Jika kamu bekerja sebagai pelaku wisata di suatu daerah yang beken sebagai objek wisata, lalu kebetulan pelaku-pelaku wisata di sana pada gaptek semua, kamu mungkin akan frustasi karena sewaktu-waktu bisa terperangkap dalam persaingan bisnis yang tidak sehat antar pelaku wisata itu.
Fenomena Persaingan Bisnis di Tempat Wisata
Suatu hari, saya lagi kerja proyek meliput suatu desa di Jawa Tengah (demi kedamaian netizen, kabupatennya akan saya rahasiakan). Desa ini terkenal akan sebuah objek wisatanya yang bagus banget, sehingga banyak sekali turis dateng ke sana.
Keliling daerah objek wisata yang satu ini ya lumayan bikin banyak cuan lah buat pariwisata negara kita ini. Kalau di Taiwan sana, kira-kira mirip kayak keliling Sun Moon Lake. Atau kalau di Eslandia sana, kira-kira mirip tour keliling Golden Circle. Atau agak mirip ngiderin Kilimanjaro di Tanzania.
Akibat objek wisata satu ini, banyak orang luar desanya dateng membangun hotel, untuk menampung turis yang dateng. Lalu, penduduk lokal ikut-ikutan membangun penginapan juga, meskipun bukan sekelas hotel.
Untuk menambahkan value, salah satu penginapan sederhana yang dibikinin penduduk ini juga menawarkan servis ekstra buat tamunya, antara lain tour keliling desa pakai kendaraan tradisional. Fasilitas ekstra ini berhasil, sehingga turis-turis pada nginep di penginapan ini meskipun bukan hotel.
Tak lama, tetangga-tetangganya yang juga bikin usaha penginapan, ikutan bikin servis sama juga. Selain nawarin servis tour pakai andong, mereka juga nawarin servis lain, misalnya pijet tradisional. Nanti tetangganya yang lainnya ikutan pula nyediain acara pijet-pijetan. Beginilah contoh persaingan bisnis yang terjadi di suatu desa wisata.
Tapi siklusnya ya selalu gitu. Kalau ada salah satu pebisnis bikin ide apa gitu, tetangganya mesti ada yang niru. Lama-lama semua penginapan ya nampak sama semua: bangunan sederhana, ada servis tour keliling desa, ada mbok pijet yang bisa dipanggil, dan lain-lain. Tiap pemilik penginepan kudu berusaha sekuat tenaga supaya tamunya inget nama penginepannya, supaya lain kali mau balik lagi, atau syukur-syukur jadi getok tular.
Dampak Persaingan Bisnis yang Homogen
Kalau semua-semua saling meniru, lama-lama jadi persaingan bisnis yang tidak sehat. Karena semua usaha menawarkan servis yang sama, ujung-ujungnya tinggal perang harga.
Repotnya, nggak ada penginapan desa ini yang sadar marketing. Jarang banget nama penginepan di sini yang namanya beredar di agen travel online. Alhasil, bisa dibayangkan mereka cuma mengharap tamu dari wisatawan yang lewat depan bangunan mereka. Itu juga kalo wisatawannya niat nginep di desanya, bukan dateng selintas doang ke objek wisatanya.
Ketika saya berada di sana, saya sempat iseng ngajak ngobrol seorang turis yang bermalam di sana. Saya tanya, kenapa dia mau nginep di homestay yang dia inepin. Ternyata dia jawab, dia nemu homestay itu di Instagram.
Jadi, ada penduduk desanya yang bikin account Instagram yang isinya foto-foto tempat wisata di desa itu. Nama account-nya infoXXX (XXX adalah nama desanya). Kebetulan ada salah satu homestay yang nggak sengaja foto bangunannya terpampang di account Instagram itu, lengkap dengan nama penginepannya dan nomer telepon pemiliknya, maka jadilah foto itu memancing orang untuk mau nginep di sana.
Lalu apakah si homestay itu sendiri punya account sosmed atau website sendiri yang bisa dikontak? Ooh tidak. Sungguh tamu-tamu dateng ke homestay itu karena nelpon ke pemiliknya. Dan homestays lainnya memang gitu juga, alat branding-nya cuman nomer telepon pemiliknya.
