Seumur-umur, baru kali ini saya ditagih duit 20 ribu perak demi nyewa sebatang pohon.. 😊
Cita-cita: Main Ayunan di Langit
Jadi, postingan ini sebetulnya berawal dari khayalan norak saya di sekitar tahun 2000-an. Waktu itu acara Indonesian Idol di RCTI, dan salah satu finalisnya, Gisella Anastasia, nyanyi di atas panggung. Bukan, bukan nyanyi dengan kakinya napak di atas panggung. Tapi dia melayang pake ayunan.
Saya terkagum-kagum, bukan sama Gisella-nya, tapi sama Fremantle yang jadi produser acaranya. Kok bisa gitu bikin ayunan setinggi tiang listrik di atas panggung. Dan membiarkan si penyanyi gelantungan main ayunan tanpa si penyanyi kuatir jatu? Padahal ini kan di Indonesia gitu lho, di mana standar keamanannya cukup malu-maluin. Dan terakhir kali saya lihat penyanyi gelantungan di ayunan kayak gitu, adalah di konsernya Mariah Carey. Yang nyanyi siapa? Ya Mariah Carey lah.. (pertanyaan apa ini?)
Kenangan itu membekas di kepala saya sampai bertahun-tahun kemudian. Gisella akhirnya jadi menantunya Roy Marten, dan saya pun bercita-cita kepingin gelantungan di ayunan yang tinggi begitu. Sambil difoto! Nggak usah sambil nyanyi, pokoknya ya sambil difoto.
Alangkah recehnya cita-cita saya..
Belasan tahun kemudian, saya lihat foto-foto orang bergelantungan di ayunan di Instagram dengan berlatar belakang alam. Saya sebagai ahli tipu-menipu via special effect pun langsung bilang, “Mbelgedhez, aing ge bisa lamun kitu wungkul mah..”
Tetapi ketika saya baca orang-orang melakukannya di Lembang, saya mulai terhenyak. Letak Lembang itu cuman tinggal koprol doang dari rumah orang tua saya di Bandung. Dalam kepala saya pun nongol ide bak kepala bohlam lampu, I must try it.
Jadi saya pun googling dengan seksama tentang tempat wisata di Bandung yang satu itu. Lalu saya menemukan namanya, The Lodge Maribaya Lembang, alias The Lodge Earthbound Adventure Park. Sebetulnya saya rada-rada ciut kalau dengar nama Maribaya ini. Karena terakhir kali saya ke sana, pastilah sebelum saya merantau ke Surabaya. Jalan ke Maribaya itu malesin banget. Miskin sinyal, becek kalau musim hujan, yaa pokoknya nggak enak banget lah.
Tetapi bayangan gambar orang-orang berayun-ayunan di atas jurang di Instagram dengan geotag yang nggak jauh amat dari rumah saya, terus-menerus berkelebat di kepala saya. Saya jadi semakin kemecer kepingin ke sana.
“Ayolah..” kata alter ego saya di kepala saya. “Elu udah gede..mosok sama jalan sirtu aja jiper? Lagian kalau kesasar juga elu masih ada di Bandung, bukan di Purwokerto..”
Ke The Lodge Maribaya Lembang Bandung
Maka ketika saya pulang ke rumah orang tua saya di Bandung, saya pun agendakan pergi ke sana. Bela-belain pinjam mobil ibu saya, suami saya menyetirkan saya dan anak ke tempat wisata The Lodge Maribaya itu. Kami ke sana setelah kami cabut dari Farm House Lembang Bandung. Kami cuman berbekal Google Maps dan beriman kepada Allah Subhana Wa Ta’ala. Dan setelah menyusuri jalan sambil teliti membaca rambu-rambu, akhirnya kami pun tiba.
Yang ternyata..The Lodge Maribaya itu, untuk parkirnya kami harus berbagi dengan hampir 200 mobil.
*saya melongo*
Kenapa gw nggak tahu kalau ada tempat dengan animo segambreng ini? Ini parkiran cukup buat 50 bis! Silakan lihat parkirannya ya di video paling bawah nanti.
