Ketika saya menginjakkan kaki di pematang sawah Rammang Rammang dan menengadah ke depan, spontan saya terperanjat. Saya disambut barisan bukit batu raksasa yang seolah menyapa saya tanpa ekspresi. Saya terpana. Oh my gawd. Selamat datang di Maros.
Liburan ke Makassar
Saya pergi ke Sulawesi Selatan bulan lalu. Ada urusan dengan Gridoto, sebuah media online turunannya Kompas-Gramedia Group yang khusus ngurusin niche otomotif. Orang-orang Gridoto itu minta saya membawa sebuah Xpander keluaran Mitsubishi keliling Makassar dalam sebuah ekspedisi bernama XploreXpander.
Jadi saya ngajak suami saya. Supaya suami saya bisa nyetirin Xpander-nya, sementara saya bisa moto-moto. Anak saya, Fidel, 3 tahun, pun saya bawa. Bocah itu, begitu saya bilang mau saya ajakin naik pesawat dan naik Xpander, langsung melompat-lompat kegirangan.
Menjelang berangkat, orang-orang Gridoto kasih tahu saya bahwa salah satu tugas saya mesti ke suatu tempat wisata di Maros juga. Di itinerary-nya sih ditulisnya Taman Purbakala Maros – Bantimurung. Saya, yang pengetahuan geografinya tentang Maros sangat terbatas, menyangka saya cuman bakal eksplorasi Gua Leang-leang dan ngejar kupu-kupu di Taman Nasional Bantimurung. Makanya saya pun cuma berbekal sneaker teplek yang sangat casual.
Ternyata, di jalan poros Maros menuju Bantimurung, bukannya berbelok ke timur menuju taman kupu-kupu Bantimurung itu, Pak Ardy, guide kami, malah membimbing suami saya nyetir ke arah utara. Saya yang ketiduran sepanjang jalan poros Maros (dasar Xpander enak banget buat dipake tidur di jalan), baru tersadar ketika buka mata dan lihat kami ada di jalur 2 mobil yang kiri-kanannya berupa sawah. Tapi, yang membuat saya terkejut bukan sawahnya, melainkan gumuk batu setinggi-tinggi gaban di kejauhan.
“Pak Ardy?” Saya panggil guide kami yang duduk bersama Fidel di bangku belakang. “Itu karst?”
“Ya, Mbak, itu kapur semua itu,” jawab Pak Ardy dengan logat Bugis yang kental.
Saya mengerjap-ngerjap mata berusaha mengusir ngantuk. Ingin gosok-gosok mata, tapi takut maskara saya mbleber. Ya ampun, kapan terakhir kali gw lihat bukit karst? 10 tahun lalu, 15 tahun lalu, di Padalarang? Tapi bukit karst yang pernah saya lihat nggak setinggi ini. Ini mah udah tinggi, masih jauh pula.
Sesekali kami berpapasan dengan sapi. Busyet, sapi sendirian! Saya teriak-teriak bangunin Fidel, “Nak, ada sapi, Nak! Sapiii!”
Fidel langsung terlonjak dari tidurnya dan antusias juga lihat sapi.
Sapi di sini beda dengan sapi yang pernah dia lihat di Farm House Lembang, Bandung. Sapi orang Bugis bulunya coklat-coklat, dan gemuk-gemuk. Pantes, lha rumput di Maros kelihatan subur-subur hijau. Suami saya menyetir Xpander pelan-pelan, berusaha waspada. Karena 1-2 ekor sapi dari rombongan itu ternyata rada introvert, alias suka jalan sendiri, alias suka nyebrang jalan sendiri.
Rammang Rammang, Maros
Kami tiba di sebuah lapangan parkir yang belum diaspal. Di depan plangnya, tertulis Rammang Rammang Salenrang.
Lapangan itu muat sekitar 4 bis, tapi untunglah tak ada bis parkir hari itu. Saya dan suami turun dari Xpander, memakai tas berisi peralatan secukupnya. Saya cuma bawa air minum dan sedikit kue untuk Fidel. Yang paling penting, Fidel harus pakai topi karena cuaca di Maros sangat panas.