Account Instagram yang tadi isinya cuman foto-foto desa wisata itu, nampaknya nggak sengaja telah menjadi portal wisata bagi desa itersebut. Belakangan, nggak cuman foto penginapan doang yang sering nggak sengaja termuat di sana, tapi juga ada foto jip wisata, foto rumah makan, dan foto-foto pelaku wisata lainnya, yang sebetulnya kalo dikumpulin, jadi tempat informasi yang berguna buat wisatawan yang ingin dateng ke sana.
Ketika saya meliput di sana, saya bertanya kepada satu-dua pemilik penginapan, kenapa para penginapan ini nggak mendaftarkan usahanya kepada agen travel online saja? Ternyata jawabannya, 1) mereka gaptek, nggak tau caranya pegang komputer, 2) mereka keberatan untuk membayar komisi kepada agen travel.
Dampak Tidak Masuk Digital
Problem pemilik usaha tergagap-gagap dengan digital marketing bisa membuatnya menjadi ketinggalan dalam persaingan bisnis. Nanti kalau dia melihat tetangganya lebih maju, bisa terjadi kecemburuan sosial.
Efek paling jelek dari kecemburuan sosial ini adalah persaingan tidak sehat yang merangsang untuk menyabotase usaha kompetitornya. Padahal kalau ini terjadi dalam suatu desa wisata yang rerata usahanya masih homogen, persaingan tidak sehat ini nggak cuman bisa menghancurkan usaha kompetitornya, tapi juga membuat wisatawan jadi tidak mau datang ke desa itu lagi. Akhirnya, yang rugi ya perekonomian desa tersebut sendiri.
Sebetulnya, tindakan satu-dua penduduk yang tidak sengaja membuatkan info portal desa wisata itu sudah keren banget, karena bisa menaikkan nama-nama pemilik usaha yang termuat di sana. Hanya saja, infonya itu kurang bertahan lama karena portalnya masih berupa account sosial media, yang impresinya nggak tahan lama.
Coba kalo portalnya dibuatkan berupa website, tentu impresinya bisa tahan bertahun-tahun. Bayangin, sebuah nama penginapan sederhana bisa dibaca calon wisatawan sampai bertahun-tahun hanya gara-gara namanya pernah muncul satu kali aja di situs itu. Sebaliknya, kalau suatu pemilik usaha tidak pernah tercantum namanya di internet satu kali pun, maka lama-lama usahnya akan terlupakan. Sedih kan?
Menghindari Persaingan Bisnis yang Tidak Sehat dalam Lingkungan Homogen
Sebetulnya, kalau satu desa ini usahanya hampir sama semua, menurut saya malah pemasarannya lebih gampang diatur. Ide saya sih, bikin saja sebuah website portal yang kontennya adalah nama-nama pelaku wisata yang ada di desa itu.
Websitenya bisa terdiri dari halaman berisi nama-nama penginapan, nama-nama rumah makan, nama-nama tempat sewa mobil, dan bisnis lain sebagainya yang sering dibutuhkan wisatawan yang datang ke desa tersebut.
Untuk mengelola website ini cukup menyewa beberapa orang sebagai desainer website, admin situs, kreator konten, dan webmaster. Sebagian tugas perlu dikerjakan purnawaktu, tapi sebagian tugas lainnya bisa diserahkan kepada freelancer.
Melalui portal begini, meskipun tidak semua pemilik usaha paham-paham amat tentang cara memasarkan usahanya secara digital, tapi setiap usaha di desa itu bisa mendapatkan kemungkinan exposure yang sama di internet. Tanpa harus bergantung kepada agen travel online yang tentu mematok komisi.
Dan mencari impresi atas website portal desa ini juga nggak akan susah-susah amat. Karena kontennya unik hanya berisi desa wisata itu sendiri, yang kelengkapannya tidak bisa ditandingi oleh situs-situs info pariwisata di luar desa itu, maka optimasi search engine-nya juga nggak akan terlalu rumit.
Untuk modal membuat website ini, paling hanya perlu membeli sebuah hosting dan sebuah nama domain. Biaya untuk membeli dan mengelola situs ini bisa dikumpulkan dari iuran para pemilik usaha yang nama usahanya dicantumkan di dalam situs portal ini.