Tadinya saya kirain The Lodge Maribaya itu persis di pinggir Jalan Maribaya, tapi ternyata enggak. Lebih tepatnya, lahan parkirnya aja yang persis di pinggir Jalan Maribaya.
Saya dan anak saya, Fidel, bareng suami turun dari mobil. Kami sempat sholat sebentar di musholla unisex yang menurut saya lumayan sempit. Habis sholat, kami lihat rambu-rambu yang menggiring kami ke barisan angkot-angkot.
Kata petugas di tempat parkir, kami mesti naik angkot ke The Lodge Maribaya, sebab kalau mau jalan kaki itu jauh. Angkotnya gratis lho. Ya ternyata ini semacam shuttle car dari parkiran ke lokasi TKP. Di pintu angkot ada tulisan “Dengan naik angkot ini, Anda membantu perekonomian rakyat di Maribaya.”
Baiklah. Sak karepmu.
Angkotnya nggak ngetem lama-lama demi nungguin penumpang. Dengan penumpang seadanya, angkot yang kami tumpangin pun jalan menyusuri gang, sejauh sekitaran 500 meter ke lokasi The Lodge Maribaya. Tiba di tempat kejadian perwisataan itu, ternyata di sana ada tempat parkir lagi, tapi sudah penuh oleh mobil-mobil pengunjung. Oh, ternyata kalau mobil-mobil lain memaksakan diri masuk ke sini, mereka hanya akan kecele nggak kebagian parkir dan malah bikin macet. Bener juga cara panitianya mengatur lalu lintas.
Saya masuk ke loket dan membayar tiket masuk Lodge Maribaya. Harganya Rp 15.000,- per orang (mungkin karena weekday, jadi saya dapat tarif semurah itu), konon tiketnya bisa ditukerin minum di dalam.
Masuk ke wilayah The Lodge Maribaya, kami menyusuri selasar dengan bamboo di sana-sini, sampai tiba di sebuah plaza yang persis berada di pinggir jurang Maribaya. Masya Allah..
Di plaza yang dipagarin kayu-kayu itu, banyak orang lagi sibuk selfie-selfie dengan rombongannya. Latar belakang selfienya tentu saja adalah jurang Maribaya yang dibatasi perbukitan hutan pinus yang ijo-royo.
Dari pinggir pagar, saya lihat di kejauhan bawah ada balon udara besar. Lalu ada orang sedang naik sepeda gantung. Dan saya melihat sesuatu yang sepertinya adalah berderet-deret pondok gubuk mengelilingi lapangan. Saya tertarik ingin ke sana, tapi suara saya terusik dengar seseorang berteriak-teriak, “Ya, ayo lihat sini! Ya, tangannya dibuka! Ya, satu, dua, tiga! Ya, ayo gaya yang lain! Satu..dua.. tigaa!”
Saya menoleh, dan ternyata, ada orang lagi foto-fotoan berdiri di pohon dengan gaya seolah-olah mau bunuh diri loncat dari pohon!
Dan jauh di atas bukit, saya lihat ada 1-2 orang sedang duduk enak-enak di gubuk yang mirip-mirip saung sambil pegang kamera, sembari berlagak seperti sutradara. Itu ternyata fotografer yang tadi teriak-teriak sedang mengarahkan orang bergaya di pohon, wkwkwkwwk..
Lalu ada tulisan plangnya di dekat situ, “Sky Tree”.
Busyet dah.
Sky Tree
Saya jalan mendekati bukit fotografer itu. Dan ternyata saya menemukan gubuk lain yang berisi orang sedang berjualan semacam karcis. Saya mendekatinya, dan bertanya, “Kang, kalo mau poto-potoan di pohon itu, lewat mana jalannya?”
Lalu orang itu menjawab, “Bayar, Teh, lima belas ribu, nanti ngantre di sebelah sana. Nanti fotonya bisa diambil di loket depan.”
Saya ternganga. Apa? Gw harus bayar Rp 15.000,- demi foto-fotoan di pohon sambil bergaya seolah-olah mau bunuh diri??