Rombongan kami terdiri atas 10 orang. Empat orang tim content creator dari Gridoto, 2 orang guide lokal setempat. Empat orang sisanya adalah manusia yang doyan bersenang-senang, termasuk saya dan suami saya. Teman-teman baik saya dalam perjalanan ini adalah Hengky Gunawan (@ryheng_gun) dan Fenty Ervina, pasangan suami istri yang didaulat buat nyetirin Xpander juga kemari. Mereka bahkan bawa anak mereka yang lebih kecil daripada Fidel, yaitu seorang bayi perempuan berumur 8 bulan.
Kepada pasangan itu, saya banyak tanya tentang Sulawesi Selatan lantaran mereka juga penduduk Makassar. Fenty cerita kepada saya bahwa masuk ke Rammang Rammang ini cukup jauh dan harus naik perahu. Fidel langsung antusias begitu dengar kata “perahu”.
Naik Perahu Menembus Karst Maros
Ternyata, tempat kami parkir ini adalah sebuah dermaga di pinggir Sungai Pute. Di dermaga itu banyak perahu motor parkir, dan perahu ini akan membawa turis menuju spot utama dari Rammang Rammang.
Ada penyewaan topi caping di sana. Saya mengernyit curiga, ngapain ada penyewaan topi segala?
Kami menyewa dua perahu. Satu perahu katinting dipakai saya, suami saya, Hengky dan Fenty, bersama anak-anak kami. Sementara perahu lainnya dipakai tim Gridoto dan para guide. Tim Gridoto mewanti-wanti kami bahwa akan ada sebuah drone membuntuti perahu saya selama perjalanan. Fidel langsung senang lihat ada helikopter mini yang berdesing berisik di atas kami.
Maka perahu kami berlayar menyusuri Sungai Pute. Sungainya jernih, Fidel duduk sambil matanya jelalatan, siapa tahu ketemu ikan lagi berenang. Saya harus memegangi dia, takut dia terjungkal. Hengky membuka payung lebar-lebar, melindungi bayinya dari panas terik matahari. Sekarang saya ngerti, pantesan dermaganya sewa-sewain topi caping. Memang sinar mataharinya galak banget. Untung saya sudah pakai tabir surya.
Kiri-kanan kami adalah hutan dengan pohon nipah. Astagaa..jadi ini yang namanya nipah? Saya kirain pohon itu cuman bualan buku pelajaran bahasa Indonesia waktu saya masih sekolah SD. Miriplah daunnya kayak daun pohon kelapa, cuman tingginya tentu lebih kerdil. Sesekali kelasi yang menyetir katinting kami berhenti, lalu memetik daun nipah yang menjuntai ke atas sungai.
Sesekali kami berpapasan dengan perahu turis lain dari arah berlawanan. Kebanyakan turis masih bermuka Indonesia, tapi beberapa kali saya lihat wajah-wajah Kaukasus di sana. Tempat ini ternyata terkenal.
Jalur sungai Pute itu membelah bukit-bukit batu padas. Bukitnya besar sekali, dan saya penasaran di mana ujung sungai ini. Sampai kemudian bukitnya mencapai ujungnya, dan ternyata kami sudah tiba di dermaga yang lain. Lalu kelasinya mengajak kami turun.
Dan saya pun bengong. Oh my gawd.
Kampung Berua, Primadonanya Rammang Rammang
Di balik bukit itu, terhampar luas sawah hijau dengan tambak-tambak. Pada beberapa titik di tengah sawah itu nampak terdapat pondok. Dan, di sekeliling sawah itu adalah bukit-bukit hutan kapur karst yang bahkan lebih tinggi daripada raksasa.
Vic, kamu kecil banget. Saya mbatin.
Saya dan suami saya langsung blingsatan kebingungan. Antara megang handphone dan kamera lantaran mau foto-foto, atau mau mengawasi Fidel yang lompat-lompat di pematang tambak. Tapi kami tidak bisa berpikir panjang. Tim Gridoto langsung jalan menyusuri pematang dengan langkah-langkah panjang, sedangkan saya si Ratu Selfie ribut mau foto sana foto sini.
Maka berjalanlah kami di pematang tambak itu. Sejauh ke mana pun saya memandang, yang ada cuma bukit hutan batu kapur yang tinggi-tinggi.
Hutan karst berbukit-bukit ini, konon adalah yang terbesar ketiga di dunia. Karst yang lebih luas daripada Rammang Rammang ini cuma dua, yaitu Tsingy (Madagaskar) dan Shilin (China).
