Untuk kesekian kalinya saya mbalik ke kedai tengkleng Pak Manto di Solo karena kangen.
Liburan Lebaran menjelang berakhir, tapi tetep aja depot itu masih rame. Mobil kami tiba di depannya sekitar jam 1 siang, tapi nggak terlihat ada area parkir yang lowong. Padahal jalan depannya udah macet mepet.
Baru 1 jam kemudian kami akhirnya berhasil masuk ke bangunan depot itu. Saya hampir nggak bisa napas di balik masker saya, lantaran tempat itu ternyata penuh nuh nuh nuh dengan manusia.
Ruang makannya depot Pak Manto ternyata seluas lapangan basket.. dikali dua. Meja panjang berbanjar di sana-sini diisi rombongan-rombongan yang melahap berpiring-piring tengkleng. Staf-staf berkaos oranye mondar-mandir membawa baki berisi tumpukan piring tengkleng sambil berteriak, “Permisi! Permisi!” karena terhalang customer yang celingukan mencari meja kosong.
Pada jam 2 siang ini, kamu harus punya mata emak-enak untuk bisa mengidentifikasi mana meja yang terancam kosong, supaya nggak keburu direbut orang. Setelah saya mengakuisisi sebuah meja penuh piring kotor bernomor 34, saya melambai kepada seorang staf dan dia langsung menyingkirkan segala piring kotor itu dengan cekatan.
Ketika saya hendak mendiktekan pesanan saya, dia langsung bilang, “Pesannya di meja sana, Bu, sambil sebut nomer meja ya,” seraya menunjuk sebuah antrean panjang yang saya sangka merujuk ke meja kasir.
Astaga, ternyata ada antrean kasir, ada antrean pesanan.
Herannya, semua pengunjung ternyata sabar. Alih-alih kebanyakan tanya, mereka membaca daftar menu yang ada di tembok dan langsung tahu apa yang mereka inginkan.
Saya harus ngantre sekitar 10 menit untuk akhirnya memberitahukan pesanan saya: Seporsi tengkleng rica, setengah porsi sate kambing, 3 porsi nasi putih, dan 3 gelas es teh. Kepada mbaknya yang menghimpun pesanan, saya bilang tengkleng ricanya dibikin pedas sedang saja.
Sambil nunggu pesanan datang, saya perhatiin staf-staf yang lewat. Seorang staf datang dari arah pawon dan membawa baki besar berisi setumpuk tengkleng. Tiap tengkleng sudah ditandai kertas kecil bertuliskan angka.
Lalu seorang staf lainnya datang membawa catatannya sendiri, kemudian mencocokkan angka pada masing-masing kertas di piring tengkleng itu dengan catatannya. Lalu ia membawa setiap piring tengkleng itu ke meja pemesannya.
Tengkleng saya yang cuma seporsi itu hanya butuh waktu 10 menit untuk diantar, sejak saya mesan.
Staf asal pawon tadi menghilang. Beberapa saat kemudian dia datang membawa baki lain, berisi setumpuk nasi putih. Lalu temannya mengambil piring nasi itu sebanyak jumlah di catatannya, kemudian mengantarnya ke meja-meja tamu.
Lalu mas-mas pawon itu membawa setumpuk piring sate. Hati saya yang sudah laper nungguin sate langsung bergejolak. Saya samperin itu mas-mas pawon dan menunjukkan bon saya sembari bilang, “Mas, ini saya pesen sate 5 tusuk, belom dianterin.”
Mas-mas pawonnya langsung nyamber, “Ditunggu di tempat duduknya dulu ya, Bu. Nanti kalo sudah gilirannya, saya anterin!”
Saya balik ke meja saya dengan bahu merosot..
Agak lama juga sate saya itu datengnya. Nggak banyak yang pesen sate, setidaknya nggak sebanyak yang pesen tengkleng. Kayaknya mas-mas pawon itu adalah punggawa spesialis kurir antara pawon dan ruang makan, yang membawa setiap menu sesuai batch masaknya.
Dan akhirnya setelah stopwatch saya nunjukin 30 menit, datenglah sate kambing itu.
Cara Parkir Mobil di Depan Pak Manto buat Turis
Jawabnya: Nggak ada. :))
Depot ini berada di ujung jalan antara Jalan Honggowongso dan Jalan Kebangkitan Nasional. Tetangga-tetangganya adalah pedagang-pedagang seperti toko kue, kios servis handphone, dealer sepeda motor, yang terlalu sempit buat ditumpangin parkir oleh kebludakan pengunjung depot tengkleng itu.
Mobil saya nggak kebagian parkir, jadi kami ambil langkah sinting: parkir mobil di mall terdekat, lalu ambil ojek online menuju depotnya Pak Manto :))
Sebenarnya ini kesekian kalinya saya dateng kemari, tapi baru sekarang saya sempat cerita-cerita di blog. Terakhir kali saya dateng adalah 5 tahun yang lalu, dan situasi parkirnya nggak beda-beda amat. Dulu kami beruntung kebagian sedikit tempat parkir mobil di Jalan Kebangkitan Nasional.
Enaknya Tengkleng Pak Manto
Tengkleng sendiri adalah makanan dari daging yang nempel di tulang-tulang kepala kambing. Daging ini biasanya direbus selama berjam-jam dengan bumbu rempah-rempah sampai empuk.