Tapi dasar, sambil ketawa dalam hati, saya pun merogoh dompet saya. Dan akhirnya saya pun mengantongi selembar tiket untuk foto-fotoan di pohon!
Suami saya nggak mau foto-fotoan a la norak gitu, tapi dia ngijinin saya ikutan. Kami mengantre di saung yang dibangun khusus jadi tempat mengantre untuk pengunjung-pengunjung yang ingin foto di Sky Tree itu.
Ketika tiba giliran saya, seorang petugas mengikatkan sabuk pengaman di pinggang saya. (Lihat sabuk pengamannya ya di video di bawah). Suami saya menggendong Fidel ke arah gubuk fotografer, lalu berdiri di sana menunggu giliran saya maju ke pohon.
Orang-orang ternyata pada kagok juga mau foto di pohon itu. Ada yang nggak berani foto sendiri, maunya foto berdua. Fotografernya teriak-teriak membantu mengarahkan gaya. Mula-mula foto berdiri biasa a la pas foto ijazah. Lalu foto dengan berkacak tangan. Lalu foto dengan tangan direntangkan. Lalu foto sambil duduk. Lalu foto sambil senyum. Ya elah.
Saya sendiri juga jadinya ikutan kagok. Saya ini nggak terbiasa difoto sambil sutradaranya teriak-teriak gitu. Alhasil yang saya lakukan adalah mencari suami saya dan memastikan dia ikutan motret. Jadilah foto saya akhirnya kayak gini, hahahaha..
Belakangan saya baru tahu kalau foto-foto yang diarahkan sang fotografer lokal bisa diambil di loket khusus di sana. Bukan, fotonya bukan dicetakin. Tapi file JPG-nya dikirimkan lewat aplikasi ShareIt, yang mana pengunjungnya mesti download dulu di PlayStore. Untuk mendapatkan file itu, pengunjung harus bayar (saya lupa bayarnya berapa, pokoknya saya nggak ambil. Karena foto jepretan suami saya sudah cukup.) Pinter ya orang-orang ini.
Selesai foto-fotoan di pohon itu (dengan pose manis, tanpa ekspresi mau bunuh diri, tentu saja), saya cek foto di kamera suami saya. Puas, kami pun mau jalan lagi. Tapi lagi-lagi teriakan si fotografer mengusik saya.
“Yaa..sekarang gaya duduk! Deketan aja Teh, jangan kaku! Kang, rangkul aja Tetehnya, Kang! Tangannya di pinggang! Yaa gitu! Satuuu..duaaa.. tigaaa…!”
Saya noleh ke pengunjung yang sekarang lagi foto-fotoan di Sky Tree itu. Ternyata ada pasangan lagi duduk di sana, dan yang cewek pake jilbab. Si cowok kayaknya bingung gimana ngerangkul si cewek berjilbab di pinggir pohon itu sambil ditontonin banyak orang. Sumpah, saya pingin ketawa..
Bersepeda di Langit
Kami jalan lagi ke plaza dan mengikuti papan penunjuk jalan. Lalu kami turun menyusuri tangga yang cukup bersih dan aman. Suami saya menggendong Fidel sambil bolak-balik memotret hutan pinus. Ini yang senang landscape pasti puas banget kalau sudah sampai sini.
Turun di plaza kedua, kami nonton orang-orang bermain sepeda gantung. Jadi wahana ini ternyata mereka namain Zip Bike. Orang nyewa sepeda khusus, di mana sepeda ini nanti akan berjalan pada dua utas tali. Pesepedanya akan merasa seolah-olah lagi bersepeda di angkasa, padahal di bawahnya itu ya jurang. Nanti di tengah-tengah tali, mereka akan disuruh berhenti, lalu berfoto. Dan tentu saja, ada fotografer yang duduk di gubuk khusus sambil berteriak-teriak mengarahkan pose mereka.
Untuk bersepeda ini, seorang pesepedanya harus bayar Rp 20k. Bersepedanya pakai helm dan pakai sabuk pengaman.