Di tengah-tengah pematang, kami bertemu pondok. Jarak pondok satu ke pondok lainnya begitu jauh, kadang-kadang sampai 200-300 meter. Semula saya kira ini semacam pondok untuk petani beristirahat sementara. Tapi kemudian saya lihat di pondok-pondok itu ada wanita, anak-anak, dan kadang-kadang bayi. Ada jemuran baju. Dan samar-samar terdengar suara radio putar lagu dangdut dengan lirik bahasa Bugis. Mereka tinggal di sini?
Dari papan nama terlihat bahwa itu ternyata bukan sawah tambak biasa, tetapi itu adalah kampung. Namanya Kampung Berua. Di kampung ini, penduduknya tinggal berjauh-jauhan begitu, sesuai tambak sawah yang mereka garap masing-masing. Tetapi, sebetulnya mereka masih bertalian hubungan saudara.
Saya menyapa beberapa ibu di sana. “Siang, Ibuu! Sehat?”
Ternyata mereka bisa bahasa Indonesia.
Tapi begitu saya coba tanya berapa umur anaknya, mereka langsung ngoceh pakai bahasa Bugis dan saya langsung menyerah..
Jalur pematang itu berakhir di sebuah bukit kapur. Di ujung jalurnya, terdapat pondok dengan tulisan “Gua Berlian”.
Penjaga pondok itu ternyata sebuah keluarga juga. Mereka punya radio yang menyetel musik dangdut lagi, dan sekaligus buka warung yang jualan pisang goreng dan kelapa muda. Plus sebuah loket-loketan yang memungut Rp 5k untuk tiap orang yang berniat masuk Gua Berlian.
Mata saya tertuju pada setumpuk sendal jepit Swallow yang mereka jual di pondok itu. Aha. Kenapa ini jualan sendal?
Kami ngobrol-ngobrol sebentar sambil menyeruput kelapa muda. Fidel ikutan menyedot dan bocah itu senang sekali. Saya nyaris terharu. Sumpah, dulu waktu kecil saya nggak doyan kelapa muda. Kok sekarang saya jadi suka..
Gua Berlian di Hutan Batu Kapur
Kemudian tim Gridoto ngajak saya naik ke Gua Berlian. Saya, yang nggak tau apa-apa tentang gua itu, langsung menyikat ajakan itu. Suami saya membopong Fidel, dan kami pun naik.
Saat itulah saya menyadari bahwa saya salah kostum.
Jalanan setapak menuju Gua Berlian ternyata terdiri atas batu-batu kapur yang tajam-tajam. Kemiringannya cukup curam, mungkin sekitar 45 derajat. Saya harus pintar cari pijakan yang enak, supaya tak gampang kepeleset. Suami saya kewalahan, karena dia juga cari jalan sambil gendong Fidel sekaligus. Kadang-kadang saya nemu jalur tanah yang bebas batu kapur, tapi ternyata kemiringannya hampir-hampir 60 derajat. Medan gila!
Pantesan penduduk di bawah itu jualan sendal jepit. Pasti banyak yang datang ke sini tanpa sepatu yang pas dan akhirnya sepatunya rusak di tengah jalan.
Tapi, setelah mendaki securam itu, akhirnya kami menemukan mulut guanya. Holy God. Ini yang namanya Gua Berlian. Gua dari kapur karst.
Ingat nggak tadi ketika saya tiba di Rammang Rammang, yang saya lihat adalah hutan bukit batu kapur karst? Nah, gua ini berada di atas bukit karst itu!
Dari mulut gua itu, kami menikmati pemandangan sudut bird view menuju sekeliling Rammang Rammang. Mau bikin foto pemandangan luas dengan angle super wide? Sana tuh, nyoh nyoh!
Cuaca panas, tapi angin sejuk semilir membelai wajah. Saya duduk di depan gua, bersama Fidel yang melompat-lompat menunjuk-nunjuk ke segala arah sembari bertanya, “Ini apa? Ini apa?”
Saya dan suami gantian njawab, “Ini burung.” “Ini hutan.” “Ini pohon.” “Ini Fidel berisik.”
Saya melirik suami saya yang sibuk meriksa jepretan hasil foto-foto di Nikon-nya. “Mas..?”
“Hmm?”
“Aku males pulang.”
“Hmm.”