Jika modal yang dikumpulkan untuk membuat website portal ini baru sedikit, hosting yang disewa bisa berupa shared hosting dulu. Tapi jika kunjungan turis dari luar negeri ke desanya sudah ramai, dan jumlah pengunjung yang mencari info di situs ini ternyata dari beragam negara, maka situs ini akan perlu upgrade hosting-nya menjadi cloud hosting. Tujuannya, supaya situsnya tetap stabil meskipun pengunjungnya banyak, sehingga info-info tentang para pelaku wisata di dalam situs ini juga tetap dapat dibaca orang banyak.
Sebetulnya ide tentang portal wisata ini bukan ide baru. Contohnya, Jogja itu sudahpunya portal wisata bernama Y*gy*s.com, yang isinya selain nama-nama objek wisata, juga sering saya buka untuk mencari nama-nama perusahaan sewa mobil di area Daerah Istimewa yang satu itu.
Kemenparekraf bahkan punya portal khusus untuk desa wisata di seluruh provinsi namanya Jadesta. Hanya saja portal Jadesta ini baru memuat nama-nama desa dan potensi wisatanya, tapi belum sampai spesifik mencantumkan nama-nama penginapan, nama-nama rumah makan, dan nama-nama pelaku pariwisata lainnya dalam masing-masing desa itu. Sehingga pengunjung portal pun sulit untuk langsung bertindak melakukan transaksi yang diharapkan oleh pelaku wisatanya.
Lha, apakah bisa portal wisata dijadikan tempat transaksi online?
Bagaimana Cara Menghadapi Persaingan Bisnis yang Homogen?
Menurut saya sih, website portal wisata bagi suatu desa cukup dijadikan alat memperkenalkan para pengusaha lokal, tapi nggak perlu diberi fasilitas untuk transaksi online segala. Untuk keperluan transaksi, biarkan pengunjung website mengontak bisnis masing-masing yang diincar, supaya para pengusaha itu aja yang menentukan harga jual beli. Yang penting, nama usahanya sudah ada di website itu, artinya usahanya sudah go digital.
Untuk pengusahanya, boleh banget mereka kalau mau punya website bisnis sendiri. Website untuk mempromosikan bisnisnya ini bisa berbentuk sederhana macam landing page, bisa juga menggunakan model canggih macam e-commerce, lengkap dengan gateway payment-nya.
Dengan menggunakan content management system WordPress aja contohnya, segala macam bentuk website bisa dibikin. Lalu pengusahanya tinggal menyewa hosting dengan kapasitas sesuai budgetnya.
Dan akhirnya, link atas website bisnis itu dicantumkan pada website portal desa wisata tadi, sehingga pengunjung yang mengunjungi website portal tadi bisa langsung diarahkan menuju website khusus milik bisnis pelaku wisata tadi.
Dengan cara begini, pengusaha yang lebih kreatif bisa tetap bersaing dengan tampil sebagai dirinya sendiri, tapi tidak sampai menimbulkan kesenjangan sosial dengan kompetitor lokalnya karena masih sama-sama tergabung dalam website portal wisata desa.
Persaingan mestinya jangan dianggap sebagai tabu, tapi harus dianggap sebagai tantangan supaya semua kompetitor sama-sama maju. Dalam konteks desa wisata yang mayoritas sumber pendapatannya dari urusan kreativitas, persaingan itu perlu untuk bikin perekonomian desa itu semakin maju.
Kalau seluruh pelaku wisatanya mau go digital, minimal mau memiliki sebuah website, mereka tidak cuma akan lebih percaya diri menghadapi persaingan bisnis dalam desa itu sendiri, tapi juga lebih kompetitif untuk menjadi destinasi wisata yang lebih unggul daripada destinasi-destinasi wisata yang lain. Nah, saya mau tahu dong pendapatmu: Menurutmu sendiri, apa sih kendala para pelaku wisata untuk membuat website?
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Miris ya mbak, padahal saat ini gembar gembornya sudah pada beralih ke digital namun faktanya masih ada yang belum terjamah dengan kecanggihan teknologi.
Yup, salah satunya adalah tempat wisata yangmana penduduknya minim wawasan terkait teknologi.
Ide yang ditawarkan Mbak Vicky menarik. Tapi akan lebih berdaya lagi saat putra-putri daerah di sana bisa diberdayakan dan membangun desanya.
Aku rasa sektor pendidikan juga memiliki peran penting untuk membuat sebuah daerah apalagi yang memiliki potensi wisata yang bagus untuk menjaring generasi muda di desa itu kembali ke desanya untuk mengelola potensi di kampungnya.