Saya nonton adegan itu sambil berdiri di bawah gubuknya sang fotografer. Kayaknya ada sekitar 2-3 fotografer di sana yang bertugas motret, karena sekali jalan, yang naik sepeda itu ada 2-3 orang. Saya ngupingin pembicaraan sang fotografer yang sesekali ngobrol dengan rekannya pakai Bahasa Sunda.
Pasti lucu yang naik sepeda itu. Ngeri-ngeri sedap gimana gitu, naik sepeda yang dijalanin di kabel. Fotografernya yang ngarahin pun juga lucu teriak-teriaknya. “Yaa..berhenti di situ! Lihat sini! Lepas tangannya! Satu…dua..! Sekarang ganti gaya! Gaya jengkol! Satu..duaa..!”
Saya aja bingung kayak gimana gaya jengkol itu.. Tapi para pesepeda itu berusaha melihat ke kamera, bersusah-payah tersenyum padahal ketakutan, lalu sebelah tangannya mereka taruh di pinggang. Owalah..itu tho yang dimaksud gaya jengkol..
Selesai sesi itu, para pesepeda balik lagi ke terminal awal. Kayaknya sih kakinya bisa nyengkol sendiri, tapi salah satu pesepeda ada yang saking ketakutannya sehingga panitia terpaksa menarik sepedanya dengan kabel..
Seorang fotografer sempat merayu seorang pengunjung supaya mau naik sepeda gila itu. “Hayu Teh!” (Ayo, Mbak..)
“Embung ah! Sieun labuh!” jawab pengunjungnya ketakutan. (Nggak mau! Takut jatuh!)”
Tapi fotografernya ngeyel, “Moal! Bismillah, tawakal!” (Tidak! Makanya baca bismillah dan mesti tawakal..”
Saya pergi dari sana sambil ketawa ngakak-ngakak.
Sebetulnya saya ingin nyobain zip bike itu, tapi saya masih agak mikir-mikir. Lha kalau saya pakai helm, mana bisa muka saya kelihatan di kamera..?
Makan sambil Nonton Balon Udara
Karena sudah jam makan siang, kami menangguhkan urusan persepedaan itu dan turun ke plaza lain yang penuh saung-saung yang tadi kami lihat di atas. Ternyata kami tiba di plaza yang memang dikhususkan untuk jualan jajanan.
Plaza ini semacam food court yang menjual jajanan-jajanan khas orang Sunda. Saya nemu mie kocok, cireng, tahu gejrot, dan lain-lain. Penjual-penjualnya memasak makanannya di saung-saung. Ada saung khusus untuk pengunjung yang kepingin makan di tempat. Bayarnya di saung khusus untuk kasir. Kasirnya sedia mesin gesek juga lho.
Saya pesen mie kocok, sebab counter-counter yang jual makanan lainnya nampak dirubung lalat. Saya dan suami pun istirahat bentar sambil nyeruput mie. Tapi Fidel nampak nggak berselera makan dan lebih suka menikmati hawa dingin.
Di pinggir plaza food court itu ada balon udara besar yang bisa muat sekitar enam orang. Balonnya nggak terbang sungguhan sih, tapi ditanam doang di pinggir jurang. Pengunjung yang berpose di dalam balon itu bisa berilusi seolah-olah lagi naik balon udara di perbukitan hutan pinus.
Mbelgedhez, saya ketawa dalam hati. Sungguh tempat wisata yang betul-betul memikat orang-orang yang kepingin pamer foto di Instagram.
Saya menengadah ke angkasa. Langit mulai mendung. Mau hujan. Padahal saya masih bernapsu kepingin mengelilingi tempat ini.
Di ujung plaza nampak papan bertuliskan Mountain Swing. Swing? Ayunan?
Saya dan suami buru-buru selesaikan mie kocoknya, lalu kami segera bergegas mengikuti arah papan penunjuk itu. Tahu-tahu kami sudah tiba di pinggir jurang yang lain.
And there it was. Ayunan Gisella.
Mountain Swing
Ayunan itu tergantung pada sebatang kayu yang nyambung dengan sebuah kayu lain yang lebih besar. Di kursinya ada sabuk pengamannya. Seorang pengunjung lagi duduk di sana sambil memegang kursinya. Dia ketawa-tawa ketika ayunan besar itu berputar-putar 360 derajat, persis wahana Alap-alap di Dufan.