Gua Berlian sebetulnya bisa dimasuki, tetapi spot sebetulnya berada di atas, dan untuk ke atasnya perlu naik tangga batu yang curam. Sayangnya, area tangganya sempit dan masih gelap. Tangga batunya nampak licin dan sulit dipijaki oleh sepatu saya yang casual banget itu. Akhirnya saya memilih berkorban tidak naik karena takut kostum saya jadi rusak. Lagian percuma juga saya memaksakan diri untuk masuk, karena kamera saya tidak pas untuk motret bagian dalam gua.
Tim Gridoto sempat masuk ke gua itu. Ternyata ujung dari bagian atas gua adalah lobang sebesar manusia yang kemudian mereka pakai untuk foto-fotoan memotret alam luas. Hanya saja mereka bilang bahwa di dalam sangat lembab dan sempit.
Sebelum kami pergi dari sana, mereka sempat nerbangin drone lagi untuk nyuting Rammang Rammang. Saya juga ikutan kena kamera tuh. Lihat videonya di sini ya, itu saya dan suami saya yang lagi dadah-dadah.. 😀😀
Tak Mau Hengkang dari Rammang Rammang
Turun dari Gua Berlian, kami jalan lagi di pematang sawah. Makin lama makin banyak turis yang datang. Saya menengadah sekeliling memandangi hutan-hutan batu kapur karst yang berbukit itu lagi, dan tersenyum puas. Jauh-jauh terbang ke Sulawesi demi melihat pemandangan ini, sungguh pengalaman yang berharga!
Menjelang kami mau pulang, teman-teman dari Gridoto, termasuk Hengky dan Fenty, sudah nunggu di sebuah gazebo dekat empang milik penduduk. Di gazebo sana, seorang penduduk telah bikin kantin yang jual pisang goreng. Teman-teman nongkrong-nongkrong di sana sambil makan pisang goreng. Di sebelah piring pisang gorengnya, ada sambelnya.
Saya mau ngucek-ngucek mata saking keheranannya, tapi takut maskara saya mbleber. Orang Bugis makan pisang goreng sambil dicocol ke sambel!
Fidel begitu happy naik perahu pulang menuju dermaga tempat kami parkir. Dia terus-menerus berceloteh tentang apa aja yang tadi dia lihat. Hutan. Burung. Air. Helikopter. (Maksudnya drone.)
Ya know what, kalau saya jadi guru IPA atau guru geografi di sekolah sini, saya suruh murid-muridnya praktikum di sini, pasti puas.
Perjalanan menyusuri Sungai Pute dari Kampung Berua menuju Dermaga 2 tempat Xpander kami parkir, kira-kira makan waktu antara 20-30 menit, kata orang-orang sih. Saya sendiri nggak ngitung waktunya karena saya terlalu sibuk shooting dan motret-motret.
Pulang dari Rammang Rammang, kami lanjut perjalanan cari makanan khas Sulawesi Selatan. Badan saya pegel semua. Kaki saya pegel-pegel, punggung saya njarem parah.
Tapi kalau lihat video 2 menitan yang saya bikin selama di Rammang Rammang ini, pegelnya langsung hilang, haahaha..
Saya baru pulih dua hari kemudian. Mau ngeluh pun saya malu. Belakangan saya baru tahu bahwa ulah kami tawaf keliling Rammang Rammang itu belum seberapa, lantaran kami cuma ke Kampung Berua dan mendaki Gua Berlian doang. Padahal masih banyak sisi-sisi dari Rammang Rammang lainnya yang belum kami lihat, macam Telaga Bidadari dan cafe-cafe di sekitar Rammang Rammang, misalnya.
Rammang Rammang – Makassar
Rammang Rammang berada di Maros, hanya sekitar 30 menit naik mobil dari bandara Hasanuddin. Rammang Rammang-Makassar sendiri sekitar sejam perjalanan dengan mobil. Sayangnya saya nggak nemu akses kendaraan umum yang bisa langsung turun di dermaga Rammang Rammang.
Kalau kamu adalah turis, mending ambil Hotel Ibis Makassar di airport Sultan Hasanuddin atau Hotel Harper Perintis, lalu sewa paket tour menuju Rammang Rammang, yang lengkap dengan guide-nya.
Fungsi guide-nya adalah untuk berkomunikasi dengan awak dermaga dan kelasi untuk nyewa perahu di Sungai Pute. Mudah-mudahan setelah artikel ini terbit, makin banyak jasa angkutan umum yang bisa langsung mencapai Rammang Rammang dan loket perahunya bisa lebih representatif.
Pesawat direct dari Jakarta menuju Makassar tersedia setiap saat dari beragam maskapai, dengan durasi penerbangan cuman dua jam doang.