Kembali ke topik, kawasan wisata yang diceritakan oleh Mbak di sini. Aku rasa terjadi juga di beberapa tempat.
Bahkan akhirnya informasi terkait wisata tersebut bisa keluar karena hasil foto2 dari para pengunjungnya hehehe..
Ya begitulah. Semoga pandemi yang mulai usai ini memberikan harapan baru untuk bangkitnya wisata di Indonesia. Aamiin.
Yup, dengan memanfaatkan digital yang saat ini semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari kita.
Aku rasa, kalau mau memberdayakan putra-putri daerah untuk bikin portal wisata, memang bisa memanfaatkan lulusan-lulusan SMA/SMK yang pintar pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi. Merela ini sudah punya dasar pengetahuan, tinggal dipolesi sedikit ilmi digital marketing aja.
Setiju banget, makanya itu gunanya pendidikan di kawasan lokal ya.
Pengalaman banget ini, saya juga pernah liburan ke salah satu wisata desa di salah satu kabupaten. Karena liburan saya selalu terencana mulai dari transportasi, penginapan, makan, saya harus sudah menentukan semuanya sebelum pergi. Nemu lah satu penginapan yang saya dapat infonya dari IG. pas sampai di sana, ternyata banyak juga penginapan lain di sekitarnya yang lebih bagus pula kualitas dan fasilitas-nya.
Dan memang idealnya, etalase informasi melalui web ini dikelola oleh pemerintah/dinas terkait setempat. Biar memudahkan para wisatawan mendapat informasi secara menyeluruh. Ini saja, saya mau pergi dan wisata di kampung halaman, nyari info wisatanya susah banget. Ujung-ujungnya minta bantuan teman yang jadi warga lokal di sana.
Sebetulnya agak mengenaskan juga ya kalau untuk melancong di kampung halaman sendiri aja masih harus tanya warga lokal secara manual.
Itu kalo bupatinya mau niat bikinkan portal wisata, hasilnya bisa bagus banget buat seluruh warganya..
Memang sudah seharusnya para pengusaha wisata memanfaatkan digital utk membantu bisnis mereka, apalagi setelah pandemic Covid19 kemarin, orang2 mulai mengenal digital, walaupun pandemic sudah hampir selesai, tapi behavior digitalnya tdk berubah, para calon pelanggan juga pastinya sdh mencari wisata lewat digita
Bener, bener banget, Pak Moko…
Kalau di daerah saya, yang tertarik untuk website atau portal belum banyak, berbeda dengan di pulau Jawa sehingga bisa jadi peluang besar bagi yang sudah terbuka pemikirannya asalkan mau benar-benar mempelajari dunia digital.
Ooh yaa yaa.. berarti warga sana belum terpikir untuk menarik pangsa pasar dari luar daerahnya ya, Kak?
Wahh memang pembuatan website untuk desa ini berpengaruh banget buat tumbuh kembang desa ditengah masyarakat ataupun diluar desa itu sendiri.. Bisa lebih mudah dijangkau dan diakses oleh masyarakat luar, bahkan kerajinan yang dibuat oleh masyarakat desa itu bisa laris banget diborong karena keunikannya.
Saya menjadi bagian dalam pembuatan website itu merasa sangat senang dan bangga banget bisa ikut mempromosikan desa wisata dan segala keunikannya didesa tersebut. Semoga saja tidak hanya didesa saya saja, tapi juga disemua desa diseluruh Indonesia bisa memiliki platform digital untuk bisa lebih maju dan bersaing dengan desa-desa lainnya.
Wah, bagus banget, Andri. Saya mau tau dong alamat website desanya Andri yang berhasil promosikan usaha kerajinan desa Andri itu
Cerita yang menarik, ini juga berlaku kepada teman-teman UMKM yang belum go digital. Suatu ketika sedang pergi ke daerah ada beberapa teman yang kebingungan oleh oleh daerah ini pada, tebak cari tahunya gmn? Ya Googling. Jadi kebayang kalau ada UMKM yg jadi oleh2 suatu daerah tapi blm punya website atau akun mendia sosial. Bagaimana mereka mau ditemukan, sebelas dua belas ya sama desa wisata ini.
Iya, Na. Coba aja kalau desa wisata mau bikin website jadi sumber informasi tentang penduduk-penduduknya yang jualan oleh-oleh, tentu lebih gampang buat turis untuk mau berkunjung dan membeli ke penjual oleh-oleh itu.