“Aku mau naik itu!” kata saya kepada suami saya. “Kamu mau?”
Lagi-lagi suami saya ogah. Tapi dia bilang dia mau motoin saya kalau saya lagi naik ayunan.
Saya ngantre di saung yang ada di sana, yang sudah berfungsi jadi loket. Tagihannya Rp 20 ribu perak. Persis sesudah saya bayar, tes..tes.. hujan turun! Kyaaaa!
Saya lari ke saung khusus yang dibangun untuk pengunjung yang mau ngantre naik ayunan. Hujan turun deras, dan petugasnya nggak mau jalanin ayunannya. Saya dan pengunjung lain ngeyel tetap duduk di sana, nungguin hujan berhenti.
Kami nggak bisa pergi dari sana. Bukan, bukan karena saya sudah kadung bayar naik ayunan. Tapi karena..saya lupa bawa payung. Payungnya ketinggalan di mobil, hahahahaha!
How stupid I was.
Kami pun nungguin hujan di dalam saung. Saya membunuh waktu dengan baca-baca blog, sementara suami saya ngecek foto-foto yang tadi dia jepret. Fidel lari-lari di dalam saung, senang dia loncat-loncat ke sana kemari.
Saya menangkupkan tangan di dada, lalu berkata, “Ya Allah, tolong suruh malaikat Mikail menghentikan hujannya. Supaya saya bisa foto-fotoan sambil naik ayunan berlatar belakang hijaunya hutan pinus dan menaruhnya di Instagram. Di Surabaya nggak ada atraksi model beginian..”
Doa instagrammer sholihah ini didengar Tuhan. Akhirnya hujannya reda. Petugasnya ngelap kursi ayunan, lalu membuka antrean.
Dan saya akhirnya melangkah ke ayunan itu dengan gagah.
Silakan lihat saya lagi berayun-ayun di atas jurang Lembang yang dijepret suami saya ini ya..
Sebetulnya kami masih kepingin melihat spot-spot lain di The Lodge Maribaya itu, seperti arena outbound, jalur trekking, dan restorannya. Tetapi untuk menuju spot-spot itu kami harus melalui tangga-tangga setapak, dan saya nggak cukup berani karena pas hujan gini tentu jalannya jadi licin. Jadi saya pun memutuskan buat cabut aja.
Pergi dari wahana Mountain Swing, hujan turun lagi. Nggak terlau deras, tapi rintik-rintiknya cukup meresahkan saya yang masih bawa balita. Akhirnya kami menggendong Fidel dan mendaki tangga setapak menuju pintu keluar. Baru saya sadar kalau jalan ini lumayan jauh juga.
Di tengah jalan, saya sempat terhenti di sebuah spot berisi tenda-tenda berbentuk bawang Bombay. Ya ampun..ternyata tempat ini ada penginapannya..
Sayang hujan turun deras. Jadi saya nggak bisa motret-motret tendanya. Ini saya pasang foto dari websitenya langsung aja ya.
Mau ke Sini Lagi, Nggak?
Menurut saya, The Lodge Maribaya Lembang ini cocok buat orang-orang yang kepingin selfie-selfie dengan berlatar belakang lansekap wisata alam di Bandung yang menawan. Atau buat orang yang kepingin kurus dan kepingin olahraga naik-turun tangga sambil menghirup hawa segar.
Yang jelas, nggak cocok buat lansia yang sudah ribut sama encok. Persoalan naik-turun tangga untuk mengelilingi kompleksnya ini yang bisa jadi kendala besar untuk orang-orang difabel dan cs-cs-nya.
Bagian yang masih saya bingung adalah bagaimana orang awam bisa datang ke tempat ini. Saya duga, orang kemari mesti nyarter angkutan umum ke Maribaya dulu dari terminal Lembang (tapi dia harus memastikan bahwa carteran itu akan bersedia mengantarnya pulang).