Peta Lokasi Rammang Rammang
Harga Masuk Rammang Rammang Maros
Harga tiketnya Rp 200k-300k untuk per perahu.
Perahunya ada yang jenis katinting (muat sampai 4 orang penumpang), ada juga yang lebih besar (muat sampai 10 orang). Harga penyewaan perahu ini, tergantung seberapa besar perahunya, dan ini harga pulang pergi dari Dermaga sampai Kampung Berua.
Tempat Wisata di Maros Lainnya
Ada banyak tempat wisata lainnya di Maros, seperti Taman Nasional Bantimurung, Leang-leang dan Cafe Puncak Maros. Tetapi menurut saya sendiri, kalau memang niat ingin mengeksplorasi Rammang Rammang, tidak cukup jika satu hari dialokasikan untuk mengunjungi seluruh Maros.
Ketika kamu main ke Makassar, pernahkah kamu belok ke Rammang Rammang? Kamu mau nggak berkemah di sini?
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Yak yg perlu diperhatikan kalo berencana pergi ke rammang rammang adalah kostum. Kalo bisa pake sepatu eiger biar kuat diajak kerja keras.
Dan mobil yg mau dibawa kesana enaknya dipasang kaca film solar gard tipe black phantom dulu biar adem. Karena panas! Haha.
Solar Gard tipe Black Phantom itu kayak gimana, Mas? Aku belom pernah nyobak..
Asyik kan Mbak? Tidak menyesal loh ke Rammang-rammang.
Selain tempat wisata, tempat itu juga sering dijadikan lokasi penelitian untuk bahan skripsi mahasiswa teknik jurusan PWK, termasuk putra sulung saya.
Gara-gara beliaulah saya datang ke Rammang-rammang, sayang seribu kali sayang, foto-foto yang saya ambil lewat hp terhapus, jadi tidak ada buktinya. hehehe…
Datang lagi ke Sulawesi Selatan ya Mbak, masih banyak tempat-tempat wisata yang asyik untuk dikunjungi. Ditunggu ya..
Terima kasih, Kak Dawiah. Saya ingin balik ke sana lagi. Lalu saya juga ingin ngulang kunjungan saya ke Fort Rotterdam dan Losari. Pingin ke Tana Toraja juga. Pokoknya semua tempat yang saya tulis di sini.
Eh ya, PWK itu singkatan apa ya?
Ah ramang-ramang, cantiknya emang gak bohong ya.. Yang paling aku suka selama naik perahu, sungainya jernih dengan pohon palem di kiri-kanan
Iya, Mbak Evi, bener. Saking jernihnya sungainya, anakku sibuk nengok-nengokin air sungainya buat nyari-nyari ikan-ikan yang lagi berenang di situ :))
ini lengkap banget 🙂 bikin pengen berkunjung ke Makassar, kebetulan belum pernah hehee sudah saya save nih postingannya buat referensi kali aja ada rejeki mampir ke sana
Adeeeeuuhh.. di-saved segala. Terima kasih ya, Ci.. :))
bukitnya indah banget. pemandangan alamnya juga, sama transportasi sampannya itu lho. something!
must-visit nih.
Betul, Redha. Coba kapan-kapan ke Rammang Rammang Maros ya, siapa tahu kamu bisa dapat inspirasi untuk menulis puisi di sana 🙂
semoga aku juga bisa ke Rammang-Rammang ini.. seru banget sih emang pemandangannya mbak.
Amien.. diagendakan ajalah, Koh 🙂
MasyAllah teteh. Aku ngerasa seolah-olah berada di dalam ceritanya. Soalnya teteh bercerita dengan detail dan aku pun terkagum-kagum dengan rammang-rammang ini. MasyAllah jalan-jalan yang seru dan mahal ini mah namanya. Bukan mahal ke materi tapi mahal karena sesuatu yang langka kalau buat di kota bisa ngerasain jalan2 seru kayak gini
Yaah..kalau nyusurin pemandangan pakai perahu di Sungai Pute mah biasa ya. Sungai-sungai di pulau-pulau lain kan juga banyak.
Tapi bukit-bukit karst raksasa itu memang mengagumkan sekali. Selama di sana saya cuma bolak-balik takbir dalam hati..sambil bolak-balik motret tentunya 🙂
Keren Mbak Vicky, jalan-jalannya mantab beud. Indonesia ini memang perlu di-explore habis-habisan ya, Mbak. Kalau nggak ya nggak ketahuan amazingnya. Btw aku terakhir lihat karst beberapa tahun lalu. Di Puger, Jember.