Tengkleng versi Pak Manto itu dipanggang dengan bumbu yang didominasi gula jawa, sehingga rasanya manis. Cita rasanya mirip sate, tapi serunya makan tengkeleng ini adalah menggerogoti tulang-tulang kepalanya.
Kadang-kadang nggak cuman kepala aja yang dijadiin bahan tengkleng, tapi ada juga iga. Tapi bagian yang mana pun ini akhirnya nggak terlalu penting juga, karena yang disajiin ke meja kita adalah sepiring penuh berisi sekitar sekilo daging yang masih nempel sama tulangnya berwarna kecoklatan berlumuran bumbu kecap dan gula jawa.
Yang saya pesen kali ini adalah tengkleng rica. Stafnya nganterin sepiring tengkleng dengan ditaburin segenggam irisan kubis putih, dua butir tomat yang dipotong besar-besar, dan berbatang-batang cabe yang diiris besar-besar.
Dagingnya empuk puk puk puk! Seluruh otot kepala kambingnya begitu lembut, sehingga saya bisa menggerogoti tulangnya dengan nyaman. Kamu bisa makan pakai tangan, tapi saya milih tetep pake sendok aja ketika megang kepalanya, lalu menyisihkan tulangnya di piring kotor yang sudah disediakan.
Hanya saja kali ini saya pesen tengkleng rica, dan saya milih nggak ngabisin saosnya yang masih tersisa. Saosnya didominasi kecap manis dan belasan cabe, yang pedesnya na’udzubillah.
Sesekali saya nyuapin anak saya, Fidel, dengan sate kambing. Satenya empuk semua, butiran daging ototnya besar-besar.
Untung saya cuman pesen 5 tusuk, sebab ternyata Fidel cuman sanggup makan 2 tusuk karena kekenyangan. Ketika saya menyantap tusukan kelima, saya menjumpai has dalamnya dan mengerutkan kening saking lembutnya. Aduh, sayang banget Fidel nggak dapet tusukan yang ini..
Hari Khusus Tengkleng Pak Manto
Saya rasa sih kalau mau makan di warungnya Pak Manto ini harus menyisihkan waktu agak lama. Karena ngantre pesennya 10 menit, nunggu pesenan dateng itu 10 menit, ngantre mbayarnya 10 menit, nyari parkir sendiri kalo telaten ya 20 menit.
Jika kamu dateng khusus dari luar Solo hanya demi makan tengkleng di sini dan lagi cari hotel, mending kamu cari aja hotel-hotel sekitar depotnya. Hotelnya antara bintang 2 sampai 4, menuju warungnya Pak Manto sendiri cuman jalan kaki 100-200 meter.
Warung ini buka cabang di Jakarta dan Surabaya kok. Tapi kalo pengen lihat sendiri betapa meriahnya bergabung bersama pecinta kambing lainnya di depot utamanya, maka kamu wajib banget deh makan di depot Pak Manto di Solo ini.
Apakah kamu pernah makan di warung tengkleng ini? Gimana cara kamu parkir kendaraanmu di sana? Ceritain ya di kolom komen.
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Aku kangeeeeeen sate dan tengkleng pak mantooooo . Dah lama banget ga makan ini Vic. Trakhir aku kesana Ama mama dan papa mertua, depot ini juga belum lama buka. Masih baru. Belum Segede skr. Bakar sate nya aja masih di depan sempit. Tapi tetep sukaaa Ama rasanya yg pedes. Jujur aja, aku lebih suka sate pak Manto drpd satenya hj bejo.
Tapi Krn kami ada rumah di solo, jadi ya kalo kesini naik becak . Mobil ditinggal. Supaya ga ribet parkir .
Ga tau nih kapan lagi mudik ke solo. Harus aku datangin sih. Trakhir ke solo ga sempet ke sini, Krn aku ad Bbrp list kuliner yg mau dicoba. Jadi lebih dahuluin yg baru2.
Ih, masih tetep aja mereka bakar satenya di depan, Fan. Cuman memang udah ada semacam lahan gitu deh buat bakar satenya. Tiap kali lewat di depan babakaran gitu, mesti aja asepnya ngepul-ngepul.
Dirimu enak amat punya rumah di Solo. Aku ke sini pake GoCar, ya ampuun. Saking nggak ada parkirnya di depannya :))
Kalau yg di Jakarta, di mana, ya Vicky ?
Wah, maaf, saya kurang tahu lokasi tengkleng di Jakarta 🙂
Apakah seenak ituuu sampai mbak Vicky berkali-kali balik lagi? Area makan yang seluas itu aja masih bikin perasaan sesak ya saking penuhnya manusia-manusia kelaparan. Biar antre pesennya 10 menit sendiri, cepet juga tengklengnya dateng. Aku ngileeerrr liat tengkleng ricanya. Noted, jangan pesan sate saat sedang kelaparan di Tengkleng Pak Manto.
Ini enak 🙂
Aku termasuk orang yang pengen coba tapi sabarku setipis tissue, gak “serantan” buat antri. Bahkan liat penduduknya yang memenuhi kursi resto udah ampun2. Pengen sih tapi ketimbang waktu nunggu pas laper-lapernya jadi gak laper lagi, yaudah aku urungkan. Ntar aja kalau sabarnya udah powerfull baru deh nyoba masuk resto lagi.
Oh iya 🙂