Paling masuk akal ya bawa mobil sendiri kayak saya, lalu berpegang pada Google Maps (lihat peta lokasi The Lodge Maribaya di bawah). Bisa juga cari paket tour yang mengandung kunjungan ke The Lodge Maribaya.
Alamat The Lodge Maribaya Bandung: Jalan Maribaya nomor 149/252, Babakan Gentong, Cibodas, Lembang, Bandung Barat 40391
Dalam pendapat saya yang jujur, sebetulnya bikin usaha tempat wisata macam The Lodge Maribaya Lembang ini gampang banget, asalkan kita punya tanah yang cukup luas di pinggiran jurang. Lokasi di daerah pegunungan atau di perbukitan pantai bisa jadi nilai plus banget.
The Lodge ini menarik bukan hanya karena lokasinya, tetapi sensasi foto-fotoan di pinggir jurang dengan setting properti pohon, ayunan, dan sepeda-sepedaan gantungnya itu yang bikin orang jadi penasaran kepingin kemari. Dan sebetulnya itu adalah jenis gimmick yang bisa ditiru di daerah mana aja di seluruh Indonesia 😊. Kalau dipikir-pikir, tempat ini bisa ramai karena pengusahanya bisa memanfaatkan sebatang pohon dengan tepat, hahahahaha..
Mungkin memang medannya yang naik-turun rada nggak cocok buat lansia, ibu hamil, dan teman-temannya. Tapi ini sebetulnya hanya masalah waktu sampai pengembangnya bisa bikin akses yang cocok buat kaum itu (seperti misalnya kereta gantung, mungkin?). Mungkin juga tempat ini rada menakutkan buat para penderita fobia ketinggian, tapi..ini adalah peluang yang tepat buat perusahaan asuransi untuk memasang iklan mereka di tempat ini :p (ngetik gini sambil nyari-nyari banner Sun Life).
Lihat video saya jalan-jalan di The Lodge Maribaya ini ya di sini:
Ke sini sih nggak usah lama-lama. Cukup 3-4 jam aja (jam buka The Lodge Maribaya itu mulai jam 9 sampai jam 17, kecuali kalau nginep). Kecuali kalau kepingin tracking ke hutan pinus, ya mungkin sebaiknya camping di kampung tenda bawang bombay di kompleksnya.
Buat orang Jakarta yang fakir hari libur, bisa banget bermobil kemari hari Minggu pulang pergi. (Saran: Coba mampir ke Orchid Forest deh, di sana bisa lihat kebun anggrek di tengah-tengah hutan pinus. Kebetulan akses jalan ke Orchid Forest Cikole cukup baek buat mobil.)
Kecuali kalau Anda niat banget kepingin nyambangin tempat wisata di Maribaya lainnya, kayak Begonia Park, The Ranch, Curug, dan lain-lainnya itu, barangkali memang harus nginep.
Apakah di sekitar Anda sudah ada tempat yang mengandung ayunan gantung kayak di ayunan Maribaya Lembang ini? Ceritain dong tempatnya di kolom komen 😊
Semua foto oleh Eddy Fahmi
Vicky Laurentina adalah food blogger, sekaligus dokter dan ibu dari seorang anak. Buka halaman ini, “Tentang Vicky Laurentina” untuk tahu latar belakang Vicky, atau follow Instagram dan Twitter untuk tahu keseharian Vicky.
Kalau jalan kaki dari tempat ngangkot sampe ke lokasi perwisataan, kira kira butuh berapa menit?
oh iya, di semarang juga sudah banyak yang ayunan dan tempat selfie. terlebih di daerah yang tinggi dan dingin
Hm..jawabannya sedikit rumit
Kalau kamu kepingin kemari, kamu naiklah angkot dari Terminal Angkot Lembang (di Jalan Pasar Raya Lembang) menuju Terminal Angkot Cibodas. Terminal angkot Cibodas ini cuman berupa gapura biasa dengan area parkir mobil, tapi yang parkir di sini banyak berupa mobil (sudah lihat adegan parkiran mobil di videonya di atas kan?).