Wah ini kalau dibaca sama teman-teman yang ikut mengelola tempat wisata di Maros bakalan lebih maju.
Sayangnya tipikal orang-orang selalu tidak ingin keluar dari zona nyaman kalau sudah mendapatkan upah sesuai.
Hanya tinggal meneruskan padahal bisa dikembangkan agar lebih terkenal dan orang-orang makin tertarik untuk melancong karena penawaran menarik dan informasi aktual yang selalu di-update.
Semoga saja mereka paham dan mau berbenah agar makin banyak yang ke Maros, apalagi Bupati sekarang sudah sangat banyak inovasi karena melek teknologi.
Sebagian orang belum mau mengembangkan usahanya karena sudah merasa hidup di zona normal.
Harus ada pemicu supaya dia mau keluar dari zona normal, misalnya kalau ada pengusaha pesaing di tempat itu.
Saya pun tidak akan [ernah terpikirkan untuk bersinggungan dengan teknologi kalau tinggalnya di desa, kak Vicky.
Karena memang culture atau gimana yaa.. Hidup di desa itu tenang dan meski potensial untuk menjadi sebuah desa wisata, tapi ya begitulah cara mereka mencari rejeki yaa..
Satu punya fasilitas ini dan lainnya mengikuti.
Seru juga kala ada edukasi mengenai ide bisnis di tempat wisata ini.. Bagaikan promosi masakan rumahan di sebuah aplikasi online. Sama produk tapi bisa memiliki pelanggan yang loyal.
Ah ya, soal promosi masakan rumahan di aplikasi online itu. Menurut saya, aplikasi pesan makan antar online itu udah jadi semacam portal wisata kuliner kalau aku sedang mengunjungi suatu daerah. Jauh lebih efektif browsing kuliner di aplikasi ojek online daripada browsing di Instagram, apalagi tanya dari mulut ke mulut.
Makanya kalau ada aplikasi online juga tentang tempat wisata kan sangat membantu. Aplikasi online travel agent sih ada, tapi yaa.. untuk daerah-daerah tertentu, hasil kurasinya tidak terlalu lengkap.
Ngomongin soal desa wisata, mengingatkan saya pada salah satu desa wisata di daerah asal saya.
Desa wisata itu terkenal tingkat melek teknologi warganya sangat tinggi, jadi satu desa dialiri kabel LAN dan ada pula yang wifi, yang mana setiap warga bisa mengakses fasilitas tersebut.
Selain itu dibuat juga website, bisa dibilang itu website dibuat bahkan jauh lebih bagus daripada website milik pemkab, yang mana isinya berbagai macam lokasi destinasi wisata, lalu beberapa penginapan yg tersedia, dsb
Dan salah satu andalan wjsatanya adalah wisata airterjun/curug
Wah, desanya di mana, Fandhy? Minta alamat website desanya dong..
Wah iya, sekarang banyak juga ya desa wisata yang bisa jadi pilihan destinasi saat liburan
Dan emang kalau mau berkembang, pelaku wisata juga harus memanfaatkan digitalisasi ya mbak
Sebab,orang sekarang apa apa akan cari di internet, termasuk jika ingin berwisata ke suatu tempat
Iya, betul sekali, Dian..
Iya sih, kegaptekan ditambah keengganan untuk terbuka dengan teknologi ini yang rasanya jadi pengganjal pelaku usaha kolonial untuk survive di jaman milenial.
Ujung-ujungnya main power untuk ngegencet tetangganya yang mulai maju karena mau melek teknologi.
Mirip sama case-nya ojek online vs offline beberapa tahun lalu.
Para pengusaha kolonial ini, kalau mau melek teknologi sedikit aja, bisa maju bareng-bareng untuk majuin desanya.
Solusi yg sangat menarik dan sangat mungkin diterapkan nih mba.. Semoga saya info ini sampai ke para pengelola Desa Wisata ya..
BTW, aku juga pernah punya pengalaman mendapat info tentang penginapan dari web sakah satu Desa Wisata lho.. Memang penting sekali ya, pengelola Desa Wisata ini mempunyai wadah promosi secara online begini..
Saya juga berharap begitu, Mbak Tanti. Gemes lihat desa wisata cuman terkenal dari mulut ke mulut para tetangganya doang..