Iya, BukNaj, saya ke bukit karst di Puger ini tahun lalu. Nggak segede yang di Rammang Rammang, jauuuh banget lah selisihnya. 🙂
Aduh tulisannya mbak Vicky ciamik abis. Tulizannya mbak Vicky (yg nggemesin ini) bikin saya kangen alam Indonesia. Indonesia memang indaaahh.
Lisa di Taiwan ya? Padahal alamnya Taiwan juga bagus 🙂
Namanya unik ya dan itu suasananya surga banget buat pecinta fotografi. Eh tapi dirimu gak beli sandal swallo, kan?
Enggak, Tikh, alhamdulillah..sepatuku masih selamat sehat sentosa sampai hari ini :))
Lihat foto pertama, malah aku kira itu bukan di Indonesia loh mbak
Eh basan baaca tulisannya, Oh ini Indonesia punya, di Sulawesi tepatnya yah, heheee
Bener2 cantik tempatnya walau panas sekali yah mbak vicky
Iya. Teman-teman sebelumnya bahkan terkecoh menyangka tempat ini di kawasan Vietnam, wkwkwkwk..
*lalu terdengar suara soundtrack film Tour of Duty*
Aku blom pernah ksana.. Keren banget mbak… Naik perahu diantara hutan belantara gt kyak di filem filem..
Yaa miriplah sama film Indiana Jones ya.. Atau, kayak di film Si Buta dari Goa Hantu.. :))
Perjalanannya cukup panjang ya mba tapi enak bisa sambil lihat pemandangan yang indah. Pemandangannya indah banget bikin segar mata.
Betul banget, Ria 🙂
Waduuuh jauh ya jalan2nya asik banget. Aku baru seputar Pulau Jawa, Bali, NTB hihihi. Mudah2an besok2 bisa kayak mb Vikcy aamiin. Rammang-Rammang unik ya namanya. Pantas aja ada penyewaan topi caping yang lebar. Ternyata buat mbak dkk naik perahu menyusui sungai. Cantik pemandangan daun2 yang melambai di sisi kanan dan kiri sungainya ya. Kasian si kecil itu mamahnya sibuk cekrek2 hahaha ga apa2, ntar gedean dikit kayak mamahnya juga kan 🙂
Iya, itu topi caping ternyata banyak banget disewa sama turis yang ke sana. Jadi kepikiran, kalo diproduksi massal, terus ditulisin “Rammang Rammang” di badan topinya, kayaknya seru deh. Mungkin malah bisa jadi souvenir yang bisa dibawa pulang segala kan..
LENGKAP BANGET! haha sampe bingung mau komenin yang mana. Aku pertama kali tahu tentang Rammang-rammang ini dari Turnamen Foto Perjalanan tak-berhadiah yang dulu aktif dan dijalankan berantai di blog (ntah siapa tuan rumah terakhir sehingga TFP ini mandeg). Sejak itu langsung naksir.
Trus muncul pula di film The Nekad Traveler. Indah banget! sekilas tak kira itu di Vietnam (walau belum pernah ke sana). Ah semoga bisa ke sana nanti 🙂
Oh iyaa, aku tahu event online Turnamen Foto Perjalanan itu. Kalian kenapa sih pada nyangka ini di Indochina, padahal ini kan letaknya di Sulawesi Selatan, hahahahaha..
Ayo ke sini, Yan. Seruuu!
Cakep itu pemandangannya ya mba. Apalagi pas naik perahu pasti seru ya.
Seruu banget. Yang serunya itu pas lagi naik perahu, perahunya bergerak wajar-wajar aja, kadang-kadang kita papasan nunduk kalau ketemu pohon nipah melintang di sungai. Belum lagi pas sungainya menyempit dan kita mesti lewat di antara dua tebing karst. Keren!
Thn lalu aku ke Vang vieng di Laos, yg pegunungan karstnya juga banyak, dan mirip rammang2. Dijadikan tempat Balon udara juga. Tapiiiii, jelas lbh gede yg di maros ini 🙂 . Ini lbh hijau juga tempatnya. Pgn deh ksana.. Pas ke makasar dulu aku cm sebentar dan anya jelajah kota. Ga sempet mau main ke maros. Nyesel jadinya 🙁
Fanny, aku tau kamu bakalan suka Rammang Rammang ini. Tempat ini luas.. luas.. luas sekali! Dan murni. Kalo sampai ada balon udara beterbangan di sini, mungkin malah jadi ngerusak warna pemandangannya, menurutku yaa..