Kalau mau jalan kaki dari parkiran itu ke tempat wisatanya, cukup 500 meter aja. Tapi ada shuttle angkot gratis dari parkiran itu ke tempat wisatanya.
Oh ya, tempat sky swing di Semarang itu di mana ya?
Mbaaa serius itu ayunanya muter 360 derajat? Td baca di atas, berayun kayak alap2 di dufan 😮
Aku tuh suka banget sih ama ketinggian.. Tp dengan catatan, semua pengamannya terpasang sempurna hahahaha.. Krn biar gimana, aku itu ttp takut kok sblm mulai ngelakuin hal2 ekstreme yg berkaitan ama ketinggian, kyk bungee jumping, zipline, pas naik balon udara di Laos, ato sky dining yg trakhir, itu awalnya takut. Tapi teteeep aja slalu kangen pgn coba hal2 begini lg. Yg di lodge maribaya ini udh lama sih pgn coba. kesempatan ke bandungnya itu yg blm jadi2 :D.
Tp pas tau kalo fotographernya triak2 ngarahin gaya gitu kok jd sebel ya hahahaha.. Aku tuh kalo difoto pasti gayanya biasa aja. Kalo sampe diarahin yg ada malah kaku 🙂
Oke, ayunannya memang berputar 360 derajat muterin poros. Kayak Alap-alap itu. Eh, Alap-alap itu yang kita duduk di dalam ayunan lalu muterin poros kan ya? Intinya, kita nggak dibalik kok 🙂
Tapi pas kita mainan ayunan itu nggak ada yang motoin kok. Aku difotoin sama suamiku.
Sedangkan Sky Tree dan Zip Bike, nah itu memang ada fotografernya. Aku juga merasa risih sih diarah-arahin gaya gitu, tapi ya gimana, mosok aku mau bilang, “Cicing siah..! Urang lieur!” Hahahaha…
Weekday ya mbak ke sananya. Ga gitu rame ya. Saya ke sana weekend, gile rame bgt, antrean lama, difoto 30 detik doang di ayunan. Banyak kesan buruk malah jadinya, trus kapok ke sana, wkwk. Harusnya emg weekday sih ke sana, apa daya waktu itu ada sodara ke Bandung, dan cuma bisa ke sana hari Sabtu.
Menurut saya, piknik itu kegiatan yang mahal. Sebab untuk bisa piknik, kita harus menyediakan waktu.
Mudah-mudahan Reisha bisa mencicipi tempat ini lagi pada waktu weekday ya 🙂
Ikut ngakak baca penjaga yang merayu pengunjung nyoba wahana Zip Bike. Aku udah lama pengen nyoba ke Lodge Maribaya. Meski di Semarang ada model selfi gini, tapi view nya di Maribaya lebih kece
Cobain aja deh. Semarang-Bandung cuman naik kereta sebentar doang. Pergi pagi, pulang malem, nggak usah nginep. Pun dari stasiun kereta Bandung ke The Lodge tinggal cari carteran mobil aja, atau sekalian naik angkot kalau mau niat backpacking 🙂
Seru banget yaaak, paling suka tempat-tempat asri kayak gini.
Tapi kalau ramai banget juga gak banget ya mba hehehe.
Trus buat foto-foto seru, saya sih NO, terlalu cemen untuk dekat-dekat jurang even untuk sebuah foto lucu hahaha.
Saya liat foto mba aja sampai gemetaran nih lutut, padahal gak sedang berada di tempatnya hahaha
Kalau mau ke The Lodge ini lebih baik sekalian nginep. Karena jam subuh itu jelas nggak rame.
Kalau pun nggak mau nginep, perginya pas weekday aja.
Sebab kalau perginya pas weekend, ya wassalam. Karena rame banget meskipun semua orang sepertinya cuma kepingin foto di pinggir jurang 😀
Mbak, saya nggak bisa berhenti ketawa baca ini tolong 🙁
Oya sekarang emang tempat wisata banyak yang nawarin selfie spot gitu demi feed instagram *hestek budak instagram*. Di Pemalang juga ada bukit2 kayak gini. Beda latar aja, dia latarnya sawah hihihi
Ya baguslah kalau yang di Pemalang itu punya latar belakang berupa sawah. Jadi mau nggak mau petani yang menggarap sawahnya itu akan merawat sawahnya betul-betul supaya instagrammable. Harus berterima kasih nih sama Instagram, gegara orang kepingin jadi budaknya Instagram, orang jadi mau berfoto selfie di depan sawah. Lha jaman dulu, mana ada?
