, saya update lagi 🙂
Ini ulasan tentang ratecard yg paling lengkap nihh..
Dulu2 sempat bingung nentuin ratecard namun sejak satu brand terima ratecard saya jadi lebih pede.. apalagi setelah baca ini.. tambah pede lagi deh..
Naikkin ratecard ahh.. #soktenar
Wkwkwkwk
Semoga ratecard-mu diterima lagi ya, Endah. Perjalananmu masih panjang 🙂
Mampir dan dapat pencerahan, serta dapat semangat untuk terus ngeblog. Makasih mbak atas tulisannya yang membantu banget, apalagi buat saya yang masih minim pengetahuan terkait monetasi blog hehehe
Hai Ridho, terima kasih kembali. Tulisanmu bagus, tinggal perlu ditingkatkan lagi. Selamat belajar ya
Ow.. infonya mantap mbak.. neq aq setuju sama tulisane mbak vicky.. soale rate card itu memang kadang membuat dilema, tapi kenyataannya emang gitu.. bukan patokan, tapi tetap harus dipikirkan..
Ya, betul. Jangan sampai ketika ditanya rate card terus nggak bisa jawab. Nanti dikiranya masih amatiran.
Abis ini aku mau banyakin curcol aaaaaaaaaaaahhhh biar PV jd ratusan ribu perbulan.
Kamu mau curcol soal apaaa? Aku mbaca curcolmu hampir tiap hari
Wah kerjaan researcher udah dihandle ama Mbak Vicky nich hehehe. Hmmm, jangan-jangan aku masuk yang disurvei juga yak. Blog niche gado-gado hehe.
DA/PA tinggi tapi pageview kecil sebenarnya gak menguntungkan klien ya.
Astaga panjang amat aku nulisnya :)))
Aah..komenmu pendek dibandingkan komentator-komentator lain :))
Enggak, Indira, aku nggak nyurvei blogmu. Sebab aku nggak tahu juga ratecardmu berapa, hahahahaa..
DA/PA tinggi itu sebetulnya masih menguntungkan klien kok. Asalkan kliennya cuma menghendaki nama bisnisnya dilihat di Google doang. Tapi kalau menghendaki produknya dibeli hanya setelah diiklankan di blog yang DA/PA-nya tinggi, hmm..kayaknya belum bisa deh.
Aku juga ada referensi lain, mungkin bisa dijadiin bahan bacaan juga terkait rate. hehe
Oh iya, terima kasih
baiklah mba makasi pencerahannya ngegasun dlu biar pv meroket hehehe lalu melamun gmn caranya hahaha
Ke heula, ke heula, ngegasun teh naon nya?
Y ampun Mbak Vicky kayak baca pikiranku. Kemarin aku bertanya-tanya soal rate card. Biasanya cuma pakai tulisan biasa, lama-lama capek juga dan akhirnya bikin media kit yang tinggal kirim kalau ada yang tanya. Anyway aku pernah nyesel ngasih nego fee, sampai mikir kayak nya kalau aq minta lebih tinggi tetep mau deh klien. Haha. Kalau melihat-lihat brand apa yang hire itu perlu juga nggak sih benernya?
Ke temen sendiri mah jelas ya, bisa nego sampai pol. Seringnya malah produk aja buat review, namanya juga temen. Meski tetep lihat orangnya kayak apa. Produknya kayak apa. Usahanya sebesar apa. Sebagai blogger gado-gado saya terhenyak kalau nggak sengaja denger rate blogger berniche:D
Wkwkwk..aku nggak tahu apakah nama besar suatu brand perlu ikut menentukan fee seorang blogger ya. Dan aku juga nggak tahu cara mengestimasi mahalnya suatu brand. Ambil contoh, odol Pepsodent itu diproduksi oleh pabrik paling besar di Indonesia, itu termasuk brand yang perlu dihargai mahal atau enggak? (Mungkin iya.)
Contoh lain, odol merk *****dent itu jiga diproduksi pabrik yang besar. Tapi konsumennya kebanyakan kelas menengah ke bawah, kelihatan dari iklannya yang pakai musik dangdut. Kalau diendorse blogger, bloggernya perlu mengajukan rate mahal atau murah aja? (Belum tentu enggak.)
Tulisan ini bukan berniat menggurui tentang “berapa sih seharusnya rate yang kauajukan sebagai blogger”. Tulisan ini hanya mau memberi tahu, “Nih lho, blogger-blogger itu sekarang pasang rate segini.”
Mbak Dian mau ngikutin trend, silakan. Nggak mau ngikut pasang rate segitu, juga nggak pa-pa. Pada akhirnya kita pasang rate itu bukan karena kita ngikut tetangga, tapi memang karena daya keikhlasan kita dalam menulis itu ya memang segitu
Wahh ini namanya rahasia perusahaan tengkiu mba udah berbagi resep bahagia berarti aku harus banyak berbenah heuuu
Hihihi..ini bukan rahasia perusahaan. Komunitas-komunitas juga udah pada tau kok, saking aja masih lebih banyak yang belum tahu, hahahaa.. Selamat berbenah ya
Hmm saya sepertinya mau pede nih nentuin rate card gede (ngguaya)
Trims insight barunya, Mba Vicky. Semoga kelak blogger beneran jadi profesi. Ga masalah kalau dites dulu, udah siap, haha.
Ngguaya poolllll! Wkwkwkwwk..
Tak apa, kamu emang udah pantes pasang rate gede. Tapi jangan masuk ke niche otomotif ya. Gak cocok! Wkwkwkwwk
Pertanyaannya… Saya harus pasang rate card berapa? Ya Allah mbak vick… Tulisanmu duowo tapi masuk-masuk dan aku baca sampai tuntas. Trua abis ini aku mikir kira2 rateku brp?
Hai Eni, mungkin lebih baik dirimu tahu berapa pageview-mu dulu, lalu kamu sesuaikan dengan angka para lifestyle blogger di atas
Tulisan-tulisanku memang panjang-panjang, sebab aku cerewet, hahahhha
Hiyaa.. Saya bloger ga jelas. Tapi soal pasang rate harus jelas ya. Ntah berjodoh ato ngganya
Bener, Mbak Farida. Memang blogger tetep harus punya rate sih, supaya nggak kebingungan kalau ditawari proyek oleh calon kliennya 🙂
Selama ini kalau ada penawaran job kayaknya memang lebih dicari DA-nya ketimbang pageview. Tapi saya yakin mereka yang memiliki pageview tinggi yang ngasih job juga bukan brand main-main. Hehe. Nah soal peletakan anchor text kayaknya saya harus lebih giat belajar nih
Hai Antung, kita sepertinya berkebalikan ya. Saya sendiri lebih sering ditawari job yang memang cari pageview tinggi. Jarang banget yang cari saya karena DA saya.
Memang rerata yang cari pageview itu brand yang serius sih. Terutama brand yang bertahan hidup cukup lama, bukan jenis start up atau UKM yang baru berdiri 5 tahun terus amburadul.
Selamat belajar menaruh anchor text yang clickable ya. Soal itu, saya juga masih belajar 🙂
Waaaah terima kasih infonya, sangat berharga
Oh iya, Om Yahya. Terima kasih kembali