Tapi kalo dijadiin arena outbound macam flying fox atau gardu pandang gitu, cuocoook!
Kamu harus sempatin kemari kalau ke Makassar. Ambil paket sewa mobil yang ada guide-nya. Jangan lupa bawa botol minum, di sini jalannya gempor. Kamu pasti seneng!
Kalau nggak salah ini yang ada di video Wonderful Indonesia itu ya? Bener-bener keren mbak!
Iya, Mas Darin, memang betul banget 🙂
Wah… boleh banget nih Rammang Rammang. Tapi kalau ke sana sendiri mahal ya, harus ramean biar bisa bagi-bagi biaya. Catet dulu deh, nama tempatnya.
Ya, soalnya minimal mainan perahu aja di sana kudu bayar Rp 200k untuk maksimal 4 orang, jadi memang mendingan rame-rame 🙂
WOW! speechless saja. pemandangannya indah sekali. kebayang deh capeknya naik ke gua dengan jalan separah itu hehehe.. tapi pulangnya nyaman ya pake xpander?
Enaaaaak..nyetir pulang pakai Xpander!
Noted!
Berarti kalau ke Rammang-Rammang nginep deket Bandara Hasanuddin teris ikutan paket toru..
Siip Mbak Vicky
Ceritanya bikin saya mupeng sekaligus happy!
Detil sehingga bisa bayangin seperti apa sih di sana 🙂
Iya..menurut saya kalau memang niatnya mau ke Rammang Rammang, mending fokus nginep deket bandara. Sebab kalo nginepnya di kota Makassar, malah jadinya kejauhan. Kecuali kalau niatnya mau keluyuran di Pantai Losari malam-malam..
Mbaaakkk, jadi kangen Sulawesi.
Belum pernah menjelajah Sulawesi Selatan sih, tapi tipikal daerah dan makanan mirip lah dengan Sultra.
Baca ini sungguh kangeeennnn..
Keren banget dedek Fidel, berpanas-panasan gak rewel.
Senang liat sapinya yak, di sana emang sapinya warna coklat, saya malah lebih suka sapi di Jawa soalnya warnanya kayak di iklan susu hahaha
Btw pohon nipah itu kolang kaling ya, daunnya dibuat atap oleh orang sana.
Aaahhh, jadi kangen berat deh mbak, hiks
Bingung saya.. sungguhan itu daun nipah jadi atap rumah? Emangnya nggak bocor..?
Sapi-sapi di sini nggak fotogenik buat jadi iklan susu, hahaha.. tapi saya sukaaaa! Kami sangka itu anoa lho itu tadinya, tapi ternyata sapi..
Seru banget bisa ke Rammang-Rammang naik Xpander, kak! Kayaknya kalau pagi atau sore pasti makin syahdu, ya. Udah pernah eksplor pantai-pantai di Gunung Kidul Jogja, kak? Atau Gunug Purba dan Embung Nglanggeran? Nah di sana juga banyak bukit-bukit karst. Bisa jadi referensi yang lebih dekat kalau kak Vicky kangen bukit karst 😀
Kalau aku terbiasa bawa 2 macam alas kaki saat traveling, even wisata urban sekali pun. Sandal buat di hotel atau jalan santai, dan sepatu kets atau sandal gunung. Buat antisipasi medan tak terduga.
Belum pernah pergi lebih selatan daripada Bantul, Nug.. wkwkwkwkwk, malunya aku..
Mudah-mudahan ke sana kapan-kapan, kalo suamiku sudah gak bosan lagi diajakin panas-panasan, hahaaa..
Aku sebaiknya bawa sendal kemaren waktu ke Sulawesi ini, tapi karena kemaren skenarionya mau shooting untuk kontennya brand, sendalku nggak matching dengan shooting-nya. Aah kapan-kapan deh aku pake sendal gunung aja.. :))
wah pemandangannya bagus tuh
apalagi bisa naik perahu, layak dicoba ini mah
Betul. Kapan-kapan Rezky ke sini yaa..
indahnya ciptaan Allah SWT.
Alhamdulillah bisa menikmatinya..