Mirip-mirip dengan Batu Flower Garden yaa…
Bener, Mbak Reni. Cuma kan akses ke Batu Flower Garden itu masih ramah sepeda motor doang ya. Nah kalau akses ke The Lodge ini sudah ramah bis.
wah, ternyata sudah berubah lokasi wisatanya. banyak banget bangunan2 tambahan Dulu pintu masuknya bukan yang bambu-bambu, mbak, masih di tutup dulu. dan belum disentuh apa2 >,< jadi pengen kesini lagi karena ada balon udaranya, cmiww
Iya, ada balon udaranya. Dan saya gak naik balonnya karena keburu ujan..
Memang saya waktu datang kemari juga rada pangling, sebab tempat saya masuk tidak sama seperti di video-video yang saya lihat di Youtube.
Kalau sudah jadi foto bagus banget tali saat pengambilan gambar pasti rasanya gak karu-karuan, nerveos tingkat tinggi
Saya sendiri juga nervous. Soalnya langit mulai nampak mendung, padahal kompleksnya luas banget dan saya belum ada seperempatnya mengelilingi kompleksnya 😀
Wuhuuu seru ya, Mbak.
Fidel belum bisa naik ke atas berarti ya.
Hmm jadi mikir apa Salfa rela cuma emaknya yang berayun-ayun
Semoga bisa kesana tanpa drama…
Jangan dulu, Ma. Kalo anak balita kayaknya belum boleh 😀
Wah perkembangannya pesat sekali ya, bener2 mengikuti trend, karena 3 tahun yang lalu rasanya saya gak lihat wahana2 itu di Maribaya
Sebetulnya The Lodge sudah buka sejak 10 tahun yang lalu, Pak Moko. Tetapi memang hanya orang-orang tertentu yang tahu, karena tempat ini mengkhususkan diri untuk meladeni orang-orang yang ingin outbound.
Baru 2 tahun terakhir sepertinya wahana-wahana ekstrim beginian ini dibuka. Pak Moko belum terlambat tahu lah 🙂
Mb vicky ak ketawa bngt loh pas baca cerita gaya jengkol itu..oalas gaya gitu dipikir kok emang mirip jengkol
Fotonya bener2 bikin kepo baca tulisannya. Beruntungnya punya suami yg siap foto2.. Hihi.. Coba kalo ak kesana, apa harus main ayunan sambil bawa tongsis.. Huahaha..
*nasib punya suami ga suka jalan
Wah..kesian juga.. perlu cari open trip nih. Supaya ada yang mau nemenin jalan dan nolong fotoin. Atau minimal ya cari temen yang doyan jalan-jalan..
yesss.. bisa masuk agenda liburan mendatang.. semoga ada rejeki dan jodoh. – dan antriannya tdk trlalu panjang.. salam sayang utk Idayo ya mba ^.^
Kalau Mbak Mita ke sini pada waktu weekday, antreannya tidak akan menyita terlalu banyak waktu, Mbak. 🙂
aduh.. gak serem tuh mbak
aku aja yang liat videonya, udh mual :v
Enggak, Velli 🙂 Aku cukup senang berada di ketinggian 🙂
Duhhh sebenarnya udh lama pengen kesini.. tp kalau mikir ramenya pengunjung jd ya masih mikir2 lagi deh mo menyambanginyaa..
Hehehehe
Bisa kok ke sini nungguin tempatnya sepi. Caranya kamu booking dulu penginapan di websitenya tempat ini, lalu kamu akan boleh tidur di salah satu tendanya atau di kamarnya. Tempat ini sepi setelah jam 17.00 dan kamu bisa menginap di sini sampai tiba waktunya check out. Pengunjung mulai ramai setelah jam 10.00 🙂